Suatu ketika, Indonesia mengirim delegasi
pemuda ke luar negeri. Delegasi pemuda Indonesia berusia jauh lebih tua dari
delegasi negara lain yang memang tampak muda dan layak disebut pemuda.
Sementara delegasi pemuda Indonesia cukup layak dipanggil paman. Maka
munculllah panggilan uncle bagi delegasi pemuda Indonesia. Sindiran
panggilan ini tentu membuat malu Pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian
Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).
Oleh karena itu, Kementerian Pemuda dan Olah
Raga yang kala itu masih dijabat oleh Adyaksa Dault, menyambut gembira lahirnya
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan (UU Kepemudaan). “Terus
terang, kadang-kadang kita malu kalau delegasi pemuda kita ke luar negeri,
dipanggil uncle (paman), karena kita terlalu tua-tua,” kata Adhyaksa
usai menghadiri Rapat Paripurna pengesahan UU Kepemudaan di Gedung DPR, Selasa
(15/9/2009).
Hal yang paling menggembirakan bagi Menpora
yaitu mengenai usia pemuda. Dalam UU Kepemudaan, usia pemuda yaitu antara 16
sampai 30 tahun. Padahal ketika masih dalam draft RUU Kepemudaan, usia pemuda antara
18--35 tahun.
Jika Kemenpora menyambut gembira lahirnya UU
Kepemudaan, maka tidak demikian halnya dengan beberapa fungsionaris organisasi
kepemudaan. Mereka menganggap UU Kepemudaan justru menghambat proses kaderisasi
dan rekrutmen anggota.
Mereka yaitu Yudha Indrapraja, Husni Farhani
Mubarak, Iwan Dermawan, Mohamad Hatta, Jhon Iqbal Farabi, Ai Rukmintarsih, Seno
Wijayanto, Budi Miftahudin, Indra Budi Jaya, Tayep Suparli, Fitri Laela
Purnama, Raisya Ismy Aprillia Budiawatie, Muhamad Saeful Anwar, dan Rizki
Febriyanto. Para fungsionaris organisasi kepemudaan(DPD KNPI Provinsi Jawa
Barat) ini mengaku mengalami hambatan, kebimbangan, keraguan dan ketidakpastian
hukum dalam melakukan proses kaderisasi dan rekrutmen anggota. Padahal menurut
mereka, kaderisasi dan rekrutmen anggota adalah ruh dari organisasi Kepemudaan
karena menyangkut sirkulasi kepemimpinan dan kelestarian organisasi.
Selanjutnya, mereka mengajukan permohonan
pengujian Pasal 1 ayat (1) UU Kepemudaan terhadap UUD 1945, ke MK. Kepaniteraan
MK meregistrasi permohonan Para Pemohon dengan Nomor 9/PUU-XII/2014.
Usia Anak
Para Pemohon dalam permohonan setebal 28
halaman memaparkan, organisasi kepemudaan dalam menjalankan fungsinya sebagai
organisasi kader, menggunakan pendekatan sistematik. Semua bentuk aktifitas
pengaderan disusun dalam semangat integralistik untuk mengupayakan tercapainya
tujuan organisasi.
Pola pengaderan dan rekrutmen kader yang telah
tersusun sistematis tersebut menjadi terganggu dan terhambat dengan berlakunya
norma Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan (UU
Kepemudaan). Ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU Kepemudaan memasukkan usia 16 dan 17
tahun sebagai pemuda. Sementara peraturan perundang-undangan lainnya
menyebutkan bahwa usia 16 dan 17 tahun masih masuk ke dalam kelompok usia anak.
Pasal 1 ayat (1) UU Kepemudaan menyatakan,
“Pemuda adalah warga Negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan
dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun.”
Sementara Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak menyatakan, “Anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.”
Berlakunya Pasal 1 ayat (1) UU Kepemudaan
mengakibatkan ketidakjelasan mengenai usia awal pemuda. Frasa berusia 16 (enam
belas) inilah yang menurut Para Pemohon telah menghambat proses kaderisasi dan
rekrutmen anggota. Sebab, dalam UU Perlindungan Anak sebagaimana disebutkan di
atas, setiap warga negara yang berusia dibawah 18 tahun masuk ke dalam kategori
anak.
Organisasi kepemudaan tak akan gegabah
merekrut warga negara yang masih dalam kelompok usia anak ke dalam organisasi
kepemudaan. Peran dan tanggung jawab sebagai pemuda akan menjadi tidak
proporsional dan tidak wajar bila diembankan kepada anak. Namun, ketentuan
Pasal 1 ayat (1) UU Kepemudaan cukup memberikan arti bahwa warga negara yang
berusia 16 dan 17 tahun sudah dapat direkrut untuk mengemban tugas, tanggung
jawab dan peran sebagai pemuda.
Ambiguitas dan inkonsistensi inilah yang
mengakibatkan ketidakpastian dan kekacauan hukum. Hal ini berpotensi
menimbulkan kerugian hak konstitusional bagi organisasi kepemudaan.
Ketidakpastian hukum juga menimpa setiap warga negara Indonesia yang berusia 16
dan 17 tahun. Apakah mereka yang berusia 16 dan 17 tahun masuk dalam kelompok
usia anak, ataukah pemuda?
Kontradiktif
Para Pemohon berdalil, Pasal 1 ayat (1) UU
Kepemudaan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (l) UUD 1945. Mendukung dalilnya,
Para Pemohon menunjukkan beberapa peraturan perundang-undangan yang mereka
nilai kontradiktif dengan ketentuan yang diujikan. Yaitu Pasal 1 ayat UU
Perlindungan Anak sebagaimana disebut atas, Bagian I Pasal 1 Konvensi tentang
Hak-hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada
20 November 1989 yang menyatakan, “Untuk tujuan-tujuan Konvensi ini, seorang
anak berarti setiap manusia di bawah usia delapan belas tahun kecuali menurut
undang-undang yang berlaku pada anak yang mencapai kedewasaan lebih awal.”
Selain itu, Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun
1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi
tentang Hak-Hak Anak); Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan
Konvensi ILO Nomor 138 mengenai usia minimum diperbolehkan kerja. Bahkan Pasal
1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tegas
menyatakan, “Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan
belas) tahun dan belum menikah, terrnasuk anak yang masih dalam kandungan
apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.”
Kemudian, Pasal 1 ayat (26) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Beberapa peraturan perundang-undangan di atas
secara jelas menunjukkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Menurut Para Pemohon, para
pembuat UU telah melakukan kecerobohan dalam perumusan norma Pasal 1 ayat UU
Kepemudaan. Kecerobohan memasukkan anak usia 16 dan 17 tahun ke dalam rezim
hukum pemuda tentu menimbulkan konsekuensi hukum tersendiri. Sebab, tanggung
jawab dan kewajiban pada rezim hukum anak, tentu berbeda dengan rezim pemuda.
Norma Pasal 1 ayat (1) UU Kepemudaan juga
melanggar kaidah dasar pembentukan peraturan perundang-undangan, sebagaimana
diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Jika seorang anak usia 16 dan 17 tahun
dibebani tanggung jawab di luar kewajaran, maka yang terjadi adalah
terganggunya potensi tumbuh kembang anak. Padahal, hak untuk bertumbuh kembang
secara wajar, dijamin oleh peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, Para
Pemohon dalam petitum meminta Mahkamah Menyatakan Pasal 1 ayat (1) UU
Kepemudaan terutama frasa “warga negara Indonesia yang memasuki periode penting
pertumbahan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas tahun)” bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.
Nur Rosihin Ana
Catatan Perkara Majalah Konstitusi Edisi Februari 2014 klik di sini