Dulu dana kampanye
ditanggung oleh masing-masing pasangan calon peserta pilkada. Setelah
berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, dana kampanye diambil dari uang
rakyat (APBD). Besaran anggaran APBD untuk kampanye potensial mengalami
pembengkakan.
Kampanye adalah
kegiatan untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program
Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati,
serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota. Begitulah ketentuan yang
termaktub dalam Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).
Masing-masing
pasangan calon tentu berharap dapat tampil sebagai pemenang pilkada. Salah satu
cara untuk mewujudkan hal ini yakni melalui kampanye. Maka sewajarnya kampanye
dilakukan oleh pasangan calon dan tim kampanye. Wajar pula pendanaan kampanye
menjadi tanggung jawab pasangan calon dan timnya.
Lantas mengapa
kegiatan kampanye harus difasilitasi KPU/KIP dengan dana Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD)? Seharusnya penggunaan dana APBD hanya sebatas
publikasi tentang pelaksanan pilkada yang bersifat umum. Misalnya sosialisasi
pelaksanaan pilkada serta ajakan pada masyarakat untuk turut aktif menggunakan
hak politik dalam pilkada.
Dana kampanye
seharusnya tidak dibebankan pada APBD. Sebab kegiatan kampanye sangat terkait
dengan kepentingan masing-masing pasangan calon dan tim pendukungnya.
Hal tersebut
menjadi dalil permohonan pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang (LN RI
Tahun 2015 Nomor 57, TLN RI Nomor 5678), selanjutnya disebut UU Pilkada,
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, selanjutnya
disebut UUD 1945.
Permohonan ini
diajukan oleh Nu’man Fauzi dan Achiyanur Firmansyah (Pemohon). Nu’man Fauzi
adalah warga Kampung Pangbogoan RT. 10 RW. 05 Desa Banyu Biru, Labuan,
Pandeglang. Sedangkan Achiyanur Firmansyah adalah warga Jl. Akses UI Gg H.
Yamin No.9 Kelapa Dua, Cimanggis Depok. Nu’man dan Achiyanur memiliki hak untuk
menyalurkan suara dalam pilkada serentak 2015 di daerah masing-masing. Keduanya
merasa memiliki kepentingan untuk hadirnya sebuah proses pemilu yang jujur,
adil, transparan, dan akuntabel bagi semua pasangan calon.
Pemohon melalui
kuasa hukum A. Muhammad Asrun, Ai Latifah Fardhiyah, dan Vivi Ayunita
Kusumandari, berkirim surat yang ditujukan kepada Ketua Mahkamah Konstitusi.
Ihwal surat bertanggal 2 September 2015 itu mengenai permohonan pengujian Pasal
65 ayat (2) UU Pilkada terhadap UUD 1945. Setelah berkas-berkas permohonan
lengkap, Kepaniteraan Mahkamah meregistrasi permohonan ini dengan Nomor
120/PUU-XIII/2015 pada 21 September 2015. Mahkamah juga telah membentuk panel
hakim yang bertugas memeriksa perkara ini. Kemudian mengagendakan sidang
pemeriksaan pendahuluan pada Kamis, 8 Oktober 2015.
Hak untuk
mendapatkan proses pilkada yang jujur dan adil merupakan hak konstitusional
warga negara sebagaimana dijamin dalam UUD 1945, khususnya Pasal 27 ayat (1)
serta Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. Sementara ketentuan Pasal 65
ayat (2) UU Pilkada potensial menghambat proses pilkada yang jujur dan adil.
Dengan demikian ketentuan Pasal 65 ayat (2) UU Pilkada merupakan pelanggaran
fundamental terhadap hak-hak warga negara sebagaimana dijamin dalam UUD 1945.
Terlebih lagi ketentuan Pasal 65 ayat (2) diperjelas dengan adanya ketentuan
Pasal 1 angka 20, 21, 22 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 7 Tahun
2015 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati dan/Walikota dan Wakil Walikota. Ketentuan dalam PKPU ini menjelaskan
mengenai alat peraga, bahan kampanye, dan iklan kampanye, yang semuanya
difasilitasi oleh KPU Provinsi/KIP Aceh dan KPU/KIP Kabupaten/Kota dengan dana
dari APBD.
Pasal 65 ayat (2) UU Pilkada
(1) Kampanye dapat dilaksanakan melalui:
a. pertemuan terbatas;
b. pertemuan tatap muka dan dialog;
c. debat publik/debat terbuka antarpasangan calon;
d. penyebaran bahan Kampanye kepada umum;
e. pemasangan alat peraga;
f. iklan media massa cetak dan media massa elektronik; dan/atau
g. kegiatan lain yang tidak melanggar larangan Kampanye dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf
d, huruf e dan huruf f difasilitasi oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang
didanai APBD.
Pembengkakan
Anggaran
Kesiapan anggaran
menjadi masalah serius bagi penyelanggaraan Pilkada 2015. Terdapat banyak
daerah yang belum menganggarkan biaya pilkada dalam APBD 2015. Karena adanya
kekurangan anggaran, maka dana penyelenggaraan pilkada harus diambil dari pos
lain. Anggaran yang diambilkan dari pos lain tersebut apabila mengurangi
anggaran dari pos strategis dan skala prioritas tentunya dapat mengakibatkan
terganggunya pembangunan di daerah dan merugikan masyarakat. Hal ini dibuktikan
dengan adanya 10 jenis temuan BPK tentang ketidaksesuaian penggunaan anggaran
Pilkada.
Besaran anggaran
penyelenggaraan Pilkada makin membengkak dengan adanya ketentuan Pasal 65 ayat
(2) UU Pilkada yang menentukan bahwa penyebaran bahan kampanye, alat peraga
kampanye, iklan kampanye didanai oleh APBD. Masing-masing jenis kampanye
tersebut memerlukan anggaran yang tidak sedikit apabila dibebankan pada APBD.
Padahal sebelum
berlakunya UU Pilkada ini, pelaksanaan kampanye menjadi tanggung jawab dan
didanai oleh masing-masing pasangan calon. Sebab masing-masing pasangan calon
tentunya lebih berkepentingan melaksanakan kampanye untuk menyampaikan visi,
misi, program pasangan calon, simbol, atau tanda gambar yang bertujuan untuk
mengajak orang memilih pasangan calon tertentu.
Pengaturan
pembiayaan dana Kampanye bagi pasangan calon sebagaimana diatur dalam Pasal 65
ayat (2) UU Pilkada mengakibatkan belanja kampanye kian membengkak. Seharusnya
KPU hanya menentukan batasan maksimal dana kampanye yang boleh digunakan
pasangan calon terkait dengan alat peraga, dan iklan, bukan membiayai kampanye
pasangan calon.
Berlakunya
ketentuan Pasal 65 ayat (2) UU Pilkada sangat tidak efektif dan justru
mengakibatkan pemborosan penggunaan anggaran. Sebab setiap pasangan calon tentu
akan mengeluarkan dana untuk membuat, memasang dan menampilkan iklan kampanye
di media massa, meskipun beberapa item kampanye didanai oleh negara.
Oleh karena itulah,
Pemohon meminta kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 65 ayat (2) UU Pilkada
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Sekiranya Mahkamah berpendapat lain, Pemohon minta putusan yang seadil-adilnya
(ex aequo et bono).
Nur Rosihin Ana
Dalam Rubrik “Catatan
Perkara” Majalah Konstitusi No. 104 – Oktober 2015