Kewenangan sentral Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dalam rekrutmen calon anggota Komisi Yudisial (KY) dan calon anggota
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapat kritik dari kalangan akademisi.
Pola rekrutmen calon anggota KY dan calon anggota KPK yang harus melalui fit
and profer test di DPR sangat bertentangan dengan eksistensi KY dan
KPK yang dibentuk sebagai lembaga negara yang independen dalam rangka
menegakkan kekuasaan kehakiman dan penegakan hukum yang bersih dan bebas dari
korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pola rekrutmen calon anggota KY dan calon
anggota KPK yang sudah melalui seleksi yang sangat ketat di tingkat Panitia
Seleksi (Pansel), ternyata hasilnya dapat “dimentahkan” pada saat mengikuti fit
and profer test di DPR.
Keterlibatan DPR dalam menentukan calon
anggota KY dan calon anggota KPK sangat bertentangan dengan tujuan pembentukan
KY dan KPK sebagai lembaga negara yang independen. Independensi atau
kemerdekaan sebuah lembaga negara bukan hanya ditentukan oleh kedudukan
lembaganya tetapi juga oleh pola rekrutmen calon anggotanya. Oleh karena itu,
keterlibatan DPR dalam penentuan calon anggota KY dan calon anggota KPK justru
akan mengganggu independensi atau kemerdekaan lembaga negara.
Demikian inti dari permohonan pengujian
materiil Pasal 28 ayat (6), Pasal 28 ayat (3) huruf c, dan Pasal 37 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5250), serta
Pasal 30 ayat (1), ayat (10), dan ayat (11) Undang-Undang No. 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4520) terhadap Pasal 24B ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Permohonan diajukan oleh Rektor
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof. Dr. H. Edy Suandi Hamid,
M.Ec, dan Dosen FH UII yang juga Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII), Sri Hastuti Puspitasari, SH,
MH. Rektor dan dosen yang sangat concern dan aktif melakukan
kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan penerapan nilai-nilai konstitusionalisme
ini merasa keberatan dengan pola rekrutmen tersebut.
Melalui kuasa hukumnya Zairin Harahap dkk,
Para Pemohon mengirimkan surat permohonan ke Mahkamah Konstitusi bertanggal 5
Februari 2014. Selanjutnya, Kepaniteraan MK meregistrasi permohonan ini dengan
Nomor 16/PUU-XII/2014.
Rekrutmen Komisoner KY
KY berdasarkan Pasal 24B UUD 1945 memiliki
wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim. Mengingat peran penting dari KY ini, maka independensi kelembagaan KY
harus ditempatkan pada posisi yang penting pula. Hal tersebut dimaksudkan untuk
menjaga potensi adanya intervensi dari lembaga manapun. Oleh karena itu maka
ketentuan Pasal 24B ayat (3) UUD 1945 secara eksplisit menegaskan, “Anggota
Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.
Menurut Para Pemohon, kata “persetujuan”
dalam Pasal 24B ayat (3) UUD 1945 harus dimaknai bahwa DPR hanya diberi
kewenangan untuk memberikan persetujuan atas calon yag diajukan oleh Presiden,
bukan kewenangan untuk “memilih”. Namun, ketentuan Pasal 24B ayat (3) UUD 1945
justru disimpangi oleh ketentuan dalam Pasal 28 ayat (6) UU KY yang menyatakan,
“DPR wajib memilih dan menetapkan 7 (tujuh) calon anggota dalam waktu paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima usul dari Presiden”. Frasa
“memilih dan menetapkan” sebagaimana dimaksud pada Pasal 28 ayat (6) UU KY
secara nyata bertentangan dengan Pasal 24B ayat (3) UUD 1945 dan menyimpang
dari maksud dan tujuan pembentukan KY, yakni terwujudnya kelembagaan KY yang
mandiri dan bebas dari intervensi lembaga manapun.
Padahal jika merujuk pada Undang-undang
Nomor 27 tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3),
khususnya ketentuan yang mengatur mengenai tugas dan wewenang DPR sebagaimana
diatur dalam Pasal 71, nampak jelas bahwa DPR sama sekali tidak memiliki tugas
dan wewenang untuk memilih calon anggota KY yang diajukan oleh Presiden.
Karena Pasal 24B ayat (3) UUD 1945 secara
eksplisit telah menegaskan agar pengangkatan anggota KY dilakukan dengan pola
“persetujuan” DPR, maka seharusnya tidak menentukan jumlah atau kuota calon
yang diajukan kepada DPR, sebagaimana telah dilakukan dalam pengangkatan
Panglima TNI (Pasal 13 UU No. 34 Tahun 2004), Kapolri (Pasal 11 UU No. 2 Tahun
2002), dan Gubernur Bank Indonesia (Pasal 41 UU No. 23 Tahun 1999 jo. UU No. 3
Tahun 2004 jo. UU No. 6 Tahun 2009).
Pengangkatan anggota KY dengan pola
“memilih” menimbulkan konsekuensi kepada Presiden untuk mengajukan calon
anggota KY melebihi formasi yang dibutuhkan. Hal tersebut terbukti dengan
dibuatnya ketentuan Pasal 37 ayat (1) UU KY yang mengharuskan Presiden
mengajukan calon anggota pengganti sebanyak 3 (tiga) kali dari jumlah
keanggotaan yang kosong kepada DPR. Hal ini menyulitkan Presiden/Pansel untuk
memenuhi jumlah yang dibutuhkan, selain pemborosan uang negara juga mengganggu
proses perekrutan dan independensi Komisi Yudisial.
Oleh karena itu, selayaknya jika mekanisme
pengangkatan calon anggota KY dikembalikan sebagaimana ketentuan konstitusi.
Keharusan mengajukan calon anggota pengganti sebanyak 3 (tiga) kali dari jumlah
keanggotaan yang kosong tersebut, haruslah dinyatakan bertentangan dengan UUD
1945 sepanjang tidak dimaknai sebanyak 1 (satu) kali dari jumlah keanggotaan
yang kosong.
Rekrutmen Komisioner KPK
KPK dibentuk sebagai lembaga negara yang
independen, bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya. Untuk menjaga KPK
sebagai lembaga negara yang independen, maka dalam Pasal 30 UU KPK diatur
tentang pola seleksi anggota KPK. Seleksi calon anggota KPK dilakukan secara
ketat, profesional, dan akuntabel. Hal itu dilakukan untuk mendapatkan calon
anggota KPK yang independen dan bebas dari kepentingan politik.
Namun, adanya ketentuan Pasal 30 ayat (1), ayat (10), dan ayat (11) UU KPK justru menimbulkan ketidakpastian hukum bagi
calon anggota KPK karena ada campur tangan lembaga lain yakni DPR untuk memilih
calon yang sudah terseleksi dengan ketat di Pansel. Hal ini terjadi dalam
proses seleksi calon anggota KPK periode tahun 2011-2015. Saat itu Pansel
mencantumkan ranking calon anggota KPK sebelum disampaikan kepada Presiden.
Perankingan yang telah dilakukan oleh Pansel berdasarkan pertimbangan dan
penelitian ilmiah. Namun sayangnya perankingan ini tidak bisa diterima oleh
DPR. Bahkan Pansel dianggap ingin menggiring anggota DPR RI untuk fokus pada
calon pimpinan di urutan atas.
Pasal 30 ayat (1) UU KPK menyatakan,
“Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat
(1) huruf a dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan
calon anggota yang diusulkan oleh Presiden Republik Indonesia.”
Pasal 30 ayat (10) UU KPK menyatakan,
“Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia wajib memilih dan menetapkan 5
(lima) calon yang dibutuhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (9), dalam waktu
paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya usul dari
Presiden Republik Indonesia.”
Pasal 30 ayat (11) UU KPK menyatakan,
“Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia wajib memilih dan menetapkan di
antara calon sebagaimana dimaksud pada ayat (10), seorang Ketua sedangkan 4
(empat) calon anggota lainnya dengan sendirinya menjadi Wakil Ketua.”
Seleksi yang dilakukan oleh Pansel sudah
cukup ketat, profesional dan akuntabel. Apabila kemudian DPR melakukan
pemilihan lagi, maka akan tidak sejalan dengan semangat pembentukan KPK sebagai
lembaga independen, mengingat lembaga DPR adalah lembaga politik yang tidak bisa
terlepas dari berbagai kepentingan politik.
Keterlibatan DPR dalam rekrutmen calon
anggota KPK haruslah bersifat “persetujuan” bukan “pemilihan”. Karena apabila
kewenangan DPR adalah memilih maka dapat mempengaruhi independensi KPK, apalagi
senyatanya pola rekruitmen pemilihan yang dilakukan oleh DPR tidak terukur dan
sangat subyektif. Oleh karena itu, menurut Para Pemohon, ketentuan Pasal 30
ayat (1), ayat (10) dan ayat (11) UU KPK bertentangan dengan dengan Pasal 28D
ayat (1) U Menurut Para Pemohon, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal
28D ayat (1) UUD 1945 karena menimbulkan ketidakpastian hukum bagi calon
anggota KPK.
Berdasarkan hal-hal tersebut, Para Pemohon
dalam petitum meminta kepada Mahkamah agar menyatakan kata
“memilih” dalam Pasal 28 ayat (6) UU KY bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “persetujuan”. Frasa
“sebanyak 21 (dua puluh satu) calon” dalam Pasal 28 ayat (3) huruf c UU KY
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang
tidak dimaknai sebanyak 7 (tujuh) calon. Frasa ”sebanyak 3 (tiga) kali” dalam
Pasal 37 ayat (1) UU KY bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan
hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “sebanyak 1 (satu) kali”. Kemudian, menyatakan
Pasal 30 ayat (1), ayat (10), dan ayat (11) UU KPK bertentangan dengan UUD 1945
dan tidak berkekuatan hukum mengikat.
Nur Rosihin Ana
Catatan Perkara Majalah Konstitusi Edisi Maret 2014 klik di sini