Keterwakilan
perempuan di parlemen yang tidak seimbang dibanding dengan laki-laki,
menyebabkan aspirasi, kepentingan dan kebutuhan perempuan terabaikan dalam
proses menganalisa situasi mulai dari level komunitas, mengidentifikasi dan
menentukan prioritas masalah, perencanaan serta pengalokasian anggaran
pembangunan (the right to development). Umumnya pola pikir dan cara
pandang para perencana dan penentu kebijakan, masih dipengaruhi stereotip
terhadap perempuan sebagai subordinasi, ibu rumah tangga atau ‘pekerja
domestik’.
Terhambatnya akses
perempuan ke dunia publik mengakibatkan berlanjutnya ketertinggalan perempuan
di berbagai bidang pembangunan, terutama di bidang pendidikan, kesehatan dan
ekonomi. Selain itu, berlanjutnya perlakuan diskriminasi dan kekerasan terhadap
perempuan, pada akhirnya berdampak pada peringkat kemajuan pembangunan manusia
Indonesia secara menyeluruh.
Kebijakan untuk
memenuhi kuota minimum 30% keterwakilan perempuan dalam paket UU Politik (UU Partai Politik dan Pemilu
Legislatif), sangat ditentukan oleh internal partai politik, terutama yang
berkaitan dengan rekrutmen, kaderisasi, mekanisme pengambilan keputusan
berkaitan dengan penetapan nomor urut dan seleksi caleg, penempatan caleg di
daerah pemilihan. Umumnya partai politik merekrut ‘siapa saja’,
bahkan ada partai politik besar yang secara terbuka mengakui terpaksa merekrut
para isteri dan kerabatnya untuk ‘mengisi’ ketentuan Tindakan Khusus Sementara
(TKS) “sekurang-kurangnya 30% perempuan dalam daftar bakal calon (balon),
sebagai syarat untuk bisa menjadi partai politik peserta pemilu” (Pasal 8 ayat
(2)e dan Pasal 55 UU Pemilu). Dengan demikian, maka rekrutmen
perempuan sebagai caleg hanya sekedar sebagai pelaksanaan memenuhi kebijakan
TKS untuk menjadi peserta pemilu atau ‘diambil suaranya’ oleh partai politik
dan tidak dilakukan secara tulus dan sunggug-sungguh sebagai upaya mewujudkan
Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG).
Ketentuan Ambigu
Ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu
Legislatif), yang mengatur tentang “Kepengurusan Partai” dan “Perempuan Bakal Calon Legislatif”,
menggunakan kata-kata yang ambigu (tidak jelas), sehingga menimbulkan
multitafsir dan tidak imperatif. Demikian anggapan sejumlah aktivis perempuan
yang mengajukan permohoan yudicial review materi UUPemilu Legislatif ke
Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan mereka diregister oleh Kepaniteraan MK
dengan Nomor 20/PUU/XI/2013 pada Selasa, 5 Februari 2013.
Para Pemohon terdiri
dari 9 badan hukum privat dan 22 perorangan. Kesembilan badan hukum privat
dimaksud yaitu, Pusat Pemberdayaan Perempuan Dalam Politik (PD Politik), Koalisi
Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi (KPI), Yayasan LBH APIK Jakarta, Lembaga
Partisipasi Perempuan, Perhimpunan Peningkatan Keberdayaan Masyarakat (PPKM),
Wanita Katolik Republik
Indonesia
(WKRI),
Yayasan Institute Pengkajian Kebijakan dan Pengembangan Masyarakat (Institute
for Policy and Community Development Studies-IPCOS), Women Research Institute
(WRI),
dan Yayasan MELATI‘83’. Sedangkan Pemohon
perorangan yaitu, Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, Suhartini Hadad, Nursyahbani
Katjasungkana, S.H., Soelistijowati Soegondo, SH., Sjamsiah Achmad, M.A., Atashendartini Habsjah,
Titi Anggraini,
Kentjana Indrishwari
S, Magdalena Helmina M.S., Dr. Marwah M Yunus Bandie, MM., Rotua Valentina, S.E., S.H., M.H., Gusti Kanjeng
Ratu Hemas, Eni Khairani, Hj. Hairiah, SH, MH., Hana Hasanah Fadel Muhammad.,
Hj. Noorhari Astuti,
S. Sos., Nurmawati Dewi Bantilan, Poppy Maipauw, Poppy Susanti Dharsono, Vivi Effendy, Dra. Siti Nia
Nurhasanah, dan Wahidah Suaib.
Materi UUPemilu Legislatif yang diujikan yaitu
kata “menyertakan” pada Pasal 8 ayat (2)e, kata “memuat” pada Pasal 55, frasa “....bakal calon perempuan dapat
ditempatkan pada urutan nomor 1 atau 2 atau 3 dan seterusnya...” pada
Penjelasan Pasal 56 ayat 2, dan kata “mempertimbangkan” pada Pasal 215 b.
Selengkapnya pasal-pasal yang diuji berbunyi:
Pasal 8 ayat (2) huruf
e, “Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu
sebelumnya atau partai politik baru dapat menjadi Peserta Pemilu setelah
memenuhi persyaratan: e. menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen)
keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;”
Pasal 55, “Daftar
bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 memuat paling sedikit 30% (tiga
puluh persen) keterwakilan perempuan.”
Pasal 56 ayat (2), “Di
dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga)
orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal
calon.” Kemudian Penjelasan Pasal 56 ayat (2): “Dalam setiap 3 (tiga) bakal
calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1, atau 2, atau 3
dan demikian seterusnya, tidak hanya pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya.”
Pasal 215, “Penetapan
calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai
Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta
Pemilu di suatu daerah pemilihan dengan ketentuan sebagai berikut. a. Calon
terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan
berdasarkan calon yang memperoleh suara terbanyak. b. Dalam hal terdapat dua
calon atau lebih yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dengan perolehan suara yang sama, penentuan calon terpilih ditentukan
berdasarkan persebaran perolehan suara calon pada daerah pemilihan dengan
mempertimbangkan keterwakilan perempuan. c. Dalam hal calon yang memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, jumlahnya kurang dari jumlah
kursi yang diperoleh Partai Politik Peserta Pemilu, kursi yang belum terbagi
diberikan kepada calon berdasarkan perolehan suara terbanyak berikutnya.”
Ketentuan dalam
pasal-pasal tersebut berkaitan dengan keterpilihan dan keterwakilan perempuan
dalam UUPemilu Legislatif. Kata dan frasa tersebut tidak menunjukkan adanya
kewajiban untuk dipatuhi. Selain itu, dapat ditafsirkan berbagai arti yang
berbeda-beda.
Kepengurusan atau
daftar bakal calon partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2)e,
Pasal 55, Penjelasan Pasal 56 ayat (2) UUPemilu, hanyalah “memuat” nama-nama
perempuan, tanpa disertai seleksi kreteria yang jelas berdasarkan kapasitas dan
kompetensi sebagai wakil rakyat, serta tanpa ada sanksi hukum yang mengikat.
Kata “memuat” pada Pasal 55, berasal dari kata “muat”, yang didefinisikan dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai: “ada ruang untuk ditempati; dapat berisi;
ada di dalamnya, mengandung.” Kata “memuat” mengandung konotasi negatif, karena
dapat merujuk kepada benda/obyek. Sedangkan “menyertakan” pada Pasal 8 ayat
(2)e berasal dari kata “serta” yang didefinisikan sebagai: “turut, ikut,
bersama dengan, menemani, mengiringi, pendamping.”
Berdasarkan definisi
tersebut di atas, menurut para Pemohon, kata “menyertakan” lebih tepat
digunakan dalam Pasal 55, karena sesuai dengan makna kata dasar “serta”. Kata
“menyertakan” dalam konteks tersebut merujuk kepada orang/subyek, bukan benda/
obyek.
Demikian juga dengan
frasa “mempertimbangkan keterwakilan perempuan”. Apakah ‘perempuan’ di sini
menunjuk kepada calon yang dipilih? Jika merujuk calon yang dipilih, bagaimana
jika tidak ada calon perempuan yang mendapatkan perolehan suara yang sama
dengan calon pria? Apakah hal tersebut berarti calon perempuan
harus diikutsertakan sebagai calon harus dipilih? Bukankah “dipertimbangkan”
bisa berarti dapat diterima atau ditolak? Apakah hal ini berarti akan ada suara pemilih
perempuan yang akan dibuang? Berapa jumlah pemilih perempuan yang diperlukan
agar dapat dianggap bahwa keterwakilan mereka sudah “dipertimbangkan”? Seluruh
pertanyaan ini tidak terjawab dalam UUPemilu Legislatif.
Selanjutnya, ketentuan
dalam Penjelasan Pasal 56 ayat (2) menimbulkan salah mengerti, karena salah
menafsirkan isi Pasal 56 ayat (2) pada frasa “setiap 3 (tiga) orang bakal calon
terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon”. Hal ini
berarti “dari setiap 3 nama bakal calon, bisa lebih dari 1 (satu) perempuan
bakal calon. Sedangkan dalam Penjelasan Pasal tersebut dikatakan, “Dalam setiap
3 (tiga) bakal calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1,
atau 2, atau 3 dan demikian seterusnya....”. Penggunaan kata “atau” berarti
dalam setiap 3 (tiga) bakal calon hanya boleh 1 (satu) orang perempuan bakal
calon; di tempat urutan 1, atau 2, atau 3 dst. Jadi, Penjelasan Pasal tersebut
malah mengurangi/membatasi jumlah perempuan bakal calon. Dengan demikian,
menurut para Pemohon, Penjelasan Pasal 56 ayat (2) salah tafsir dan menyalahi
makna dari TKS sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan, sehingga perlu
dihapus.
Hukumnya Wajib
Para Pemohon berharap
Mahkamah memandang pemberian TKS sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan
merupakan diskriminasi positif, karena memberikan jaminan kepada perempuan
untuk memiliki peluang keterpilihan lebih besar dalam Pemilu. Kemudian,
ketentuan TKS sekurang-kurangnya 30% perempuan dalam UUPemilu Legislatif perlu
dipertegas menjadi wajib hukumnya, disertai sanksi bagi yang melanggar dan
diubah dengan kata-kata yang lebih mengikat secara hukum, supaya efektif dan
menghasilkan wakil rakyat (laki-laki dan perempuan) yang kompeten dan mampu
menghasilkan kebijakan publik dan program pembangunan yang lebih adil bagi
rakyat semuanya.
Para Pemohon
berpendapat, tidak adanya pengaturan yang tegas untuk menyertakan perempuan
dalam Pasal 8 ayat (2)e, Pasal 55 dan Pasal 215 UUPemilu Legislatif,
mengakibatkan terlanggarnya hak-hak konstitusional mereka untuk mendapatkan
perlakuan, pengakuan, kedudukan, dan kesempatan yang sama dalam hukum dan
pemerintahan, serta hak untuk tidak didiskriminasi, sebagaimana diatur dalam
Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28H ayat (2), dan
Pasal 28Iayat
(2) UUD
1945. Oleh sebab itu, para Pemohon dalam petitum memohon kepada Mahkamah
agar menyatakan Pasal 8 ayat (2)e, Pasal 55, Penjelasan Pasal 56 ayat (2) dan
Pasal 215 b UUPemilu
Legislatif bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Nur Rosihin Ana
Catatan Perkara Majalah KONSTITUSI edisi Februari 2013
Update Berita
MK Kabulkan Judicial Review Soal Nomor Urut dan Keterpilihan Caleg Perempuan
Mahkamah Konstitusi memutus mengabulkan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu Legislatif) pada Penjelasan Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 215 huruf b. Dengan adanya putusan tersebut, keterwakilan perempuan dalam Pemilu lebih diutamakan dalam UU.
“Mengadili, menyatakan
mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Wakil Ketua Arief
Hidayat saat membacakan amar putusan di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Rabu
(12/3).
Dalam putusannya, MK
menyatakan Frasa ‘atau’ dalam Penjelasan Pasal 56 ayat (2) UU Pemilu Legislatif
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘dan/atau’.
Sehingga, selengkapnya
Penjelasan Pasal 56 ayat (2) UU Pemilu Legislatif menjadi:
“Dalam setiap 3
(tiga) bakal calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1,
dan/atau 2, dan/atau 3 dan demikian seterusnya,”
MK juga menyatakan
frasa ‘mempertimbangkan’ Pasal 215 UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan
tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘mengutamakan’.
Dengan kata lain,
Pasal 215 UU Pemilu Legislatif menjadi berbunyi:
“Dalam hal terdapat
dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dengan perolehan suara yang sama, penentuan calon terpilih ditentukan
berdasarkan persebaran perolehan suara calon pada daerah pemilihan dengan
mengutamakan keterwakilan perempuan”
Dalam pendapatnya,
Mahkamah menyatakan frasa ‘atau’ dalam penjelasan Pasal 56 ayat (2) UU tersebut
dapat dimaknai dalam setiap tiga orang bakal calon, hanya terdapat 1
(satu) perempuan. Namun, tidak memungkinkan adanya dua atau bahkan tiga
perempuan sekaligus secara berurutan dalam setiap tiga orang bakal calon. Terlebih
lagi, dengan adanya frasa ‘...tidak hanya pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya’
semakin memperjelas maksud bahwa pembentuk undang-undang berpesan kepada
partai politik peserta pemilu untuk tidak menempatkan satu orang perempuan
tersebut pada urutan terakhir dalam setiap tiga bakal calon, melainkan pada
urutan pertama atau kedua.
Mahkamah juga menilai
Pasal 56 ayat (2) UU 8/2012 dan penjelasannya dapat dimaknai secara berbeda
sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan berpotensi melanggar hak untuk
memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus bagi perempuan dalam memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan berupa
hak untuk mencalonkan dan hak untuk dipilih.
“Untuk menjamin
peluang keterwakilan perempuan di lembaga perwakilan sebagai implementasi dari
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang
sama guna mencapai persamaan dan keadilan dan untuk menjamin kepastian hukum
yang adil, menurut Mahkamah, terhadap frasa ‘atau’ dalam Penjelasan Pasal 56
ayat (2) UU 8/2012 haruslah dimaknai kumulatif-alternatif menjadi ‘dan/atau’
dan menghapus keberlakuan frasa ‘tidak hanya pada nomor urut 3, 6, dan
seterusnya’,” ujar Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati membacakan pendapat
Mahkamah.
Mengutamakan Perempuan
Sedangkan pada frasa
‘mempertimbangkan’ dalam Pasal 215 UU Pemilu Legislatif, Mahkamah
berpendapat apabila mendasarkan pada perolehan suara terbanyak dan legitimasi
keterwakilan dalam bentuk keluasan persebaran perolehan suara, baik laki-laki
maupun perempuan yang memperoleh suara terbanyak harus diutamakan untuk menjadi
anggota legislatif. Namun, apabila jumlah perolehan suara sama antara satu
orang caleg laki-laki dan satu orang caleg perempuan sama, dalam rangka
menjamin pelaksanaan affirmative action dan wujud pelaksanaan
Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, khususnya mengenai perlakuan khusus terhadap kaum
perempuan, maka frasa ‘mempertimbangkan’ harus dimaknai ‘mengutamakan’.
Terakhir, agar tidak
menimbulkan keragu-raguan mengenai keabsahan proses Pemilu yang sedang
berjalan, khususnya yang terkait dengan penetapan daftar calon anggota
legislatif, Mahkamah menegaskan putusan tersebut berlaku ke depan dan tidak
berlaku untuk susunan daftar caleg dalam Pemilu yang akan digelar 9 April 2014
mendatang.
Sebelumnya, Pemohon
yang terdiri dari sejumlah aktivis perempuan mengajukan uji materi terhadap
Penjelasan Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 215 huruf b UU Pemilu Legislatif. Adapun
Pasal 56 ayat (2) berbunyi:
Di dalam daftar
bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal
calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon.
Dalam Penjelasan Pasal
56 ayat (2) menyatakan:
Dalam setiap 3
(tiga) bakal calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan
1, atau 2,atau 3 dan demikian seterusnya, tidak
hanya pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya.
Sedangkan Pasal 215
berbunyi:
Penetapan calon
terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai
Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta
Pemilu di suatu daerah pemilihan dengan ketentuan sebagai berikut.
a. Calon terpilih
anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan
calon yang memperoleh suara terbanyak.
b. Dalam hal
terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dengan perolehan suara yang sama, penentuan calon terpilih
ditentukan berdasarkan persebaran perolehan suara calon pada daerah pemilihan
dengan mempertimbangkan keterwakilan perempuan.
Pemohon meminta MK
untuk menyatakan: pertama, menyatakan Penjelasan Pasal 56 ayat
2 UU Pemilu Legislatif bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945
sepanjang tidak dimaknai dalam setiap tiga bakal calon, bakal calon perempuan
dapat ditempatkan pada urutan satu, dan/atau dua, dan/atau tiga, dan demikian
seterusnya. Tidak hanya pada urutan tiga, enam, dan seterusnya. Kedua, Pasal
215 huruf b UU Pemilu Legislatif bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD
1945 sepanjang tidak dimaknai dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dengan perolehan suara
calon pada daerah pemilihan dengan mengutamakan keterwakilan perempuan. (Lulu
Hanifah/mh)
Sumber: www.mahkamahkonstitusi.go.id