Keberadaan
limbah seringkali menimbukan masalah bagi lingkungan. Terlebih lagi limbah
bahan berbahaya dan beracun (B3). Limbah B3 adalah sisa suatu usaha atau
kegiatan yang mengandung B3. Limbah B3 baik secara langsung maupun tidak
langsung, berpotensi mencemarkan, dapat membahayakan lingkungan hidup,
kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya.
Karakteristik limbah B3
yaitu mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, menyebabkan
infeksi, bersifat korosif, dan lain-lain. Oleh karena itu, diperlukan
penanganan dan pengolahan khusus terhadap limbah jenis ini.
Lantas, siapa yang
bertanggung jawab mengelolanya? Tentu perusahaan produsen limbah yang wajib
mengelolanya. Pengelolaan limbah B3 pun harus mendapatkan izin. Ketentuan Pasal
59 ayat 4 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) menyebutkan pengelolaan limbah B3 harus
seizin Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Pengelolaan limbah B3
tanpa izin, merupakan tindak pidana, dalam hal ini tindak pidana lingkungan
hidup. Lalu bagaimana halnya jika izin dalam proses perpanjangan, apakah
pengelolaan limbah harus dihentikan sementara? Jika pengelolaan limbah tetap
berlangsung di tengah proses perpanjangan izin, apakah hal ini merupakan tindak
pidana?
Kasus yang menimpa
Bachtiar Abdul Fatah, General Manager Sumatera Light South PT Chevron Pacific
Indonesia (PT. CPI) menjadi kaca benggala dalam pengelolaan limbah B3. Bachtiar
didakwa atas tuduhan melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Alasannya antara
lain, proyek bioremediasi yang dikerjakan atas tanah yang terkontaminasi minyak
bumi (limbah B3), yang dihasilkan oleh PT. CPI, dilakukan tanpa adanya izin.
Benarkah proyek
bioremediasi PT CPI tak berizin? Sesungguhnya PT CPI telah mengantongi izin
proyek bioremediasi. Soil Bioremediasi Facility (SBF) Lokasi 8D-58, memiliki
izin dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Nomor 69 Tahun 2006 dengan masa
berlaku sampai Maret 2008.
Saat proses perpanjangan
izin di KLH pada 2008 itulah pangkal masalahnya. Bachtiar didakwa tetap
menjalankan proyek bioremediasi tanpa izin. Padahal Pengawas Lingkungan Hidup
KLH dalam salah satu Berita Acara-nya menyatakan proses operasi bioremediasi
bisa dilakukan pada saat perpanjangan izin pengoperasian SBF sedang diproses di
KLH.
KLH sebagai regulator tidak
mempermasalahkan PT. CPI yang tetap melanjutkan proyek bioremediasi di tengah
proses mengurus perpanjangan izin. Namun rupanya pihak Penyidik dan Penuntut
Umum mengabaikan sikap KLH. Hal ini berujung pemidanaan kepada Bachtiar.
Sewajarnya perusahaan
penghasil limbah B3 berkewajiban mengelola limbah yang dihasilkannya.
Sewajarnya pula pengelolaan limbah B3 harus berizin. Permasalahannya adalah,
apakah saat proses pengurusan
perpanjangan izin pengelolaan limbah B3, secara hukum dianggap telah memperoleh
izin, sehingga secara hukum pula dapat melakukan pengelolaan limbah B3.
Subjek hukum yang dalam proses mengajukan permohonan
perpanjangan izin, secara formal memang belum mendapat izin, meskipun
sebelumnya sudah mendapatkan izin. Namun secara materiil dianggap telah
memperoleh izin. Terlabih lagi tidak terdapat pelanggaran terhadap
syarat-syarat pengelolaan limbah B3 yang ditentukan dalam pemberian izin.
Apabila pengelolaan limbah
B3 harus dihentikan karena proses perpanjangan izin belum keluar, maka akan
berdampak kerugian cukup serius baik bagi perusahaan maupun masyarakat dan
negara. Terlebih lagi apabila izin tak kunjung terbit justru karena lambatnya
birokrasi pemerintahan. Oleh karena itu, tepat kiranya pengelolaan limbah B3
yang sedang dalam proses permohonan perpanjangan izin, harus dianggap telah
memperoleh izin.
Editorial Majalah Konstitusi No. 96 - Februari 2015, hal. 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar