Selaksa asa dan cita mewarnai derap
langkah para tenaga honorer dalam khidmah dan bakti kepada negara. Bahkan rasa
cemas dan takut pun bergayut di sudut tak bertepi menanti kepastian
pengangkatan. Tenaga Honorer ingin dihargai secara wajar, bermartabat
sebagaimana layaknya para pegawai negeri sipil, pegawai sipil, dan pengabdian
lainnya.
Era otonomi daerah
memberikan kewenangan manajemen kepegawaian tidak lagi sentralistik. Semua
kewenangan yang merupakan kewenangan daerah, dan tugas-tugas desentralisasi
yang semula terpusat, menjadi kewenangan daerah. Salah satu implikasinya yaitu
terjadi perubahan terutama yang berkaitan dengan penerimaan dan pengangkatan
pegawai menjadi kewenangan daerah.
Kewenangan daerah terukir
dalam Pasal 76 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
yang menyatakan “Daerah mempunyai kewenangan untuk melakukan pengangkatan,
pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan
pegawai, serta pendidikan dan pelatihan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah, Berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan”.
Dalam rangka
penyempurnaan manajemen, pada 2004 terbit Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Hadirnya UU 32/2004 ini yang mencabut dan
menyatakan tidak berlaku Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah karena tidak mampu mengakomodasikan kebutuhan yang berubah dengan cepat.
Pengangkatan Pegawai
Berkaitan dengan
manajemen Pegawai Negeri Sipil Daerah, dalam Pasal 129 ayat (2) UU 32/2004
terdapat frasa yang menggelitik yaitu “…meliputi penetapan formasi,
pengangkatan, pemindahan, …kedudukan hukum, pengembangan kompetensi, dan
pengendalian jumlah.” Kemudian pada Pasal 132 mengesankan hanya penetapan
formasi yang harus berkoordinasi dengan Menpan melalui Gubernur. Berlakunya UU
5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara tegas menyatakan pada pasal 137 mencabut
ketentuan UU 32/2004 pada bab V Kepegawaian Daerah mulai Pasal 129 hingga Pasal
135 dan peraturan pelaksanaannya.
Sementara itu, Pada Pasal
2 ayat (3) UU 43/1999 jo UU 8/1974 tentang Pokok Pokok Kepegawaian,
tertera jelas adanya perkenan bagi pejabat yang berwenang untuk mengangkat
pegawai tidak tetap. Pada bagian penjelasannnya, yang dimaksud dengan pegawai
tidak tetap adalah “Pegawai yang diangkat untuk jangka waktu tertentu guna
melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan yang bersifat teknis
profesional dan administrasi sesuai kebutuhan dan kemampuan organisasi. Pegawai
tidak tetap tidak berkedudukan sebagai pegawai negeri. Selain itu, terdapat
restriksi seperti yang tertera pada Pasal 1 angka 6 terutama pada kalimat berupa
“Jabatan karier adalah jabatan struktural dan fungsional yang hanya dapat
diduduki oleh Pegawai Negeri Sipil.”
UU Kepegawaian
menimbulkan kekosongan hukum bagi tenaga honorer/pegawai tidak tetap serta
tidak mengatur mengenai jaminan bagi tenaga honorer. Begitu pula peraturan
pelaksananya.
Posisi Tenaga Honorer
Pada 15 Januari 2014
terbit Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN).
Berlakunya UU ASN khususnya yang mengatur Pengadaan PNS merupakan pengganti UU
Kepegawaian yang mengatur tentang PNS. Namun, UU ASN juga tidak memberikan
pengaturan lebih lanjut mengenai tenaga honorer. UU ASN hanya mengatur mengenai
pembagian Aparatur Sipil Negara yang terdiri dari PNS dan PPPK (Pegawai
Pemerintah dengan Perjanjian Kerja). Bahkan pengaturan mengenai PPPK ini pun
tidak mewadahi nasib tenaga honorer non kategori atau tidak termasuk ke dalam
kategori PNS maupun PPPK.
Hal tersebut mengundang
keberatan Forum Perjuangan Honorer Indonesia (FPHI) Korda Ponorogo yang dalam
hal ini diwakili oleh Rochmadi Sularsono, seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Pemda Kabupaten Ponorogo. Keberatan dilampiaskan ke MK melalui permohonan uji
materi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN).
Kepaniteraan MK meregistrasi permohonan ini pada Rabu (3/9/2014) dengan Nomor
86/PUU-XII/2014. Adapun materi UU ASN yang dimohonkan untuk diuji di MK yaitu
Pasal 2 huruf (a) “kepastian hukum”, huruf (j) “non diskriminatif” serta huruf
(l) “keadilan dan kesetaraan”, Pasal 6, Pasal 58 ayat (3) terutama pada kata
“seleksi” serta pasal 67 terutama pada frasa kata “Ketentuan lebih lanjut
mengenai pengadaan PNS … diatur oleh Peraturan Pemerintah” serta Pasal 129 ayat
(2). Menurut Pemohon ketentuan dalam UU ASN ini bertentangan dengan Pasal 27
ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Pasal 2 huruf a, huruf j,
dan huruf l UU ASN menyatakan, Penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN
berdasarkan pada asas: (a) kepastian hukum; (j) nondiskriminatif; (l) keadilan
dan kesetaraan.”
Pasal 58 ayat (3) UU ASN
menyatakan, Pengadaan PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
tahapan perencanaan, pengumuman lowongan, pelamaran, seleksi, pengumuman hasil
seleksi, masa percobaan, dan pengangkatan menjadi PNS.”
Pasal 129 ayat (2) UU ASN
menyatakan, “Upaya administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
dari keberatan dan banding administratif.”
Menurut Pemohon,
pengangkatan tenaga honorer terutama pada frasa kata baik “teknis fungsional
maupun administrasi” seperti yang tertera pada UU 43/1999 bilamana digabungkan
dengan UU 14/2005 tentang guru dan dosen, UU 36/2009 tentang Kesehatan, dan UU
44/2009 tentang Rumah Sakit, tidak memiliki payung hukum yang kokoh. Selain itu
bertentangan dengan UU 13/2003 tentang ketenagakerjaan Pasal 59 ayat (2) pada
frasa “tidak terdapat perkenan melakukan kontrak kerja berbatas waktu bilamana
sifat kerjanya tetap” serta ayat (7) terutama frasa “… demi hukum menjadi
pagawai tetap” khususnya yang memiliki masa pengabdian diatas tiga tahun terus
menerus.
Hak Mengabdi dan
Berprofesi
Pengadaan PNS pada Pasal
58 ayat (3) UU ASN kata “seleksi” serta Pasal 67 pada frasa “Diatur dengan
Peraturan Pemerintah” serta pasal 139 yang intinya semua produk hukum yang bersifat
pengaturan UU 8/1974 jo UU 43/1999 tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dan belum diganti berdasarkan Undang Undang ini. Khusus menyangkut prasyarat
penerimaan CPNS, ketentuan tersebut menjadikan tenaga honorer baik yang baru
diangkat sebagai CPNS semenjak diberlakukannya UU ASN, tenaga honorer yang
masih tersisa baik K 1 ataupun K 2 serta tenaga honorer non katagori, terhambat
nasibnya sebagai CPNS khususnya pada tenaga non katagori yang penerimaannya
antara tanggal 4 Januari sampai dengan 11 November 2005 serta mulai 11 November
2014 hingga akhir 2011, karena prasyarat usia terutama bagi yang lama
pengabdiannya dan/atau berpendidikan setara Sarjana.
Restriksi yang ada telah
mematikan hak untuk mengabdi dan berprofesi sebagai PNS atau setidak-tidaknya
bukan menjadi pegawai tidak tetap yang mengabdi pada negara. Padahal tenaga
honorer yang memiliki sifat kerja tetap itu berasal dari UU, Peraturan
Pemerintah (PP). Namun UU dan PP pula yang meniadakan kesempatan menjadi PNS.
Ciri negara hukum adalah
adanya jaminan terhadap HAM warga negaranya. Salah satunya adalah persamaan
dalam Hukum (Equality before the law). Adanya Affirmative Actions (tindakan
khusus yang bersifat sementara) yang mengizinkan berlakunya kebijakan
penerimaan tenaga honorer, bukan berarti penghilangan atas hak dasar yang
melekat pada tenaga honorer lainnya dalam hal ini tenaga honorer non katagori.
Pemohon dalam petitum antara
lain meminta Mahkamah agar menyatakan UU ASN Bagian (3) manajemen PNS terutama
Paragraf 2 kata “Pengadaan” pada Pasal 58 ayat (3) terutama kata “seleksi”
sepanjang tidak mencantumkan “perkenan pemerintah untuk mengangkat langsung
Pegawai Negeri Sipil bagi mereka yang mengabdi pada instansi yang menunjang
kepentingan nasional”. Bagian penjelasannya terutama frasa kata “ …sangat
selektif …berjasa dan diperlukan bagi negara” bukannya “dan/atau”, maka
sepanjang itu pula Pasal 58 ayat (3) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat
karena bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Hal ini agar kontinuitas kebijakan terjamin khususnya bagi tenaga honorer baik
K1 ataupun K2 ataupun dokter dan tenaga tertentu lainnya yang ada pada PP
56/2012 yang memenuhi prasyarat pada Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta ayat (4)
dan ayat (8) dan yang terutama lulus tes namun belum diangkat sepanjang telah
diberlakukan UU ASN.
Kemudian menyatakan UU
ASN Pasal 2 huruf (2) huruf a. kepastian hukum, j. non diskriminatif serta l.
keadilan dan kesetaraan sepanjang tidak mengatur baik berujud bagian/Pasal/ayat
tersendiri tenaga honorer yang diangkat oleh pejabat yang berwenang termasuk
dalam hal ini oleh satuan pendidikan baik yang bersifat teknis fungsional
maupun administrasi diluar ketentuan tanggal 3 Januari 2005 hingga penerbitan
PP 48/2005 dan kehilangan kesempatan disebut tenaga K1 atau K2 maka sepanjang
itu pula UU ASN Pasal 2 huruf (a) kepastian hukum, huruf (j) non diskriminatif
serta (l) keadilan dan kesetaraan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat.
Pemohon juga meminta
Mahkamah menyatakan bahwa UU ASN pada Bagian keempat manajemen PPPK sepanjang
tidak mengatur tenaga honorer di luar ketentuan yang ada pada PP 48/2005 tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat bilamana pada sifat kerja yang tetap tidak ada
pengaturan khusus yang dimulai pada tahun 2012 karena bertentangan dengan Asas
Kepastian Hukum dan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1)
hingga ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2).
Nur Rosihin Ana
(Majalah Konstitusi No.
92 – Oktober 2014)