Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) berfungsi melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap
seluruh kegiatan di sektor jasa keuangan. Padahal fungsi ini merupakan tugas
konstitusional Bank Indonesia. Status independensi OJK menjadikannya tidak
terkontrol. Kewenangan OJK sangat powerfull, sehingga berpotensi terjadi
penyelewengan kewenangan.
Kontroversi mengenai eksistensi
OJK mengemuka. Kali ini melalui permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) ke Mahkamah Konstitusi.
Permohonan ini diajukan oleh Salamuddin (Peneliti Institute for Global Justice,
IGJ), Ahmad Suryono, dan Ahmad Irwandi Lubis. Adapun materi UU OJK yang diuji
di MK, yaitu Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 37, Pasal 55,
Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 UU OJK. Sebagai pembayar pajak, para Pemohon
merasa memiliki hak konstitusinal untuk mendapatkan pengelolaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) secara terbuka dan transparan dari
Pemerintah.
Isu
utama yang menjadi objek pengujian UU OJK antara lain kata “independensi”
(Pasal 1 angka 1); tugas, fungsi dan wewenang pengaturan dan pengawasan OJK
(Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7); serta pungutan yang dilakukan OJK (Pasal 37 UU
OJK). Menurut para Pemohon, ketentuan dalam pasal-pasal tersebut bertentangan
dengan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
Apakah
kewenangan OJK dalam mengatur dan mengawasi di sektor perbankan, bertentangan
dengan UUD 1945? Bagaimana pula kedudukan OJK dalam sistem ketatanegaraan
menurut UUD 1945? Kemudian, di mana peran negara dalam mengontrol independensi
OJK dalam melaksanakan tugas dan kewenangan yang begitu besar? Pertanyaan
tersebut terkuak dalam pokok dan dalil permohonan uji materi UU OJK yang diregistrasi
Kepaniteraan MK dengan Nomor 25/PUU-XII/2014.
Fungsi dan Kewenangan OJK
Pembentukan
OJK merupakan mandat yuridis Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 juncto Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Bank
Indonesia (UU Bank Indonesia). Pasal 34 ayat (1) UU Bank Indonesia menyatakan,
“Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa
keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-undang.”
OJK
berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi
terhadap seluruh kegiatan di sektor jasa keuangan. Hal ini sebagaimana
termaktub dalam ketentuan Pasal 5 UU OJK. Fungsi pengaturan dan pengawasan
perbankan termasuk dalam sektor jasa keuangan yang pengaturan dan pengawasan
tersebut sebelumnya menjadi domain kewenangan BI.
Dalam
hal pengaturan, OJK dapat melansir berbagai kebijakan dan ketentuan baru dalam
sektor keuangan. Sementara dalam hal pengawasan, OJK memiliki wewenang yang
luas termasuk di antaranya pemeriksaan, penyidikan, perizinan dan penegakan
hukum. Dari segi isi dan cakupan, UU OJK bukan saja untuk mengawasi industri
perbankan, tetapi juga mengawasi industri pasar modal dan industri keuangan non
bank.
Latar
belakang pembentukan OJK dilandasi oleh perkembangan sistem keuangan yang
sangat kompleks yang mencakup produk, transaksi, dan interaksi antara lembaga
jasa keuangan. Hal ini sebagai akibat konglomerasi pemilikan pada lembaga jasa
keuangan. Pembentukan OJK salah satunya juga didasarkan pada fakta tentang kasus
Bank Century. Nasabah Bank Century tertipu dengan penjualan Discretional
Fund Antaboga yang bukan merupakan produk perbankan. Selain itu,
pembentukan OJK didasarkan pada perkembangan berbagai produk keuangan yang
merupakan perkawinan antara perbankan dengan asuransi, dan sebaliknya, antara
asuransi dengan perbankan. Contohnya adalah produk asuransi sekaligus untuk
investasi yang disebut Unit-Link yang sesungguhnya belum atau tidak ada
dalam UU Asuransi Indonesia.
Secara
konstitusional, OJK tidak memiliki cantolan yang jelas dalam UUD 1945.
Kewenangan yang diperoleh OJK (perbankan, pasar modal, dan asuransi serta
lembaga keuangan lainnya) berasal dari turunan yang asimetris. Berbeda dengan
perbankan, karena perbankan merupakan turunan langsung dari Pasal 23 UUD 1945
yang mengatur tentang bank Sentral. Sedangkan pasar modal dan asuransi serta
lembaga keuangan lainnya berasal dari UU.
OJK
merupakan mandat yuridis Pasal 34 ayat (1) UU Bank Indonesia. Mandat yuridis
ini merupakan rencana besar International Monetary Fund (IMF) sebagai bagian
dari paket kerjasama dengan Indonesia. IMF menginginkan dibentuknya sebuah
lembaga yang terpisah dari Departemen Keuangan dan bank sentral yang diharapkan
dapat menyiapkan industri perbankan nasional agar mampu menjadi pelaku global
dengan inspirasi Financial Supervisory Agency (FSA) di Inggris. Ternyata di
kemudian hari, FSA gagal total dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
UU
Bank Indonesia yang menjadi dasar pembentukan OJK adalah UU yang dimaksudkan
untuk menetapkan peraturan terkait dengan tugas pengawasan bank dan bukan
merupakan UU yang mengatur pengawasan sektor jasa keuangan nonbank dan jasa
keuangan lain. Pasal 34 ayat (1) UU Bank Indonesia tidak dapat dijadikan dasar
sebagai pembuatan UU yang mengatur sektor jasa keuangan nonbank dan jasa
keuangan lain. Sebab sektor jasa keuangan nonbank dan jasa keuangan lainnya
telah diatur dalam sejumlah UU yang secara khusus mengatur sektor dimaksud
berikut pengawasannya. Dengan kata lain, UU yang mengatur dan mengawasi sektor
jasa keuangan dan jasa lain, memiliki dasar konstitusional yang lebih kuat.
Namun hal ini dinegasikan oleh UU OJK yang sama sekali tidak memiliki landasan
konstitusional.
Fungsi
pengawasan dan pengaturan bank, sejatinya merupakan tugas konstitusional Bank
Indonesia yang diturunkan langsung dari ketentuan Pasal 23D UUD 1945, yang
diatur melalui UU Bank Indonesia. Dengan demikian maka Bank Indonesia lebih
memiliki landasan konstitusional dalam melaksanakan tugas pengaturan dan
pengawasan bank.
“Keberadaan
OJK bukan merupakan amanat dari konstitusi. Justru fungsi pengawasan seharusnya
tetap melekat pada Bank Indonesia. Sedangkan OJK tidak memiliki dasar
konstitusional,” kata Syamsudin Slawat Pesilette, selaku kuasa hukum para
Pemohon, dalam persidangan perdana di MK, Selasa (25/3/2014).
OJK
kemudian merangkum fungsi, tugas, kewenangan dan institusi pengaturan dan
pengawasan bank (bersama dengan kegiatan jasa keuangan di pasar modal, dan
kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga
pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya) ke dalam salah satu bagian dari
keseluruhan fungsi, tugas dan wewenang OJK sebagaimana termaktub dalam
ketentuan Pasal 6 UU OJK. Padahal kegiatan jasa keuangan di sektor ini
bersumber dari pengaturan peraturan perundang-undangan di bawah UUD 1945, yaitu
UU Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal, UU Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha
Perasuransian, dan peraturan perundang-undangan lainnya dalam lingkup
BAPEPAM-LK, sehingga nilai konstitusionalnya tidak setara dengan kegiatan
perbankan.
Sifat
OJK yang meleburkan tugas dan kewenangan pengaturan dan pengawasan bank
tersebut menimbulkan konsekuensi terhadap aplikasi Basel dan siapa yang akan
mewakili Indonesia dalam forum bank sentral seluruh dunia. Secara fungsi dan
kewenangan, Bank Indonesia sudah tidak memiliki kelayakan untuk memerankan diri
menjadi wakil Indonesia.
Independensi OJK
Kata
”independen” dalam Pasal 34 ayat (1) UU Bank Indonesia dicangkok secara bulat
melalui ketentuan Pasal 1 angka 1 UU OJK. Padahal kata “independen” tersebut
tidak menemukan cantolannya dalam konsideran UU OJK. Konsideran UU OJK yang
menggunakan Pasal 33 UUD 1945 sebagai cantolan, mengharuskan OJK terintegrasi
dengan sistem perekenomian yang diamanatkan konstitusi, sehingga tidak mungkin
independen dan bebas dari campur tangan pihak lain. Oleh karena itu
independensi OJK menjadi pertanyaan besar, untuk kepentingan siapa independensi
itu dibuat?
“Ada
kecenderungan OJK akan menjadi lembaga yang berdiri bebas, lepas dari kekuasaan
negara. OJK nanti akan sangat terpengaruh pada perkembangan pasar keuangan.
Akibatnya, kepentingan publik yang menyangkut stabilitas keuangan, kemudian
penurunan tingkat kejahatan keuangan, dan perlindungan konsumen akan terabaikan
dan sulit dicapai,” dalil Syamsudin Slawat.
Sejatinya
independen hanya dikenal melalui turunan regulasi yang merujuk dan mengacu pada
ketentuan Pasal 23D UUD 1945, di mana dapat dimungkinkan adanya Bank Sentral
yang independen. Namun entitas OJK bukan turunan dan/atau lembaga operasional
dari fungsi dan tugas Bank Sentral, di mana juga OJK mencakup tugas Bapepam LK.
Dengan demikian kata “independen” bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.
Pungutan OJK
Pendanaan
OJK sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 37 UU OJK yaitu mengenakan
pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.
Perusahaan di sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan yang dikenakan OJK.
Pungutan tersebut merupakan penerimaan OJK. OJK akan mengelola dan
mengadministrasikan pungutan secara akuntabel dan mandiri.
Muncul
pertanyaan, dalam nomenklatur APBN, penerimaan OJK ini akan ditempatkan sebagai
apa? Jika memang akan ditempatkan sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP),
maka patut dipertanyakan sejauh mana Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) akan
melakukan audit? Apalagi OJK adalah lembaga independen sehingga terdapat celah
yang sangat besar terjadinya penyimpangan sebagaimana dahulu pernah terjadi
pada dana nonbudgeter Bulog.
Ketentuan
Pasal 37 tersebut dengan kata lain akan menimbulkan dampak: (a) Mengurangi
kemandirian OJK, karena OJK merupakan badan publik dengan amanat yang diberikan
oleh rakyat melalui DPR; (b) Sumber pendanaan dari jasa keuangan di pihak lain
juga akan membalik akuntabilitas substantif OJK dari kepentingan publik dan
konsumen kepada kepentingan industri jasa dan keuangan.
Pemohon
juga mempersoalkan dasar pemikiran dari penentuan jumlah kutipan sebesar 0,045%
dari total aset industri keuangan serta profesi dan lembaga lain dengan jumlah
yang bervariasi. Secara eksplisit menurut Pemohon pelaku industri keuangan
(perbankan) juga mempertanyakan manfaat kutipan OJK tersebut. Seharusnya
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang lebih layak dikenai pungutan mengingat
fungsi dan perannya sebagai jangkar dalam hal terjadi krisis.
Keberatan
juga disampaikan industri perbankan yang tergabung dalam Perhimpunan Bank-Bank
Nasional (PERBANAS) dan Himpunan Bank-Bank Milik Negara (HIMBARA) yang
mengkhawatirkan adanya pembebanan biaya kutipan OJK kepada nasabah, termasuk di
dalamnya para Pemohon uji materi ini.
Di
sisi lain, pendanaan OJK sampai 2016 masih akan menggunakan APBN. Artinya
status hukum dana APBN yang digunakan sebagai biaya operasional secara
konstitusional tidak memiliki landasan hukum dikarenakan OJK tidak berada dalam
struktur ketatanegaraan yang rigid (setidaknya dari cabang kekuasaan eksekutif),
dan juga sifat OJK yang independen. Dapat dipastikan terdapat potensi
penyalahgunaan kewenangan keuangan negara yang dilakukan oleh OJK, setidaknya
saat mereka menggunakan dana APBN sampai dengan saat OJK mendapat pemasukan
sendiri dari pungutan industri keuangan. Selain itu, Pemohon meragukan
sumbangsih OJK terhadap penyelamatan krisis keuangan, jikalau krisis
benar-benar terjadi, Pemohon menilai OJK tidak dapat menjamin institusi
keuangan dapat terhindar dari krisis.
Pembekuan OJK
Menurut
para Pemohon, beroperasinya OJK telah mengakibatkan kerugian keuangan negara
secara masif. Oleh karena itu, dalam provisi para Pemohon meminta Mahkamah
menghentikan untuk sementara operasional OJK. Selanjutnya, Bank Indonesia
mengambil alih sementara fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan sebagaimana
amanah Pasal 23D UUD 1945, sampai ada putusan Pengadilan yang bersifat final
dan mengikat. “Menghentikan untuk sementara operasional OJK sampai ada putusan
pengadilan yang bersifat final dan mengikat,” pinta Salamudin.
Tak
hanya itu, para Pemohon juga meminta Badan Pemeriksa Keuangan Republik
Indonesia (BPK RI) melakukan audit, analisis dan penelitian mendalam terkait
dengan adanya kerugian keuangan negara, potensi kerugian keuangan negara, serta
memberikan rekomendasi siapa saja para pemangku kebijakan yang yang turut serta
dalam pengambilan kebijakan tersebut.
Sedangkan
dalam pokok permohonan, para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 1 angka
1, Pasal 5, dan Pasal 37 UU OJK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan
hukum mengikat. Kemudian menyatakan frasa “….tugas pengaturan dan pengawasan di
sektor perbankan…” sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 6, Pasal 7,
Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66, UU OJK bertentangan dengan UUD 1945 dan
tidak berkekuatan hukum mengikat.
Ikhtilaf
Pro-kontra
menghiasi persidangan uji materi UU OJK. Kubu Pemohon menginginkan pembekuan
OJK. Sementara kubu Pemerintah dan DPR bersikukuh bahwa pengintegrasian
pengawasan dan pengaturan sektor jasa keuangan oleh OJK merupakan keniscayaan.
Pemerintah
Independensi OJK untuk Hindari Benturan Kepentingan
Pembentukan
UU OJK bertujuan agar pengawasan sektor
jasa keuangan menjadi terintegrasi dan koordinasi di antara sub sektor jasa
keuangan menjadi lebih baik, sehingga pengawasan dan regulasinya menjadi lebih
efektif. Pengintegrasian pengawasan dan pengaturan sektor jasa keuangan
tersebut merupakan keniscayaan mengingat semakin kompleksnya transaksi dan
interaksi antarlembaga keuangan di dalam sistem keuangan, dan diharapkan
menjadi salah satu solusi untuk menciptakan sistem penyelesaian dan pencegahan
krisis keuangan di masa yang akan datang.
Filosofi
independesi OJK di dalam melaksanakan tugasnya yaitu dikarenakan OJK mengawasi
kegiatan jasa keuangan dan transaksi keuangan oleh entitas bisnis yang dapat
berpotensi terjadinya benturan dan pengaruh kepentingan pihak-pihak tertentu,
termasuk pihak Pemerintah. “Untuk itu, dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya, OJK harus independen atau bebas dari intervensi pihak-pihak
berkepentingan. Tentunya dalam koridor hukum juga menjamin bahwa independensi
tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya,” kata Isa Rachmatarwata (Staf
Ahli Menteri Keuangan Bidang Kebijakan dan Regulasi Jasa Keuangan dan Pasar
Modal) dalam persidangan di MK, Senin (5/5/2014).
DPR
Fungsi Makroprudensial dan Mikroprudensial Harus
Dipisahkan
Pengaturan
dan pengawasan kegiatan jasa keuangan secara terintegrasi oleh OJK dimaksudkan
agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan terselenggara secara transparan dan akuntabel
serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara secara berkelanjutan
dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. OJK
sebagai lembaga yang berwenang untuk melakukan pengaturan dan pengawasan
seluruh lembaga yang bergerak di sektor jasa keuangan diharapakan dapat
mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional hingga mampu meningkatkan
daya saing internasional.
Pengaturan
dan pengawasan yang dilakukan oleh OJK merupakan pelaksanaan
mikroprudensial perbankan. Sedangkan pengawasan fungsi moneter yang dilakukan
Bank Indonesia merupakan pelaksanaan fungsi makroprudensial perbankan.
“Pelaksanaan fungsi makroprudensial dan mikroprudensial harus dipisahkan dalam
lembaga yang berbeda. Hal ini untuk menghindari terjadinya penumpukkan
kewenangan dalam satu tangan pada sektor keuangan khususnya di bidang
perbankkan,” kata Wakil Ketua Komisi III DPR RI Harry Azhar Azis dalam
persidangan di MK, Senin (5/5/2014).
Muliaman D. Hadad
Independensi Tugas, Fungsi,
dan Kewenangan
Independensi OJK dalam menjalankan fungsi dan tugasnya secara tegas
memiliki landasan hukum dan latar belakang yang formal maupun material.
“Independensi OJK harus dimaknai sebagai independensi di dalam melaksanakan tugas,
fungsi, dan kewenangannya. Namun demikian, hal ini tidak menghilangkan fungsi
koordinasi dengan lembaga lain yang terkait, yaitu Bank Indonesia, Kementerian
Keuangan, maupun Lembaga Penjamin Simpanan, di dalam rangka menjaga stabilitas
sektor keuangan dan independensi dimaksud harus pula disertai dengan mekanisme
control dan tidak dimaknai independensi yang sebebas-bebasnya,” kata Ketua
Dewan Komisioner Muliaman D. Hadad dalam persidangan di MK, Kamis (18/9/2014).
Pengalihan tugas pengaturan dan pengawasan dari Bank Indonesia ke OJK adalah
merupakan amanat UU Bank Indonesia. Hal ini sama sekali tidak bertentangan
dengan UUD 1945. “Justru sebagai bagian dari pelaksanaan ketentuan Pasal 23D
UUD 1945,” tegasnya.
Anggaran OJK bersumber dari APBN dan/atau pungutan dari pihak yang
melakukan kegiatan di sector jasa keuangan. Pembiayaan kegiatan OJK
sewajarnya didanai secara mandiri yang pendanaannya bersumber dari pungutan
kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Penggunaan
mekanisme pungutan kepada industri merupakan konsekuensi logis mengingat fungsi
yang diemban OJK pada gilirannya akan memberikan manfaat kepada industri jasa keuangan
itu sendiri. “Dalil yang menyebutkan bahwa pungutan kepada industri akan
mengurangi kemandirian atau menimbulkan potensi penyimpangan atas pungutan yang
dilakukan oleh OJK tidaklah beralasan karena pungutan ini diatur dengan undang-undang
dengan mekanisme yang wajar dan akuntabel,” bantahnya.
Syamsul Hadi
Kepentingan IMF
Dengan adanya UU OJK, maka peran Bank Indonesia sebagai otoritas tunggal pengawas dan
pengatur bank yang diemban sejak tahun 1953, beralih ke lembaga baru yang
bernama OJK. Pengaruh asing dalam pembuatan OJK menyalahi prinsip-prinsip
pengaturan ekonomi dalam UUD 1945. Hal ini dapat ditelusuri dari ide
pembentukan lembaga pengawasan di sektor keuangan yang sebenarnya sudah mulai
ada sejak krisis moneter melanda Indonesia, di saat IMF berperan sangat sentral
dalam ekonomi nasional dengan cara-cara yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip
pengaturan ekonomi yang diamanatkan UUD 1945.
IMF menginginkan dibentuknya sebuah lembaga pengawas keuangan yang
terpisah dari Kementerian Keuangan dan Bank Sentral dengan mengambil model
Financial Service Otority (FSA) di Inggris. “Padahal kenyataanya, FSA sendiri justru
dipandang gagal melaksanakan tugas dan wewenangnya, khususnya ketika Inggris
dihadapkan kepada krisis financial global 2008. Belakangan, Inggris justru
mengembalikan sistem pengawasan bank dari model Otoritas Jasa
Keuangan atau FSA ke bank sentral,” kata Syamsul Hadi, ahli yang dihadirkan
oleh Pemohon dalam persidangan di MK, Kamis (18/9/2014)
Sri Edi Swasono
Bubarkan OJK
Tekanan kekuatan asing dalam upaya pelumpuhan perekonomian nasional
telah menabrak ketentuan konstitusi. Oleh karena itu, pilihannya adalah
pembubaran OJK. “OJK dibubarkan. Kalau OJK dibubarkan berarti Undang-Undang Bank Indonesia
harus diamandemen karena adanya OJK adalah atas perintah
undang-undang itu (UU Bank Indonesia),” kata Sri Edi Swasono, ahli yang
dihadirkan oleh Pemohon dalam persidangan di MK, Rabu (8/10/2014)
Kemudian, OJK menjadi bagian daripada Bank Indonesia. Atau dikembalikan
kepada bank sentral. Dengan demikian, posisi OJK menjadi
jelas yaitu governmental, bukan non governmental, dan
mendapat gaji dari pemerintah, serta keuangan OJK bersumber dari APBN.
“Bagaimana kedaulatan suatu negara bisa tergantung kepada sebuah lembaga yang
bukan pemerintah, non governmental yang namanya OJK? Ini adalah suatu yang
berbahaya dan ini adalah bagian kelanjutan daripada skenario asing untuk
melumpuhkan kekuatan ekonomi Indonesia,” tegasnya.
Margarito Kamis
Negara dalam Negara
UU OJK seperti negara dalam negara. “Bila Undang-Undang OJK dikenali
secara utuh, agak sulit untuk tidak berkesimpulan bahwa ini tampak seperti
negara dalam negara,” kata Margarito Kamis, ahli yang dihadirkan oleh Pemohon
dalam persidangan di MK, Rabu (8/10/2014).
Pasal 23D UUD 1945 menyebutkan independensi bank sentral diatur dengan
undang-undang. Namun hal ini tidak dapat bermakna bahwa independensi bank
sentral itu sebagian kewenangannya diserahkan kepada organ lain yang tidak
diperintahkan oleh konstitusi. Makna independensi ini harus dimaknai sebagai
patokan penentu relasi antara Bank Indonesia dengan pemerintah. “Jadi, derajat
relasi fungsi antara pemerintah dengan Bank Indonesia itu yang dimaksud dengan
Pasal 23 bukan mengurangi sebagian kewenangan Bank Indonesia dan kewenangan itu
diserahkan kepada lembaga lain di luarnya,” jelasnya.
Tidak ada lembaga negara yang mempunyai dua sumber keuangan pendanaan.
Sedangkan OJK dibiayai dengan APBN dan pungutan. “Argumentasi konstitusional apa
yang dipakai untuk membenarkan tindakan ini?” Margarito mempertanyakan.
Saldi Isra
OJK adalah Lembaga Negara
Dari sisi definisi memang terdapat sedikit perbedaan antara OJK dengan
Bank Indonesia terkait dengan penggunaan kata “negara”. Definisi Bank Indonesia
menggunakan frasa “lembaga negara yang independen”. Sedangkan OJK hanya disebut
sebagai “lembaga” tanpa “negara”, lalu ditambah dengan kata “independen”.
Pendefinisian tanpa menggunakan frasa “lembaga negara” tidak saja untuk OJK,
tetapi juga dipakai untuk mendefinisikan lembaga-lembaga negara lain, di
antaranya, KPU, Bawaslu, Komnas HAM.
Pada dasarnya frasa “lembaga negara” atau hanya kata “lembaga” tidak
mempengaruhi status dan kedudukan sebuah lembaga sebagai lembaga negara,
sepanjang suatu lembaga dibentuk untuk melaksanakan fungsi-fungsi negara. “Oleh
sebab itu, sekalipun OJK hanya didefinisikan sebagai ‘lembaga’ saja, bukan
berarti OJK tidak berkedudukan sebagai lembaga negara,” kata Saldi Isra, saat
menjadi ahli Pemerintah dalam persidangan di MK, Rabu (8/10/2014).
Sebab kedudukan OJK sangat tegas dinyatakan dalam UU OJK. Salah satu tujuan OJK adalah
terselenggaranya sektor jasa keuangan secara teratur, adil, transparan, dan
akuntabel yang merupakan salah satu fungsi dari negara. OJK dibentuk
untuk mengawasi perjalanan sektor jasa keuangan. “Sehingga tidak perlu
diragukan lagi bahwa OJK berkedudukan sebagai lembaga negara, sama halnya dengan BI yang juga
berkedudukan sebagai lembaga negara,” tegas Saldi.
Riawan Tjandra
Pola Serupa Pembentukan OJK
dan KPK
Pembentukan OJK merupakan amanat Pasal 34 UU Bank Indonesia. UU OJK
mulai diberlakukan pada 1 Januari 2013. Lembaga independen ini ditugaskan untuk
mengatur dan mengawasi lembaga keuangan bank maupun nonbank. OJK mengambil alih
tugas pengawasan lembaga keuangan bank dan nonbank yang selama ini dilakukan
oleh Bank Indonesia sebagai pengawas bank, dan Bapepam-LK untuk lembaga
keuangan nonbank.
Pembentukan OJK mirip pembentukan KPK. “Pola pembentukan OJK
menyerupai pembentukan KPK dan cukup banyak state auxiliary agencies lainnya
yang sifatnya constitutional important,” kata Riawan Tjandra saat
menjadi ahli Pemerintah dalam persidangan di MK, Rabu (8/10/2014).
Krisis ekonomi yang dialami Indonesia pada 1997 dan 1998 mengharuskan
pemerintah melakukan pembenahan di sektor perbankan dalam rangka melakukan
stabilisasi sistem keuangan dan mencegah terulangnya krisis. Pengalaman
mengahadapi krisis multidimensi pada 1997 dan 1998 memberikan gambaran
pentingnya peranan jasa keuangan dalam mendukung perekonomian nasional. Oleh karena
itu, pengelolaan sektor jasa keuangan yang baik menjadi penting untuk mencegah
terjadinya krisis, sehingga krisis yang pernah dialami diharapkan tidak akan
terjadi lagi. “Untuk itu, diperlukan keberadaan Otoritas Jasa
Keuangan dalam mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan
stabil,” jelas Riawan.
Maruarar Siahaan
OJK, Suatu Keharusan
Dalam perkembangan negara modern, bahkan di negara-negara yang menganut
paham liberal, peran negara diupayakan menjadi sangat minimal. “Kadang-kadang
dia (negara) hanya penjaga malam,” kata Maruarar Siahaan, saat menjadi ahli
Pemerintah dalam persidangan di MK, Selasa (28/10/2014).
Perkembangan lembaga-lembaga baru yang dibentuk di Indonesia sangat
banyak. Keberadaan beberapa lembaga baru ini bersifat independen. Kadang-kadang
lembaga independen itu mengambil semua kewenangan. OJK sebagai
lembaga negara yang independen tentu memiliki kewenangan. Namun check and
balance tetap berjalan. Produk OJK dalam regulasi tetap bisa diuji sesuai
dengan hierarki yang ada.
Dalam globalisasi, pergerakan modal, uang, jasa, sedemikian tinggi.
Misalnya dengan one click dari komputer yang berada di Amerika, bisa menggerakkan
aksi jual atau beli modal yang ada di pasar jasa keuangan di Indonesia. Hal ini
membuat kita akan berhati-hati untuk melihat misalnya ada pemikiran bahwa OJK itu sudah
inkonstitusional. “Saya pikir mandat seperti ini di mana dibentuk satu OJK untuk
melakukan pengawasan terhadap aktivitas jasa-jasa keuangan yang demikian
dahsyat tumbuhnya di Indonesia sekarang ini, itu merupakan suatu keharusan,”
papar Maruarar.
Zainal Arifin Mochtar
Pembentukan OJK Hasil
Ijtihad Negara
Sering terjadi kesalahan dalam cara pandang soal lembaga negara
independen. Seakan-akan lembaga negara independen itu adalah lembaga
ekstranegara, padahal bukan. “Dia bukan lembaga ekstranegara, dia tetap
merupakan perpanjangan tangan dari negara. Tapi benar kalau dia disebutkan sebagai
ekstra dari tiga cabang kekuasaan lama,” kata Zainal Arifin Mochtar saat
menjadi ahli Pemerintah dalam persidangan di MK, Selasa (28/10/2014).
Setidaknya ada tujuh ciri lembaga negara independen. Pertama kepemimpinannya
bersifat kolektif kolegial. Kedua. Bebas dari pengaruh manapun. Ketiga,
sistem pergantian anggotanya bersifat berjenjang (staggered terms) demi
kesinambungan kerja. Keempat, masa jabatannya fixed dan yang
paling penting tidak boleh diberhentikan oleh alasan apa pun kecuali alasan
yang diatur oleh UU. Kelima, self regulatory bodies karena dia di luar
dari tiga cabang kekuasaan. Keenam, dia harus disematkan, disesuaikan
dengan independensi fungsinya. Ketujuh, sering kali bersifat campur
sari.
Dalam bahasa Jimly Asshiddiqie, campur sari itu menggabungkan
sifat-sifat kelembagaan yang ada di eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Misalnya KPK yang menggabungkan fungsi tersebut secara independen, tanpa campur
tangan politik.
Dari berbagai pengertian tersebut, OJK menemukan fungsi ke-independen-annya
secara sangat lugas karena adanya kepentingan dan tugas tertentu yang
diinginkan oleh negara untuk dijalankan secara lebih independen dan bebas dari
campur tangan manapun. Khususnya mengenai kepentingan untuk melakukan
pengawasan terhadap perbankan secara independen, “Pembentukan OJK menurut saya
adalah bagian dari ijtihad negara untuk melakukan perbaikan sektor pengawasan
terhadap jasa keuangan dengan melalui open legal policy, lalu kemudian
memisahkan dari Bank Indonesia,” papar Zainal.
Erman Rajagukguk
Implikasi Negatif
Pengembalian Fungsi Pengawasan ke BI
Mengembalikan semua kegiatan pengawasan perbankan kembali ke Bank
Indonesia, tidak semudah membalikkan telapak tangan dan membawa implikasi yang
besar dalam sektor jasa keuangan. Pengembalian pengawasan perbankan tersebut
membutuhkan pengaturan baru yang memakan waktu yang panjang, sehingga terjadi
kekosongan hukum yang mengakibatkan ketidakpastian hukum.
Ketidakpastian hukum akan menyebabkan para investor melepas surat-surat
berharga yang dimilikinya karena harganya yang akan terus merosot. Keadaan
tersebut akan mempengaruhi kondisi fiskal perekonomian negara dikarenakan
APBN-nya yang masih dalam keadaan defisit, membutuhkan alternatif pembiayaan
untuk menutup defisit yang dimaksud dengan menerbitkan surat berharga negara.
Namun nilai surat berharga dimaksud menjadi berkurang, tidak laku, dan
pemerintah dapat mengalami keadaan default. Dalam arti pinjaman menjadi
tidak terbayarkan dan defisit tidak dapat ditutup. “Hal tersebut akan
mengakibatkan krisis keuangan dan perekonomian yang pada akhirnya dapat
menyebabkan krisis pemerintahan. Dengan perkataan lain, tindakan hukum yang
demikian yaitu mengembalikan fungsi pengawasan perbankan akan membawa akibat
negatif bagi ekonomi bangsa,” kata Erman Rajagukguk saat menjadi ahli
Pemerintah dalam persidangan di MK, Selasa (28/10/2014).
Sihabudin
Bukan Desakan IMF
Secara historis, munculnya Pasal 34 UU Bank Indonesia sebenarnya bukan
karena desakan IMF. Peran IMF hanya memberikan saran yang sifatnya umum, tetapi
letter of intent atau keinginan untuk membuat konsep itu sebenarnya
adalah kehendak Indonesia. “Kehendak Indonesia sendiri, bukan atas desakan,”
kata Sihabuddin saat menjadi ahli Pemerintah dalam persidangan di MK, Selasa
(28/10/2014).
Apalagi saat itu tidak ada lagi hubungan yang mengikat antara IMF dengan
Indonesia. Bahkan pada perkembangan selanjutnya, pengawasan bank sudah tidak
lagi dilakukan oleh IMF
Apabila pengawasan yang sudah berjalan yang dilakukan oleh OJK sebagai
pengawas independen ini dihentikan beberapa saat saja, maka ini akan
berpengaruh yang luar biasa karena bisa terjadi ketidakpercayaan masyarakat
terhadap uang yang diinvestasikan ataupun ditabung di dalam bank ataupun
lembaga keuangan karena tidak ada pengawasan. “Sebentar saja, maka akan terjadi
suatu persoalan yang besar. Apalagi kalau Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan ini sampai dibatalkan, ini kira-kira negara lain
tidak percaya terhadap Indonesia, akan mempunyai dampak yang luar biasa,” pungkas
Sihabuddin.
Nur Rosihin Ana,
Majalah Konstitusi Edisi November 2014, hal 14-23, klik di sini