Amandemen
UUD 1945 telah membawa perubahan yang mendasar dalam sistem ketatanegaraan RI.
Salah satu hasil perubahan pokok UUD 1945 yaitu diakuinya hak-hak asasi manusia
(HAM), termasuk adanya kesamaan di dalam hukum dan pemerintahan, hak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil. Norma dalam
Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28G
ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 telah mencerminkan prinsip-prinsip HAM
yang berlaku bagi seluruh manusia secara universal.
Namun
prinsip-prinsip tersebut disimpangi oleh sejumlah ketentuan dalam Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan (UU P3H). Yakni Pasal 82 ayat (2), Pasal 92 ayat (1) dan Pasal
93 ayat (1) dan ayat (2) UU P3H.
Demikian
permohonan uji materi UU P3H terhadap UUD 1945. Permohonan diajukan oleh 16
petani warga Desa Lubuk Besar, Desa Kemuning Muda, dan Desa Tuk Jimun. Ketiga desa
ini masuk dalam wilayah Kecamatan Kemuning, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi
Riau. Mereka yakni, Edi Gunawan Sirait, Bejo, Bharum Purba, Miswan, Zahdi,
Ahmad Samadi, Ahmadi, Saidah, Ponidi, Nuraini, Sukardi, Amiruddin Sitorus Pane,
Wagimin Auda, Misrun, Sari, dan Muliono. Permohonan ini diregistrasi oleh
Kepaniteraan Mahkamah dengan Nomor 139/PUU-XIII/2015.
Pasal 82 ayat ( 2)
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar
kawasan hutan, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
Pasal 92 ayat (1)
Orang perseorangan yang dengan sengaja:
a. melakukan kegiatan
perkebunan tanpa izin Menteri di dalam kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (2) huruf b; dan/atau
b. membawa alat-alat berat
dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk
melakukan kegiatan perkebunan dan/atau mengangkut hasil kebun di dalam kawasan
hutan tanpa izin Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10
(sepuluh) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu
miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).
Pasal 93 ayat (1)
Orang perseorangan yang dengan sengaja:
a. mengangkut dan/atau menerima
titipan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan
hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c;
b. menjual, menguasai,
memiliki, dan/atau menyimpan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan
di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2)
huruf d; dan/atau
c. membeli, memasarkan,
dan/atau mengolah hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan
perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 ayat (2) huruf e dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta pidana denda paling sedikit
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
Pasal 93 ayat 2
Orang perseorangan yang karena kelalaiannya:
a. mengangkut dan/atau menerima titipan hasil
perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa
izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c;
b. menjual, menguasai, memiliki dan/atau
menyimpan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam
kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf d;
dan/atau
c. membeli, memasarkan dan/atau mengolah hasil
kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan
hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf e dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Hak
yang Tercerabut
Para
Pemohon melalui kuasa hukum Adi Mansar, Guntur Rambe, dkk, beranggapan
ketentuan pasal-pasal dalam UU P3H tersebut berpotensi menimbulkan kerugian
konstitusional bagi para Pemohon. Kerugian dimaksud yakni tercabutnya kepastian
hukum atas kepemilikan harta benda, penghidupan yang layak serta hilangnya hak
para Pemohon akan pemukiman karena ditetapkan atau akan ditetapkan sebagai
kawasan hutan. Menurut para Pemohon, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan
Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28G
ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
Sejak
berlakunya UU P3H, kehidupan masyarakat di desa-desa tersebut mulai terusik.
Terlebih lagi, keberadaan UU P3H menimbulkan jatuhnya korban di pihak
masyarakat. Padahal wilayah desa dan areal yang dikuasai para Pemohon merupakan
lahan yang mempunyai status Areal Penggunaan Lain (APL) sesuai dengan Surat
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 173/KPTS-II/1986 tanggal 6 Juni 1986 tentang
Tata Guna Hutan Kesepakatan.
Pada
zaman Pemerintahan Orde Baru, ada perusahaan HPH yaitu PT Horizon Forest (PT
HF) yang beroperasi di Kecamatan Keritang. Izin PT HF berakhir pada 1998.
Kemudian hadir PT Sari Hijau Mutiara (PT SHM). Areal yang dimohonkan PT SHM
seluas 10.000 ha adalah areal PT. Agroraya Gematrans yang telah dicabut izinnya
oleh Menteri Kehutanan. PT SHM mengklaim tanah perladangan warga merupakan lahan
miliknya sesuai dengan izin yang dikantonginya.
Pada
2008, terbit Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.378/MENHUT-II/2008
kepada PT SHM atas areal hutan produksi seluas 20.000 hektar di Kabupaten
Indragiri Hilir, Provinsi Riau. Menurut keterangan pihak PT SHM, izin yang
diterbitkan tersebut berada di Provinsi Riau, Kabupaten Indragiri Hilir,
Kecamatan Kemuning dan Kecamatan Keritang, Desa Kota Baru Reteh, Desa Kayu
Raja, Desa Tuk Jimun, Desa Kemuning Muda, desa Lubuk Besar.
Sejak
PT SHM bercokol di Provinsi Riau selalu membuat onar. Masyarakat pemilik lahan
sawit di Desa Lubuk Besar, mengalami intimidasi dan provokasi, baik melalui
surat maupun melalui tindakan di lapangan. Misalnya menunjuk centeng untuk
menakut-nakuti masyarakat dan mengirim surat dengan berbagai substansi yang
ujungnya meminta pembagian hasil atas kebun sawit milik warga.
Kriminalisasi
Petani
Desa
Lubuk Besar, Desa Kemuning Muda, Desa Tuk Jimun berpenduduk sekitar 1500 KK.
Mayoritas masyarakat di ketiga desa tersebut sejak dahulu kala berprofesi
sebagai petani tradisional. Pola masyarakat termasuk para Pemohon dalam
mengelola lahan adalah dengan cara berpindah-pindah. Hal ini telah menjadi
budaya masyarakat tradisional. Setiap keluarga mempunyai luas areal yang
bervariasi sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Lahirnya
UU P3H tentu diharapkan menjadi payung hukum pengelolaan sumber daya hutan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun menurut para Pemohon, lahirnya
UU P3H justru mengebiri hak konstitusional para Pemohon. Bukannya memberi
perlindungan, UU P3H justru mengkriminalisasi keberadaan masyarakat desa.
Mereka ditetapkan sebagai tersangka atau dipanggil sebagai saksi atas tuduhan
melakukan aktivitas di atas tanah yang diklaim oleh pihak tertentu sebagai
kawasan konsesi yang diberikan hak oleh negara sesuai dengan SK.
378/MENHUT-II/2008 tentang Pemberian izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu
pada hutan tanaman industri dalam hutan tanaman kepada PT SHM seluas 20.000
hektar. Padahal aktivitas dilakukan atas tanah/areal hak milik para Pemohon
yang dikuasai sejak lama dan telah dikelola sejak dahulu kala hingga saat
sekarang ini.
Lahirnya
UU P3H tidak memberikan kepastian hukum yang adil bagi para Pemohon. Skenario
untuk menguasai lahan milik para Pemohon dengan cara kriminalisasi warga
masyarakat sangat bertentangan dengan Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945.
Kriminalisasi
terjadi setelah Bupati Indragiri Hilir mengeluarkan surat Nomor
100/Adm-Pum/98.41 tanggal 17 September 2014. Isi surat meminta agar PT SHM
menghentikan segala aktivitasnya sampai izin lengkap. Sebelumnya, pihak Badan
Pertanahan Kabupaten Indragiri Hilir telah meminta pihak PT SHM untuk tidak
menerbitkan sertifikat dalam Areal HTI PT SHM sesuai dengan surat Nomor
487/14.04-100/IV/2014 tanggal 06 Mei 2014. Badan Lingkungan Hidup (BLH)
Kabupaten Indragiri Hilir melalui surat Nomor 660.1/BLH-PKL/VIII/2014/563
tanggal 19 Agustus 2014, juga telah mengingatkan agar PT SHM tidak melakukan
aktivitas apapun sebelum Dokumen Lingkungan Hidup atau izin Lingkungan Hidup
diperoleh PT SHM, karena melanggar Pasal 109 UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.
Begitu
pula Dinas Kehutanan Kabupaten Indragiri Hilir melalui surat Nomor
522.2/DISHUT-PLAN/259 tanggal 10 September 2014 perihal Penghentian Kegiatan
HTI PT SHM di Kecamatan Kemuning. Hal ini menguatkan surat Pemerintah Provinsi
Riau melalui Dinas Kehutanan, Nomor 522.2/Pemhut/2388, bertanggal 22 Agustus
2014, hal pembangunan HTI PT SHM 2014/2015.
Pemberlakuan
Asas Retroaktif
Pemberlakuan
hukum tanpa melihat fakta sejarah yang telah ada, merupakan penyalahgunaan
wewenang oleh penegak hukum. Pemberlakuan UU P3H secara berlaku surut, jelas
melanggar Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Pasal
82 ayat (2) UU P3H tidak sesuai dengan konsep negara hukum karena menjangkau
perbuatan secara mundur (retroaktif). Saat ini para Pemohon sedang dihadapkan
dengan berbagai masalah hukum yang bersumber dari UU P3H.
Para
Pemohon yang berprofesi sebagai petani/peladang tentu tidak dapat menghindari
untuk tidak melakukan penebangan pohon yang berada di areal milik mereka
sendiri. Penebangan pohon adalah untuk mempertahankan hidup sehari-hari.
Masyarakat setiap saat mempergunakan kayu sebagai alat untuk memasak, bahan
membuat pagar pekarangan rumah, bahan untuk membuat tempat tinggal demi
mempertahankan hidup.
Korporasi
telah memanfaatkan Pasal 82 ayat (2) UU P3H untuk menguasai lahan/areal milik
masyarakat. Masyarakat dikriminalisasi dengan menggunakan alat kekuasaan
setempat. Kriminalisasi terhadap masyarakat bahkan diberlakukan secara surut.
Hal ini tergambar jelas dalam tuduhan yang terjadi sejak 2008, lima tahun
sebelum lahirnya UU P3H. Ironinya, sikap aparat Kepolisian dan Pemerintah
sengaja menyudutkan posisi masyarakat para Pemohon. Sebuah sikap yang cenderung
diskriminatif.
Kekhawatiran
dan ketakutan meliputi peri kehidupan masyarakat Desa Lubuk Besar, Desa
Kemuning Muda, Desa Tuk Jimun yang mempunyai kebiasaan gotong royong berupa
sumbang tenaga bila ada warga desa yang akan melakukan kegiatan mengolah lahan,
menanam dan memanen hasil, seperti duku, karet, sawit, coklat. Adanya upaya
kriminalisasi telah membuat kekhawatiran dan ketakutan bagi warga desa para
Pemohon untuk membantu warga atau keluarganya yang akan melakukan tahapan
pekerjaan di areal masing-masing. Padahal di sisi lain, saat ini negara sedang
menggalakkan kemandirian ekonomi warga dengan penyediaan lahan untuk masyarat.
Bukan lahan untuk korporasi yang tidak memberikan perlindungan dan pemajuan
ekonomi masyarakat.
Demikian
pula dengan ketentuan Pasal 92 ayat (1) UU P3H yang dengan jelas mengangkangi
hak warga negara yang telah hidup sejak dulu di areal itu. Sangat tidak
manusiawi apabila ketentuan ini diberlakukan terhadap para Pemohon. Sebab di
areal tersebut diberikan bukti hak milik berupa Sertifikat Hak Milik oleh Badan
Pertanahan Nasional. Penguasaan atas tanah yang dikelola oleh masyarakat ada
yang lebih dari 30 Tahun secara berturut-turut, jauh sebelum wilayah hutan
tersebut ditetapkan oleh Pemerintah. Pasal 92 ayat (1) UU P3H sangat tidak
responsif, sebaliknya sangat represif terhadap para Pemohon dan masyarakat desa
yang telah berdomisili sejak lama.
Upaya
Pemiskinan
Pasal
93 ayat (1) huruf a,b,c UU P3H tidak memberikan perlindungan, kemanfaatan serta
tidak berguna bagi para Pemohon. Ketentuan pasal ini justru telah membatasi dan
melarang untuk mengangkut, menjual, mengolah hasil kebun milik para Pemohon
seperti karet, coklat, duku, pinang dan sawit. Hasil kebun tersebut merupakan
sumber penghidupan para Pemohon sejak dulu kala hingga saat ini. Pelarangan
tersebut berarti upaya pemiskinan terhadap para Pemohon yang memang sudah
miskin dan melarat.
Diundangkannya
UU P3H sangat tidak memberikan manfaat bagi para Pemohon khususnya umumnya
masyarakat Desa Lubuk Besar, Desa Kemuning Muda, Desa Tuk Jimun. Ketentuan
Pasal 93 ayat (2) huruf a,b,c UU P3H tidak memiliki filosofi yang jelas
sebagaimana tujuan pemidanaan.
Fungsi
Pasal dalam suatu UU harus terukur target dan tujuannya. Sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, bahwa materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan asas pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan,
kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan
dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, dan/atau
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Menurut
para Pemohon, pembentukan UU P3H telah melanggar kaidah-kaidah yang diatur
dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Para Pemohon berkesimpulan
UU P3H tidak mempunyai landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis dalam
pembentukannya. Kehadiran UU P3H bukannya membuat keamanan dan kenyamanan bagi
masyarakat, justru sebaliknya, menghilangkan hak-hak konstitusional masyarakat
khususnya Para Pemohon. Oleh karena itu, para Pemohon meminta kepada Mahkamah
agar menyatakan Pasal 82 ayat (2), Pasal 92 ayat (1) dan Pasal 93 ayat (1) dan
ayat (2) UU P3H bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
Nur
Rosihin Ana
dalam
Rubrik "Catatan Perkara" Majalah "Konstiitusi" No. 106 Desember
2015.