Proses
hukum harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan. Prosedur
adalah cara yang benar dalam satu proses. Perlindungan hukum dalam satu proses
hukum atau yang dikenal secara luas sebagai “Hukum Acara”, tidak bermakna
sebagai pedoman atau cara yang sah untuk melindungi pelaku kejahatan untuk
menghindar dari tangan hukum. Hukum Acara secara ideal memberikan kesetaraan
antara tersangka, terdakwa dengan penyidik dan penuntut dan kemudian diberikan
penilaian oleh hakim.
Hukum
acara pidana adalah hukum yang mengatur dan memberikan batasan yang dapat
dilakukan oleh negara dalam proses penyelidikan, penyidikan hingga proses
peradilan dengan motode yang baku untuk menegakkan hukum dan melindungi hak-hak
individu selama proses hukum berlangsung. Pada hakikatanya hukum acara pidana
adalah aturan hukum untuk melindungi warga negara dari perlakuan
sewenang-wenang oleh aparatur penegak hukum karena diduga melakukan perbuatan
pidana. Secara khusus, hukum acara pidana dirancang untuk melindungi dan
menegakkan hak-hak konstitusional tersangka dan terdakwa, pada saat dimulai
penyelidikan, penyidikan, proses peradilan sampai pelaksanaan hukuman atau
eksekusi.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
berpotensi menjadi sarana pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM) atas
nama penegakan hukum yang akan terjadi terus menerus. Untuk menghindari hal
ini, beberapa pasal dalam KUHAP harus diberi tafsir yang jelas atau
didefinisikan secara pasti.
Demikian uji materi KUHAP yang
diajukan oleh Bachtiar Abdul Fatah. Karyawan PT. Chevron Pacific Indonesia (PT.
CPI) ini melalui kuasa hukum Maqdir Ismail, S.F Marbun, Alexander Lay, dkk,
mengaku mengalami kerugian konstitusional akibat berlakunya ketentuan Pasal 1
angka 2, Pasal 1 angka 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), Pasal 77 huruf a, Pasal
156 ayat (2) KUHAP. Permohonan Bachtiar diregistrasi oleh Kepaniteraan Mahkamah
dengan Nomor 21/PUU-XII/2014.
Multitafsir
Takrif Penyidikan
Penyidikan
bukan merupakan suatu proses pidana yang mengharuskan lahirnya tersangka pada
proses akhirnya. Penyidikan pun secara tegas memberikan syarat bahwa penetapan
tersangka merupakan tahapan lanjutan yang syaratnya hanya dapat dilakukan
setelah penyidik berhasil mengumpulkan bukti-bukti yang cukup.
Pasal 1 angka 2 KUHAP menyatakan, “Penyidikan adalah serangkaian
tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.
Sepintas
ketentuan tersebut terlihat jelas. Namun dalam praktik telah menimbulkan
pengertian yang multitafsir dan melanggar asas lex certa serta asas lex
stricta sebagai asas umum dalam pembentukan perundang-undangan pidana.
Sebab hakikat kegiatan penyidikan pengumpulan alat bukti untuk memastikan
perbuatan yang diperiksa sebagai perbuatan pidana atau bukan perbuatan pidana,
kemudian menentukan siapa pelaku perbuatan pidana tersebut.
Untuk
menjamin kesesuaian ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP dengan
prinsip-prinsip HAM sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat
(1), dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 maka frasa “dan guna menemukan
tersangkanya” dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP harus dimaknai sebagai “dan
berdasarkan hasil penyidikan tersebut untuk kemudian dapat menemukan
tersangkanya” sehingga penyidikan tidak lagi dipergunakan sebagai alat
untuk menempatkan orang sebagai tersangka manakala suatu perkara memang tidak
seharusnya ada tersangka.
Parameter
Bukti Permulaan
Frasa “bukti permulaan” dalam Pasal 1 angka 14 dan frasa “bukti
permulaan yang cukup” dalam Pasal 17 KUHAP tanpa disertai dengan parameter yang
jelas. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum sehubungan dengan syarat-syarat
yang harus dipenuhi penyidik sebelum menyatakan seseorang sebagai tersangka
atau sebelum menggunakan upaya paksa dalam menangkap seseorang.
Pasal 1
angka 14 KUHAP menyatakan, “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya
atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak
pidana.”
Bahwa
Pasal 1 angka 17 KUHAP menyatakan, “Perintah penangkapan dilakukan terhadap
seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan
yang cukup.”
Berbeda
dengan KUHAP, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU KPK) telah mengatur secara jelas parameter dari istilah “bukti
permulaan yang cukup” sebagai syarat meningkatkan tahapan penyelidikan menjadi
penyidikan dalam Pasal 44 ayat (2) yang menyatakan, “Bukti permulaan yang cukup
dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat
bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan,
dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau
optik.”
Syarat
terdapatnya dua alat bukti dalam UU KPK adalah sejalan dengan ketentuan Pasal
183 KUHAP. Oleh karena itu sudah seharusnya aparat penegak hukum menggunakan
alat bukti sebagai parameter objektif sebelum menetapkan seseorang sebagai
tersangka dan dalam menangkap seseorang. Pengertian “bukti permulaan” dan
“bukti permulaan yang cukup” haruslah dinyatakan dalam undang-undang, dalam hal
ini KUHAP, dan tidak boleh dilakukan melalui peraturan-peraturan lainnya
apalagi melalui interpretasi dari para Penyidik.
Oleh
karena itu, untuk menjamin HAM sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (3),
Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (5) dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, sudah
seyogyanya Mahkamah menyatakan frasa “bukti permulaan” dan “bukti permulaan
yang cukup” yang terdapat dalam Pasal 1 angka 14 jo Pasal 17 KUHAP tidak
konstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “bukti permulaan” dan “bukti
permulaan yang cukup” tidak dimaknai “sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti”.
Perintah
Penahanan
Mahkamah
Konstitusi telah mengeluarkan tiga Putusan mengenai pengujian Pasal 21 ayat (1)
KUHAP yaitu Putusan Mahkamah No. 018/PUU-IV/2006 tertanggal 19 Desember 2006,
Putusan Mahkamah No. 41//PUU-VIII/2010 tertanggal 10 Maret 2011 dan Putusan
Mahkamah No. 16/PUU-IX/2011 tertanggal 11 April 2012.
Berulangnya
pengujian terhadap Pasal 21 ayat (1) KUHAP menunjukkan bahwa permasalahan yang
ada bukanlah hanya sekedar permasalahan implementasi atau penerapan hukum dari
ketentuan Pasal 21 ayat (1) KUHAP, melainkan sudah merupakan permasalahan yang
mengarah pada adanya kesalahan dalam rumusan norma di dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP
yang jelas bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan dapat
menimbulkan kesewenang-wenangan yang secara nyata bertentangan dengan prinsip due
process of law sebagaimana digariskan dalam Pasal 1 ayat (3) serta Pasal
28I ayat (5) UUD 1945.
Pasal 21
ayat (1) KUHAP menyatakan, ”Perintah penahanan atau penahanan lanjutan
dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan
tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang
menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri,
merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.”
Terdapat
dua frasa penting di dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP yang bersifat multitafsir
dan menimbulkan ketidakpastian hukum serta memberikan ruang subyektivitas yang
besar kepada penyidik dalam menerapkannya, yaitu frasa “berdasarkan bukti yang
cukup” dan frasa “adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran”.
Tidak ada
ukuran yang dimaksud dengan bukti yang cukup, maupun bagaimana kriteria
penilaian terhadap bukti yang cukup, dari suatu keadaan untuk dapat dikatakan
sebagai keadaan yang menimbulkan kekhawatiran, maupun ukuran atau standar atau
parameter dari pemahaman atas definisi “keadaan yang menimbulkan kekhawatiran”,
tidak ditemukan jawabannya di dalam ketentuan norma di dalam Pasal 21 ayat (1)
KUHAP maupun Penjelasan atas pasal tersebut. Pemaknaannya sepenuhnya diserahkan
kepada penyidik. Padahal, penyidik tidak diberikan kewenangan oleh UU untuk
menginterpretasikan ketentuan UU yang tidak jelas sekalipun, termasuk
memberikan interpretasi dasar menurut hukum (rechtmatige heid) dan dasar
hukum menurut keperluan berdasarkan suatu keadaan (nood zakelijk heid)
dalam melakukan penahanan, terutama berkenaan dengan alasan subyektif yang menimbulkan
kekhawatiran bahwa Tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan
barang bukti dan/ atau mengulangi tindak pidana.
Berdasarkan hal tersebut,
rumusan Pasal 21 ayat (1) KUHAP bersifat multitafsir dan menimbulkan
ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D
ayat (1), Pasal 28I ayat (5) dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Untuk menepis hal
ini, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan frasa “melakukan tindak pidana”
dan frasa “dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa
tersangka atau terdakwa” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sehingga Pasal 21 ayat (1) KUHAP menjadi: “Perintah
penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa
yang diduga keras berdasarkan bukti yang cukup akan melarikan diri, merusak
atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.”
NUR ROSIHIN ANA
Majalah Konstitusi No. 89 Edisi Juli 2014, hal 42-43. Klik di sini