Demikian permohonan uji materi Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) yang yang
dilayangkan oleh PP Muhammadiyah ke Mahkamah Konstitusi (MK). Materi UU Ormas
yang diujikan PP Muhammadiyah yaitu Pasal 1 angka 1, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 30
ayat (2), Pasal 33 ayat (1) dan (2), Pasal 34 ayat (1), Pasal 35, Pasal 36,
Pasal 38, Pasal 40 ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), Pasal 57 ayat (2) dan
(3), Pasal 58, dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3) huruf a. Ketentuan
pasal-pasal tersebut bertentangan dengan paragraf keempat Pembukaan UUD 1945,
Pasal 28, Pasal 28A, Pasal 28C Ayat (2), dan Pasal 28Eayat (3) UUD 1945.
Permohonan PP Muhammadiyah diregistrasi oleh Kepaniteraan
MKpada 23 September 2013 dengan Perkara Nomor 82/PUU-XI/2013. Selanjutnya
MKmenetapkan susunan panel hakim untuk memeriksa perkara ini. Panel hakim
terdiri dari tiga hakim konstitusi, yakni Hamdan Zoelva (ketua panel), Ahmad
Fadlil Sumadi, dan Arief Hidayat. Selain itu, menetapkan jadwal sidang
pemeriksaan pendahuluan pada Kamis, 10 Oktober 2013
Definisi Ormas dalam Pasal 1 angka 1 UU Ormas menyebutkan bahwa Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan NKRI yang berdasarkan Pancasila. Pasal 4 UU Ormas juga menerangkan bahwa Ormas bersifat sukarela, sosial, mandiri, nirlaba, dan demokratis. Selain itu, Pasal 5 UU Ormas secara tegas memaksa Ormas untuk secara kumulatif bertujuan antara lain yaitu untuk menjaga nilai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Definisi Ormas sebagai organisasi yang yang bersifat nirlaba, merupakan definisi yang absurd. Sebab, dalam Pasal 39 UU Ormas justru memperbolehkan adanya pendirian badan usaha Ormas. Hal ini jelas ketentuan yang bertentangan satu sama lain yang pada akhirnya tidak memberikan kepastian hukum dan merugikan kepentingan kontitusional PP Muhammadiyah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Absurditas UU Ormas kian tampak nyata ketika
dihadapkan antara Pasal 1 dengan Pasal 5. Sebab, bagaimana mungkin menjalankan
tujuan Ormas sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 huruf c UU Ormas yakni,
“menjaga nilai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,…” jika Ormas
sendiri hanya didefinisikan sebagai “….organisasi yang didirikan dan dibentuk
oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak,
kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam
pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia…” Ketika
aspek kesamaan agama tidak dapat mendasari terbentuknya Ormas, bagaimana
mungkin tujuan sebagaimana ditentukan dapat dilaksanakan?
Konstruksi Legislasi Asosiologis
Konstruksi legislasi perumusan norma dalam
pasal-pasal tersebut tidak memiliki pijakan sosiologis yang tepat untuk
menjabarkan Pasal 28 UUD 1945, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
Undang-undang.” Sebab UU Ormas mencakup organisasi berdasarkan minat olahraga,
seni/budaya, profesi (advokat, notaris, dokter, wartawan, dll), hobi,
keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, sosial, kepemudaan dan sebagainya. Apa
pun istilah lain bagi Ormas itu (lembaga swadaya masyarakat, organisasi non-pemerintah,
dan organisasi sosial) semuanya tercakup dalam UU Ormas. Padahal pemilihan
sebuah istilah tentu memiliki alasan dan sudut pandang tertentu.
Mendefinisikan masing masing istilah tersebut
di atas tanpa tolak ukur yang jelas, maka akan menjadi sebuah kompleksitas
tersendiri. Apa yang dimaksud dengan LSM? Apa bedanya dengan Ornop/NGO? Kenapa
pula ada yang disebut dengan OMS? Kesimpangsiuran terjadi diakibatkan karena
istilah-istilah tersebut (LSM, Ornop/NGO, dll) sesungguhnya adalah
istilah-istilah yang berada pada wilayah praktis sehingga pemaknaan maupun
perspektif terhadap masing-masing istilah sangat bergantung pandangan para
pihak kepada organisasi yang bersangkutan. Oleh karena itu, perumusan dan
konstruksi legislasi yang menjadikan Ormas seperti “BASKOM” dari kemerdekaan
berserikat menjadi ambigu dikarenakan UU Ormas seolah-olah menyeragamkan maskud
kebebasan berserikat itu sendiri.
PP Muhammadiyah mensinyalir adanya upaya
pembentuk UU untuk “ikut campur” yang terlalu berlebihan terhadap kemerdekaan
berserikat dan berkumpul. Hal ini tercermin dalam ketentuan Pasal 33 ayat (1)
dan (2) UU Ormas yang menyatakan, “(1) Setiap warga negara Indonesia berhak
menjadi anggota Ormas. (2) Keanggotaan Ormas bersifat sukarela dan terbuka.”
Kemudian Pasal 34 ayat (2) UU Ormas menyatakan, “Setiap anggota Ormas memiliki
hak dan kewajiban yang sama.”
Sepatutnya pembentuk UU tidak terlampau jauh
mengatur hal-hal yang sesungguhnya menjadi kewenangan absolut Ormas. Tidak
semua warga negara Indonesia berhak menjadi anggota suatu ormas apabila
terdapat perbedaan yang prinsipil seperti perbedaan agama, perbedaan kehendak,
dan atau perbedaan platform pemikiran sehingga mekanisme organisasi yang berhak
menentukan apa kriteria tertentu untuk masuk kedalam organisasi tertentu. Oleh
karena itu, norma tersebut jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 28A dan Pasal
28C ayat (2) UUD 1945.
Kemudian mengenai kewajiban membuat laporan
pertanggungjawaban keuangan bagi Ormas yang menghimpun dan mengelola dana dari
iuran anggota, sebagaimana ketentuan Pasal 38 UU Ormas, merupakan ketentuan
yang mengada-ngada dan mereduksi makna Pasal 28Eayat (3) UUD 1945. Sangat tidak
relevan apabila UU menentukan bahwa Ormas yang mengelola keuangan iuran anggota
diwajibkan membuat laporan pertanggungjawaban keuangan sesuai dengan standar
akuntansi. Hal ini tidak perlu diatur dalam UU. Sebab, proses
pertanggungjawaban dalam hal apapun yang dilakukan oleh ormas, merupakan hak
prerogatif ormas itu sendiri. Pelaporan berkala yang ditentukan justru
mengaburkan makna kebebasan berserikat dan berkumpul sebagaimana dijamin dalam
UUD 1945.
Selubung Kepentingan
Pemberdayaan terhadap Ormas yang dilakukan
oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah, sebagaimana ketentuan Pasal 40 UU Ormas,
merupakan ketentuan yang berpotensi menimbulkan tindakan korup yang dilakukan
atas nama pemberdayaan Ormas. Pembinaan Ormas juga potensial membawa
kepentingan terselubung bagi pemerintah dan/atau pemerintah daerah untuk
membangkitkan kembali “ormas plat merah” sebagaimana yang dulu besar pada masa
Orde Baru melalui ketentuan-ketentuan yang serupa.
Pemerintah juga tidak perlu ikut campur tangan
dalam perselisihan internal Ormas. Sengketa Ormas tidak perlu dimasukkan ke dalam
jalur hukum (litigasi), kecuali yang berkaitan dengan tindak pidana, ataupun
sengketa prestasi yang bersifat privat. Campur tangan Pemerintah dalam
ketentuan Pasal 57 UU Ormas jelas-jelas berlebihan.
Ihwal larangan menerima atau memberikan
sumbangan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
sebagaimana ketentuan Pasal 59 ayat (3) huruf a UU Ormas. Ketentuan ini
multitafsir dan sesungguhnya telah diatur dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang khususnya pada Pasal
3, Pasal 4, Pasal 5. Multitafsir dikarenakan di satu sisi perbuatan yang
demikian itu merupakan tindak pidana dan di sisi lain hanya bersifat pelarangan
yang justru akan membingungkan.
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, PP
Muhammadiyah meminta MK menyatakan Pasal 1 angka 1, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 30
ayat (2), Pasal 33 ayat (1) dan (2), Pasal 34 ayat (1), Pasal 35, Pasal 36,
Pasal 38, Pasal 40 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6),
Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 58, dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3)
huruf a UU Ormas bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Paragraf Keempat
Pembukaan UUD 1945, Pasal 28, Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat
(1), Pasal 28Eayat (3) UUD 1945, serta tidak berkekuatan hukum mengikat. Atau
menjatuhkan putusan alternatif, yaitu menyatakan UU Ormas bertentangan dengan
UUD 1945, khususnya Paragraf Keempat Pembukaan UUD 1945, Pasal 28, Pasal 28A,
Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28Eayat (3) UUD NRI Tahun 1945
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan.
Nur Rosihin Ana
Catatan Perkara,
Majalah Konstitusi Edisi Nomor 80 – Oktober 2013