Hak asasi petani untuk mendapatkan penghidupan
yang layak merupakan perjuangan panjang tak bertepi. Kerja keras bermandi peluh
tak jua mengubah nasib para petani. Kemiskinan masih setia mendera para petani.
“Perlidungan” konstitusional untuk para petani
pun masih “jauh panggang dari api”. Bahkan, hak petani justru dikebiri oleh
ketentuan yang berlabel “perlindungan dan pemberdayaan petani.” Hal ini
tergambar dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan
dan Pemberdayaan Petani (UU Perlintan).
Lahirnya UU Perlintan yang disahkan DPR pada pada 9 Juli 2013 ini justru mengundang pertanyaan kritis dari sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mengenai sejauh mana UU Perlintan melindungi dan memberdayakan petani. Sebab, permasalahan utama yang dihadapi petani, yakni lahan pertanian, justru tidak masuk dalam konsiderans UU Perlintan.
Lahirnya UU Perlintan yang disahkan DPR pada pada 9 Juli 2013 ini justru mengundang pertanyaan kritis dari sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mengenai sejauh mana UU Perlintan melindungi dan memberdayakan petani. Sebab, permasalahan utama yang dihadapi petani, yakni lahan pertanian, justru tidak masuk dalam konsiderans UU Perlintan.
Bagian “Menimbang” UU Perlintan, tidak
memasukkan tanah dalam permasalahan yang dihadapi petani. UU Perlintan tidak
secara komprehensif mengupayakan redistribusi tanah kepada petani. UU Perlintan
hanya mengatur tentang konsolidasi tanah, tanah terlantar, dan tanah negara
bebas yang bisa diredistribusikan kepada petani. Tanah yang diredistribusikan
kepada petani, pun tidak menjadi hak milik petani, melainkan sebatas hak sewa,
izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan.
Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
menuding bahwa biaya sewa yang dibayarkan oleh petani penggarap kepada negara
merupakan pelanggaran prinsip Hak Menguasai Negara. Biaya sewa ini berarti
menjadikan negara sebagai pemilik tanah yang disewa oleh petani.
Demikian inti dari uji materi UU Perlintan ke
Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh 12 LSM, yaitu Indonesian Human Rights
Committee For Social Justice (IHCS), Serikat Petani Indonesia (SPI), Farmer
Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy (FIELD), Aliansi Petani
Indonesia (API), Yayasan Bina Desa Sadajiwa, Konsorsium Pembaharuan
Agraria(KPA), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Yayasan Bina
Desa Sadajiwa (Bina Desa), Indonesia for Global Justice (IGJ), Koalisi Rakyat
untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Perkumpulan Sawit Watch, Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia (Walhi), dan Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan
(KontraS). Permohonan uji konstitusionalitas materi UU Perlintan ini
diregistrasi oleh Kepaniteraan MK dengan Nomor 87/PUU-XI/2013 pada Rabu, 23
Oktober 2013.
Adapun materi UU Perlintan yang diujikan
yakni, Pasal 59, Pasal 70 ayat (1), dan Pasal 71. Sebagai alat ujinya, para
Pemohon menggunakan Pasal 27 ayat (2) Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat
(2), 28I ayat (2), dan Pasal 28Eayat (3) UUD 1945.
Pasal 59 UU Perlintan menyatakan, “Kemudahan
bagi Petani untuk memperoleh lahan Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
58 ayat (3) huruf a diberikan dalam bentuk hak sewa, izin pengusahaan, izin
pengelolaan, atau izin pemanfaatan.”
Pasal 70 ayat (1) UU Perlintan menyatakan,
“Kelembagaan Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) terdiri atas:
a. Kelompok Tani; b. Gabungan Kelompok Tani; c. Asosiasi Komoditas Pertanian;
dan d. Dewan Komoditas Pertanian Nasional.”
Pasal 71 UU Perlintan menyatakan, “Petani
berkewajiban bergabung dan berperan aktif dalam Kelembagaan Petani sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1).”
Negara Bukan Pemilik Tanah
Para Pemohon melalui kuasa hukum dari Tim
Advokasi Hak Asasi Petani, berdalil bahwa hak sewa tanah negara menimbulkan
ketidakpastian hukum sebab bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960) yang menyatakan bahwa
penggunaan tanah negara dilakukan dengan hak pakai, dan bukan dengan
sewa-menyewa, sebagaimana ketentuan Pasal 41 UUPA 1960. Ketentuan ini juga
dipertegas dengan Penjelasan Pasal 44 dan 45 UUPA 1960 yang menyatakan, “Oleh
karena hak sewa merupakan hak pakai yang mempunyai sifat-sifat khusus maka
disebut tersendiri. Hak sewa hanya disediakan untuk bangunan-bangunan berhubung
dengan ketentuan pasal 10 ayat 1. Hak sewa tanah pertanian hanya mempunyai sifat
sementara (pasal 16 jo 53). Negara tidak dapat menyewakan tanah, karena Negara
bukan pemilik tanah.”
"Hak sewa tanah pertanian hanya mempunyai sifat sementara. Negara tidak dapat menyewakan tanah, karena Negara bukan pemilik tanah."
Seharusnya negara memberikan tanah kepada
petani dalam bentuk hak, bukan dalam bentuk izin. Sebab, petani akan mempunyai
posisi hukum yang kuat jika mendapatkan tanah dalam bentuk hak, dibandingkan
sekadar pemegang izin. Selain itu, pemberian tanah dalam bentuk hak akan
menunjang perekonomian petani.
Selayaknya jika petani mendapatkan hak milik
atas tanah, sebagaimana ketentuan UUPA 1960. Negara minimal memberikan hak
pakai atas tanah kepada petani. Negara tidak sepatutnya membebani petani dengan
kewajiban membayar biaya sewa tanah.
Praktik Feodalisme
Penyewaan tanah oleh negara kepada petani
merupakan praktik foedalisme yang menempatkan negara sebagai tuan tanah dan
petani sebagai penggarap. Konsep sewa-menyewa dan perizinan, berpotensi
meyulitkan petani untuk memperoleh penghidupan yang layak. Petani tidak akan
mampu membayar biaya sewa dan mengurus perizinan. Selain itu, praktik
sewa-menyewa tanah akan menggiring petani dalam perangkap lintah darat dan
sistim ijon.
Sisa-sisa feodalisme tersebut sesungguhnya
yang hendak diberantas oleh UUPA 1960. Oleh karena itu, menurut para Pemohon,
pemberlakuan Pasal 59 UU Perlintan sepanjang frasa “hak sewa, izin pengusahaan,
izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan,” adalah bertentangan dengan prinsip
pengaturan dalam UUPA 1960. Ketidakpastian hukum ketentuan Pasal 59 UU
Perlintan merupakan pengingkaran Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Korporatisme Negara
Ketentuan Pasal 70 ayat (1) dan Pasal 71 UU
Perlintan merupakan korporatisme negara. Negara melalui pemerintah
memfasilitasi pembentukan lembaga petani (sentralisme). Kemudian, negara
mewajibkan petani bergabung dalam lembaga bentukan negara.
Korporatisme negara pernah dipraktikkan oleh
rezim Orda Baru, yaitu pemberlakuan organisasi petani dalam wadah tunggal yang
dikooptasi oleh negara. Petani tidak diberi kebebasan berorganisasi karena
sudah ditentutan dalam wadah organisasi yang sudah ditentukan oleh pemerintah.
Akibatnya, petani yang tidak bergabung dalam lembaga berbeda yang disebut dalam
ketentuan Pasal 70 ayat (1) UU Perlintan, berpotensi tidak diberdayakan, tidak
dilindungi oleh pemerintah.
Pemerintah tidak perlu mengintervensi
pembentukan kelembagaan petani. Seharusnya yang dilakukan oleh pemerintah
adalah melindungi keanekaragaman lembaga petani yang telah ada. Pemerintah juga
seharusnya membiarkan petani atas kesadarannya untuk menentukan jenis
kelembagaan dan jenis keikutsertaannya. Kewajiban utama pemerintah adalah
melindungi dan mengakui lembaga yang telah ada. Pemaksaan kepada petani untuk
bergabung dalam lembaga bentukan pemerintah merupakan pengingkaran terhadap
kebebasan untuk berserikat sebagaimana amanat Pasal 28Eayat (3) UUD 1945.
Menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 59, Pasal
70 ayat (1) dan Pasal 71 UU Perlintan menimbulkan pelanggaran hak asasi petani.
Ketentuan Pasal 71 sepanjang frasa “berkewajiban”, menyebabkan ketidakpastian
hukum. Oleh karena itu, dalam petitum, para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan
Pasal 59, Pasal 70 ayat (1) dan Pasal 71 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, bertentangan dengan UUD 1945
dan tidak berkekuatan hukum mengikat.Nur Rosihin Ana
Update:
MK Kabulkan Sebagian Permohonan
Pengujian UU Perlintan diputus setahun kemudian,
tepatnya Rabu, (5/11/2014). Mahkamah dalam amar Putusan Nomor 87/PUU-XI/2013 menyatakan
mengabulkan
sebagian permohonan. Mahkamah menyatakan frasa “hak sewa” dalam Pasal 59 UU
Perlintan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Kemudian Pasal 70 ayat (1) UU Perlintan bertentangan dengan UUD 1945
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “termasuk
kelembagaan petani yang dibentuk oleh para petani.” Pasal 70 ayat (1) UU
Perlintan selengkapnya menjadi, “Kelembagaan Petani sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 69 ayat (1) terdiri atas: a. Kelompok Tani; b. Gabungan Kelompok Tani; c.
Asosiasi Komoditas Pertanian; dan d. Dewan Komoditas Pertanian Nasional, serta kelembagaan
petani yang dibentuk oleh para petani”.
Selain
itu, Mahkamah menyatakan kata “berkewajiban” dalam Pasal 71 UU Perlintan
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasal
71 UU Perlintan selengkapnya menjadi, “Petani bergabung dan berperan aktif
dalam Kelembagaan Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1).”
Putusan selengkapnya dapat diunduh di sini