Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 130/PUU-VII/2009
Nomor 130/PUU-VII/2009
Pemohon:
Habel Rumbiak.
Pokok Perkara:
Pengujian Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Norma yang diuji:
Pasal 205 dan Pasal 211 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008.
Norma UUD 1945 sebagai penguji:
Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D
Ayat (1) dan Ayat (3) serta Pasal 28I Ayat
(2) UUD 1945
Amar Putusan:
Menyatakan menolak permohonan
Pemohon untuk seluruhnya.
Tanggal Putusan:
30 Desember 2009
Pemohon Habel Rumbiak adalah
perseorangan warga negara Indonesia, calon anggota legislatif (caleg) DPRD
Provinsi Papua, yang tercatat dalam daftar calon tetap (DCT) dengan nomor
urutan 1 (satu) dari Partai Demokrat Provinsi Papua untuk daerah pemilihan
(Dapil) 6 (enam) pada Pemilu Legislatif tanggal 9 April 2009.
Pemohon mendalilkan dan
menganggap hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat
(1) dan Ayat (3) serta Pasal 28I Ayat
(2) UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya Pasal 205 dan Pasal 211 UU Nomor 10
Tahun 2008.
Menurut Pemohon, cara
penetapan kursi DPRD Provinsi yang melalui 2 (dua) tahap sebagaimana dalam
ketentuan Pasal 211 UU a quo bersifat dualisme, diskriminatif dan tidak
adil, dibandingkan dengan cara pembagian kursi DPR yang dilakukan melalui 3
(tiga) tahap sebagaimana disebutkan dalam Pasal 205 UU a quo. Hal ini bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat
(1) UUD 1945 yang menyatakan, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya” dan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan
dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Mengenai suara terbanyak partai
sebagai dasar penetapan calon terpilih, menurut Pemohon, hal ini mengabaikan suara
terbanyak yang diraih Pemohon serta mengabaikan adagium vox Populi vox Dei ‘suara
rakyat suara Tuhan’, yang dijamin pula oleh Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945 yang
menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat”.
Kemudian mengenai alasan penetapan calon dilakukan dengan cara yang menimbulkan
deviasi paling kecil sebagaimana Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008, penetapan
calon bagi Pemohon tidak sejalan dengan Putusan MK a quo karena faktanya
Pemohon sebagai peraih suara terbanyak tidak ditetapkan sebagai calon terpilih,
sebaliknya calon dengan peraih suara minimal dapat ditetapkan sebagai calon
terpilih.
Berdasarkan dalil-dalil
Pemohon beserta alat bukti surat dan keterangan Pemohon, Mahkamah terlebih
dahulu mengemukakan, sebelum dilakukannya penghitungan perolehan kursi
partai-partai politik untuk DPR, terlebih dahulu dipastikan apakah partai yang bersangkutan
memenuhi Pasal 202 UU 10/2008, yaitu memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya
2,5% (dua koma lima per seratus) dari jumlah suara sah secara nasional. Hal ini
tidak dilakukan dalam penghitungan perolehan kursi bagi anggota DPRD Provinsi.
Mahkamah juga mengatakan, anggota DPR dipilih secara nasional artinya
mewakili rakyat yang lingkupnya nasional, tidak sama dengan Anggota DPRD
Provinsi yang mewakili rakyat daerah/provinsi yang bersangkutan.
Berdasarkan perbedaan tersebut di atas, maka berlaku asas
keadilan yaitu hal yang sama diperlakukan sama, dan hal yang berbeda diperlakukan
berbeda. Ketentuan hukum dalam Pasal 205 dan Pasal 211 UU 10/2008 untuk
penetapan perolehan kursi Partai Politik, menurut Mahkamah tidak mengandung
diskriminasi sebagaimana didalilkan Pemohon. Sebab ketentuan tersebut mengatur
hal yang berbeda yang harus diperlakukan berbeda, yakni ketentuan tentang
perolehan kursi bagi calon anggota DPR.
Pemohon tidak diperlakukan
diskriminatif karena Pasal 205 dan Pasal 211 a quo berlaku untuk semua
orang baik yang mencalonkan diri sebagai Anggota DPRD Provinsi maupun Anggota
DPR. Sebab pengertian diskriminasi menurut Pasal 1 ayat (3) UU 39/1999 maupun
Pasal 2 International Convenant on Civil and Political Rights, yaitu
sepanjang pembedaan yang dilakukan tidak didasarkan atas agama, suku, ras,
etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa,
keyakinan politik.
Oleh karena itu, cara penetapan
calon terpilih menjadi anggota DPRD Provinsi maupun DPR demikian tidak dapat
dipandang bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD
1945, karena hal demikian merupakan kebijakan (legal policy) yang tidak
dapat diuji (judicial review) kecuali dilakukan secara sewenang-wenang (willekeur)
dan melampau kewenangan pembuat Undang-Undang (detournement de pouvoir).
Dengan demikian dalil Pemohon tidak beralasan hukum.
Sesuai dengan Pasal 1 angka 23
UU 10/2008 yang menyatakan peserta Pemilu Anggota DPRD Provinsi adalah Partai
Politik, dan bukannya perseorangan sebagaimana Pemilihan Anggota DPD atau Presiden
dan Wakil Presiden. Di samping itu perolehan kursi setelah melalui penghitungan
bilangan pembagi pemilih (BPP) adalah dengan mengumpulkan seluruh sisa suara
dari partai masing-masing, untuk menentukan partai mana yang suaranya paling
banyak sehingga dapat ditentukan kemudian siapa yang berhak terhadap sisa kursi
setelah penghitungan tahap pertama. Anggota yang terpilih adalah anggota yang
mewakili rakyat di provinsi yang bersangkutan, bukan hanya mewakili rakyat di dapil
tertentu dalam provinsi tersebut.
Hal ini memungkinkan seseorang
memperoleh suara lebih besar di dapil tertentu dibandingkan dengan calon daerah
lain di daerah yang sama, tetapi secara keseluruhan (setelah dihitung jumlah
sisa suara partai-partai dari seluruh daerah dalam satu provinsi) perolehan
suara partainya lebih kecil dibandingkan dengan calon lain dari partai lain, ia
terpaksa tidak terpilih. Dengan demikian, perolehan kursi yang diukur dari
jumlah suara terbanyak partai secara berurutan dari seluruh dapil menentukan
perolehan kursi seseorang calon legislatif DPR.
Mengenai Dalil Pemohon bahwa
hal demikian bertentangan dengan adagium vox Populi vox Dei, menurut
Mahkamah, dalil tersebut tidak relevan karena suara rakyat dari seluruh dapil
lebih tercermin dalam perwakilan legislatif daripada suara rakyat hanya dari
satu dapil. Pengaitan dalil Pemohon dengan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, juga tidak
relevan, karena Pemohon tidak dikurangi haknya untuk berkumpul, berserikat dan
menyatakan pendapat.
Kemudian dalil Pemohon mengenai
penetapan calon sebagaimana Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008, juga tidak
relevan, karena Pemohon melihatnya hanya dari daerah pemilihan Pemohon saja,
bukan dari keseluruhan daerah pemilihan dari provinsi yang bersangkutan.
Mahkamah tidak berwenang untuk
menyatakan bahwa antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 211 UU 10/2008 ditambahkan
satu sub ayat yang mengatur tentang penetapan kursi DPRD Provinsi tahap kedua,
yakni cara 50% suara BPP dan selanjutnya sisa suara sebagai cara penetapan
tahap ketiga (petitum nomor 6), sebagaimana permohonan Pemohon.
Mahkamah menganggap
Pemohon tidak konsisten dan berlebihan
karena dalam petitumnya Pemohon mohon agar Pasal 205 dan
Pasal 211 UU 10/2008 dianggap bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (3) dan 28I
Ayat (2) UUD 1945. Tetapi dalam positanya Pemohon sama sekali tidak menyinggung
dan memberikan alasannya, oleh karenanya Mahkamah menilai tidak beralasan
hukum.
Akhirnya, dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan menolak permohonan
Pemohon untuk seluruhnya. (Nur Rosihin Ana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar