Berkas hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) beberapa kali dikembalikan oleh Jaksa Agung. Alasannya, belum
cukup bukti. Akses korban pelanggaran HAM untuk mendapatkan kepastian hukum dan
keadilan menjadi terabaikan.
Komnas HAM merupakan komisi resmi negara yang berwenang
melakukan penyelidikan untuk menentukan ada atau tidaknya sebuah pelanggaran
HAM berat dalam peristiwa tertentu. Kewenangan ini merupakan mandat Pasal 18
ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
(UU Pengadilan HAM). Sedangkan wewenang Jaksa Agung sebagaimana ketentuan Pasal
21 dan Pasal 23 UU Pengadilan HAM yaitu melakukan penyidikan dan penuntutan
atas perkara pelanggaran HAM berat berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM.
Sepanjang 2002 sampai saat ini, Jaksa Agung telah beberapa
kali (satu hingga enam kali) mengembalikan berkas perkara penyelidikan
pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh Komnas HAM. Berkas perkara dimaksud
yaitu Peristiwa Trisakti, Semanggi I (1998) dan II (1999); peristiwa Mei 1998;
Penghilangan Orang Secara Paksa (1997-1998); Peristiwa Talangsari Lampung
(1989); Peristiwa Penembakan Misterius (1982-1985); Peristiwa 1965-1966; serta
Peristiwa Wasior 2001 dan Wamena 2002 Papua (non-retroaktif).
Tentu bukan tanpa dasar jika Kejaksaan Agung melakukan hal
demikian. Dalam Pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAM dan Penjelasannya, telah
memberikan syarat limitatif tentang pengembalian berkas penyelidikan. Kemudian
dalam Penjelasan Pasal tersebut menyebutkan, yang dimaksud dengan kurang
lengkap adalah belum cukup memenuhi unsur pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
berat untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan.
Bersadarkan Pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAM dan
Penjelasannya tersebut, maka jelas dan terang bahwasanya syarat pengembalian
tersebut adalah didasarkan kepada syarat materiil bukan kepada syarat formil.
Namun pada faktanya, Jaksa Agung seringkali menggunakan pasal dan penjelasan
pasal yang dimaksud dengan tafsir yang berbeda. Hal inilahAyang dipersoalkan oleh
keluarga korban pelanggaran HAM, yakni Paian Siahaan (Keluarga Korban
Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997-1998) dan Yati Ruyati (Keluarga
Korban Tragedi Mei 1998).
Paian dan Yati melalui kuasa hukum Haris Azhar dkk, pada 21 Mei
2015 menyampaikan permohonan uji materi atas UU Pengadilan HAM ke MK. Setelah
permohonan lengkap, Kepaniteraan Mahkamah meregistrasi permohonan dengan nomor
75/PUU-XIII/2015 pada 17 Juni 2015. Adapun materi UU Pengadilan HAM yang
diujikan yakni Pasal 20 ayat (3) dan Penjelasannya, terhadap UUD 1945.
Pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAMDalam hal penyidik berpendapat bahwa hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) masih kurang lengkap, penyidik segera mengembalikan hasil penyelidikan tersebut kepada penyelidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya hasil penyelidikan, penyelidik wajib melengkapi kekurangan tersebut.”Penjelasan Pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAMDalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “kurang lengkap” adalah belum cukup memenuhi unsur pelanggaran hak asasi manusia yang berat untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan.
Alasan Berubah-Ubah
Paian Siahaan dan Yati Ruyati (para Pemohon) adalah keluarga
korban Pelanggaran HAM Berat. Paian Siahaan adalah orang tua dari Ucok Munandar
Siahaan, korban pelanggaran HAM yang berat dalam Peristiwa Penghilangan Orang
Secara Paksa 1997-1998. Sedangkan Yati Ruyati adalah orang tua dari Eten Karyana,
korban dalam peristiwa 13–14 Mei 1998.
Para Pemohon menilai Jaksa Agung tidak konsisten dalam
memberikan alasan mengenai hambatan yang menyebabkan tidak dilakukannya
penyidikan terhadap berkas-berkas perkara tersebut. Alasan yang diberikan pun
berubah-ubah dan berbeda-beda sepanjang tahun 2002–2014 (Bukti P-8).
Mislanya berkas peristiwa Trisakti, Semanggi I 1998 dan
Semanggi II 1999, sejak 2002 telah 6 kali bolak-balik dari Komnas HAM ke
Kejaksaan Agung. Alasan Jaksa Agung antara lain karena peristiwa Trisakti sudah
tidak relevan lagi diajukan ke tahap penyidikan karena DPR telah
merekomendasikan peristiwa tersebut disidangkan di Pengadilan Militer.
Kemudian, pelaku lapangannya pun sudah diadili serta telah dinyatakan bersalah
dan dihukum. Jaksa Agung juga beralasan kelengkapan berkas hasil penyelidikan
perkara terhadap pengertian “kurang lengkap” sebagaimana Penjelasan pasal 20
ayat (3) UU Pengadilan HAM adalah belum memenuhi unsur pelanggaran HAM yang
berat untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan, termasuk belum adanya Pengadilan
HAM Ad Hoc yang berwenang memeriksa dan memutus.
Pada peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Komnas HAM telah
menyerahkan berkas hasil penyelidikannya kepada Kejaksaan Agung pada 19
September 2003 untuk ditindaklanjuti ke tahap penyidikan. Sejak 2003 berkas ini
6 kali bolak-balik dari Komnas HAM ke Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Agung ke
Komnas HAM. Terakhir, alasan Jaksa Agung mengembalikan berkas hasil
penyelidikan ke Komnas HAM melalui surat Jaksa Agung RI Nomor:
R-056/A/F.6/04/2008 tanggal 28 April 2008 dengan petunjuk “menunggu terbentuknya
Pengadilan HAM Ad Hoc”. Alasan “menunggu terbentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc”
juga digunakan oleh Jaksa Agung saat mengembalikan berkas hasil penyelidikan ke Komnas HAM dalam Peristiwa
Penghilangan Orang Secara Paksa 1997–1998.
Wajib Sidik
Inti alasan atau jawaban Jaksa Agung dalam peristiwa
tersebut antara lain adalah karena belum cukup bukti memenuhi unsur pelanggaran
HAM yang berat. Padahal unsur pelanggaran HAM yang berat sudah ditentukan dalam
Pasal 8 jo. Pasal 9 UU Pengadilan HAM. Ketentuan ini berarti bahwa Jaksa
Agung wajib melaksanakan suatu tindakan penyidikan terlebih dahulu sebelum
menyatakan bahwa suatu peristiwa itu tidak cukup bukti dan/atau belum dapat
dikatakan sebagai pelanggaran HAM yang berat.
Alasan Jaksa Agung yang menyatakan berkas-berkas
penyelidikan Komnas HAM belum cukup bukti, menunjukkan Jaksa Agung telah
melakukan suatu pelanggaran hukum. Sebab Jaksa Agung tidak pernah melakukan
penyidikan sebelumnya.
Akibat ketidakjelasan penafsiran ini, hingga saat ini para
Pemohon tidak mendapatkan kepastian hukum mengenai peristiwa yang menimpa
anak-anaknya: apakah ada pelanggaran HAM berat dalam peristiwa tersebut dan
bila ada, siapa yang harus bertanggung jawab secara pidana atas hilangnya nyawa
anak-anak mereka.
Perjuangan Mendapatkan Kepastian
Adanya kepastian hukum mengenai terjadinya pelanggaran HAM
berat dalam peristiwa Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa Periode
1997-1998, Semanggi I 13-15 November 1998, serta Kerusuhan Mei 1998 tersebut
sangat penting bagi para Pemohon. Sebab dengan adanya kepastian hukum mengenai
peristiwa ini, maka para Pemohon berhak mendapatkan kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi sebagai korban pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur dalam
Pasal 35 Pengadilan HAM.
Akibat dari ketidakjelasan Pasal 20 ayat (3) Pengadilan HAM
dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) seperti telah diuraikan di atas, hak
konstitusional para Pemohon sebagaimana diberikan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
telah dirugikan. Ketidakjelasan penafsiran dan kapan bolak-balik berkas dapat
dihentikan, semakin mempersempit kesempatan para Pemohon untuk menggapai
keadilan yang telah diperjuangkan selama 12 tahun ini.
Oleh karena itu, para Pemohon meminta MK menyatakan
konstitusional bersyarat pada Pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAM dan
penjelasannya. Dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal
20 ayat (3) UU Pengadilan HAM tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), 28H
ayat (2) dan 28I ayat (2) UUD 1945 sepanjang dinyatakan konstitusional
bersyarat (conditionally constitutional) dengan dimaknai: “…Dalam hal
penyidik berpendapat bahwa hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) masih kurang lengkap, penyidik segera mengembalikan hasil penyelidikan
tersebut kepada penyidik disertai petunjuk yang jelas sebagaimana pasal 8 dan 9
untuk dilengkapi dan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya
hasil penyelidikan, penyelidik wajib melengkapi kekurangan tersebut.”
Begitu pula dengan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) UU
Pengadilan HAM harus ditafsirkan “…Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan
“kurang lengkap” adalah belum cukup memenuhi unsur pelanggaran hak asasi
manusia yang berat sebagaimana unsur-unsur tindak pidana yang disebutkan pada
pasal dan penjelasan pasal 8 dan 9 untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan”.
Nur Rosihin Ana
dalam Rubrik "Catatan Perkara" Majalah
"Konstitusi" edisi Juli 2015.