Lambang negara
Garuda Pancasila, bendera Negara Sang Merah Putih dan Bahasa Indonesia,
merupakan jati diri dan identitas Bangsa
Indonesia. Keempat simbol
negara tersebut merupakan cerminan dari kedaulatan negara di dalam tata
pergaulan dengan negara lain. Selain itu, menjadi cerminan kemandirian dan
eksistensi negara Indonesia
yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Oleh karena itu, perlu
diadakan suatu perangkat hukum yang mengatur mengenai keempat simbol tersebut
sehingga terjadi persamaan interpretasi mengenai simbol-simbol negara dimaksud.
Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) bersama Pemerintah
telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta
Lagu Kebangsaan (UULambang Negara). Bentuk,
ukuran, dan warna Lambang Negara Garuda Pancasila digali dari unsur kebudayaan,
filosofis, dan ideologis (landasan idiil) yang merupakan pandangan hidup bangsa
Indonesia. Hal ini
sebagaimana diurai dalam Pasal 48 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 46, Pasal 47
ayat (2), Pasal 48 ayat (1) dan ayat (2) huruf b dan huruf e, dan Pasal 49
huruf c UULambang Negara.
Lambang negara Garuda Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan
Pancasila sebagai milik dari seluruh elemen bangsa Indonesia. Tidak ada alasan
untuk menjauhkan lambang Garuda Pancasila dari jangkauan rakyat sebagai
pemiliknya, baik secara fisik maupun dengan rekayasa peraturan perundang-undangan,
sepanjang digunakan sebagai wujud atau eksploitasi dari rasa nasionalisme dan
kecintaan kepada bangsa dan negara Indonesia.
Namun, realitas mengatakan sebaliknya. Penggunaan lambang negara
oleh warga negara, justru berbuah penjara. Misalnya yang menimpa Erwin Agustian dan Eko Santoso. Kecintaan dan
nasionalisme sebagai warga negara Indonesia,
menjadi spirit bagi Erwin
dan Eko untuk menggunakan lambang negara Garuda Pancasila. Namun idealisme
Pancasila dan nasionalisme Indonesia yang ditunjukkan oleh Erwin dan Eko, justru mengantarkan dua
orang buruh di Purwakarta ini ke bilik jeruji besi. Keduanya menjadi korban
atas pelaksanaan UULambang Negara.
Bersama dengan Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), Ryan
Muhammad, Erwin Agustian dan Eko Santoso mengajukan permohonan pengujian materi
UU Lambang Negara ke Mahkamah Konstitusi.
Materi yang diujikan yaitu Pasal 57 huruf c dan huruf d UULambang Negara.
Pasal 57 huruf c
menyatakan, “Setiap orang dilarang membuat Lambang untuk perseorangan, partai
politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai
Lambang Negara.”
Pasal 57 huruf d
menyatakan, ”Setiap orang dilarang menggunakan Lambang Negara untuk keperluan
selain yang diatur dalam Undang-Undang ini.”
Larangan tersebut diperkuat
dengan ancaman pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 69 huruf c yang
menyatakan, “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau
denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), setiap orang yang:
… c. dengan sengaja menggunakan Lambang Negara untuk keperluan selain yang
diatur dalam Undang-Undang ini”.
Para Pemohon berdalil,
lambang negara Garuda Pancasila yang identik dengan Pancasila adalah milik
seluruh rakyat Indonesia. Penggunaan lambang negara tidak dapat dibatasi pada
sebagian kalangan saja dengan tidak mengenyampingkan
tindakan-tindakan yang ditujukan untuk merendahkan lambang negara Garuda
Pancasila itu sendiri.
Pasal 57 huruf c dan d
adalah tidak sesuai dengan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia.
Seharusnya lambang negara harus “membumi” dan dimasyarakatkan kepada seluruh
warga negara Indonesia, agar mengakar dan tidak jauh atau bahkan terpisahkan
dari bangsa Indonesia sendiri sebagai pemiliknya. Hal ini dapat dilakukan
dengan berbagai media dan cara atau model, kreativitas atau upaya sepanjang
tidak merusak atau merubah bentuk lambang Negara itu sendiri.
Ketentuan Pasal 57 huruf c
yang memuat larangan membuat lambang untuk perseorangan, partai politik,
perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai lambang
negara adalah tidak sesuai dengan semangat kebebasan berpikir, berkehendak,
serta berserikat dan berkumpul untuk mengekspresikan kehendaknya di muka umum,
dengan tidak mengenyampingkan tindakan-tindakan pihak tertentu yang bermakna
sebagai klaim miliknya sendiri atau golongan tertentu. Demikian pula dengan
Pasal 57 huruf d, larangan menggunakan lambang Negara untuk keperluan lain
selain yang diatur dalam undang-undang ini adalah tidak sesuai dengan Pancasila
sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia.
Milik Pejabat
Ketentuan dalam UU Lambang
Negara tersebut justru menjauhkan masyarakat dari lambang negaranya sendiri.
Lambang negara seolah-olah hanya milik pejabat Negara atau kelompok tertentu
saja. Hal ini bertentangan dengan Pasal 28Iayat (2) dan Pasal 32 ayat (1) UUD
1945.
Memperkuat dalil, para
Pemohon pun menghadirkan Prof. Dr. Asvi Warman Adam. Asvi pernah menjadi saksi
ahli dalam kasus buruh di Purwakarta yang stempelnya menggunakan lambang
Garuda. Asvi juga saksi ahli dalam kasus Timnas PSSIyang menggunakan lambang
Garuda pada kaos seragamnya. Menurut Asvi, pasal yang mengancam pidana bagi
pengguna lambang yang tidak sesuai ketentuan UUadalah hal yang tidak dapat
diterima. Kasus Erwin dan Eko, dua buruh di Purwakarta, ternyata perkara
tersebut muncul atas aduan organisasi masyarakat pesaing kedua buruh tersebut.
Artinya ketentuan mengenai lambang hanya dipergunakan sebagai alat untuk
persaingan politik. “Persoalan Garuda Pancasila ini juga digunakan untuk
kepentingan politik, untuk kepentingan menyingkirkan, menindas, atau menentang
lawan politik,” kata Asvi dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi pada 11
April 2012.
Sementara dalam gugatan
terhadap Timnas PSSI, putusan PN tidak kunci atau apa yang ada Mahkamah
Konstitusi, dan itu kan ada gambar Garuda Pancasila,” lanjut Asvi.
Mahkamah berpendapat, tanda
dalam perspektif ilmu tanda (semiotik) adalah sesuatu yang mewakili sesuatu.
Secara umum terdapat tiga bentuk hubungan antara penanda (signifier) dengan
petanda (signified), yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah sesuatu yang
dipilih menjadi penanda karena keserupaan bentuknya dengan objek yang diwakili.
Indeks adalah sesuatu yang dipilih menjadi penanda karena mengisyaratkan objek
yang diwakilinya. Sedangkan simbol adalah penanda yang dipilih karena
disepakati secara konvensional atau lazim dipergunakan oleh masyarakat untuk
mewakili objek tertentu.
Objek petanda bukan hanya
bersifat fisik, melainkan meliputi juga nilai-nilai atau konsepsi-konsepsi.
Negara Indonesia sebagai suatu kompleks suku bangsa, nilai, dan perilaku; atau
sebagai kompleks fisik/benda/alam dan budaya, mutlak memerlukan sebuah penanda
untuk menyebut secara ringkas/mudah keberadaan kompleks suku bangsa, nilai, dan
perilaku dimaksud. Tanda yang dipergunakan untuk mewakili negara Indonesia,
dengan demikian haruslah mencerminkan kompleksitas yang dikandung oleh negara
Indonesia.
Bukan Ikon
Burung Garuda Pancasila
bukan sebuah ikon karena tidak memiliki kemiripan/keserupaan secara langsung
dengan konsep negara Indonesia. Garuda Pancasila dipilih mewakili bangsa-negara
Indonesia berdasarkan kesepakatan rakyat Indonesia. Tanda yang muncul dari
kesepakatan bersama ini lebih tepat disebut sebagai simbol, atau salah satu
variannya, yaitu lambang. Dalam lambang Garuda Pancasila tersebut terkandung
keseluruhan identitas bangsa-negara Indonesia, yang meliputi pula nilai-nilai
luhur yang dicita-citakan bangsa-negara Indonesia. Namun keterwakilan semua
bentuk identitas negara-bangsa Indonesia ke dalam bentuk Garuda Pancasila,
tidak berarti bahwa keragaman yang dimiliki tidak boleh dipergunakan secara
sendiri-sendiri. Setiap identitas bagian negara-bangsa Indonesia tetap dapat
dipergunakan secara terpisah.
Lambang mewakili
keseluruhan negara-bangsa Indonesia, sehingga individu warga negara Indonesia
sebagai bagian dari negara-bangsa Indonesia tersebut, memiliki hak untuk
mempergunakan lambang negara atau identitas lain dari negara, maupun
mempergunakan bentuk-bentuk identitas lainnya secara terpisah maupun
bersama-sama.
Lambang negara yang
mengandung makna tentu harus dihormati dan dihargai secara terus-menerus dari
generasi ke generasi. Meskipun dalam konteks tertentu makna suatu tanda selalu
bersifat relatif, yang artinya dapat berubah seturut waktu. Namun upaya
melanggengkan nilai-nilai negara-bangsa adalah hal yang harus diupayakan sebaik
mungkin demi keberlangsungan keberadaan negara-bangsa bersangkutan.
Salah satu hal yang dapat
dilakukan untuk mewariskan keberadaan lambang negara (baik dari segi nilai
maupun wujud fisiknya) adalah dengan membakukan standar bentuk lambang negara
dimaksud. Kebakuan bentuk lambang memang tidak dapat menjamin bahwa makna
lambang tersebut akan ikut ajeg atau tidak berubah. Begitu pula sebaliknya,
bahwa keajegan makna lambang negara tidak menjamin tidak berubahnya bentuk
lambang negara. Namun demikian, dalam rangka melanggengkan makna lambang
negara, sekecil apapun usaha yang dilakukan negara, menurut Mahkamah hal
tersebut memang sepatutnya dilakukan.
Kekang Ekspresi
Mahkamah lebih lanjut dalam
pendapatnya menyatakan, larangan pada ketentuan Pasal 57 huruf c UUlambang
negara, tidak dimaksudkan untuk mengekang hak-hak warga negara dalam
menggunakan lambang negara Indonesia. Penggunaan bentuk-bentuk yang sama atau
mirip lambang negara sebagai lambang perseorangan, partai politik, perkumpulan,
organisasi dan/atau perusahaan, memunculkan potensi kerugian bagi warga negara
secara keseluruhan. Kemiripan atau kesamaan bentuk lambang antara negara dengan
perseorangan atau organisasi lain di luar negara akan memunculkan anggapan
bahwa negara dan pihak bukan negara memiliki kemiripan atau kesamaan dalam
berbagai hal, sehingga menimbulkan kerancuan.
Pembatasan penggunaan
lambang negara merupakan bentuk pengekangan ekspresi dan apresiasi warga negara
akan identitasnya sebagai warga negara. Pengekangan yang demikian dapat
mengurangi rasa memiliki yang ada pada warga negara terhadap lambang negaranya,
dan bukan tidak mungkin dalam derajat tertentu mengurangi kadar nasionalisme,
yang tentunya justru berlawanan dengan maksud dibentuknya UUtersebut. Dengan
demikian, Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon beralasan menurut hukum.
Pasal 57 huruf d UU adalah
larangan yang diikuti ancaman pidana yang terdapat dalam Pasal 69 huruf c.
Dengan demikian terdapat hubungan yang erat antara kedua pasal tersebut sebagai
suatu ketentuan hukum yang berlaku. Oleh karena itu, maka pertimbangan hukum
Mahkamah terhadap Pasal 57 huruf d tersebut berlaku secara mutatis mutandis terhadap
Pasal 69 huruf c.
Alhasil, Mahkamah dalam
putusannya menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. “Amar
putusan, mengadili, menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk
sebagian,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD saat membacakan
putusan Nomor 4/PUU-X/2012 di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (15/1/2013).
Mahkamah menyatakan Pasal 57 huruf d dan Pasal 69 huruf c UULambang Negara
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (Nur Rosihin Ana)
KONSTITUSI Edisi Februari 2013 No.72
Selengkapnya putusan pengujian UU Lambang Negara bisa dibaca di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar