Pertumbuhan industri air minum dalam kemasan (AMDK)
mengalami peningkatan pesat di Indonesia. AMDK menjadi bisnis yang cukup
menggiurkan karena konsumsi air terus meningkat seiring pertumbuhan jumlah
penduduk.
Menjamurnya bisnis AMDK berimplikasi pada semakin
banyaknya daerah yang menjadi sasaran eksploitasi air. Tak jarang ekploitasi
air memicu konflik. Terjadi perebutan sumber mata air oleh perusahaan AMDK.
Akibatnya masyarakat sekitar sumber mata air mengalami kesulitan air.
Tengoklah misalnya eksploitasi air yang dilakukan oleh
sebuah perusahaan multinasional di Desa Curug Goong, Padarincang, Serang,
Banten. Masyarakat resah karena khawatir perusahaan akan menguasai sumber mata
air Cirahab. Hal ini kemudian memicu konflik antara warga masyarakat dengan
pemerintah dan perusahaan. Bahkan konflik pun terjadi antaranggota masyarakat
yang pro dan kontra.
Perusahaan dengan bebas tanpa batas menguras air tanpa
pengawasan oleh administrasi negara. Tidak ada yang mengetahui berapa jumlah
air yang dikuras. Celakanya, tidak ada aturan yang menjelaskan apakah yang
diambil adalah air permukaan atau air artesian. Penyedotan air di Padarincang
diperkirakan sejumlah 63 liter per detik, dan akan menghasilkan 16 miliar per
hari. Dapat dibayangkan berapa besar penghasilan perusahaan multinasional itu
per tahun.
Kasus serupa juga terjadi di Sukabumi dan Klaten.
Petani di Klaten sekarang harus menyedot air dengan mesin diesel, padahal
sebelumnya tidak demikian. Di Sukabumi, dulu air dapat diambil di kedalaman 5-8
meter, sekarang harus lebih dari 15 meter. Hal tersebut merupakan contoh kecil
dari kesalahan tata kelola SDA di Indonesia.
Sesungguhnya air merupakan karunia Tuhan yang menjadi
kebutuhan dasar yang sangat penting bagi makhluk hidup di muka bumi ini. Air
merupakan barang publik (common good) yang dapat diakses oleh setiap
orang. Kebutuhan akan air merupakan hak asasi manusia. Setiap orang berhak
memperoleh air dengan cukup, aman, dapat diterima, dan dapat diakses secara
fisik, serta terjangkau untuk penggunaan pribadi dan rumah tangga.
Barang publik itu telah berubah menjadi komoditas yang
lebih mementingkan aspek ekonomi yang berorientasi pada keuntungan. Pergeseran
makna ini terlihat dalam pengaturan mengenai hak guna usaha air (HGUA) kepada
pihak swasta. Keberadaan HGUA dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air (UU SDA) secara fundamental merekonstruksi nilai air yang
merupakan barang publik (common good) menjadi komoditas ekonomi
(commercial good) yang dapat dikuasai sekelompok individu dan badan usaha.
Visi UU SDA jelas menyebutkan bahwa sumber daya air
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Namun ketentuan pasal-pasal di dalam UU SDA sangat jelas mengusung semangat
privatisasi, swastanisasi, komersialisasi, hingga monopoli dalam pengelolaan
SDA. Pemerintah secara kasat mata hendak melepaskan tanggung jawab pengurusan (bestuurdaad)
dan pengelolaan (beheerdaad) kepada swasta melalui privatisasi
pengurusan dan pengelolaan SDA.
Privatisasi hak atas air membuka peluang terjadinya
diskriminasi dalam mengakses kebutuhan atas air. Privatisasi akan mendorong
sebagian orang dapat memperoleh air minum yang berkualitas, sementara sebagian
besar lainnya kesulitan untuk mengakses dan menjangkau secara layak.
Hak guna pakai air (HGPA) primer merupakan kewajiban
negara, dan seharusnya rakyat memperoleh HGPA secara cuma-cuma. Membiarkan
terjadinya privatisasi dan komersialisasi berarti negara melepaskan diri dari
tanggung jawab secara mutlak terhadap penyediaan air untuk rakyatnya. Sudah
selayaknya UU SDA yang mengusung semangat privatisasi itu dibatalkan.
Nur Rosihin Ana
Editorial Majalah Konstitusi No. 97 Maret 2015