Pemilihan
Umum Kepala Daerah (Pilkada) direncanakan akan digelar serentak pada 9 Desember
2015. Pilkada serentak menjadi momentum bangsa Indonesia untuk memilih kepala
daerah secara terstruktur, sistematis dan masif.
Peluang
untuk ikut berlaga dalam kontestasi pilkada terbuka lebar. Setiap warga negara
Indonesia berhak untuk maju sebagai calon kepala daerah. Namun demikian, tentu
harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan.
Persyaratan
untuk maju sebagai calon kepala daerah tak jarang membuat sebagian orang
berpikir panjang. Persyaratan yang ketat sering menjadi batu sandungan untuk
maju sebagai bakal calon. Misalnya persyaratan tidak pernah dijatuhi pidana
penjara dengan ancaman pidana penjara lima tahun atau lebih, sebagaimana
ketentuan Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 (UU Pilkada).
Kemudian persyaratan yang menghalangi calon dari keluarga petahana (politik
dinasti). Rumusan Pasal 7 huruf r UU Pilkada dan Penjelasannya ini, menghalangi
hak konstitusional warga yang terlahir dari atau mempunyai ikatan kekerabatan
dengan keluarga kepala daerah petahana (incumbent) karena perkawinan.
Awalnya Klausul ini untuk mencegah kian maraknya politik dinasti atau politik kekerabatan
dalam pemerintahan daerah.
Bahkan
persyaratan untuk bertakhta sebagai calon kontestan pilkada, harus dibarter
dengan mengundurkan diri dari profesi. Misalnya, Pegawai Negeri Sipil (PNS)
harus mengundurkan diri sejak mendaftar, sebagaimana ketentuan Pasal 119 dan
Pasal 123 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2015 tentang Aparatur Sipil
Negara (UU ASN). Ketentuan senada juga diatur dalam UU Pilkada. Pasal 7 huruf t
dan huruf u UU Pilkada menyebutkan, anggota TNI, anggota Polri, dan PNS harus
mundur sejak mendaftar sebagai calon kepala daerah.
Di
sisi lain, UU Pilkada memberikan persyaratan berbeda kepada anggota DPR/DPD dan
DPRD, dan pegawai BUMN/BUMD. Calon kepala daerah dari latar belakang anggota
DPR/DPD dan DPRD hanya disyaratkan memberitahukan pencalonan kepada
pimpinannya. Sedangkan pegawai BUMN/BUMD disyaratkan mundur sejak ditetapkan
sebagai calon.
Anggota
DPR/DPD dan DPRD dapat kembali menjabat ketika tidak terpilih dalam pilkada.
Sedangkan anggota TNI, anggota Polri, dan PNS, harus mundur permanen, tidak
dapat kembali ke profesi semula meskipun tidak terpilih dalam pilkada.
Putusan
MK menjadi solusi sengkarut yang melilit UU Pilkada. Kepastian hukum yang adil,
perlakuan yang sama di hadapan hukum, serta perlindungan HAM harus ditegakkan.
MK memutuskan mantan narapidana dengan ancaman pidana penjara lima tahun atau
lebih, dapat mencalonkan diri dalam pilkada. Syaratnya pun tidak muluk-muluk,
cukup menyampaikan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
Kemudian,
anggota TNI, anggota Polri, PNS, dan Pegawai BUMN/BUMD, yang akan mencalonkan
diri menjadi kepala daerah tidak perlu mundur sebelum ditetapkan sebagai calon
oleh KPU/KIP. Yang mengejutkan, MK memperlakukan sama bagi anggota DPR/DPD dan
DPRD, dengan anggota TNI, anggota Polri, PNS, dan pegawai BUMN/BUMD. Jika
sebelumnya anggota DPR/DPD dan DPRD hanya disyaratkan memberitahukan pencalonan
kepada pimpinannya, pascaputusan MK, semuanya harus mundur. Lalu kapan harus
mundur? Setelah KPU/KIP menetapkan Anggota DPR/DPD dan DPRD, anggota TNI,
anggota Polri, PNS, dan pegawai BUMN/BUMD, sebagai calon kepala daerah, saat
itulah harus mundur dari jabatan masing-masing.
Putusan
MK juga mengakhiri polemik dinasti politik dalam pemerintahan daerah. Keluarga
petahana yang hendak bertahta di bursa pilkada, dapat bernafas lega. MK
menyatakan inkonstitusional terhadap ketentuan Pasal 7 huruf r UU Pilkada dan
Penjelasannya. Larangan keluarga petahana berlaga di pilkada, merupakan
ketentuan yang diskriminatif. Jika ingin membuat batasan, semestinya petahana
yang dibatasi, bukan kerabatnya.
Nur Rosihin Ana
Dalam Rubrik Editorial Majalah
Konstitusi No. 102 – Agustus 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar