Jumat, 20 Februari 2015

Pengelolaan Limbah

Keberadaan limbah seringkali menimbukan masalah bagi lingkungan. Terlebih lagi limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Limbah B3 adalah sisa suatu usaha atau kegiatan yang mengandung B3. Limbah B3 baik secara langsung maupun tidak langsung, berpotensi mencemarkan, dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya.
Karakteristik limbah B3 yaitu mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, menyebabkan infeksi, bersifat korosif, dan lain-lain. Oleh karena itu, diperlukan penanganan dan pengolahan khusus terhadap limbah jenis ini.
Lantas, siapa yang bertanggung jawab mengelolanya? Tentu perusahaan produsen limbah yang wajib mengelolanya. Pengelolaan limbah B3 pun harus mendapatkan izin. Ketentuan Pasal 59 ayat 4 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) menyebutkan pengelolaan limbah B3 harus seizin Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Pengelolaan limbah B3 tanpa izin, merupakan tindak pidana, dalam hal ini tindak pidana lingkungan hidup. Lalu bagaimana halnya jika izin dalam proses perpanjangan, apakah pengelolaan limbah harus dihentikan sementara? Jika pengelolaan limbah tetap berlangsung di tengah proses perpanjangan izin, apakah hal ini merupakan tindak pidana?
Kasus yang menimpa Bachtiar Abdul Fatah, General Manager Sumatera Light South PT Chevron Pacific Indonesia (PT. CPI) menjadi kaca benggala dalam pengelolaan limbah B3. Bachtiar didakwa atas tuduhan melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Alasannya antara lain, proyek bioremediasi yang dikerjakan atas tanah yang terkontaminasi minyak bumi (limbah B3), yang dihasilkan oleh PT. CPI, dilakukan tanpa adanya izin.
Benarkah proyek bioremediasi PT CPI tak berizin? Sesungguhnya PT CPI telah mengantongi izin proyek bioremediasi. Soil Bioremediasi Facility (SBF) Lokasi 8D-58, memiliki izin dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Nomor 69 Tahun 2006 dengan masa berlaku sampai Maret 2008.
Saat proses perpanjangan izin di KLH pada 2008 itulah pangkal masalahnya. Bachtiar didakwa tetap menjalankan proyek bioremediasi tanpa izin. Padahal Pengawas Lingkungan Hidup KLH dalam salah satu Berita Acara-nya menyatakan proses operasi bioremediasi bisa dilakukan pada saat perpanjangan izin pengoperasian SBF sedang diproses di KLH.
KLH sebagai regulator tidak mempermasalahkan PT. CPI yang tetap melanjutkan proyek bioremediasi di tengah proses mengurus perpanjangan izin. Namun rupanya pihak Penyidik dan Penuntut Umum mengabaikan sikap KLH. Hal ini berujung pemidanaan kepada Bachtiar.
Sewajarnya perusahaan penghasil limbah B3 berkewajiban mengelola limbah yang dihasilkannya. Sewajarnya pula pengelolaan limbah B3 harus berizin. Permasalahannya adalah, apakah saat proses pengurusan perpanjangan izin pengelolaan limbah B3, secara hukum dianggap telah memperoleh izin, sehingga secara hukum pula dapat melakukan pengelolaan limbah B3.
Subjek hukum yang dalam proses mengajukan permohonan perpanjangan izin, secara formal memang belum mendapat izin, meskipun sebelumnya sudah mendapatkan izin. Namun secara materiil dianggap telah memperoleh izin. Terlabih lagi tidak terdapat pelanggaran terhadap syarat-syarat pengelolaan limbah B3 yang ditentukan dalam pemberian izin.
Apabila pengelolaan limbah B3 harus dihentikan karena proses perpanjangan izin belum keluar, maka akan berdampak kerugian cukup serius baik bagi perusahaan maupun masyarakat dan negara. Terlebih lagi apabila izin tak kunjung terbit justru karena lambatnya birokrasi pemerintahan. Oleh karena itu, tepat kiranya pengelolaan limbah B3 yang sedang dalam proses permohonan perpanjangan izin, harus dianggap telah memperoleh izin.


Editorial Majalah Konstitusi No. 96 - Februari 2015, hal. 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More