Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan. Kemerdekaan institusional lembaga peradilan tercermin dalam kebebasan
para hakim sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman harus bebas
dari segala campur tangan pihak kekuasaan.
Alkisah suatu saat Khalifah Umar
ibn Khattab dalam perjalanan ke Madinah. Di suatu dusun di Madinah, Umar
melihat seekor kuda yang dijajakan oleh warga. Umar tertarik lalu membeli kuda
itu. Setelah transaksi jual-beli selesai, Umar menaiki kuda tersebut. Namun,
sekira perjalanan beberapa ratus meter, langkah kuda melambat. Ternyata kaki
kuda cedera, sehingga jalannya pincang.
Umar segera berbalik arah menuju
kampung tempat di mana dia membeli kuda. Setelah bertemu dengan si penjual
kuda, Umar komplain mengenai kondisi kuda yang baru dibelinya. Umar bermaksud
mengembalikannya. Namun penjual kuda bersikukuh kuda yang dijualnya dalam
kondisi sehat, tidak cacat.
Jual-beli kuda berujung sengketa
antara khalifah dengan rakyatnya. Keduanya sepakat menyelesaikan sengketa ke
hadapan qadhi (hakim). Tersebutlah seorang qadhi bernama Syuraih bin Al-Haritz
Al-Kindi yang menangani perkara ini.
Setelah mendengar keterangan dari
kedua belah pihak yang bersengketa, tibalah giliran Qadhi Syuraih menjatuhkan
vonis. Qadi Syuraih memutuskan, Khalifah Umar dapat mengambil kuda yang telah
dibelinya, atau mengembalikan kuda kepada si penjual seperti kondisi semula.
Vonis yang menempatkan khalifah
dalam posisi yang kalah. Khalifah kalah melawan rakyatnya di peradilan. Kendati
demikian, Khalifah Umar berlapang dada menerima putusan itu. Bahkan pasca
putusan tersebut, Syuraih langsung mendapat promosi. Khalifah Umar mengangkat
Syuraih menjadi qadhi di Kufah.
Masih banyak kisah Qadhi Syuraih
dalam penyelesaian perkara. Kisah terebut merupakan gambaran penyelesaian
perkara yang bersih, jujur, adil, dan berwibawa. Syuraih memutus perkara tanpa
pandang bulu. Sepanjang kiprahnya di pengadilan selama kurang lebih 60 tahun,
putusan-putusan Syuraih mendapat pujian. Tak heran segenap kalangan baik muslim
maupun non muslim mematuhi putusan Syuraih.
Hakim sebagai pelaku kekuasaan
kehakiman merupakan ujung tombak penegakkan hukum. Kekuasaan kehakiman menjadi
institusi yang merdeka, berwibawa, manakala memiliki hakimhakim yang bersih,
jujur dan adil.
Hakim merupakan bagian integral
dari sistem kekuasaan kehakiman. Keberadaan institusi peradilan yang merdeka
dan berwibawa sangat ditentukan oleh hakimhakim yang berkualitas,
berintegritas, serta bernurani keadilan. Maka perlu dilakukan proses seleksi
pengangkatan hakim.
Proses seleksi pengangkatan hakim
menjadi faktor penting yang sangat menentukan penyelenggaraan peradilan untuk
menegakkan hukum dan keadilan. Lalu, lembaga mana yang berwenang melakukan
seleksi hakim?
Ketentuan mengenai proses seleksi
pengangkatan hakim dalam UndangUndang (UU) Peradilan Umum, UU Peradilan Agama
dan UU Peradilan Tata Usaha Negara, dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung (MA)
dan Komisi Yudisial (KY). Padahal Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan
kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka. Terlebih lagi jika
dihubungkan dengan sistem peradilan “satu atap”, maka seleksi dan pengangkatan
calon hakim pengadilan tingkat pertama menjadi kewenangan MA. Sistem satu atap
lebih menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan kebebasan hakim.
Keikutsertaan pemerintah ataupun institusi lain dalam proses seleksi,
berpotensi mempengaruhi kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan kebebasan hakim.
Selain itu, Pasal 24B UUD 1945
jelas menyebutkan kewenanngan KY hanyalah dalam proses seleksi hakim agung
saja. Dengan demikian, KY tidak berwenang untuk terlibat dalam proses seleksi
hakim tingkat pertama. Keberadaan KY adalah sebagai supporting element atau
state auxiliary organ. KY merupakan pendukung pelaku kekuasaan kehakiman.
Dengan demikian KY sendiri sejatinya bukanlah merupakan pelaksana kekuasaan
kehakiman.
Kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan
independensi peradilan memberikan kemerdekaan dan independensi kepada hakim.
Tanpa adanya kemerdekaan dan independensi hakim, kemerdekaan kekuasaan
kehakiman dan independensi peradilan tidak akan dapat ditegakkan.
Nur Rosihin Ana
Dalam Rubrik Editorial Majalah “Konstitusi”
edisi November 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar