Kehadiran transportasi online memicu
pro-kontra. Definisi angkutan umum, dinilai ambigu. Apakah ojek motor termasuk
angkutan umum?
Perkembangan teknologi
khususnya di bidang penyelenggaraan dan penyediaan angkutan umum telah
berkembang pesat. Salah satu buktinya adalah munculnya sejumlah perusahaan
berbasis aplikasi online yang memfasilitasi penyediaan jasa angkutan
orang dan/atau barang kepada masyarakat Indonesia dengan menggunakan jaringan
internet.
Munculnya teknologi berbasis
aplikasi online tersebut pada perkembangannya telah secara nyata
memberikan pilihan serta memfasilitasi masyarakat Indonesia dalam menggunakan
dan memilih jenis angkutan umum di dalam kehidupan kesehariannya dengan biaya
yang lebih terjangkau, disamping faktor kenyamanan, keamanan dan kemudahan. Hal
ini kemudian secara langsung maupun tidak langsung menjadi alternatif solusi
atas sejumlah permasalahan maupun kebutuhan masyarakat dalam menggunakan
angkutan umum.
Namun demikian, eksistensi dari
angkutan-angkutan berbasis aplikasi online pada perkembangannya saat ini
justru membawa polemik baru di tengah kehidupan masyarakat. Muncul pro-kontra
mengenai legalitas angkutan berbasis aplikasi online. Bahkan terdapat
sejumlah tindakan dari Pemerintah, berupa kebijakan, yang berpotensi mengancam
keberlangsungan operasi dari angkutan-angkutan berbasis aplikasi online.
Padahal, setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan Ana
manfaat atas perkembangan teknologi. Hak
konstitusional ini dijamin dan dilindungi di dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.
Demikian dalil permohonan uji materiil
Pasal 138 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) terhadap Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Permohonan ini diajukan oleh dua advokat yakni
M. Ridwan Thalib dan R. Artha Wicaksana. M. Ridwan Thalib menyerahkan permohonan
uji materi UU LLAJ ini, pada 29 Maret 2016 pukul 13.31 WIB. Permohonan
dilengkapi dengan bukti P-1 sampai P-12.
Setelah permohonan lengkap, Kepaniteraan
Mahkamah meregistrasi permohonan dengan Nomor 41/PUU-XIV/2016 pada 28 April
2016. Selanjutnya Mahkamah menetapkan panel hakim yang memeriksa perkara ini,
yakni trio Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Manahan MP
Sitompul, serta didampingi Hani Adhani sebagai panitera pengganti. Mahkamah
juga mengagendakan sidang pemeriksaan pendahuluan perkara ini pada 17 Mei 2016.
Para Pemohon yang merupakan
konsumen angkutan umum, merasa tidak mendapatkan kepastian hukum terkait
legalitas angkutan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu
regulasi yang berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon adalah rumusan
yang terdapat dalam Pasal 138 ayat (3) UU LLAJ.
Pemohon menegaskan bahwa
permohonan sama sekali bukan bermaksud untuk menyerang kebijakan Pemerintah
dalam mengatur penyediaan dan pelaksanaan pengangkutan orang dan/atau barang.
Namun lebih kepada upaya untuk melindungi, mempertegas, serta menguatkan
hak-hak kontitusional warga negara. Yaitu hak untuk mendapatkan kepastian hukum
dan hak pemanfaatan teknologi dalam memilih dan menikmati penggunaan angkutan
orang dan/atau barang yang seharusnya menjadi hak mutlak warga negara sebagai
pengguna angkutan umum.
Definisi yang Ambigu
Rumusan UU LLAJ tidak mengatur
secara tegas mengenai definisi frasa “Angkutan umum orang dan/atau barang”.
Frasa ini pun hanya muncul pertama dan terakhir dalam Pasal 138 UU LLAJ.
Padahal kata “Angkutan” dalam
Pasal 1 angka 3 UU LLAJ telah dimaknai secara pasti dan tegas yaitu, “Perpindahan
orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan
Kendaraan di Ruang Lalu Lintas Jalan”. Namun patut disayangkan, frasa “Angkutan
umum orang dan/atau barang” secara utuh tidak pernah didefinisikan secara tegas
dan pasti.
Tidak adanya tafsir yang
komprehensif terhadap frasa “Angkutan umum orang dan/atau barang” menyebabkan
frasa tersebut menjadi ambigu. Para pihak yang terkait di bidang transportasi
angkutan umum pun dapat secara bebas memberikan pemaknaan atau interpretasi
terhadap frasa tersebut.
Misalnya, pendapat
Regulator/Pemerintah cq Kemenhub yang secara implisit menyatakan penyediaan
jasa “Angkutan umum” harus/wajib dilaksanakan oleh “Perusahaan Angkutan Umum”.
Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 139 Ayat (4) UU LLAJ yang menyatakan,
“Penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan usaha milik negara,
badan usaha milik daerah, dan/atau badan hukum lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.”
Sedangkan definisi Perusahaan
Angkutan Umum menurut ketentuan Pasal 1 angka 21 UU LLAJ menyebutkan “Badan
Hukum yang menyediakan jasa angkutan orang dan/atau barang dengan Kendaraan
Bermotor Umum.” Definisi Perusahaan Angkutan Umum menurut ketentuan ini,
mengandung tiga unsur, yakni berbadan hukum, menyediakan jasa angkutan orang
dan/atau barang, dan menggunakan Kendaraan Bermotor Umum. Namun ketika definisi
Perusahaan Angkutan Umum tersebut dicermati lebih lanjut, maka terlihat jelas
bahwa jasa yang disediakan oleh Perusahaan Angkutan Umum tersebut bukanlah Jasa
Angkutan Umum tetapi Jasa angkutan orang dan/atau barang.
Sedangkan bersumber pada Pasal
137 ayat (1) UU LLAJ, jasa penyediaan angkutan orang dan/ atau barang, dapat
pula dilaksanakan oleh siapapun, sehingga tidaklah harus dilaksanakan oleh
Perusahaan Angkutan Umum. Pasal 137 ayat (1) menyatakan, “Angkutan orang
dan/atau barang dapat menggunakan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor.”
Inkonsistensi Arti
Ambiguitas definisi dari
“Angkutan umum orang dan/atau barang” menimbulkan ketidakpastian makna hukum
secara substansial antara “angkutan orang dan/atau barang” dengan “angkutan
umum orang dan/atau barang”. Hal ini mengundang beberapa pertanyaan, apakah
yang dinamakan angkutan umum orang dan/atau barang(?); apakah perbedaan antara
angkutan umum orang dan/atau barang dengan angkutan orang dan/atau barang(?);
Siapakah yang dapat melakukan pengangkutan umum orang dan/atau barang(?);
kemudian, kendaraan apakah yang dapat melakukan pengangkutan umum orang
dan/atau barang(?)
Oleh karena itu, apabila di
dalam praktiknya terdapat pihak-pihak yang bukan merupakan Perusahaan Angkutan
Umum, namun melakukan penyediaan jasa angkutan orang dan/atau barang bagi warga
masyarakat, hal tersebut tidak dapat langsung dinyatakan sebagai bentuk
pelanggaran terhadap UU LLAJ. Sebab UU LLAJ tidak pernah secara tegas dan pasti
memberikan pemaknaan frasa “Angkutan umum orang dan/atau barang”.
Kendaraan Bermotor Umum
Definisi “kendaraan” menurut
ketentuan Pasal 1 angka 7 UU LLAJ yaitu, “Suatu sarana angkut di jalan yang
terdiri atas Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor.” Definisi
tersebut mengandung dua kategori umum yakni, Kendaraan Bermotor dan Kendaraan
Tidak Bermotor.
Pelaksanaan Angkutan umum orang
dan/atau barang telah dibatasi pada Pasal 138 ayat (3) UU LLAJ, yang pada
hakikatnya menyatakan proses pengangkutan umum hanya dilakukan oleh Kendaraan
Bermotor Umum.
Namun pada faktanya, selain definisi
dari “Angkutan umum orang dan/atau barang” tersebut absurd dan tidak jelas. Hal
ini diperparah dengan kenyataan syarat untuk memenuhi definisi/makna dari
Kendaraan Bermotor Umum ternyata juga bersifat multitafsir dan tidak pasti.
Lalu, apa syarat suatu
kendaraan dapat diklasifikasikan sebagai Kendaraan Bermotor Umum? berrdasarkan
uraian unsur dari Pasal 1 angka 10 UU LLAJ tersebut di atas, dapat disimpulkan,
syarat mutlak dari Kendaraan Bermotor Umum haruslah memiliki sifat sebagai
Kendaraan (baik sebagai Kendaraan Bermotor maupun Kendaraan Tidak Bermotor),
yang digunakan sebagai angkutan orang dan/atau barang dan dalam proses
pengangkutannya, Kendaraan tersebut memungut bayaran sebagai imbalan jasa.
Kendaraan berdasarkan ketentuan
Pasal 47 ayat (1) UU LLAJ terdiri atas, Kendaraan Bermotor, dan Kendaraan Tidak
Bermotor. Berdasarkan jenis Kendaraan Bermotor, Pasal 47 ayat (2) UU LLAJ
menyebutkan yaitu, sepeda motor, mobil penumpang, mobil bus, mobil barang, dan
kendaraan khusus. Sedangkan berdasarkan fungsinya, Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ
mengelompokkan fungsi Kendaraan Bermotor terdiri atas, Kendaraan Bermotor
perseorangan, dan Kendaraan Bermotor Umum. Sedangkan kelompok Kendaraan Tidak
Bermotor dalam Pasal 47 ayat (4) UU LLAJ yaitu, Kendaraan yang digerakkan oleh
tenaga orang, dan Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga hewan.
Ojek Motor
Ketentuan Pasal 47 ayat (3) UU
LLAJ di atas, jelas dinyatakan, berdasarkan fungsinya, kendaraan bermotor
dengan jenis sepeda motor tidak masuk di dalam klasifikasi Kendaraan Bermotor
Umum maupun Kendaraan Bermotor perserorangan. Kendati demikian, masyarakat di
Indonesia masih memanfaatkan sepeda motor sebagai salah satu jenis angkutan
umum orang dan/atau barang. Masyarakat menyebutnya dengan Ojek Motor.
Masyarakat di Indonesia
menggunakan sepeda motor atau ojek motor sebagai angkutan umum orang dan/atau
barang di dalam kehidupan sehari-hari. Para Pemohon juga termasuk pengguna jasa
ojek motor tersebut, baik digunakan untuk mengantar barang atau menjadi sarana
transportasi.
Jika dicermati lebih seksama,
sepeda motor atau ojek motor telah memenuhi definisi Kendaraan Bermotor Umum.
Alasannya, pertama, sepeda motor masuk ke dalam jenis Kendaraan Bermotor
sesuai ketentuan Pasal 47 ayat (2) Jo. Pasal 1 ayat (8) UU LLAJ. Kedua,
sepeda motor digunakan untuk angkutan orang dan/atau barang. Hal ini diatur
dalam ketentuan Pasal 137 (2) UU LLAJ yang menyatakan pengangkutan orang dapat
dilakukan oleh Kendaraan Bermotor berupa sepeda Motor, mobil penumpang, atau
mobil bus. Ketiga, dipungut bayaran. Ojek motor memungut bayaran sebagai
bentuk imbalan jasa pengangkutan orang dan/atau barang.
Berdasarkan unsur-unsur atas
definisi Kendaraan Bermotor Umum di atas, maka ojek motor telah memenuhi
syarat/unsur sebagai Kendaraan Bermotor Umum. Oleh karena itu, sepeda motor
sudah sepatutnya juga dapat melakukan proses pengangkutan umum orang dan/atau
barang.
Pemanfaatan Teknologi
Setiap warga negara, termasuk
para Pemohon, memiliki hak untuk mendapatkan manfaat atas perkembangan
teknologi. Hak konstitusional ini dijamin dan dilindungi di dalam Pasal 28C
ayat 1 UUD 1945.
Perkembangan teknologi adalah
suatu bagian dari perkembangan zaman yang tidak dapat dihindari (inevitable).
Perkembangan teknologi kini juga menghampiri dunia transportasi/angkutan umum di
Indonesia dengan dibuktikannya kemudahan-kemudahan proses pengangkutan orang
dan/atau barang berbasis aplikasi telekomunikasi, informatika dan internet.
Misalnya pemesanan tiket kereta api, pesawat, sewa mobil melalui website
melalui telfon, e-mail, atau website, gadget.
Dalam beberapa tahun
belakangan, pemesanan sewa kendaraan mobil (berikut supirnya) untuk jarak dan
waktu tertentu di daerah Jakarta, Surabaya, Bandung dan kota besar lainnya
melalui teknologi aplikasi online (android maupun Apple).
Pembayaran sewa dapat dilakukan melalui kartu kredit (cashless transaction)
maupun tunai. Begitu pula dengan pemesanan sewa motor roda dua.
Dampak teknologi tersebut di
atas telah memberikan keuntungan bagi Pemohon. Pemohon mendapatkan rasa aman
dalam berkendaraan karena kendaraan-kendaraan tersebut dilengkapi dengan fitur Global
Positioning System. Pemohon juga merasa nyaman dalam memesan dan menikmati
angkutan kendaraan tersebut karena pemesanan dapat dilakukan melalui gadget
yang mana aplikasi pemesanan tersebut telah disediakan.
Selain itu, harga yang lebih
ekonomis dan terjangkau dimana penumpang diberikan harga sewa kendaraan terbaik
berdasarkan tingkat kemacetan dan jarak.
Namun pemerintah CQ Kemenhub,
pada faktanya masih membatasi dan menghalangi Hak-Hak Konstitusional Pemohon
dalam menikmati keuntungan-keuntungan yang bersumber pada hak atas pemanfaatan
teknologi angkutan umum orang dan/atau barang berbasis teknologi aplikasi
online, dengan bersumber pada argumen bahwa penyediaan sewa mobil/motor berbasis
teknologi aplikasi online tidak memenuhi kualifikasi sebagai “Perusahaan
Angkutan Umum” dan “Angkutan umum orang dan/atau barang” sekaligus kendaraan
tersebut tidak termasuk sebagai kategori “Kendaraan Bermotor Umum” sebagaimana
diatur dalam Pasal 138 ayat (3) UU No. 22/2009.
Hal tersebut tercermin dengan
terbitnya surat permohonan pembokiran aplikasi Uber Taxi dan Grab Car
oleh Kementrian Perhubungan dalam surat nomor AJ 206/1/1 PHB 2016
tertanggal 14 Maret 2016 oleh Kementrian Perhubungan yang ditujukan kepada
Menteri Komunikasi dan Informatika. Kemudian Surat Pemberitahuan Nomor
UM.3012/1/21/ Phb/2015 terkait Larangan Operasi untuk Go-Jek tertanggal
9 November 2015 oleh Kementrian Perhubungan.
Pemerintah CQ Kemenhub dalam 3
bulan terakhir, berpendapat penyedia penyewaan angkutan orang dengan mobil
penumpang dengan basis teknologi aplikasi online haruslah berentitas
Perusahaan Angkutan Umum sesuai ketentuan Pasal 1 angka 21 UU No. 22/2009 dan
oleh karenanya kendaraan angkutan orang dan/atau barang haruslah masuk kategori
sebagai Kendaraan Umum Bermotor (Pasal 1 angka 8 UU LLAJ).
Pemaknaan Ulang
Para Pemohon berkesimpulan
bahwa agar rumusan Pasal 138 ayat (3) UU No. 22/2009 yang menyatakan: “Angkutan
umum orang dan/atau barang hanya dilakukan dengan Kendaraan Bermotor Umum”,
sudah seharusnya untuk dimaknai ulang sebagai “Angkutan umum orang dan/atau
barang dapat dilakukan dengan Kendaraan Bermotor Umum.” Bahwa dengan melakukan
pemaknaan ulang terhadap Pasal 138 ayat (3) UU No. 22/2009 agar kata “hanya”
menjadi kata “dapat”, semakin mempertegas dan memberikan kepastian hukum
bahwasanya proses pengangkutan umum orang dan/atau barang dapat dilakukan
dengan menggunakan Kendaraan diluar “Kendaraan Bermotor Umum”. Sehingga dalam
hal ini, instrumen angkutan umum dan/atau barang akan bersifat pilihan (optional)
bagi seluruh warga negara.
Pemaknaan ulang tersebut akan
mengakomodir serta melingkupi seluruh jenis angkutan yang secara faktual berada
dan dimanfaatkan oleh masyarakat agar dapat beroperasi dan memperoleh kepastian
hukum, dengan mengedepankan kebutuhan, kenyamanan, keamanan bagi warga negara
dalam menggunakan serta memanfaatkan segala jenis angkutan umum orang dan/atau
barang dalam kehidupan kesehariannya. Pemaknaan ulang terhadap Pasal 138 ayat
(3) UU LLAJ tidak akan memunculkan ketidakpastian hukum yang baru atau lebih
jauh sehubungan pembebasan dan/atau perluasan mengenai apa yang dikategorikan
sebagai angkutan umum orang dan/atau barang.
Pemaknaan ulang terhadap Pasal
138 ayat (3) UU LLAJ bukan untuk menghalangi, mengurangi bahkan menghilangkan
peranan Pemerintah sebagai regulator dalam mengatur dan menyediakan sarana
pengangkutan orang dan/atau barang. Namun lebih kepada upaya untuk melindungi,
mempertegas serta menguatkan hak-hak kontitusional warga negara dalam
mendapatkan hak atas kepastian hukum dan hak untuk mendapatkan manfaat atas
perkembangan teknologi sebagaimana yang dijamin oleh konstitusi. Dengan
demikian, pemaknaan ulang tersebut merupakan jalan keluar terbaik untuk
menyelesaikan segala polemik dan kerugian konstitusional Para Pemohon yang
telah dan/atau berpotensi terjadi sehubungan pelanggaran hak atas kepastian
hukum dan hak untuk mendapatkan manfaat atas perkembangan teknologi sebagaimana
yang dijamin oleh UUD NRI 1945.
Akhirnya, para Pemohon dalam petitum meminta
kepada Mahkamah Menyatakan Pasal 138 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat, sepanjang tidak dimaknai, “Angkutan umum orang dan/atau barang dapat
dilakukan dengan Kendaraan Bermotor Umum.”
Nur Rosihin Ana
Rubrik Catatan Perkara Majalah Konstitusi Nomor 111 • Mei 2016