Sejak pelaksanaan Pemilu di era Reformasi yaitu Pemilu Tahun 1999
hingga 2009, hak suara warga negara Indonesia yang berdomisili di luar negeri
(WNI LN) dalam Pemilu Legislatif, dimasukkan sebagai perolehan suara Dapil
DKI Jakarta II. Hal ini dinilai merugikan hak-hak konstitusional mereka. Merasa
diperlakukan tidak adil, sejumlah WNILN mengujikan ketentuan Pasal 22 ayat (1)
dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (UUPemilu Legislatif) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Inti permohonan,
menuntut pembentukan daerah pemilihan
luar negeri (Dapil LN).
Menanggapi permohonan,
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materi UUPemilu Legislatif pada
(21/1). Persidangan untuk perkara yang diregistrasi oleh Kepaniteraan MK dengan
Nomor 2/PUU-XI/2013 ini, diajukan oleh sejumlah WNI LN yang berasal daerah
berbagai daerah di Indonesia. Mereka yaitu, Priyo Puji Wasono (Washington DC),
Deyantono Kok Young (Taiwan), Ilhamsyah Abdul Manan (Georgia USA), Nira Bagoes
(Toronto), Fify Manan (USA), Renny Damayanti Mallon (San Fransisco), Duta
Mardin Umar (Washington DC), Rudy Octavius Sihombing (Taiwan), Muhammad Al Arif
(Washington DC), Rizki Nugraha Hamim Penna (Qatar), Syamsiah Hady (Sydney,
Australia), Amin Hady (Sydney, Australia), Santa Imelda Paulina Tenyala
(Brussels, Belgia), Ismail Umar (Doha, Qatar), Arief Amiharyanto (Doha, Qatar),
Dahliana Suryawinata (Den-Haag, Belanda), Hermansyah (Belanda), Tony Thamsir
(Taiwan), Firman Mangasa Simanjuntak (Taiwan), Danny Tandela (California, USA),
Andry Antoni (Washington DC), Kasuma Juniarni (Korea Selatan), Joko Mulyono
Slamet (Korea Selatan), Charles Bonar Pardomuan (Doha-Qatar), Etty Prihartini
Theresia (Sanaa, Yaman), Rosalia Adywarman Arby (Jeddah, Saudi Arabia), Aifah Adywarman
Arby (Cairo, Mesir), Benyamin Rasyad (Houston, USA), Eli Warti Maliki (Jeddah,
Arab Saudi), Heri Sunarli Hansuana (Doha-Qatar), dan Rizaldi Fadilla
(Doha-Qatar).
Pasal 22 ayat (1) UUPemilu
Legislatif menyatakan, “Daerah pemilihan anggota DPRadalah provinsi,
kabupaten/kota, atau gabungan kabupaten/kota.”
Pasal 22 ayat (5) UUPemilu
Legislatif menyatakan, “Daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.”
Para Pemohon yang diwakili
kuasa hukumnya, Ibnu Setyo, mengungkapkan bahwa hak konstitusional mereka yang
dijamin Pasal 28H UUD 1945 terlanggar dengan
berlakunya Pasal 22 ayat (1) dan (5) UU Pemilu
Legislatif. Sebab, ketentuan dalam pasal ini tidak mencantumkan Dapil LN. Hal
ini sangat potensial merugikan hak-hak konstitusional para Pemohon. Akibatnya,
kepentingan para Pemohon sebagai WNI LN secara khusus tidak terwakili di DPRRI.
“Lahirnya pasal dan frasa
dalam UU a quo yang tidak mencantumkan adanya Dapil Luar Negeri telah
menyebabkan kerugian atau paling tidak menimbulkan potensi kerugian
konstitusional Para Pemohon, karena tidak secara khusus terwakili
kepentingannya sebagai WNI yang berdomisili di luar negeri dalam keterwakilan di
DPR RI,” ujar Ibnu Setyo di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh
Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar.
Ibnu menjelaskan,
konsekuensi dari hak untuk memilih adalah keterwakilan secara adil dalam
Pemerintahan khususnya oleh wakil rakyat di DPR RI. Namun kesamaan kedudukan dan
hak untuk diwakili dalam pembentukan daerah pemilihan yang diatur dalam Pasal
22 ayat (1) UU Pemilu. “Ketentuan dalam Pasal 22 ayat (1) UU a quo tidak
mengakomodasi secara khusus keberadaan
pemilih di luar negeri yang secara de facto tidak berdomisili di provinsi atau
kabupaten/kota sebagaimana disebutkan dalam pasal a quo,” jelas Ibnu yang
mewakili 31 perseorangan WNI yang berdomisili di luar negeri.
Beda Kepentingan
Lampiran UUPemilu
Legislatif pada poin 11 menyebutkan, Dapil DKI Jakarta II meliputi Kota Jakarta
Pusat plus Luar Negeri, dan Kota Jakarta Selatan. Lampiran UU Pemilu Legislatif
ini menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penentuan Dapil. Sebab, bagaimana
mungkin WNI LN dianggap sebagai bagian dari penduduk DKIJakarta, karena faktanya
mereka berasal daerah daerah yang berbeda-beda di Indonesia.
WNI LN seharusnya
mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus sehingga kepentingannya terwakili.
Penempatan kepentingan WNILN secara bersamaan dengan warga Provinsi DKI Jakarta
merupakan hal yang salah. Sebab kepentingan politik dan kebutuhan atas
keterwakilan antara warga DKIJakarta dengan WNI LN jelas berbeda.
Ketentuan dalam Pasal 22
ayat (5) UU Pemilu Legislatif yang selanjutnya dirumuskan dalam lampiran
UU Pemilu Legislatif poin 11, merupakan lampiran yang ditetapkan tanpa
menggunakan metode penghitungan yang jelas untuk mendapatkan jumlah kursi di
setiap provinsi dan Dapil secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk
sesuai dengan prinsip kesetaraan. Fakta menunjukkan, metode penentuan Dapil sebagaimana
diatur Pasal 22 ayat (4) UUPemilu Legislatif mengakibatkan beberapa provinsi
mengalami over-representation (jumlah kursi melebihi dari yang seharusnya). Di
sisi lain, beberapa provinsi mengalami under-representation (jumlah kursi
kurang dari yang seharusnya).
Dapil LN
Data Kementerian Luar
Negeri RItahun 2011, menunjukkan WNIyang berdomisili di luar negeri berjumlah
4.457.743 jiwa. Jumlah tersebut bisa mencapai hingga 7 juta jiwa jika
ditambahkan dengan WNI LN yang tidak melapor ke perwakilan Indonesia di LN.
Jumlah WNI LN tersebut cukup
besar melebihi jumlah penduduk Kota Jakarta
Pusat (898.883 jiwa) dan Penduduk Kota Jakarta Selatan (2.057.080 jiwa).
Kontribusi jumlah WNI LN yang cukup besar ini berbanding terbalik dengan
keterwakilan dan perhatian anggota DPR-RIyang berada di Dapil DKIJakarta II.
Sudah selayaknya WNI LN
memiliki Dapil tersendiri yang terpisah dari wilayah DKIJakarta. Keterwakilan
Dapil LN dengan menggunakan Dapil DKI Jakarta IIsangat tidak efektif karena, pertama,
konstituensi WNI LN cukup besar sehingga sudah selayaknya dibentuk Dapil LN.
Kedua, terjadinya voters
disenfranchisement karena keterwakilan konstituen WNILN yang cukup besar, tidak
ada di DPR-RI. Para wakil rakyat yang terpilih mewakili Dapil DKIJakarta
IItidak tampil mewakili kepentingan WNILN. Buktinya, wakil rakyat dari Dapil
DKIJakarta IItidak pernah melakukan temu konstituensi kepada WNILN. Mereka juga
tidak pernah menyuarakan isu-isu penting yang relevan dengan kepentingan WNI LN.
Ketiga, munculnya sikap
apolitis WNI LN. Voters Tournout atau jumlah pemilih yang menggunakan hak
pilihnya di TPS tergolong rendah. Hal ini disebabkan tidak efektifnya
keterwakilan bagi WNI LN. Bagi konstituen WNI LN, tidak ada pengaruhnya
menggunakan hak pilih karena tidak adanya wakil di lembaga legislatif yang
dapat menjadi saluran penyampaian aspirasi.
Berdasarkan dalil-dalil (adillah)
tersebut di atas, para Pemohon yang menganggap diri mereka sebagai Diaspora
Indonesia di LN ini sangat berharap kepada Mahkamah agar mengabulkan permohonan
mereka. Para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 22 ayat (1) UU Pemilu
Legislatif adalah inkonstitusional sepanjang tidak dibaca: “Daerah pemilihan
anggota DPRadalah provinsi, kabupaten/kota, atau gabungan kabupaten/kota, atau
luar negeri.”
Selain itu, para Pemohon
meminta Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 22 ayat (5) UUPemilu Legislatif
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang tidak mencantumkan Daerah Pemilihan Luar Negeri sebagai daerah
pemilihan yang terpisah dengan Daerah Pemilihan DKI Jakarta II.
Gayo Tuntut Satu Dapil
Masalah pembagian daerah pemilihan (Dapil), juga memicu rasa
keterwakilan masyarakat Gayo, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) di
DPRRIdan DPRAceh. Hal ini mendorong mendorong 9 orang perwakilan masyarakat
Suku Gayo mengajukan pengujian atas Pasal 22 ayat (5) UU Pemilu Legislatif.
Panel Hakim Konstitusi
Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar dan Muhammad Alim menggelar sidang untuk perkara
yang teregistrasi dengan Nomor 6/PUU-XI/2013 pada Senin (28/1/2013). Pada
persidangan pendahuluan ini, Mursid, salah seorang dari Pemohon yang juga
merupakan anggota DPD dari Aceh, hadir langsung di gedung MK didampingi kuasa
hukumnya, Yance Arizona.
Yance mengklaim hilangnya
keterwakilan masyarakat minoritas Gayo secara nyata disebabkan karena adanya
pembagian Dapil Nanggroe Aceh Darussalam Idan Nangroe Aceh Darussalam IIyang
telah memecah empat kabupaten yang dihuni masyarakat Suku Gayo. “Pemecahan
menjadi 2 Dapil telah mempersulit keterwakilan Suku Gayo. Dengan tidak adanya
wakil, maka tidak ada perhatian dari DPRRI, ” tegas Yance.
Keempat kabupaten tersebut
adalah Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Luwes dan Bener Meriah. Idealnya
menurut Pemohon, keempat kabupaten yang berpenduduk suku Gayo, tidak dipecah
dalam 2 Dapil yang berbeda, melainkan tetap disatukan pada 1 Dapil, agar
seluruh suara Suku Gayo dapat lebih terfokus pada para wakilnya, yang otomatis
akan menyuarakan aspirasi dan kepentingan masyarakat Gayo secara komprehensif
dan konsisten.
Mursid kemudian
mencontohkan, dengan terpecahnya suara Suku Gayo di 2 Dapil yang berbeda, telah
menyebabkan tidak ada satupun wakil dari Suku Gayo yang duduk di DPRpada Dapil
2. Sementara dari Dapil 1, Suku Gayo hanya memperoleh 1 kursi dari total 7
kursi yang harus diperebutkan. Nasib yang sama juga terjadi di tingkat DPRD. Ia
menambahkan, dari 10 kursi yang tersedia di DPRAceh, suku Gayo hanya mampu
mengirimkan 1 orang untuk mewakili masyarakat Aceh Tengah dan Bener Meriah. Hal
yang tidak jauh berbeda juga terjadi saat penentuan kursi DPD yang dimiliki
Mursid. Ia harus bersengketa ke MK di tahun 2009, untuk mempertahankan haknya
guna mewakili daerahnya. Karena itu, Mursid mencurigai, terjadinya pemecahan 2
Dapil yang membelah suara Suku Gayo lebih bernuansa geo-politis, yang bertujuan
dengan sengaja menghilangkan keterwakilan suku Gayo di parlemen, baik pusat
maupun daerah.
Tiga Dapil Solusi Terbaik
Ditemui usai persidangan,
Mursid yang mewakili 8 orang Pemohon lainnya menawarkan solusi pemecahan
terbaik bagi pemenuhan rasa keterwakilan masyarakarat Gayo. Menurutnya,
pembagian 3 Dapil di Provinsi Aceh Darussalam (NAD), yang terdiri dari Dapil
NAD I, Dapil NAD II, dan Dapil NAD III, dapat menjadi alternatif yang patut
dipertimbangkan. Dalam hal ini, 4 kabupaten yang dihuni Suku Gayo, yakni Bener
Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues dan Aceh Tenggara, akan terfokus berada dalam 1
Dapil, yakni Dapil NAD II. Ia menyakini, dengan komposisi Dapil demikian, akan
mempermudah Masyarakat Gayo memiliki wakil di DPRD dan DPR RI sehingga dapat
menyuarakan kepentingannya.
Sementara itu, dalam
nasihatnya, Majelis Hakim meminta Mursid dan kuasanya Yance untuk kembali
mempertegas permohonan dengan menjawab pertanyaan, apakah dengan tidak
terfokusnya masyarakat Gayo dalam 1 Dapil, maka akan menghilangkan hak
keterwakilan di parlemen serta mereduksi pengakuan terhadap budaya lokal suku
minoritas Gayo. (Lulu
Anjarsari, Nur Rosihin Ana, Juliet)
KONSTITUSI Edisi
Februari 2013 No.72
Tidak ada komentar:
Posting Komentar