Minggu, 15 Desember 2013

Lempar Tanggung Jawab Kebijakan Pangan

“Bukan lautan hanya kolam susu,
Kail dan jala cukup menghidupmu,
Tiada badai tiada topan kau temui,
Ikan dan udang menghampiri dirimu,
Orang bilang tanah kita tanah surga,
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman,”

Begitulah petikan lirik lagu berjudul “Kolam Susu” karya Koes Plus, grup musik legendaris Indonesia yang dibentuk pada 1969. Lagu tersebut merupakan potret Indonesia yang “gemah ripah loh jinawi” (tenteram, makmur dan tanah yang sangat subur). Gugusan kepulauan bertabur kehijauan membuat Indonesia dikenal sebagai zamrud khatulistiwa.
Pesona “ijo royo-royo” (kehijauan), “gemah ripah loh jinawi” itu kini kehilangan konteks, manakala masalah gizi buruk (malnutrition) dan busung lapar (hunger), justru terjadi di daerah produsen pangan, yaitu pedesaan. Petani, nelayan serta pembudidaya ikan dan peternak di wilayah pedesaan dan pesisiran sebagai produsen sekaligus konsumen pangan dan masyarakat perkotaan sebagai konsumen pangan, sama-sama mengalami kendala akses kepada kecukupan pangan yang layak.

Anak-anak sejak dini diajarkan cara bercocok tanam. Taman Wisaata Matahari, Cisarua, Bogor (17/4/2012). Foto: Naghata Doc.
  

Hak Atas Pangan
Pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap manusia. Hak atas Pangan adalah hak yang tidak terpisahkan dari martabat manusia yang inheren, serta tidak bisa ditinggalkan dalam pemenuhan hak asasi manusia lainnya yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Hak atas pangan diakui oleh Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, ICESCR). Bahkan ICESCRmembebankan kewajiban kepada negara untuk menghormati, memenuhi dan melindungi hak atas pangan warga negaranya. Pemerintah RI telah meratifikasi hal ini melalui UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights.
Pemenuhan hak atas pangan tidak saja terkait ketersediaan bahan pangan, tetapi juga soal akses, kualitas, penerimaan secara budaya, cadangan pangan dan kebijakan bantuan pangan kepada kelompok khusus (rentan) dan untuk situasi khusus (rentan) serta penyadaran rawan pangan diperlukan sinkronisasi antara kebijakan pangan dengan kebijakan pertanian, perikanan, peternakan, pertanahan, industri, perdagangan, keuangan, kesehatan, dan pendidikan serta jaminan sosial. Oleh karena itu, negara berkewajiban mengambil langkah-langkah di bidang pangan termasuk langkah legislasi untuk memaksimalkan sumber daya yang tersedia. Hal ini untuk merealisasikan secara penuh hak atas pangan dan juga untuk memastikan tidak adanya diskriminasi.
DPRRI pada Kamis, 18 Oktober 2012, mengesahkan UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (UU Pangan). Seharusnya kehadiran UU ini, mengoreksi kelemahan pada UU Pangan sebelumnya, yakni UU Nomor 7 Tahun 1996. Namun, ternyata, UU terakhir belum juga menjamin hak atas pangan warga negara. Hal ini tercermin dari ketidakjelasan tentang frasa “kebutuhan dasar manusia”, ketidakjelasan kewenangan penanggung jawab kecukupan produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan dan tentang rekayasa genetika di bidang pangan.
Hal tersebut melatarbelakangi 12 lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk melakukan uji materi UU Pangan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ke-12 LSMdimaksud yaitu Indonesian Human Rights Committee For Social Justice (IHCS), Aliansi Petani Indonesia (API), Serikat Petani Indonesia (SPI), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Perserikatan Solidaritas Perempuan (SP), Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Perkumpulan Sawit Watch, Farmer Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy (FIELD), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Indonesia for Global Justice (IGJ), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dan Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa). Permohonan uji materi UU Pangan ini diregistrasi oleh Kepaniteraan MK pada Senin, 18 November 2013 dengan Nomor 98/PUU-XI/2013.
Adapun materi UU Pangan yang diujikan, yaitu Pasal 3, Pasal 36 ayat (3), Pasal 69 huruf c, Pasal 77 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 53, dan Pasal 133. Menurut para Pemohon, ketentuan pasal-pasal UU Pangan yang diujikan tersebut, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Pasal 3 UU Pangan menyatakan, “Penyelenggaraan Pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan berdasarkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan.”
Tiada penjelasan mengenai apa maksud “kebutuhan dasar manusia” dalam pasal tersebut. Para Pemohon berdalil, ketidakjelasan mengenai definisi “kebutuhan dasar manusia” akan menyulitkan pemenuhan hak atas pangan sebagai kebutuhan dasar manusia, yang berimbas pada ketidakjelasan tanggung gugat negara dalam hal negara gagal atau lalai di dalam memenuhi kewajibannya terhadap hak atas pangan warga negara.

Impor Pangan Rawan Suap
Kebijakan impor pangan menjadi pertentangan (sengketa kewenangan) antara Kementerian Koordinator Ekonomi, Kementrian Perindustrian, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kementerian-kementerian tersebut saling lempar tanggung jawab ketika para petani dan nelayan selaku produsen pangan, menuntut pertangungjawaban atas kebijakan impor pangan para menteri.
Hal tersebut terjadi karena ketidakjelasan kewenangan penanggung jawab kecukupan produksi pangan pokok dalam negeri dan cadangan pangan. Ketidakjelasan kewenangan ini tergambar jelas dalam ketentuan Pasal 36 ayat (3) UU Pangan yang menyatakan, “Kecukupan Produksi Pangan Pokok dalam negeri dan Cadangan Pangan Pemerintah ditetapkan oleh menteri atau lembaga pemerintah yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang Pangan.”
Menurut para Pemohon, dalam ketentuan umum, penjelasan maupun di dalam Pasal 36 ayat (3) UU Pangan, tidak menyebutkan secara jelas siapa yang disebut menteri atau lembaga pemerintah yang bertanggung jawab untuk menetapkan kecukupan produksi pangan pokok dalam negeri dan cadangan pangan pemerintah. Padahal impor pangan berdasarkan ketentuan 14 ayat (2) dan Pasal 36 ayat (2) Pangan, hanya dilakukan apabila kecukupan pangan dalam negeri dan cadangan pangan nasional tidak mencukupi. Cadangan pangan nasional sendiri terdiri dari cadangan pangan masyarakat dan cadangan pangan pemerintah. Cadangan pangan pemerintah akan diatur oleh menteri atau lembaga. Sedangkan cadangan pangan masyarakat tidak dijelaskan bagaimana aturan kecukupannya dan siapakah yang bertanggung jawab untuk menentukan kecukupan tersebut.
Hal tersebut menunjukan bahwa impor pangan ditentukan sepihak oleh pemerintah dengan mengabaikan masyarakat selaku pengelola cadangan pangan masyarakat. Akibatnya, penilaian kecukupan pangan nasional tidak seimbang karena hanya dilihat dari sudut cadangan pangan pemerintah dan mengabaikan penilaian masyarakat terkait kecukupan cadangan pangan masyarakat.
Terjadi ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum dalam menentukan cadangan pangan nasional. Tidak jelas pula siapa yang bertanggung jawab menentukan berapa kebutuhan impor pangan. Ketidakjelasan impor pangan rawan menimbulkan praktek suap. Pasal 36 ayat (3) menyebabkan ketidakpastian hukum karena ketidakjelasan institusi atau lembaga yang menentukan kecukupan produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan pemerintah serta tidak memperhatikan ketersediaan cadangan pangan masyarakat sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Kriminalisasi Pengusaha Pangan Kecil
Definisi “pelaku usaha pangan” terlalu luas dan tidak membedakan antara pengusaha besar, pengusaha kecil dan perseorangan. Ketentuan dan larangan yang terdapat dalam Pasal 53 UU Pangan sangat berpotensi mengandung kriminalisasi terhadap pengusaha kecil dan perseorangan. Pasal 53 UU Pangan menyatakan, “Pelaku Usaha Pangan dilarang menimbun atau menyimpan Pangan Pokok melebihi jumlah maksimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52.”
Kegiatan menimbun ataupun menyimpan pangan pokok yang berakibat pada sanksi pidana diatur dalam Pasal 133 UU Pangan yang menyatakan, “Pelaku Usaha Pangan yang dengan sengaja menimbun atau menyimpan melebihi jumlah maksimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang mengakibatkan harga Pangan Pokok menjadi mahal atau melambung tinggi dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).” Ketentuan Sanksi pidana pada ketentuan Pasal 133 UU Pangan ini mensyaratkan dua hal penting yaitu, (1) untuk memperoleh keuntungan, dan (2) yang mengakibatkan harga Pangan Pokok menjadi mahal atau melambung tinggi.
Pengusaha pangan skala kecil dan perseorangan, dalam praktiknya memang menyimpan pangan pokok demi mendapatkan keuntungan akan tetapi tidak menimbulkan gejolak harga. Tiadanya pemisahan antara pengusaha pangan besar dengan pengusaha pangan kecil dan pemberlakuan yang sama antara pengusaha besar dengan petani, nelayan dan pembudi daya ikan, adalah tindakan diskriminatif secara tidak langsung. Seharusnya pemerintah berkewajiban melindungi penyimpanan cadangan pokok yang dilakukan oleh pengusaha pangan skala kecil dan perseorangan karena tidak menimbulkan gejolak harga. Terlebih lagi, pengusaha pangan skala kecil menyimpan cadangan pangan pokok adalah demi menghindari kerugian yang lebih besar.

Rekayasa Genetika dan Implikasinya
Rekayasa genetika adalah sebuah proses bioteknologi modern yang mengubah karakter sebuah organisme (hewan/tumbuhan) dengan mentransfer gen dari satu spesies ke spesies lainnya atau bisa juga hanya mengubah gen yang ada dalam spesies itu sendiri. Nama lain istilah ini adalah Genetically Modified (GM), Genetically Modified Organism (GMO) atau transgenik.
Rekayasa genetika dalam Pasal 69 huruf c dan Pasal 77 ayat (1) dan ayat (2) Rekayasa Genetika Pangan mengganggu kestabilan ekosistem, mengganggu kesuburan tanah, terjadinya Polusi Genetik yang mengganggu kesehatan manusia, mengakibatkan hilangnya varietas lokal, menciptakan ketergantungan petani terhadap benih pabrik yang memberatkan perekonomian petani.
Tiada kepastian keamanan rekayasa genetika. Sebab, hingga saat ini, rekayasa genetika bidang pangan masih dalam proses penelitian apakah rekayasa genetika bidang pangan aman atau tidak. Oleh karena itu, Pemerintah seharusnya melarang rekayasa genetik bidang pangan dan bukan memberikan pengaturan terhadap Pangan Produk Rekayasa Genetik.
Larangan terhadap rekayasa genetika bidang pangan adalah suatu keharusan yang bersifat mutlak. Hal ini sebagai wujud konsistensi negara dalam melindungi dan memenuhi para petani kecil, utamanya petani pemulia tanaman sebagai produsen pangan skala kecil, sebagaimana telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 99/PUU-X/2012.
Ketiadaan definisi yang jelas mengenai pelaku usaha pangan, membuka ruang kepada pengusaha pangan skala besar untuk menguasai produksi dan distribusi pangan dari hulu sampai ke hilir dari, di mana rekayasa genetika pangan merupakan bagian dari proses produksi. Hal ini merupakan wujud dari pengabaian pemerintah terhadap kewajiban dan tanggung jawabnya untuk melakukan perlindungan dan pemenuhan terhadap hak-hak petani pemulia benih.
Pangan produk rekayasa genetika adalah politik dominasi produk dari luar negeri terhadap bahan pangan dalam negeri yang justru mengakibatkan tersingkirnya para petani pemulia tanaman. Hal ini tentu menjadi ancaman bagi terwujudnya hak hidup sejahtera bagi para petani dalam negeri.

Nur Rosihin Ana
Catatan Perkara Majalah Konstitusi Edisi Desember 2013 klik di sini   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More