Penyelenggara Pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU), KPU
Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.
Penyelenggara Pemilu yang bersifat ad hoc adalah PPK, PPS, PPLN, KPPS dan KPPSLN. Dengan
demikian, Bawaslu bukanlah penyelenggara Pemilu, tetapi sebagai pengawas
penyelenggaraan pemilu
yang keberadaannya sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 15 UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
Demikian dikatakan Anggota KPU, Syamsul Bahri, saat menyampaikan keterangan sebagai Pihak Terkait dalam sidang uji materi UU Penyelenggara Pemilu yang digelar, Kamis (11/3), di gedung MK. Sidang dihadiri Pemohon Prinsipal Ketua Bawaslu Nur Hidayat Sardini, Anggota Bawaslu Wahidah Suaib dan
Wirdyaningsih, Ahli Pemohon, Saksi Pemohon, Kuasa
Pemohon, Bambang Widjojanto, dan Iskandar Sonhadji, serta pihak terkait KPU,
dan Pihak Pemerintah.
Berdasarkan uraian tersebut, kata Syamsul Bahri, yang
dimaksud dengan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 adalah hanya KPU sebagaimana
diatur dalam penjelasan umum UU Nomor 22 Tahun 2007 yang berbunyi,Dalam Undang-Undang ini diatur
mengenai penyelenggara pemilihan umum yang dilaksanakan oleh suatu komisi
pemilihan umum, selanjutnya disebut Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang bersifat
nasional, tetap, dan mandiri.
Mengenai dalil Pemohon terkait respon KPU atas
berbagai rekomendasi yang diberikan Bawaslu beserta jajaran Panwas lainnya
mengenai adanya dugaan pelanggaran peraturan perundangan-undangan maupun kode
etik penyelenggaraan pemilu yang dilakukan KPU, KPU berpendapat, ketentuan
Pasal 8 ayat (1) huruf O dan ayat (2) huruf O UU Nomor 22 Tahun 2007 dan
penjelasannya yang menyatakan, tugas
dan wewenang KPU dalam penyelenggaraan Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD,
serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden meliputi menindaklanjuti dengan segera
temuan dan laporan yang disampaikan oleh Bawaslu.
"Yang dimaksud dengan menindaklanjuti adalah mengambil langkah-langkah selanjutnya, baik
menghentikan temuan dan laporan yang tidak terbukti, maupun meneruskan laporan
yang terbukti," kata pihak terkait anggota KPU Syamsul Bahri.
Selanjutnya, dalam hal pembentukan Panwas pemilukada, KPU
berpedoman pada ketentuan Pasal 93 dan Pasal 94 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun
2007. Pasal 94 ayat (2) menyatakan, Calon anggota Panwaslu
Kabupaten/Kota untuk Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Kabupaten/Kota diusulkan oleh KPU Kabupaten/Kota kepada Bawaslu sebanyak 6 (enam)
orang untuk selanjutnya dipilih sebanyak 3 (tiga) orang sebagai anggota
Panwaslu Kabupaten/Kota setelah melalui uji kelayakan dan kepatutan dan
ditetapkan dengan keputusan Bawaslu.
Dalam mengusulkan enam nama dimaksud, untuk menjaga
obyektivitas dan standard penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 UU
Nomor 22 Tahun 2007, KPU Provinsi
dan KPU Kabupaten/Kota melaksanakan proses seleksi yang mekanismenya diatur
dalam Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2008.
Mengenai dalil Pemohon bahwa ada indikasi sengaja dan
sistematis yang dilakukan KPU karena memilih calon yang berpihak kepada
kepentingannya sendiri, menurut KPU, Bawaslu telah melakukan generalisasi
terhadap kasus di satu kabupaten yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya.
Sementara itu, Direktur
Eksekutif Cetro, Hadar Gumay yang dihadirkan oleh Pemohon
sebagai Ahli Pemohon, menyatakan, Pemilu yang demokratis adalah free and fair election. Untuk mencapai pemilu
demokratis diperlukan penyelenggara pemilu yang mandiri, imparsial, bekerja
transparan, profesional, berintegritas, berorientasi kepada publik/pemilih.
Untuk itu, lanjut Hadar, pengawasan menjadi penting dalam
pemilu. Pengawasan harus dilakukan oleh lembaga yang sifatnya mandiri, misalnya
Bawaslu. Namun proses pembentukan Bawaslu bisa menimbulkan persoalan karena
melibatkan lembaga yang akan diawasi. "Pembentukannya dilakukan oleh pihak
lain, bahkan pihak yang justru menjadi obyek pengawasannya, yaitu KPU,"
kata Hadar.
Pakar Hukum Tata Negara, Saldi Isra, yang dihadirkan sebagai Ahli Pemohon,
menyatakan, Pasal 22E UUD 1945 memberi
ruang tafsir yang agak terbuka untuk adanya lembaga-lembaga negara. Ruang
tafsir yang dimaksud Saldi adalah penyebutan kata "suatu komisi pemilihan
umum" yang menggunakan awalan huruf kecil untuk nama lembaga. Kemudian
kata "suatu", menunjukkan ketidakjelasan kata. "Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kata "suatu" dimaksudkan sebagai hal yang tidak tentu,
boleh ada tafsir di situ," papar Saldi.
Berbeda dengan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang menyebut
"sebuah Mahkamah Agung" dan "sebuah Mahkamah Konstitusi". Keduanya diawali kata
"sebuah" dan menggunakan huruf besar untuk nama lembaga.
Menurut Saldi, UU Nomor 22 Tahun 2007 membentuk dua institusi
yaitu KPU dan Bawaslu. Kedua institusi ini tidak boleh dikurangi independensinya satu sama lainnya.
"Apalagi, Bawaslu diberi kewenangan secara eksklusif oleh UU Nomor 22 (Tahun 2007) untuk mengawasi penyelenggara
pemilu," kata Saldi.
Terkait dengan independensi lembaga-lembaga negara, Saldi
menyebut tiga kategori, antara lain,independensi institusi, independensi person, dan
independensi sumber keuangan. "Khusus untuk independensi person atau orang
yang akan mengisi institusi, maka independensi ditentukan dari proses
seleksi," jelas Saldi.
Sidang Pleno dengan agenda mendengarkarkan keterangan KPU,
Pemerintah, saksi dan ahli dari Pemohon untuk perkara Nomor 11/PUU-VIII/2010
ini dilaksanakan oleh Moh. Mahfud MD sebagai ketua, tujuh anggota pleno,
Harjono, H.M. Akil Mochtar, Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim,
Ahmad Fadlil Sumadi dan Hamdan Zoelva. (Nur Rosihin Ana)