Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (UU Nakes) disinyalir mengandung
beberapa ketentuan yang bertentangan dengan UUD 1945. Ketentuan dimaksud yaitu
mengenai penggabungan tenaga medis, pembubaran Konsil Kedokteran Indonesia
(KKI), Penetapan Tenaga Kesehatan Lain dan soal uji kompetensi.
Tudingan
mengenai inkonstitusionalitas beberapa ketentuan dalam UU Nakes tersebut,
dilayangkan oleh Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Pengurus
Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB PDGI), Konsil Kedokteran Indonesia
(KKI), Mohammad Adib Khumaidi, dan Salamuddin. Melalui kuasa hukum Muhammad
Joni dkk, para Pemohon berkirim surat bertanggal 22 Juni 2015 ke Mahkamah
Konstitusi yang berisi permohonan uji materil UU Nakes. Surat permohonan ini
diregistrasi oleh Kepaniteraan MK dengan Nomor 82/PUU-XIII/2015.
Dalam surat permohonan itu,
para Pemohon merasa terganggu hak-hak konstitusionalnya akibat berlakunya
beberapa ketentuan dalam pasal UU Nakes, yakni Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 6
sepanjang frasa “Uji Kompetensi”, Pasal 11 ayat (1) huruf a, Pasal 11 ayat (1)
huruf m, Pasal 11 ayat (2), Pasal 11 ayat (14) Pasal 12, Pasal 21 ayat (1),
ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6) sepanjang kata “Uji
Kompetensi”, dan Pasal 21 ayat (6). Kemudian Pasal 34 ayat (1), ayat (2), ayat
(5), Pasal 35, Pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 40 ayat (1), Pasal
41, Pasal 42, Pasal 43, sepanjang frasa “Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia”,
Pasal 34 ayat (3), Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40 ayat (2) sepanjang kata
“konsil”, Pasal 90 ayat (1), ayat Ana
(2) dan
ayat (3), Pasal 94. Menurut para Pemohon, ketentuan tersebut bertentangan
dengan terhadap UUD 1945 Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28H ayat
(1).
Ketentuan
pasal yang diuji tersebut intinya mencakup empat klaster. Pertama, soal
penggabungan tenaga medis. Kedua, soal pembubaran Konsil Kedokteran
Indonesia (KKI). Ketiga, soal Penetapan Tenaga Kesehatan Lain. Keempat,
soal uji kompetensi.
Penggabungan Tenaga Medis
Penggabungan antara tenaga
medis dengan tenaga kesehatan yang lain, dalam ketentuan Pasal 11 ayat (1) PERKARA
huruf a
dan ayat (2), dan Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1, menurut para Pemohon, adalah
kekeliruan paradigmatik yang justru merusak sistem hukum praktik kedokteran.
Penggabungan dan penyamarataan profesi tenaga medis dengan tenaga kesehatan
lain dan bahkan tenaga vokasi (misalnya tenaga keteknisian medis, tenaga
administrasi dan kebijakan kesehatan, teknisi gigi), mengakibatkan kekacauan
dalam standar profesi, kewenangan kompetensi, tugas, fungsi, dan wewenang.
Ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf a frasa “a. tenaga medis” dan
Pasal 11 ayat (2) UU Nakes menentukan bahwa tenaga medis adalah terdiri atas
dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis. Menurut para
Pemohon, ketentuan ini melebihi mandat (over mandatory) perintah UU
Kesehatan Pasal 21 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 21 ayat (3), yang
mengecualikan tenaga medis dalam materi muatan pengaturan UU mengenai Tenaga
Kesehatan. UU Nakes sama sekali tidak memiliki mandat mengatur profesi dan
kompetensi. Profesi dan kompetensi merupakan domein pengaturan profesi yang
sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
(UU Praktik Kedokteran).
Tenaga
Medis memiliki kewenangan profesi (profesion authority) yang bukan
berasal dari kewenangan/otoritas eksekutif (executive authority).
Karakteristik istimewa dokter dan dokter gigi secara alamiah memunculkan
kepercayaan. Wujud kepercayaan negara terhadap karakteristik profesi dokter dan
dokter gigi misalnya dalam bentuk surat keterangan sehat sebagai syarat formil
rekrutmen tenaga kerja. Bahkan untuk mendaftar calon anggota DPR/DPRD, calon
Presiden dan Wakil Presiden hingga calon kepala daerah, mewajibkan pemeriksaan
dokter (bukan perawat). Dokter-lah yang berwenang mengeluarkan surat keterangan
sehat. Tenaga kesehatan lain seperti perawat, bidan, atau tenaga apoteker,
tidak berwenang mengeluarkan surat keterangan sehat.
Pembubaran KKI
UU
Nakes mengandung beberapa pasal yang pada pokoknya membubarkan KKI, yakni Pasal
itu adalah Pasal 34 ayat (3), Pasal 90 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan Pasal
94. Tugas, fungsi dan kewenangan KKI, digantikan institusi lain yang justru
tidak fungsional dan tidak independen melakukan tugas kekonsilan.
Padahal
pembentukan KKI berdasarkan UU Praktik Kedokteran. KKI merupakan lembaga negara
(state auxiliary body) yang memiliki constitutional competence dengan
Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Sebagai lembaga negara, KKI menjalankan fungsi
pengaturan, pengesahan, penetapan serta pembinaan dokter, dokter gigi, dokter
spesialis, dan dokter gigi spesialis yang menjalankan praktik kedokteran dalam
rangka fungsi meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
KKI
secara institusional maupun fungsional bersifat independen, yang diangkat oleh
Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Keberadaan KKI melindungi warga
masyarakat dan memandu profesi kedokteran (protecting the peoples and
guiding the profesion) untuk menjamin hak konstitusional atas pelayanan
kesehatan warga masyarakat oleh tenaga medis dengan menjamin kompetensi dan
independensi profesional.
Independensi
KKI dalam kurun 10 tahun mengawal kompetensi penyelenggaraan praktik kedokteran
oleh tenaga medis, sudah berjalan ajeg dan mendapat kepercayaan
masyarakat (public trust). Tidak ada ketegangan sosial (social
tention) ataupun pengujian materil ke Mahkamah Konstitusi yang menyoal
fungsi dan wewenang KKI.
Sedangkan
institusi Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI) yang nantinya menggantikan
KKI, tidak memiliki fungsi pengawasan, penegakan disiplin dan penindakan tenaga
kesehatan. Sebab mekanisme penegakan disiplin dilakukan konsil masing-masing.
Keputusan yang dikeluarkan majelis kehormatan disiplin konsil masing-masing pun
bersifat tidak final, karena putusannya dapat diajukan keberatan kepada Menteri
Kesehatan.
Penetapan Tenaga Kesehatan Lain
UU
Kesehatan tegas memerintahkan pengaturan tenaga kesehatan dengan UU. Namun
ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf m, Pasal 11 ayat (12), dan Pasal 12 UU Nakes
memberikan wewenang kepada Menteri menetapkan jenis tenaga kesehatan lain,
sehingga tidak sesuai dengan amanat UU Kesehatan.
Pasal
11 ayat (1) huruf m UU Nakes menyatakan, “m. Tenaga kesehatan lain”.
Pasal
11 ayat (14) UU Nakes menyatakan, “Tenaga Kesehatan lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf m ditetapkan oleh Menteri”.
Pasal
12 UU Nakes menyatakan, “Dalam memenuhi perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang kesehatan serta kebutuhan pelayanan kesehatan, menteri
dapat menetapkan jenis Tenaga Kesehatan lain dalam setiap kelompok sebagaimana
dimaksud dalam pasal 11”.
Dengan
adanya penetapan tenaga kesehatan lain, berarti tidak pasti legalitas jenis
tenaga kesehatan selain dalam Pasal 11 ayat (1) s.d ayat 13. Selain itu, ada
perbedaan dasar hukum penentuan jenis tenaga kesehatan yang diakui dengan
Undang-undang dan yang diakui dengan penetapan Menteri.
Dalam
hierarki perundang-undangan, Undang-undang berada di bawah UUD yang dibuat
bersama antara Pemerintah dengan DPR. Sedangkan penetapan Menteri tidak
termasuk hierarki perundang-undangan, dan tidak disebutkan dengan nomenklatur
Peraturan Menteri namun hanya kata “ditetapkan”.
Ada perbedaan dalam hal dasar pengaturan tenaga kesehatan lain,
sehingga mengakibatkan ketidakpastian hukum. Di sisi lain, ketentuan UU Nakes
yang mengakui tenaga kesehatan lain dengan beleidsregel membuktikan
kekacauan gagasan hukum, ketidakpastian dalam pengaturan jenis tenaga
kesehatan, tidak valid dalam menentukan mana jenis tenaga kesehatan yang patut
dan memenuhi syarat atau ciri sebagai profesi tenaga kesehatan.
Perbedaan
dalam pengakuan jenis tenaga kesehatan, membutikan bahwa pembuat Undang-undang
tidak jelas landasan, syarat dan ciri menentukan jenis tenaga kesehatan yang
diakui dalam Pasal 11 UU Nakes, sehingga menimbulkan perbedaan pengakuan jenis
tenega kesehatan. Akibatnya ada perbedan dalam pengakuan dan perlindungan hukum
terhadap jenis tenaga Kesehatn lain, sehingga menimbulkan kerugian
konstitusional tenaga kesehatan lain.
Uji Kompetensi
Kompetensi
merupakan konsep dan domein serta wewenang profesi. Kompetensi bukan domein
akademi. Maka tidak berdasar dan tidak relevan apabila uji kompetensi oleh
akademi cq. perguruan tinggi.
Dalam
hal uji kompetensi Tenaga Kesehatan, uji kompetensi adalah domein dan wewenang
profesi cq. Kolegium. Uji Kompetensi Tenaga Kesehatan dan Sertifikat Kompetensi
memiliki hubungan sebab akibat yang tidak terpisahkan dengan Kolegium
Organisasi Profesi.
Menurut
para Pemohon, ketentuan Pasal 1 angka 6 sepanjang frasa “Uji Kompetensi” ,
Pasal 21 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6) sepanjang
frasa “Uji Kompetensi”, dan Pasal 21 ayat (6) UU Nakes yang membuat ketentuan
hukum bahwa uji kompetensi dilaksanakan oleh perguruan tinggi, adalah tidak
sesuai dengan prinsip dan sistem hukum yang berkembang. Para Pemohon berdalil,
uji kompetensi adalah pengujian untuk memasuki profesi tenaga kesehatan,
sedangkan perguruan tinggi bukan domein profesi dan tidak berwenanag memasuki
wilayah pengaturan mandiri profesi yang direpresentasikan dengan organisasi
profesi. Kemudian, sertifikat kompetensi adalah tanda telah lulus dan memiliki
kompetensi sebagai syarat untuk melakukan registrasi untuk memperoleh Surat
Tanda Registrasi (STR). Syarat STR ini diwajibkan karena basis registrasi
Tenaga Kesehatan adalah kompetensi, bukan pendidikan akademis (formal), dan
bukan berbasis administrasi.
Apabila
uji kompetensi dilaksanakan oleh perguruan tinggi dan sertifikat kompetensi
diterbitkan oleh perguruan tinggi, maka ketentuan tersebut menjadi ancaman mutu
dan kompetensi tenaga kesehatan. Sebab tidak ada pengawasan mutu dan penambahan
pengetahuan dan keterampilan tenaga kesehatan selama menjalankan tugasnya,
karena uji kompetensi hanya dilaksanakan pada saat akhir masa pendidikan vokasi
dan profesi. Dengan demikian, maka sertifikat kompetensi yang diterbitkan
perguruan tinggi berlaku selama-lamanya tanpa batas waktu.
Padahal
jika dibandingkan dengan UU Praktik Kedokteran, STR berlaku hanya lima tahun,
sehingga diwajibkan mengikuti pendidikan dan pelatihan atau (Countiniuing
Profesional Development/CPD) sebagai syarat untuk pembaruan (resertifikasi)
memperpanjang STR yang diterbitkan KKI. Pendidikan dan pelatihan berkelanjutan
atau CPD dilaksanakan organisasi profesi yang diakui sebagai sub sistem dalam
UU Praktik Kedokteran.
“Petitum”
Para
Pemohon dalam petitum permohonan meminta Mahkamah agar
ketentuan-ketentuan dalam UU Nakes yang diujikan ini dinyakatan bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasal 11 ayat (1)
huruf a sepanjang frasa “a. Tenaga medis”, Pasal 11 ayat (2), dan Pasal 1 angka
1 UU Nakes bertentangan dengan UUD 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
secara konstitusional bersyarat apabila tidak dimaknai dengan menambah frasa
“kecuali tenaga medis”. Sehingga ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 36 Tahun 2014
tentang Nakes selengkapnya berbunyi “Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang
mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahun dan/atau
ketrampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu
memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan kecuali tenaga medis”.
Ketentuan
Pasal 34 ayat (1), ayat (2), ayat (5), Pasal 35, Pasal 36 ayat (1), ayat (2),
ayat (3), Pasal 40 ayat (1), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43 UU Nakes sepanjang
frasa “Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia” bertentangan dengan UUD 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara konstitusional bersyarat jika
tidak dimaknai dan diubah menjadi “Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia”.
Ketentuan
Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40 ayat (2) UU Nakes sepanjang kata
“konsil” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat secara konstitusional bersyarat jika tidak dimaknai dan diubah menjadi
“majelis”.
Ketentuan
Pasal 1 angka 6 UU Nakes sepanjang frasa “Uji Kompetensi”, Pasal 21 ayat (1),
ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6) UU Nakes sepanjang frasa “Uji
Kompetensi” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat, sepanjang jika tidak dimaknai sebagai “ujian kelulusan akhir”.
Nur Rosihin Ana
Dalam Rubrik “Catatan
Perkara” Majalah
Konstitusi No. 102 – Agustus 2015