Sembilan orang warga negara Australia ditangkap di tempat berbeda di Bali,
Indonesia pada 17 April 2005 karena menyelundupkan heroin seberat
8,2 kg dari Indonesia ke Australia. Kesembilan WN Australia dimaksud yaitu, Myuran
Sukumaran, Andrew Chan, Si Yi Chen, Michael Czugaj, Renae Lawrence, Tach Duc
Thanh Nguyen, Matthew Norman, Scott Rush, dan Martin Stephens.
Peristiwa penangkapan di Bali ini kemudian dikenal dengan istilah “Bali
Nine”. Duo “Bali Nine” yaitu Myuran Sukumaran dan Andrew Chan telah menjalani
eksekusi mati di lapangan tembak Tunggal Penaluan, Nusakambangan, Cilacap, Jawa
Tengah, pada Rabu, 29 April 2015 dinihari,
Sebelum dieksekusi mati, pada 9
April 2015 Myuran dan Andrew melalui kuasanya, Todung Mulya Lubis dkk,
melayangkan surat ke Mahkamah Konstitusi untuk memohon judicial review
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi yang telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Myuran dan Andrew juga memohon judicial
review Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi
yang telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010
tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2002
tentang Grasi (UU Grasi).
Selain Myuran dan Andrew, beberapa
nama juga masuk dalam jajaran Pemohon, yakni Rangga Sujud Widigda, Anbar
Jayadi, Luthfi Sahputra, Haris Azhar, dan Inisiatif Masyarakat Partisipatif
Untuk Transisi Berkeadilan (“Imparsial”). Adapun materi UU MK yang dimohonkan
untuk diuji yaitu Pasal 51 ayat (1) huruf a. Kemudian UU materi
Grasi yang diuji yakni Pasal 11 ayat (1) dan (2).
Kepaniteraan Mahkamah meregistrasi
permohonan tersebut dengan Nomor 56/PUU-XIII/2015 pada 23 April 2015. Agenda sidang perdana untuk perkara ini akan
digelar pada 20 Mei 2015 Pukul 10.00 WIB.
Materi UU MK dan UU Grasi yang Diuji
Pasal 51
ayat (1) huruf a UU MK
Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia;
Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UU Grasi
(1) Presiden memberikan keputusan atas permohonan
grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
(2) Keputusan Presiden dapat berupa pemberian
atau penolakan grasi.
“Legal Standing” WNA
Myuran Sukumaran dan Andrew Chan
adalah Warga Negara Australia yang merasa dilanggar hak asasinya oleh
undang-undang yang berlaku di Indonesia. Kendati bukan WNI, Myuran dan Andrew merasa hak asasinya dilindungi oleh UUD 1945. Hal ini ditunjukkan dengan
penggunaaan frasa “setiap orang” dalam Pasal 28A, Pasal 28B ayat (1),
Pasal 28C, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28D ayat (4), Pasal
28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 28J UUD
1945. Kemudian frasa “setiap anak” dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, dan frasa
“setiap warga negara dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Frasa “setiap orang” dalam beberapa ketentuan di atas menunjukkan bahwa
subjek yang dilindungi adalah setiap manusia yang berada di dalam wilayah
yurisdiksi Indonesia, termasuk WNA.
Myuran dan Andrew menganggap hak konstitusionalnya dirugikan karena MK sebagai lembaga negara yang berwenang menguji
konstitusionalitas UU, ternyata tidak memberikan kedudukan hukum (legal
standing) kepada WNA. Hal ini dikarenakan adanya pembatasan yang
dilakukan oleh Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK. Padahal, dalam Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK, hak konstitusional
merujuk pada hak-hak yang diatur dalam UUD 1945. Dengan kata lain, hak asasi
manusia, sebagaimana diatur dalam Bab XA UUD 1945, ada di dalamnya.
Menurut
Pemohon, ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK merupakan ketentuan yang
rancu dan menjadi sumber dari ketidakadilan. Ketentuan pasal ini bersifat diskriminatif sehingga bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menghendaki terciptanya kepastian hukum
yang adil bagi semua orang. Konsep diskriminasi
yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah adanya pembedaan perlakuan yang
disebabkan pada faktor tertentu yang sebenarnya tidak relevan, misalnya status
sosial, ekonomi, suku, agama, ras, dan/atau jenis kelamin.
Kewarganegaraan
tidak menyebabkan sebuah UU menjadi tidak berlaku terhadapnya dan tidak pula
menyebabkan seseorang menjadi tidak memiliki hak yang diakui dan dilindungi
berdasarkan UUD 1945. Kewarganegaraan bukan merupakan faktor yang relevan untuk
membedakan perlakuan dalam konteks kedudukan hukum untuk melakukan pengujian UU
terhadap UUD 1945.
Dalam
konteks UU yang berlaku baik bagi WNI maupun WNA, seperti UU Grasi, tidaklah
adil jika warga negara asing tidak diperkenankan untuk turut mempersoalkannya
ke hadapan Mahkamah Konstitusi. Sebab mereka juga merupakan subjek dari UU
tersebut.
Oleh sebab itu, para Pemohon
memohon kepada MK untuk menyatakan ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK
conditionally unconstitutional, yaitu tidak konstitusional selama kedua
ketentuan ini tidak dimaknai, “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang,
yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia atau warga
negara asing sepanjang yang didalilkan menyangkut hak asasi manusia sebagai
tolok ukur pengujian dan/atau undang-undang tersebut secara substansi berlaku
baik terhadap warga negara Indonesia dan warga negara asing”
Sebelumnya, Myuran dan Andrew
pernah mengajukan permohonan pengujian UU Narkotika ke MK pada 16 Januari 2007
silam. Lalu MK mengeluarkan Putusan Nomor: 2-3/PUU-V/2007 tanggal 30 Oktober
2007. MK menyatakan permohonan Myuran dan Andrew tidak dapat diterima.
Alasannya, Myuran dan Andrew adalah WNA yang tidak memiliki legal standing
untuk mengajukan permohonan ke MK.
Myuran dan Andrew berharap adanya pemaknaan
ulang terhadap Pasal 51 ayat (1) UU MK yang memberikan hak bagi WNA untuk
melakukan pengujian terhadap undang-undang yang bertentangan dengan hak yang
diakui dan dilindungi oleh UUD 1945. Dengan dikabulkannya permohonan ini, maka kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional seperti yang didalilkan tidak lagi terjadi.
“Abuse
of Power”
Kewenangan
pemberian grasi diatur secara umum dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945. Kewenangan
ini diderivasikan dalam UU Grasi. Oleh karenanya, UU Grasi menjadi parameter
untuk menilai tindakan Presiden RI dalam menggunakan kewenangan grasi-nya.
UU
Grasi mengandung permasalahan yang cukup fundamental. Permasalahan timbul
dikarenakan tidak adanya ketentuan yang mewajibkan Presiden RI secara terang
dan jelas untuk mempertimbangkan masak-masak setiap permohonan grasi.
Selain itu, tidak ada kewajiban bagi Presiden RI untuk memberikan penjelasan
yang layak dalam menerima maupun menolak permohonan grasi.
Ketiadaan
kaidah kewajiban dimaksud menciptakan potensi besar penyalahgunaan kewenangan oleh
Presiden RI. Ia bisa saja menerima atau menolak permohonan grasi tanpa
melakukan penelitian yang disyaratkan oleh UU Grasi dan/atau tanpa memberikan
pertimbangan yang layak yang memberikan alasan dalam mengabulkan atau menolak
grasi. Presiden RI dapat menggunakan kewenangan grasi-nya secara tidak
bijaksana, dan bahkan bertentangan dari tujuan dasarnya.
Pertimbangan Grasi
Duo
“Bali Nine” Myuran dan Andrew dijatuhi
hukuman mati berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1997
tentang Narkotika melalui putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap (in kracht van gewijsde),
masing-masing yaitu Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No.
626/Pid.B/2005/PN.DPS tertanggal 14 Februari 2006 jo. Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No. 22/Pid.B/2006/PT.DPS
tertanggal 20 April 2006 jo. Putusan
Mahkamah Agung R.I. No. 1693K/Pid/2006 tertanggal 16 Agustus 2006 jo. Putusan Mahkamah Agung R.I. No.
38PK/PID.SUS/2011 tertanggal 6 Juli 2011
(Pemohon I) dan Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No.
624/Pid.B/2005/PN.DPS tertanggal 14 Februari 2006 jo. Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No. 18/Pid.B/2006/PT.DPS
tertanggal 20 April 2006 jo. Putusan Mahkamah Agung R.I. No. 1690
K/Pid/2006 tertanggal 16 Agustus 2006 jo. Putusan Mahkamah Agung R.I. No. 37
PK/PID.SUS/2011 tertanggal 10 Mei 2011 (Pemohon II).
Myuran dan Andrew mengajukan
permohonan grasi kepada Presiden RI masing-masing pada 5 Juli 2012 dan 9 Mei
2012. Kemudian masing-masing permohonan grasi ditolak melalui Keputusan Presiden
RI No. 32/G Tahun 2014 tanggal 30 Desember 2014 dan Keputusan Presiden RI No.
9/G Tahun 2015 tanggal 17 Januari 2015.
Para Pemohon, melalui kuasanya, Todung Mulya Lubis dkk, merasa hak dan
kewenangan konstitusionalnya dirugikan karena ketentuan
Pasal 11 ayat (1) dan (2) UU Grasi tidak membebankan kewajiban kepada Presiden
RI secara eksplisit untuk memeriksa permohonan grasi secara saksama dan
individual, dan juga tidak ada ketentuan yang secara eksplisit meletakkan
kewajiban bagi Presiden RI untuk memberikan dan menyampaikan pertimbangan yang
layak sehubungan dengan keputusan grasinya. Hal ini menyebabkan ketidakpastian
hukum, tidak terpenuhinya hak atas informasi serta berpotensi untuk
disalahgunakan sebagai alat untuk menyebabkan pembedaan perlakuan.
Secara
normatif, keberadaan grasi adalah untuk memberikan warna humanisme dalam sistem
pemerintahan. Dasar untuk menerima atau menolak permohonan grasi bukanlah aspek
yang bersifat hukum lagi. Di sisi lain, karena aspek pemeriksaannya adalah
mencakup semua pertimbangan yang non-hukum, maka tiap permohonan grasi yang
masuk sudah seyogyanya diperiksa secara rinci oleh Presiden RI, termasuk pula
di dalamnya memeriksa karakteristik unik/spesifik dari masing-masing pemohon
grasi, sebelum akhirnya mengeluarkan keputusan menolak atau menerima permohonan
grasi yang diajukan, disertai dengan alasan yang layak.
Faktanya,
Presiden RI tidak memberikan gambaran pertimbangan yang layak saat menolak
permohonan grasi Myuran dan Andrew. Satu-satunya
kalimat yang dapat dikatakan sebagai alasan penolakan adalah, “...tidak
terdapat cukup alasan untuk memberikan grasi...”
Di
sisi lain, sebelum putusan penolakan grasi Myuran
dan Andrew dikeluarkan, pada
9 Desember 2014 Presiden RI membuat pernyataan ke muka
publik bahwa ia akan menolak seluruh permohonan grasi yang diajukan oleh 64
terpidana mati kasus narkotika, termasuk di dalamnya adalah Myuran
dan Andrew.
Pernyataan
tersebut menunjukkan bahwa Presiden RI tidak melakukan penelitian yang saksama
dan individual terhadap masing-masing pemohon grasi, melainkan hanya
berdasarkan jenis tindak pidananya saja. Presiden RI telah lalai untuk memperhatikan
aspek individualitas dari masing-masing diri pemohon grasi. Presiden RI
memperlakukan ke-64 manusia tersebut sebagai angka, tidak sebagai manusia. Pertimbangan pukul rata (generalisasi) semacam ini
tergolong sebagai tindakan yang diskriminatif, yang hanya akan memunculkan
ketidakadilan.
Pasal
9, 10, 11, 12 dan 13 UU Grasi tidak tersurat kewajiban bagi Presiden RI untuk
mempertimbangkan aspek individualitas dari masing-masing pemohon dan untuk
memberikan pertimbangan yang layak atas setiap keputusan grasi. Akibatnya,
muncul kesewenangan dari Presiden RI dalam menggunakan kewenangannya ini.
Putusan penolakan atau penerimaan grasi tanpa didasari pada penelitian yang
layak mengenai aspek individualitas dari masing-masing pemohon dan tidak
memberikan/menyampaikan pertimbangannya secara layak pula. Cara lain yang sudah
menjadi kenyataan adalah pernyataan publik Presiden RI pada tanggal 9 Desember 2014
tentang penolakan grasi ‘pukul rata’.
Tindakan
Presiden RI tersebut bertentangan dengan konsep HAM yang hidup dalam UUD 1945.
Presiden RI telah memperlakukan para pemohon grasi sebatas angka semata, tidak
sebagai manusia. Pemohon grasi yang satu disamakan dengan pemohon grasi yang
lain atas dasar kesamaan jenis tindak pidana yang dilakukan, tanpa mencoba
membedakan aspek individualitas dari masing-masing manusia yang menjadi pemohon
grasi maupun fakta-fakta yang melingkupinya.
Oleh
sebab itu, untuk menghindari dan mencegah terulangnya pelanggaran UUD 1945 oleh
Presiden RI, Para Pemohon memohon kepada MK untuk menyatakan ketentuan Pasal 11
ayat (1) dan (2) UU Grasi conditionally
unconstitutional, yaitu tidak konstitusional selama kedua ketentuan ini
tidak dimaknai, Pasal 11 ayat (1) dan (2) UU Grasi: “(1) Presiden memberikan keputusan atas
permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung dan melakukan penelitian terhadap pemohon
grasi dan permohonan grasinya. (2) Keputusan
Presiden dapat berupa pemberian atau penolakan grasi dengan disertai alasan yang layak.”
Grasi Ala Amerika dan
Filipina
Untuk
memperkuat dalil permohonan, para Pemohon memberikan gambaran ketatanegaraan di
negara Amerika Serikat (AS) dan Filipina sehubungan dengan kekuasaan presiden
dalam menerbitkan grasi. Presiden AS mempunyai kekuasaan untuk memberi
pengampunan (grasi) dan penundaan terhadap pelaksanaan hukuman bagi
perlanggaran terhadap hukum di Amerika Serikat yang diatur dalam Article II, section 2 “...he shall have
Power to Grant Reprieves and Pardons for Offenses against the United States,
except in Cases of Impeachment..”
Permohonan
grasi ditujukan kepada Presiden AS dan akan diserahkan kepada Pardon Attorney, Department of Justice. Attorney General akan mengadakan
penyelidikan yang dianggap perlu. Apabila seorang dihukum atas tindak kejahatan
yang memiliki korban, maka Attorney
General akan menotifikasi korban atas adanya permohonan grasi
tersebut, kemudian melaporkan secara tertulis rekomendasinya kepada Presiden
yang pada intinya menyampaikan penilaiannya atas permohonan grasi. Penilaian
yang dilakukan Attorney General berdasarkan
standar-standar yang telah ditentukan, di antaranya perilaku baik selama
menjalankan hukuman dan telah menjalani masa hukumannya selama 5 (lima) tahun,
dan lain-lain.
Ketika
permohonan grasi dikabulkan, pemohon atau kuasa hukumnya harus diberitahu
tentang hal tersebut dan surat perintah pengampunan akan dikirim ke pemohon.
Setiap kali Presiden menyampaikan penolakannya terhadap permohonan grasi, Attorney General wajib memberikan saran
kepada pemohon grasi dan menutup permohonan tersebut.
Sementara
di Filipina, Presiden Filipina memiliki kekuasaan untuk memberi grasi atau
pengampunan untuk narapidana berdasarkan rekomendasi dari Dewan Pengampunan dan
Pembebasan Bersyarat (Board of Pardons and Parole). Pemberian Grasi oleh
Presiden diatur dalam Konstitusi Filipina dalam Article VII section 19 “..Except in cases of impeachment, or as
otherwise provided in this Constitution, the President may grant reprieves,
commutations, and pardons, and remit fines and forfeitures, after conviction by
final judgment. He shall also have the power to grant amnesty with the
concurrence of a majority of all the Members of the Congress..”
Dewan
Pengampunan dan Pembebasan Bersyarat (Board
of Pardons and Parole) berada di bawah Departemen Kehakiman. Dewan ini
bertugas memberikan pembebasan bersyarat dan merekomendasikan kepada Presiden
mengenai segala bentuk grasi untuk seseorang atau tahanan yang berhak mendapatkannya.
Fungsi dewan termasuk melakukan studi dan review
serta pembahasaan tahanan yang memenuhi syarat untuk pembebasaan bersyarat
maupun grasi Presiden dan mereview laporan yang disampaikan oleh Parole and Probation Admnistration dan
membuat keputusan yang diperlukan.
Board of Pardons and Parole harus mempublikasikan dalam surat kabar yang beredar
secara nasional seluruh nama-nama narapidana yang sedang dipertimbangkan untuk
memperoleh grasi presiden. Setiap pihak yang berkepentingan dapat mengirimkan
keberatan/komentar/informasi yang relevan terkait narapidana dimaksud secara
tertulis kepada Board of Pardons and
Parole.
Proses
pemberian grasi di negara AS dan Filipina tersebut di atas kontras dengan di
Indonesia. Di AS dan Filipina terdapat lembaga khusus yang meninjau dan
memberikan penilaian atas setiap permohonangrasi kepada Presiden untuk kemudian
direkomendasikan kepada presiden dan adanya standar yang telah ditetapkan
sebagai acuan dalam mempertimbangkan sebuah permohonan grasi. Di kedua negara tersebut juga ada suatu
proses penelitian yang cukup untuk menguji kelayakan diterima atau ditolaknya
sebuah permohonan grasi oleh presiden. Selain itu, terdapat tranparansi kepada
publik mengenai proses pertimbangan yang dilakukan terhadap setiap permohonan grasi
dan melibatkan publik (terutama pihak yang dirugikan karena tindak kejahatan
yang dilakukan oleh pemohon) dalam menyusun rekomendasi permohonan grasi.
Dengan
demikian, menurut para Pemohon, sudah sepatutnya proses pemberian grasi oleh
Presiden di Indonesia ditinjau kembali baik secara formalitas pemberian maupun
substansi pertimbangannya dalam menerima atau menolak permohonan grasi agar
hak-hak narapidana mengajukan grasi beserta hak-hak yang kemudian timbul dapat
dilindungi oleh pemerintah sebagai pihak yang wajib memenuhi hak tersebut.
Pemaknaan yang Diminta Pemohon
Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK
“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:a. perorangan warga negara
Indonesia atau warga negara asing sepanjang yang didalilkan menyangkut hak
asasi manusia sebagai tolok ukur pengujian dan/atau undang-undang tersebut
secara substansi berlaku baik terhadap warga negara Indonesia dan warga negara
asing;
Pasal 11 ayat (1) dan (2) UU Grasi
(1) Presiden memberikan keputusan atas permohonan
grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung dan melakukan penelitian terhadap pemohon grasi dan permohonan grasinya.
(2) Keputusan
Presiden dapat berupa pemberian atau penolakan grasi dengan disertai alasan yang layak.
Nur Rosihin Ana, dalam Rubrik "Catatan Perkara" Majalah "Konstitusi" Edisi Mei 2015.