“Bukan lautan hanya kolam susu,
Kail dan jala cukup menghidupmu,
Tiada badai tiada topan kau temui,
Ikan dan udang menghampiri dirimu,
Orang bilang tanah kita tanah surga,
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman,”
Begitulah
petikan lirik lagu berjudul “Kolam Susu” karya Koes Plus, grup musik legendaris
Indonesia yang dibentuk pada 1969. Lagu tersebut merupakan potret Indonesia
yang “gemah ripah loh jinawi” (tenteram, makmur dan tanah yang sangat subur).
Gugusan kepulauan bertabur kehijauan membuat Indonesia dikenal sebagai zamrud
khatulistiwa.
Pesona
“ijo royo-royo” (kehijauan), “gemah ripah loh jinawi” itu kini kehilangan
konteks, manakala masalah gizi buruk (malnutrition) dan busung lapar (hunger),
justru terjadi di daerah produsen pangan, yaitu pedesaan. Petani, nelayan serta
pembudidaya ikan dan peternak di wilayah pedesaan dan pesisiran sebagai
produsen sekaligus konsumen pangan dan masyarakat perkotaan sebagai konsumen
pangan, sama-sama mengalami kendala akses kepada kecukupan pangan yang layak.
Anak-anak sejak
dini diajarkan cara bercocok tanam. Taman Wisaata Matahari, Cisarua, Bogor
(17/4/2012). Foto: Naghata Doc.
|
Hak Atas Pangan
Pangan
adalah kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap
manusia. Hak atas Pangan adalah hak yang tidak terpisahkan dari martabat
manusia yang inheren, serta tidak bisa ditinggalkan dalam pemenuhan hak asasi
manusia lainnya yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Hak
atas pangan diakui oleh Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
(International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, ICESCR).
Bahkan ICESCRmembebankan kewajiban kepada negara untuk menghormati, memenuhi
dan melindungi hak atas pangan warga negaranya. Pemerintah RI telah
meratifikasi hal ini melalui UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights.
Pemenuhan
hak atas pangan tidak saja terkait ketersediaan bahan pangan, tetapi juga soal
akses, kualitas, penerimaan secara budaya, cadangan pangan dan kebijakan
bantuan pangan kepada kelompok khusus (rentan) dan untuk situasi khusus
(rentan) serta penyadaran rawan pangan diperlukan sinkronisasi antara kebijakan
pangan dengan kebijakan pertanian, perikanan, peternakan, pertanahan, industri,
perdagangan, keuangan, kesehatan, dan pendidikan serta jaminan sosial. Oleh
karena itu, negara berkewajiban mengambil langkah-langkah di bidang pangan
termasuk langkah legislasi untuk memaksimalkan sumber daya yang tersedia. Hal
ini untuk merealisasikan secara penuh hak atas pangan dan juga untuk memastikan
tidak adanya diskriminasi.
DPRRI
pada Kamis, 18 Oktober 2012, mengesahkan UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan
(UU Pangan). Seharusnya kehadiran UU ini, mengoreksi kelemahan pada UU Pangan
sebelumnya, yakni UU Nomor 7 Tahun 1996. Namun, ternyata, UU terakhir belum
juga menjamin hak atas pangan warga negara. Hal ini tercermin dari ketidakjelasan
tentang frasa “kebutuhan dasar manusia”, ketidakjelasan kewenangan penanggung
jawab kecukupan produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan dan tentang
rekayasa genetika di bidang pangan.
Hal
tersebut melatarbelakangi 12 lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk melakukan
uji materi UU Pangan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ke-12 LSMdimaksud yaitu
Indonesian Human Rights Committee For Social Justice (IHCS), Aliansi Petani
Indonesia (API), Serikat Petani Indonesia (SPI), Konsorsium Pembaruan Agraria
(KPA), Perserikatan Solidaritas Perempuan (SP), Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan
Pangan (KRKP), Perkumpulan Sawit Watch, Farmer Initiatives for Ecological
Livelihoods and Democracy (FIELD), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI),
Indonesia for Global Justice (IGJ), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan
(KIARA), dan Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa). Permohonan uji materi UU
Pangan ini diregistrasi oleh Kepaniteraan MK pada Senin, 18 November 2013
dengan Nomor 98/PUU-XI/2013.
Adapun
materi UU Pangan yang diujikan, yaitu Pasal 3, Pasal 36 ayat (3), Pasal 69
huruf c, Pasal 77 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 53, dan Pasal 133. Menurut para
Pemohon, ketentuan pasal-pasal UU Pangan yang diujikan tersebut, bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Pasal 3
UU Pangan menyatakan, “Penyelenggaraan Pangan dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan
berkelanjutan berdasarkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan
Pangan.”
Tiada
penjelasan mengenai apa maksud “kebutuhan dasar manusia” dalam pasal tersebut.
Para Pemohon berdalil, ketidakjelasan mengenai definisi “kebutuhan dasar
manusia” akan menyulitkan pemenuhan hak atas pangan sebagai kebutuhan dasar
manusia, yang berimbas pada ketidakjelasan tanggung gugat negara dalam hal
negara gagal atau lalai di dalam memenuhi kewajibannya terhadap hak atas pangan
warga negara.
Impor Pangan Rawan Suap
Kebijakan
impor pangan menjadi pertentangan (sengketa kewenangan) antara Kementerian
Koordinator Ekonomi, Kementrian Perindustrian, Kementerian Perdagangan dan
Kementerian Pertanian, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Kementerian-kementerian tersebut saling lempar tanggung jawab ketika para
petani dan nelayan selaku produsen pangan, menuntut pertangungjawaban atas
kebijakan impor pangan para menteri.
Hal
tersebut terjadi karena ketidakjelasan kewenangan penanggung jawab kecukupan
produksi pangan pokok dalam negeri dan cadangan pangan. Ketidakjelasan
kewenangan ini tergambar jelas dalam ketentuan Pasal 36 ayat (3) UU Pangan yang
menyatakan, “Kecukupan Produksi Pangan Pokok dalam negeri dan Cadangan Pangan
Pemerintah ditetapkan oleh menteri atau lembaga pemerintah yang mempunyai tugas
melaksanakan tugas pemerintahan di bidang Pangan.”
Menurut
para Pemohon, dalam ketentuan umum, penjelasan maupun di dalam Pasal 36 ayat
(3) UU Pangan, tidak menyebutkan secara jelas siapa yang disebut menteri atau
lembaga pemerintah yang bertanggung jawab untuk menetapkan kecukupan produksi
pangan pokok dalam negeri dan cadangan pangan pemerintah. Padahal impor pangan
berdasarkan ketentuan 14 ayat (2) dan Pasal 36 ayat (2) Pangan, hanya dilakukan
apabila kecukupan pangan dalam negeri dan cadangan pangan nasional tidak
mencukupi. Cadangan pangan nasional sendiri terdiri dari cadangan pangan
masyarakat dan cadangan pangan pemerintah. Cadangan pangan pemerintah akan
diatur oleh menteri atau lembaga. Sedangkan cadangan pangan masyarakat tidak
dijelaskan bagaimana aturan kecukupannya dan siapakah yang bertanggung jawab
untuk menentukan kecukupan tersebut.
Hal
tersebut menunjukan bahwa impor pangan ditentukan sepihak oleh pemerintah
dengan mengabaikan masyarakat selaku pengelola cadangan pangan masyarakat.
Akibatnya, penilaian kecukupan pangan nasional tidak seimbang karena hanya
dilihat dari sudut cadangan pangan pemerintah dan mengabaikan penilaian
masyarakat terkait kecukupan cadangan pangan masyarakat.
Terjadi
ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum dalam menentukan cadangan pangan
nasional. Tidak jelas pula siapa yang bertanggung jawab menentukan berapa
kebutuhan impor pangan. Ketidakjelasan impor pangan rawan menimbulkan praktek
suap. Pasal 36 ayat (3) menyebabkan ketidakpastian hukum karena ketidakjelasan
institusi atau lembaga yang menentukan kecukupan produksi pangan dalam negeri
dan cadangan pangan pemerintah serta tidak memperhatikan ketersediaan cadangan
pangan masyarakat sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Kriminalisasi Pengusaha Pangan Kecil
Definisi
“pelaku usaha pangan” terlalu luas dan tidak membedakan antara pengusaha besar,
pengusaha kecil dan perseorangan. Ketentuan dan larangan yang terdapat dalam
Pasal 53 UU Pangan sangat berpotensi mengandung kriminalisasi terhadap
pengusaha kecil dan perseorangan. Pasal 53 UU Pangan menyatakan, “Pelaku Usaha
Pangan dilarang menimbun atau menyimpan Pangan Pokok melebihi jumlah maksimal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52.”
Kegiatan
menimbun ataupun menyimpan pangan pokok yang berakibat pada sanksi pidana
diatur dalam Pasal 133 UU Pangan yang menyatakan, “Pelaku Usaha Pangan yang
dengan sengaja menimbun atau menyimpan melebihi jumlah maksimal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 53 dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang
mengakibatkan harga Pangan Pokok menjadi mahal atau melambung tinggi dipidana
dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda paling banyak
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).” Ketentuan Sanksi pidana pada
ketentuan Pasal 133 UU Pangan ini mensyaratkan dua hal penting yaitu, (1) untuk
memperoleh keuntungan, dan (2) yang mengakibatkan harga Pangan Pokok menjadi
mahal atau melambung tinggi.
Pengusaha
pangan skala kecil dan perseorangan, dalam praktiknya memang menyimpan pangan
pokok demi mendapatkan keuntungan akan tetapi tidak menimbulkan gejolak harga.
Tiadanya pemisahan antara pengusaha pangan besar dengan pengusaha pangan kecil
dan pemberlakuan yang sama antara pengusaha besar dengan petani, nelayan dan
pembudi daya ikan, adalah tindakan diskriminatif secara tidak langsung.
Seharusnya pemerintah berkewajiban melindungi penyimpanan cadangan pokok yang
dilakukan oleh pengusaha pangan skala kecil dan perseorangan karena tidak
menimbulkan gejolak harga. Terlebih lagi, pengusaha pangan skala kecil
menyimpan cadangan pangan pokok adalah demi menghindari kerugian yang lebih
besar.
Rekayasa Genetika dan Implikasinya
Rekayasa
genetika adalah sebuah proses bioteknologi modern yang mengubah karakter sebuah
organisme (hewan/tumbuhan) dengan mentransfer gen dari satu spesies ke spesies
lainnya atau bisa juga hanya mengubah gen yang ada dalam spesies itu sendiri.
Nama lain istilah ini adalah Genetically Modified (GM), Genetically Modified
Organism (GMO) atau transgenik.
Rekayasa
genetika dalam Pasal 69 huruf c dan Pasal 77 ayat (1) dan ayat (2) Rekayasa
Genetika Pangan mengganggu kestabilan ekosistem, mengganggu kesuburan tanah,
terjadinya Polusi Genetik yang mengganggu kesehatan manusia, mengakibatkan
hilangnya varietas lokal, menciptakan ketergantungan petani terhadap benih
pabrik yang memberatkan perekonomian petani.
Tiada
kepastian keamanan rekayasa genetika. Sebab, hingga saat ini, rekayasa genetika
bidang pangan masih dalam proses penelitian apakah rekayasa genetika bidang
pangan aman atau tidak. Oleh karena itu, Pemerintah seharusnya melarang
rekayasa genetik bidang pangan dan bukan memberikan pengaturan terhadap Pangan
Produk Rekayasa Genetik.
Larangan
terhadap rekayasa genetika bidang pangan adalah suatu keharusan yang bersifat
mutlak. Hal ini sebagai wujud konsistensi negara dalam melindungi dan memenuhi
para petani kecil, utamanya petani pemulia tanaman sebagai produsen pangan
skala kecil, sebagaimana telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan
Nomor 99/PUU-X/2012.
Ketiadaan
definisi yang jelas mengenai pelaku usaha pangan, membuka ruang kepada
pengusaha pangan skala besar untuk menguasai produksi dan distribusi pangan
dari hulu sampai ke hilir dari, di mana rekayasa genetika pangan merupakan
bagian dari proses produksi. Hal ini merupakan wujud dari pengabaian pemerintah
terhadap kewajiban dan tanggung jawabnya untuk melakukan perlindungan dan
pemenuhan terhadap hak-hak petani pemulia benih.
Pangan
produk rekayasa genetika adalah politik dominasi produk dari luar negeri
terhadap bahan pangan dalam negeri yang justru mengakibatkan tersingkirnya para
petani pemulia tanaman. Hal ini tentu menjadi ancaman bagi terwujudnya hak
hidup sejahtera bagi para petani dalam negeri.
Nur Rosihin Ana
Catatan Perkara Majalah Konstitusi Edisi Desember 2013 klik di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar