Jerat tindak pidana pencemaran nama
baik mengancam pengguna dunia maya. Alih-alih menjamin rasa aman dan kepastian
hukum, UU ITE dituding menimbulkan rasa takut dan memberangus kreativitas.
Adakah yang salah dalam perumusan norma UU ITE?
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat canggih telah memungkinkan setiap
orang untuk dapat berinteraksi, berkomunikasi, bertukar informasi dan bahkan
bertransaksi di dunia maya (cyberspace) secara bebas. Keadaan
itu turut pula membuat negara berkewajiban memberikan perlindungan dan
pemenuhan hak asasi setiap orang yang beraktivitas di dalamnya. Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang
diberlakukan sejak 21 April 2008 lalu, diharapkan dapat memberikan jaminan
keamanan dan kepastian hukum bagi setiap orang dalam pemanfaatan teknologi
informasi, media, dan komunikasi agar dapat berkembang secara optimal.Namun,
dukungan pengaturan dan infrastruktur hukum itu dapat berakibat negatif dan
menghambat pelaksanaan hak-hak asasi manusia lainnya jika terdapat rumusan
norma yang tidak jelas, materi muatan yang multi tafsir dan menyebabkan
ketidakpastian hukum serta ancaman hukuman yang tidak berkeadilan. Hal ini
tercermin dalam Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) UU ITE.
Alih-alih
memberikan rasa aman dan kepastian hukum yang adil, Pasal 27 ayat (3) dan Pasal
45 ayat (1) UU ITE malah menimbulkan rasa takut dan memberangus kreativitas
setiap orang untuk dapat berkembang dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi. Selain itu, norma hukum yang ambigu itu tentu dengan
mudah dapat disalahartikan dan rentan disalahgunakan oleh pihak-pihak yang
mempunyai kekuasaan. Hal inilah yang mendorong Mohammad Ibrahim untuk
mengujikan ketentuan tersebut ke MK. Melalui surat permohonan bertanggal 24
Nopember 2014, calon advokat warga Jl. Kauman Nomor 50 Lawang, Malang, Jawa
Timur ini melngajukan judicial review Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45
ayat (1) UU ITE.
Mohammad Ibrahim
(Pemohon) adalah calon advokat yang sedang magang pada Kantor Advokat Mansyur
Sandhita SH dan Rekan yang beralamat di Jalan Lahor No. 9A Malang. Ibrahim juga
aktif dalam beberapa jejaring sosial, antara lain Facebook dan Twitter.
Aktifitas di medsos memungkinkan Ibrahim banyak mendapatkan informasi
elektronik berupa teks, dokumen, gambar maupun link url yang di dalamnya
memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama seseorang. Seringkali
informasi itu ditransmisikan di jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter.
Rasa takut dan
khawatir bergayut ketika ia sekedar menyebarluaskan informasi secara online di
dunia maya. Padahal apa yang dilakukannya adalah untuk meningkatkan kualitas
diri dengan cara menyatakan gagasan dan pemikiran melalui berbagai saluran yang
tersedia seperti Facebook dan Twitter.
Pasal 27 ayat (3)
UU ITE menyatakan, “Setiap Orang dengan
sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Pasal
45 ayat (1) UU ITE menyatakan, “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Ketentuan
Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) UU ITE merugikan hak konstitusional
Ibrahim untuk beraktivitas di dunia maya, hak mengembangkan diri, hak untuk
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi dan hak untuk
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Selain itu, Ibrahim juga menganggap rumusan Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat
(1) UU ITE tidak jelas, multitafsir dan ambigu, rentan disalahgunakan dan tidak
berkeadilan.
Norma
Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) UU ITE ini telah menimbulkan banyak
korban. Misalnya kasus Ronny Maryanto. Ronny adalah aktivis penggiat
antikorupsi, ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Unit Cyber Crime Badan
Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri. Ia dijerat dengan Pasal 310 dan 311
KUHP tentang Pencemaran Nama Baik dan Fitnah jo Pasal 27 Ayat (3) UU ITE
dan Pasal 45 ayat (1) UU ITE. Kemudian, Kasus Ervani Emy Handyani yang menumpahkan
unek-unek di facebook sehingga berujung penetapan Ervany sebagai tersangka
tindak pidana pencemaran nama baik dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE.
Peristiwa
yang cukup mengundang perhatian publik muncul ketika terjadi kasusPrita
Mulyasari. Prita adalah seorang pasien merasa tidak puas dengan pelayanan
kesehatan di RS Omni Internasional Tangerang pada tahun 2008. Prita kemudian
mengirimkan email sebagai ungkapan kekecewaan ke sejumlah orang. Akibatnya
cukup fatal, Prita ditetapkan sebagai tersangka didakwa atas Pasal 27 ayat (3)
UU ITE jo Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP.
Norma
Pasal 45 ayat (1) UU ITE menunjukkan bahwa lamanya pidana penjara dan banyaknya
denda yang diancamkan kepada pelanggar Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3)
dan ayat (4) adalah sama. Padahal keempat ayat yang terdapat dalam Pasal 27 UU
ITE itu mengatur tentang delik yang berbeda sama sekali.
Pasal
27 ayat (1) mengatur adanya unsur memiliki muatan yang melanggar kesusilaan;
Pasal 27 ayat (2) menentukan adanya unsur memiliki muatan perjudian; Pasal 27
ayat (3) merumuskan adanya unsur memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran
nama baik; dan Pasal 27 ayat (4) menyatakan adanya unsur memiliki muatan
pemerasan dan/atau pengancaman.
Inkonstitusional
Bersyarat
Guna
memberikan perlindungan atas hak-hak konstitusional Pemohon dan untuk
menyelaraskan dengan hukum yang akan berlaku di masa mendatang (Ius
Constituendum), maka sudah sepatutnya Pasal 45 ayat (1) UU ITE dinyatakan
inkonstitusional secara bersyarat (conditionally unconstitutional).
Artinya inkonstitusional, kecuali dimaknai dan Setiap Orang yang memenuhi unsur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 120.000.000,00
(seratus dua puluh juta rupiah).
Oleh
karena itu, dalam petitum, Ibrahim meminta MK Menyatakan Pasal 27 ayat
(3) UU ITE bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat
secara bersyarat (conditionally unconstitutional), artinya
inkonstitusional, kecuali dimaknai dengan maksud menyerang kehormatan dan nama
baik seseorang serta bukan untuk kepentingan umum. Kemudian menyatakan Pasal 27
ayat (3) UU ITE selengkapnya harus dibaca, “Setiap Orang dengan sengaja, dan
tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dengan maksud menyerang
kehormatan dan nama baik seseorang serta bukan untuk kepentingan umum.”
Ibrahim
juga meminta MK menyatakan Pasal 45 ayat (1) UU ITE bertentangan dengan UUD
1945 dan tidak berkekuatan hukum tetap secara bersyarat (conditionally
unconstitutional), artinya inkonstitusional, kecuali dimaknai, dan Setiap
Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah). Selanjutnya meminta MK
menyatakan Pasal 45 ayat (1) UU ITE selengkapnya harus dibaca, Setiap Orang
yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2),
atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah).
Nur Rosihin Ana
Rubrik Catatan Perkara, Majalah Konstitusi No. 95 januari 2015, hal 44-45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar