Sistem zona dalam UU Peternakan
telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi. Namun
dihidupkan kembali dalam perubahan UU Peternakan. Sistem zona mengusung
semangat importasi ternak kian marak. Kesehatan ternak pun ikut terancam.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang dibacakan
pada 27 Agustus 2010 silam, menyatakan mengabulkan sebagian permohonan
pengujian materi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan. Permohonan ini diajukan oleh Perkumpulan Institute For Global
Justice (IGJ), Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI), Gabungan Koperasi
Susu Indonesia (GKSI), dkk. Sidang pleno yang diketuai Moh. Mahfud MD kala itu,
dalam amar Putusan Nomor 137/PUU-VII/2009 Mahkamah menyatakan frasa, ”Unit
usaha produk hewan pada suatu negara atau zona”, dalam Pasal 59 ayat (2);
frasa, ”Atau kaidah internasional” dalam Pasal 59 ayat (4); kata ”dapat” dalam
Pasal 68 ayat (4) UndangUndang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
Selang empat tahun kemudian,
tepatnya pada 17 Oktober 2014, diberlakukan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan (UU Peternakan). Putusan MK di atas menjadi salah satu dasar
perubahan UU Peternakan. Namun, perubahan UU Peternakan ini dituding tidak
menaati putusan MK.
Hal tersebut melatarbelakangi
permohonan uji materi UndangUndang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
UndangUndang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (UU
Peternakan) ke MK. Permohonan diajukan oleh Teguh Boediyana, Mangku Sitepu,
Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), Gun Gun Muhamad Lutfi Nugraha, H.
Asnawi, dan H. Rachmat Pambudy. Permohonan ini diregistrasi oleh Kepaniteraan Mahkamah
dengan Nomor 129/PUU-XIII/2015.
Para Pemohon berasal dari berbagai
latar belakang profesi berbeda. Misalnya Teguh Boediyana adalah peternak sapi.
Teguh, GKSI dan Asnawi juga tercatat sebagai salah seorang Pemohon pengujian UU
No. 18 Tahun 2009 sebagaimana Putusan MK Nomor 137/PUU-VII/2009 di atas. Mangku
Sitepu berprofesi sebagai dokter hewan dan dokter manusia. Mangku menjadi
korban dari penyakit hewan yang menular ketika menjalankan profesinya sebagai
dokter hewan. Gun Gun Muhamad Lutfi Nugraha adalah Petani dan konsumen daging
dan susu segar. Sedangkan Rachmat Pambudy adalah seorang dosen sekaligus
konsumen daging dan susu segar.
Para Pemohon yang menamakan diri
sebagai kelompok “Save Indonesia” ini merasa dirugikan akibat berlakunya sistem
zona dalam UU Peternakan. Adapun materi UU Peternakan yang diujikan yakni,
frasa “atau zona dalam suatu negara” dalam Pasal 36C ayat (1), kata “zona”
dalam Pasal 36C ayat (3), kata “zona” dalam Pasal 36D ayat (1), dan frasa “
atau zona dalam suatu negara” dalam Pasal 36E ayat (1). Menurut para Pemohon,
kata dan frasa dalam pasal-pasal UU Peternakan tersebut bertentangan dengan UUD
1945, khususnya Pembukaan UUD 1945, Pasal 1 ayat (3), Pasal 28A, Pasal 28C ayat
(1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1)
dan ayat (2), serta Pasal 33 ayat (4).
Pasal 36C ayat (1) UU Peternakan
Pemasukan ternak ruminansia indukan
ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat berasal dari suatu
negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata
cara pemasukannya.
Pasal 36C ayat (3) UU Peternakan
Pemasukan ternak ruminansia indukan
yang berasal dari zona sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selain harus
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga harus terlebih
dahulu:
a.
Dinyatakan bebas penyakit
hewan menular di negara asal oleh otoritas veteriner negara asal sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan badan kesehatan hewan dunia dan diakui oleh otoritas
veteriner Indonesia.
b.
Dilakukan penguatan sistem
dan pelaksanaan surveilan di dalam negeri; dan
c.
Ditetapkan tempat pemasukan
tertentu. Pasal 36D ayat (1) UU Peternakan Pemasukan ternak ruminansia indukan
yang berasal dari zona sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36C harus ditempatkan
di pulau karantina sebagai instalasi karantina hewan pengamanan maksimal untuk
jangka waktu tertentu.
Pasal 36E ayat (1) UU Peternakan
Dalam hal tertentu, dengan tetap
memperhatikan kepentingan nasional, dapat dilakukan pemasukan ternak dan/atau
produk hewan dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi
persyaratan dan tata cara pemasukan ternah dan/ atau produk hewan.
Pembangkangan Putusan MK
Pemohon sangat menyayangkan
pembentuk UU No. 41/2014 karena mengabaikan Putusan Mahkamah Konstitusi yang
bersifat final dan mengikat. Rumusan norma tentang penerapan “sistem zona”
melalui frasa “atau zona dalam suatu negara” yang telah dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945 oleh MK, justru dihidupkan kembali dalam UU UU No. 41 Tahun 2014.
Hal tersebut menunjukkan pembuat UU
melakukan pembangkangan terhadap konstitusi. Padahal seharusnya pembentuk UU
(DPR dan Presiden) memegang teguh asas self respect atau self obidence. Menurut
para Pemohon, pembentukan UU No. 41 Tahun 2014 adalah pembentukan UU yang
sangat buruk yang mengabaikan keamanan, keselamatan, bahkan melecehkan putusan
Mahkamah Konstitusi sebagai jiwa dari Konstitusi itu sendiri.
Makna Zona
Menurut para Pemohon, frasa ”atau
Zona dalam suatau negara” menimbulkan pengertian “Negara dapat memasukkan hewan
dan produk hewan segar dari zona suatu negara yang pada zona tersebut di anggap
memenuhi syarat.” Pemberlakuan sistem zona (zona based) akan berpotensi
menimbulkan kerugian bagi pemohoan juga masyarakat Indonesia karena ”tidak ada
kepastian apakah hewan dan produk hewan segar yang kemudian masuk ke Indonesia
adalah hewan dan produk hewan dari zona yang tadinya sudah dinyatakan aman.”
Suatu zona bebas pada suatu negara
berlaku internal di setiap negara masing-masing dan untuk kepentingan negara
bersangkutan. Pernyataan adanya zona yang bebas penyakit tertentu tidak berlaku
selama-lamanya dan menuntut adanya prosedurprosedur ilmiah dan teknis kesehatan
hewan yang berterusan dan tak dapat diintervensi oleh negara lain namun dapat
dinilai dan dinyatakan bebas setelah dievaluasi sesuai dengan kode dari Organisasi
Kesehatan Hewan Dunia (World Organization for Animal health/OIE).
Status bebas penyakit ini pun dapat
saja hanya berlaku bagi jumlah populasi ternak yang kecil di zona tersebut yang
bila diekspor ke negara yang populasinya besar, dapat habis dalam waktu singkat
sebelum berhasil meningkatkan populasi di zona tersebut. Dalam keadaan
demikian, bukan mustahil bagi negara tersebut untuk memenuhi kuota ekspornya
dengan mengambil dari zona lain yang tidak bebas dan hal ini tak dapat
dikontrol oleh negara pengimpor.
Dengan memberlakukan sistem zona
mengindikasikan penyebaran penyakit menjadi lebih sempit hanya wilayah tertentu
dari suatu negara. Padahal faktanya tidak seperti itu, lihatlah penyebaran
penyakit yang sekarang hampir mewabah di seluruh dunia. Flu babi, flu burung,
dll. Hal ini menunjukkan penyakit hewan menular sangat variatif dan cara
penularannya bervariasi berkaitan erat dengan mobilitas manusia, hewan, dan
media pembawa lainnya.
Salah satu penyakit yang
dikhawatirkan penyebarannya di dunia adalah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dan
Penyakit Sapi Gila (Bovine Spongioform Encephalopathy/ BSE). Indonesia
berstatus bebas dari penyakit ini. Untuk PMK yang terkategori salah satu
penyakit yang ditakuti di dunia umumnya dihadapi dengan importasi hanya dalam
bentuk makanan olahan yang lebih mudah penjaminannya (bukan produk segar maupun
hewan hidup). Sedangkan pemerintah Indonesia saat ini akan memberlakukan sistim
zona untuk memasukkan produk hewan yang segar dan juga produk hewan atau daging
olahan sekaligus. Negaranegara lain di dunia yang berstatus bebas PMK yang
sekalipun memiliki sistem perlindungan keamanan produk hewan dan kesehatan
hewan yang canggih, masih memberlakukan persyaratan maximum security dalam
memasukkan hewan atau produk hewan segar dari negara lain dengan membolehkan
hanya dari status negara bebas (country base) dan bukan status zona
bebas (zone base).
Pemberlakuan sistim zona oleh suatu
negara dapat diartikan tidak adanya perlindungan yang pasti atas kesehatan dan
keselamatan masyarakat serta jaminan kelangsungan ekonomi para peternak.
Kemudian, tidak adanya pengamanan maksimum masuknya hewan dan produk hewan dari
negara lain. Sistem zona menjadikan suatu negara tunduk kepada ketentuan yang
berlaku pada negara lain tentang status zona aman dan tidak aman, yang
berpotensi merugikan negara itu sendiri.
Semangat Importasi
Pemberlakuan sistem zona
semata-mata didorong oleh semangat untuk melakukan impor hewan dan produk hewan
ke Indonesia dengan mudah, tanpa memperhatikan kesehatan dan keselamatan
masyarakat Indonesia dari wabah penyakit menular, serta kemampuan dan kondisi
ekonomi peternak dalam negeri. Masuknya PMK ke Indonesia dapat berakibat
kerugian pada peternak dan juga jutaan peternak kecil.
Rumusan Pasal 36E UU No. 41 Tahun
2014 ditegaskan dalam penjelasannya, dirumuskan “dalam hal tertentu” termasuk
ketika “Masyarakat/ rakyat membutuhkan”. Hal ini jelas merupakan penyelundupan
hukum agar pemerintah maupun pihak swasta bisa kapan saja melakukan impor atas
hewan maupun produk hewan dari zona manapun, tanpa memperhatikan keamanan dan
keselamatan manusia, hewan dan lingkungan di Indonesia. Padahal, alsaan impor
adalah karena rakyat membutuhkan dan tidak terpenuhinya bahan di dalam negeri.
Berdasarkan dalil-dalil tersebut di
atas, para Pemohon meminta Mahkamah agar menyatakan frasa “atau zona dalam
suatu negara” dalam Pasal 26C ayat (1); kata “zona” dalam Pasal 36C ayat (3);
kata “zona”, dalam Pasal 36D ayat (1); dan frase“ atau zona dalam suatu negara”
dalam Pasal 36E ayat (1) UU Nomor 41 Tahun 2014 bertentangan dengan UUD 1945
dan tidak tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Nur Rosihin Ana
dalam Rubrik "Catatan Perkara" Majalah "Konstiitusi" edisi November 2015.
Update Selasa 7 Februari 2017
Update Selasa 7 Februari 2017
Akhirnya
Mahkamah pada Selasa, 7 Feberuari mengeluarkan Putusan uji materi UU Peternakan
dan Kesehatan Hewan. Putusan ini cukup menyedot perhatian publik karena adanya
kasus operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) terhadap hakim konstitusi Patrialis Akbar (PA). PA diduga
menerima sejumlah uang dari pengusaha berinisial BH berkaitan dengan uji materi
UU ini. PA ditangkap KPK di Mal Grand Indonesia, Jakarta, Rabu, 25 Januari
2017.
Putusan Nomor 129/PUU-XIII/2015 ihwal uji materi UU
Peternakan dan Kesehatan Hewan dapat diunduh di sini: download
Tidak ada komentar:
Posting Komentar