Cerita tentang derita
para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri, menambah panjang
daftar kelam tentang minimnya perlindungan oleh negara terhadap warganya. TKI sering
kali dijadikan objek perdagangan manusia. Kesewenang-wenangan, kejahatan atas
harkat dan martabat serta perlakuan yang melanggar HAM menjadi kenyataan pahit
yang harus mereka terima.
Hal tersebut
dikarenakan negara absen memberikan perlindungan kepada para “pahlawan devisa”.
Negara tidak menjalankan amanat konstitusional untuk memberikan perlindungan
bagi TKI di luar negeri. Negara justru menyerahkan
tanggung jawabnya kepada swasta. Pendelegasian tanggung jawab penempatan TKI
oleh negara kepada swasta merupakan merupakan bentuk pengingkaran terhadap
hak-hak konstitusional warga negara yang yang bekerja di luar negeri.
Salah satu tugas Negara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa. Namun, prinsip perlindungan dan kepastian hukum bagi Tenaga
Kerja Indonesia (TKI) belum tercermin dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004
tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU
PPTKILN). Ketidakseriusan negara memberikan perlindungan kepada TKI, tergambar
jelas dalam ketentuan UU PPTKILN. Yakni Pasal 10 huruf b, Pasal 58 ayat (2),
Pasal 59, dan Pasal 60 UU PPTKILN.
Ketentuan pasal-pasal UU PPTKILN tersebut
diusung ke MK untuk dimohonkan judicial review. Pengusungnya adalah Arni
Aryani Suherlan Odo, Siti Masitoh BT Obih Ading, dan Ai Lasmini BT Enu Wiharja.
Para Pemohon yang merupakan buruh migran sekaligus aktivis Yayasan PRO TKI ini
meminta MK menyatakan Pasal 10 huruf b, Pasal 58 ayat (2), Pasal 59, dan Pasal
60 UU PPTKILN bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.
Kepaniteraan MK meregistrasi permohonan para
TKI luar di negeri ini dengan Nomor 50/PUU-XI/2013 pada Senin 29 April 2013
pukul 14.00 WIB. Menanggapi permohonan buruh migran tersebut, MK menggelar
sidang pendahuluan pada Selasa (28/5).
Swastanisasi Tanggung Jawab
Dalam permohonan setebal 12 halaman yang
dilayangkan ke MK, para Pemohon melalui kuasa hukum Sondang Tampubolon dkk,
mendalilkan bahwa Pemerintah
bertugas mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri. Ketentuan ini diperkuat dengan Pasal 10 yang mengamanatkan penempatan
TKI di luar negeri dilaksanakan oleh Pemerintah dan swasta. Namun, dalam
prakteknya, Pemerintah cenderung memberikan kewenangan pengiriman TKI kepada Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia
Swasta (PPTKIS).
Pasal 10 UU PPTKILN menyatakan, “Pelaksanaan
penempatan TKI di luar negeri terdiri dari: a. Pemerintah; b. Pelaksanaan
penempatan TKI swasta.” Ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU PPTKILN memberikakan
tanggung jawab penempatan TKI kepada swasta. Menurut para Pemohon, hal ini
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) yang menegaskan, “Setiap orang berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Kontrak Mandiri
Para Pemohon juga berdalil bahwa pengurusan
perpanjangan perjanjian kerja hanya oleh PPTKIS, menutup peluang TKI untuk
mengurus perpanjangan kontrak secara mandiri. Hal ini merugikan karena tiadanya
jaminan para Pemohon akan kembali bekerja pada majikan yang sama. Selain itu,
para Pemohon berpotentsi kehilangan pekerjaan sebab fakta selama ini, penempatan TKI swasta sering mempersulit
pengurusan perpanjangan kerja TKI. Bahkan ditemukan fakta perusahaan penempatan TKI swasta tidak lagi diketahui
keberadaannya.
Pasal 58 ayat (2) menyatakan, “Pengurusan untuk mendapatkan persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
oleh dan menjadi tanggungjawab pelaksana penempatan TKI swasta.” Frasa “oleh dan menjadi
tanggungjawab pelaksana penempatan TKI swasta” dalam
ketentuan pasal ini membatasi secara limitatif bahwa yang boleh melaksanakan
pengurusan perpanjangan perjanjian kerja hanya Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta
(PPTKIS). Hal ini menurut para Pemohon, bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2)
UUD 1945 menegaskan, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
Begitu pula dengan ketentuan Pasal 59 UU
PPTKILN yang menyatakan, “TKI yang
bekerja pada Pengguna perseorangan yang telah berakhir perjanjian kerjanya dan
akan memperpanjang perjanjian
kerja TKI yang bersangkutan harus pulang terlebih dahulu ke Indonesia.” Ketentuan ini
menurut para Pemohon juga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945.
Ketentuan ini mengharuskan TKI pulang ke Indonesia untuk mengurus perpanjangan
perjanjian kerja. Ketentuan ini selain tidak efektif, juga berpotensi
menyebabkan TKI kehilangan kesempatan untuk bekerja pada majikan yang sama,
karena majikan telah memperkerjakan orang lain.
UU PPTKILN yang disahkan pada 18 Oktober 2004
ini telah memunculkan adanya penafsiran berbeda dari para pihak, terutama
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) dan Badan
Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dan
Kementerian Luar Negeri terkait keabsahan dan pemberlakuan kontrak mandiri.
Multitafsir dimaksud yaitu pada Pasal 60 menyatakan, “Dalam hal perpanjangan dilakukan sendiri oleh TKI yang bersangkutan, maka
pelaksana penempatan TKI swasta
tidak bertanggungjawab atas risiko yang menimpa TKI dalam masa perpanjangan perjanjian kerja.”
Norma Pasal 60 dalam tataran implementasi
ditafsirkan berbeda oleh BNP2TKI dan Kemenakertrans. Peraturan Kepala BNP2TKI
Nomor PER.04/KA/V/2011 tentang Petunjuk Teknis Tenaga Kerja Indonesia yang
Bekerja Secara Perseorangan, menyebutkan bahwa kontrak kerja
mandiri/perseorangan hanya dapat dilakukan bagi yang bekerja pada badan hukum.
Namun dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.14/MEN/X/2010 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri, dijelaskan bahwa kontrak kerja mandiri yang dilakukan
oleh TKI secara mandiri diperbolehkan, tanpa membedakan yang bekerja pada badan
hukum atau perseorangan.
Larangan kontrak mandiri oleh Pemerintah
Indonesia di luar negeri sangat merugikan TKI. Pemerintah seharusnya mengaca
pada negara lain seperti Filipina, Srilanka, dan Thailand yang membebaskan
tenaga kerjanya untuk kontrak mandiri. Norma tersebut pun memunculkan
pertanyaan bagi para Pemohon. Apakah perpanjangan perjanjian kerja yang
dilakukan oleh TKI yang bersangkutan sah atau tidak sah? Apakah ketentuan
tersebut berarti perpanjangan kerja TKI sah, tetapi risiko hukum akibat
perpanjangan perjanjian ditanggung oleh TKI yang bersangkutan?
Nur Rosihin Ana
Catatan Perkara Majalah Konstitusi Edisi Juni 2013: