Alat berat berfungsi sebagai alat produksi. Sedangkan kendaraan
bermotor berfungsi sebagai moda transportasi. Benarkah alat berat tidak sama
dengan kendaraan bermotor?
Alat berat diperlakukan
sama dengan kendaraan bermotor. Padahal secara kualitatif dari aspek fungsional
(teleologis), alat berat dan kendaraan bermotor adalah berbeda. Alat berat
sejak awal (kodrati) dibuat dan ditujukan untuk kegiatan produksi atau secara
fungsional (teleologis) merupakan alat produksi. Sedangkan kendaraan bermotor
sejak awal dibuat untuk kegiatan transportasi berlalu lintas di jalan atau
secara fungsional adalah sebagai alat pengangkut barang atau orang.
Penjelasan Pasal 47 ayat
(2) huruf e bagian c Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan (UU LLAJ) menempatkan alat berat sebagai kendaraan bermotor.
Ketentuan ini digugat oleh tiga perseoran terbatas (PT) yang bergerak di bidang
jasa rental alat berat, yakni PT Tunas Jaya Pratama, PT Multi Prima Universal,
dan PT Marga Maju Mapan. Menurut para Pemohon, ketentuan tersebut bertentangan
dengan Pasal 1 ayat (3) serta Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
Para Pemohon melalui kuasa
hukum Adnan Buyung Nasution, Ali Nurdin, Rasyid Alam Perkasa Nasution, dan
Absar Kartabrata, mengajukan permohonan melalui surat bertanggal 28 November
2014 ke Mahkamah Konstitusi. Permohonan ini diregistrasi oleh
Kepaniteraan Mahkamah pada Jumat, 9 Januari 2015, dengan Nomor 3/PUU-XIII/2015.
Mahkamah kemudian membentuk Panel Hakim
untuk memeriksa perkara ini. Panel Hakim terdiri dari tiga hakim konstitusi,
yakni Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Muhammad Alim, dan Suhartoyo, dan
dibantu seorang Panitera Pengganti, Mardian Wibowo. Gelar perkara pemeriksaan
pendahuluan dilaksanakan pada Rabu, 21 Januari 2015 Pukul 11.00 WIB. Berselang
14 hari kemudian, tepatnya pada 4 Februari 2015, Mahkamah menggelar sidang
pemeriksaan perbaikan permohonan. Gelar perkara berikutnya beragendakan
mendengar keterangan Pemerintah dan DPR, dijadwalkan pada 23 Februari 2015.
PT Tunas
Jaya Pratama, PT Multi Prima Universal, dan PT Marga Maju Mapan merupakan
pemilik/pengelola alat-alat berat berupa antara lain: crane, mesin gilas
(stoomwaltz), excavator, vibrator, dump truck, wheel loader, bulldozer,
tractor, forklift dan batching plant. Ketiga PT ini menggunakan
alat-alat berat tersebut dalam aktivitas usahanya. Maka tidak mengherankan jika
para Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
ketentuan dalam Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c UU LLAJ.
Pasal 47 ayat (2) UU LLAJ:
Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dikelompokkan berdasarkan jenis:a. sepeda motor;
b. mobil penumpang;
c. mobil bus;
d. mobil barang; dan
e. kendaraan khusus.
Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e UU LLAJ:Yang dimaksud dengan “kendaraan khusus” adalah Kendaraan
Bermotor yang dirancang khusus yang memiliki fungsi dan rancang bangun
tertentu, antara lain:
a. Kendaraan Bermotor Tentara Nasional Indonesia;
b. Kendaraan Bermotor Kepolisian Negara Republik Indonesia;
c. alat berat antara lain bulldozer, traktor, mesin
gilas (stoomwaltz), forklift, loader, excavator, dan crane; serta
d. Kendaraan khusus penyandang cacat.
|
Ilustrasi suasana penumpang di lantai 2 Bus Tingkat Wisata Jakarta City Tour, (21.12.2014). Dokumentasi foto: Najuba Uzuma Akasyata. |
Beda Tapi Disamakan
Para Pemohon berdalil,
pengelompokan alat berat sebagai kendaraan bermotor, merupakan perlakuan yang
keliru. Perlakuan yang sama ini menimbulkan sejumlah konsekuensi, antara lain,
alat berat diharuskan mengikuti uji tipe dan uji berkala serta memiliki perlengkapan
kendaraan seperti halnya kendaraan bermotor.
Menurut para Pemohon,
persyaratan uji tipe dan uji berkala tidak mungkin dapat dipenuhi oleh alat
berat karena karakteristik alat berat tidak pernah sama dengan kendaraan
bermotor. Alat berat yang dimiliki dan/atau dikelola Para Pemohon seperti crane,
mesin gilas (stoomwaltz), excavator, vibrator, bulldozer dan batching
plant tidak memiliki ban karet seperti kendaraan bermotor pada umumnya. Roda alat berat
tersebut terbuat dari besi, sehingga tidak mungkin memenuhi syarat kedalaman
alur ban. Bahkan terdapat alat berat yang sama sekali tidak bergerak seperti crane
dan batching plant, sehingga tidak mungkin memenuhi persyaratan laik
jalan. Sebab crane dan batching plant tidak memiliki rem, tidak
memiliki roda depan dan tidak menggunakan ban.
Alat berat juga diharuskan
memiliki perlengkapan kendaraan bermotor, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 57
ayat (3) UU LLAJ. Kelengkapan dimaksud seperti sabuk keselamatan, ban cadangan,
segitiga pengaman, dongkrak, pembuka roda.
Kemudian alat berat juga
harus diregistrasi dan diidentifikasi untuk mendapatkan sertifikat uji tipe
seperti halnya kendaraan bermotor. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 64 UU
LLAJ. Padahal sebagaimana telah diuraikan di atas, alat berat tidak dapat
dilakukan uji tipe. Dengan demikian sudah tentu ketentuan imperatif yang
mengharuskan adanya Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK) dan Tanda Nomor
Kendaraan Bermotor (TNKB) sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 68 ayat (1)
UU LLAJ tidak mungkin dapat dipenuhi sehingga pada gilirannya alat berat Para
Pemohon tidak dapat dioperasikan.
Operator alat berat pun
diharuskan memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM). Menurut para Pemohon, Ketentuan
ini tidak mungkin bisa dipenuhi. Sebab untuk mengoperasikan alat berat
membutuhkan keahlian tertentu yang tidak ada relevansinya dengan kemampuan
seseorang yang sudah memiliki SIM B II. Alat berat yang dimiliki oleh Para
Pemohon hanya dapat dioperasikan oleh orang yang sudah mengikuti pelatihan
khusus alat berat tanpa harus memiliki SIM B II yang secara khusus mensyaratkan
umur dan administrasi SIM B I dan SIM A sebelum mendapatkan SIM B II.
Persyaratan-persyaratan
yang secara imperatif diatur dalam ketentuan pasal-pasal tersebut, tidak bakal
dapat dipenuhi oleh Para Pemohon. Sebab, terdapat keanekaragaman alat berat
baik dalam fungsi, ukuran, bentuk, berat dan operator dalam mengoperasikannya.
Masing-masing alat berat memiliki karakteristik tersendiri. Akibatnya, alat
berat tidak dapat dioperasikan, yang pada gilirannya mengakibatkan kegiatan
produksi Para Pemohon terhenti.
Perbedaan Teleologis
Ketentuan Penjelasan Pasal
47 ayat (2) huruf e bagian c UU LLAJ menimbulkan ketidakjelasan dan
ketidakpastian hukum. Berdasarkan aspek konstruksi hukum, jelas terdapat
perbedaan secara teleologis antara alat berat dan kendaraan bermotor.
Untuk memperkuat dalilnya,
para Pemohon memaparkan definisi alat berat dan kendaraan bermotor yang secara
universal diterima dalam dunia perindustrian dan transportasi. Dalam buku
“Manajemen Alat Berat Untuk Konstruksi”, Asiyanto mendefinisikan alat berat
adalah, “Alat yang sengaja diciptakan/didesain untuk dapat melaksanakan salah
satu fungsi/ kegiatan proses konstruksi yang sifatnya berat bila dikerjakan
oleh tenaga manusia seperti: mengangkut, mengangkat, memuat, memindah,
menggali, mencampur, dan seterusnya dengan cara yang mudah, cepat, hemat, dan
aman.”
Sedangkan definisi
kendaraan bermotor, Menurut Wikipedia, kendaraan bermotor adalah kendaraan yang
digerakkan oleh peralatan teknik untuk pergerakkannya dan digunakan untuk
transportasi darat.
Definisi tersebut jelas
menunjukkan adanya perbedaan alat berat sebagai suatu peralatan (heavy
equipment) untuk suatu proyek (produksi) dan kendaraan bermotor (motor
vehicle) sebagai sarana angkutan (moda transportasi). Hal ini cukup menjadi
bukti bahwa alat berat tidak dapat disamakan dengan kendaraan bermotor.
Secara teleologis, alat
berat merupakan alat produksi yang dibuat secara khusus guna memudahkan
kegiatan produksi. Sedangkan kendaraan bermotor merupakan kendaraan guna alat
angkut (transportasi) manusia dan barang, yang setiap saat melintasi jalan
raya.
Alat berat sama sekali
tidak berfungsi sebagai alat angkut (transportasi) manusia atau barang.
Meskipun terdapat alat berat di jalan umum, seperti halnya bulldozer,
namun keberadaan alat berat di jalanan adalah dalam rangka kegiatan produksi,
bukan dalam kaitan transportasi. Alat berat tidak akan pernah berfungsi sebagai
alat transportasi umum.
Memang dalam perkembangannya
terdapat beberapa alat berat yang karena kondisi di lapangan industri
membutuhkan perpindahan dari satu tempat ke tempat lain dalam satu wilayah
industri, terkesan seolah-olah sama dengan kendaraan bermotor. Namun secara
hakikat dan fungsinya (teleologis) tetap tidak mengubah hakikat alat berat
sebagai alat produksi, yang sejak semula tidak dapat disamakan dengan kendaraan
bermotor sebagai alat transportasi. Berdasarkan sudut pandang teleologis, alat
berat tidak akan pernah berubah fungsi menjadi kendaraan bermotor.
Fakta menunjukkan perbedaan alat berat dengan kendaraan bermotor. Oleh
karena itu, menurut para Pemohon, Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c
UU LLAJ, harus dibatalkan karena tidak memenuhi prosedur konstitusi (hak uji
formil). Para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Penjelasan Pasal 47 ayat (2)
huruf e bagian c UU LLAJ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan
hukum mengikat.
Nur Rosihin Ana
Dalam Majalah Konstitusi No. 96 – Februari
2015, hal. 34-35