Anggota TNI/POLRI
dilarang menggunakan hak pilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) atau terlibat
dalam kegiatan politik praktis. Larangan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor
34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) dan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU POLRI).
Pembatasan hak pilih
anggota TNI/POLRI juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu Legislatif), serta Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU
Pemilu Presiden). Dalam Pasal 326 UU Pemilu Legislatif disebutkan bahwa anggota
TNI/POLRI tidak diberikan hak pilih dalam Pemilu 2014.
Namun, ketentuan dalam UU
Pemilu Presiden yang menjadi acuan Pemilu Presiden Tahun 2014, justru dapat
mengancam kelanjutan agenda reformasi sektor keamanan dan perlindungan hak
asasi manusia (HAM), sebagai bagian yang tak terpisahkan dari agenda
demokratisasi di Indonesia. Hal ini tercermin dalam ketentuan Pasal 260 UU
Pemilu Presiden.
Pasal 260 UU Pemilu
Presiden menyatakan, “Dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009,
anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia tidak menggunakan haknya untuk memilih.”
Ketentuan Pasal 260 UU
Pemilu Presiden tersebut dianggap merugikan hak-hak konstitusional Ifdhal Kasim
dan Supriyadi Widodo Eddyono. Selanjutnya Ifdhal dan Supriyadi mengajukan
permohonan pengujian Pasal 260 UU Pemilu Presiden ke MK. Kepaniteraan MK
meregistrasi permohonan Pemohon pada Senin, 3 Maret 2014 dengan Nomor
22/PUU-XII/2014. Mahkamah juga telah menggelar dua kali persidangan, yaitu
sidang pemeriksaan pendahuluan pada Kamis, 20 Maret 2014, dan sidang perbaikan
permohonan pada Rabu, 2 April 2014. Mahkamah juga telah mengagendakan sidang
untuk mendengarkan keterangan Pemerintah dan DPR pada Senin, 28 April 2014
pukul 14.00 WIB.
Ifdhal Kasim adalah
mantan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Sedangkan
Supriyadi Widodo Eddyono adalah Advokat Indonesian Institute for Constitutional
Democracy (IICD). Para Pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia yang concern
pada isu-isu pemajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM di Indonesia,
termasuk isu reformasi sektor keamanan dan HAM yang menyoal mengenai netralitas
TNI/Polri dalam Pemilu.
Pengecualian Objektif dan
Masuk Akal
Dalam rezim hukum
internasional HAM, hak politik, terutama hak untuk memilih dan dipilih,
termasuk berpartisipasi dalam pemerintahan, merupakan hak dasar bagi setiap
warga negara tanpa terkecuali. Hal ini juga sebagaimana ditegaskan oleh
ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Pengurangan dan pembatasan terhadap hak
untuk memilih dan dipilih, dengan berpedoman pada ketentuan Pasal 25 Kovenan
Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, sebagaimana telah disahkan Indonesia
melalui UU No. 12 Tahun 2005, dapat dibenarkan jika dilakukan dengan kriteria
yang objektif dan masuk akal.
Syahdan, muncul perbedaan
pendapat. Apakah hak memilih dan dipilih untuk menjadi pejabat publik tertentu,
termasuk anggota militer dan kepolisian dapat dikecualikan atau ditangguhkan?
Sebagian ahli berpandangan hak memilih dan dipilih harus diberikan kepada setiap
warga negara, tanpa terkecuali. Sementara sebagian ahli lainnya berpendapat,
pengecualian atau penangguhan dapat dilakukan terhadap anggota militer, polisi,
atau pejabat publik lainnya, sepanjang dengan alasan yang objektif dan masuk
akal.
Pengecualian atau
penangguhan hak memilih dan dipilih bagi anggota militer dan polisi, berangkat
dari argumentasi bahwa tindakan tersebut merupakan ukuran yang diperlukan dan
dibenarkan untuk memastikan netralitas administrasi Pemilu. Pandangan
sebaliknya dikemukakan oleh para pendukung hak penuh bagi anggota militer dan
polisi untuk berpartisipasi dalam Pemilu. Kelompok ini berpendapat, bahwa
mendaftar dan memberikan suara bukanlah suatu tindakan politik. Menurut
kelompok ini, pembatasan hanya boleh dilakukan untuk tidak menjadi anggota
partai politik atau aktivis partai politik.
Negara-negara di dunia
juga beragam di dalam menerapkan ketentuan ini. Sebagian negara memberikan hak
memilih dan dipilih secara penuh kepada anggota militer atau polisi. Sebagian
lagi hanya memberikan hak untuk memilih. Kemudian sebagian lainnya menangguhkan
sama sekali. Negara-negara yang memberian hak pilih kepada militer atau polisi
yaitu, Armenia, Australia, Belize, Bolivia, Bulgaria, Canada, China, Republik
Czech, Perancis, Jerman, Israel, New Zealand, Nicaragua, Philippines, Poland,
Russia, South Africa, Sweden, United kingdom, United States, Venezuela,
Ukraine, dan Vietnam. Sedangkan negara-negara tanpa hak pilih bagi militer
yaitu, Angola, Argentina, Brazil (di bawah pangkat sersan), Chad, Colombia,
Republik Dominika, Ecuador, Guatemala, Honduras, Indonesia, Kuwait, Paraguay,
Peru, Senegal, Tunisia, Turkey, Uruguay (di bawah pangkat kopral).
Layak Dibatasi
Ketentuan
perundang-undangan di Indonesia juga menganut rezim pembatasan terhadap hak
memilih dan dipilih bagi anggota militer dan kepolisian (TNI/Polri). Hal ini
sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 2 huruf d dan Pasal 39 UU TNI
serta Pasal 28 UU POLRI.
Pasal 39 UU TNI menyatakan,
“Prajurit dilarang terlibat dalam: (1) kegiatan menjadi anggota partai politik;
(2) kegiatan politik praktis; (3) kegiatan bisnis; dan (4) kegiatan untuk
dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilihan umum dan jabatan politis
lainnya.”
Pasal 28 UU POLRI
menyatakan, “1) Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam
kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. (2)
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilih dan
dipilih. (3) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki
jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas
kepolisian.”
Selain diatur dalam UU
TNI dan UU POLRI, pembatasan/penangguhan terhadap hak pilih TNI/POLRI secara
prosedural juga diatur di dalam UU yang mengatur tentang prosedur/tata
cara/penyelenggaraan pemilihan umum, yakni UU Pemilu Legislatif dan UU Pemilu
Presiden. Kemudian, menurut jurisprudensi Putusan MK, pembatasan terhadap hak
pilih seseorang, termasuk hak pilih TNI/POLRI, juga sangat mungkin untuk
dilakukan, yakni dalam Putusan Nomor 132/PUU-VII/2009 ihwal pengujian UU Pemilu
Anggota DPR, DPD dan DPRD (UU 10/2008), MK menyatakan, “Bahwa berdasarkan
perspektif original intent pembentuk UUD 1945, seluruh hak asasi manusia yang
tercantum dalam Bab XA UUD 1945 keberlakuannya dapat dibatasi [vide Pasal 28J
ayat (2) UUD 1945] sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur
tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945 tersebut. Berdasarkan
penafsiran sistematis (sistematische interpretatie), hak asasi manusia yang
diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan
yang diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.”
Berangkat dari
pertimbangan Putusan MK tersebut, dalam konteks perkara ini juga berlaku logika
hukum yang sama. Artinya hak untuk memilih dan dipilih bagi TNI/POLRI harus
dikaitkan dengan kewajibannya sebagai anggota TNI/POLRI sebagaimana diatur
dalam UU TNI/UU POLRI yang secara tegas melarang keterlibatan anggota TNI/POLRI
dalam politik praktis.
Sudah selayaknya
pengecualian/penangguhan hak pilih TNI/POLRI dilakukan. Kendati demikian, pada
suatu saat nanti, dengan pertimbangan yang juga objektif dan masuk akal,
pengecualian tersebut dapat juga dilakukan pencabutan.
Ketidakpastian Hukum
Ketentuan dalam UU Pasal
260 UU Pemilu Presiden akan digunakan dalam pelaksanaan Pemilu Presiden Tahun
2014, karena hingga saat ini belum ada aturan baru yang menentukan berbeda.
Sedangkan ketentuan sebaliknya diatur di dalam Pasal 326 UU Pemilu Legislatif.
Ketentuan dalam Pasal 326 UU Pemilu Legislatif berarti bahwa dalam Pemilu 2014,
anggota TNI/POLRI tidak diberikan hak memilih dan dipilih. Sementara, ketentuan
mengenai larangan bagi anggota TNI/POLRI untuk menggunakan hak pilih dalam
Pemilu atau terlibat dalam kegiatan politik praktis, sampai hari masih juga
diatur di dalam ketentuan UU TNI dan UU POLRI.
Pengaturan yang berbeda
tersebut telah menimbulkan situasi ketidakpastian hukum. Pada satu sisi hak
pilih TNI/Polri dibatasi (UU TNI, UU POLRI, dan UU Pemilu Legislatif).
Sedangkan pada sisi lain, dengan tidak adanya larangan penggunaan hak pilih
dalam Pemilu Presiden Tahun 2014, maka dapat diartikan TNI/Polri dapat
menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu Presiden 2014.
Berdasarkan argumentasi
konstitusionalitas di atas, maka pengecualian/penangguhan hak pilih TNI/POLRI,
termasuk dalam Pemilu Presiden 2014, adalah suatu tindakan yang diperlukan dan
dibutuhkan, serta memenuhi kaidah-kaidah hukum, konstitusi, dan hukum HAM internasional.
Oleh karena itu, Para Pemohon dalam petitum meminta MK menyatakan
ketentuan Pasal 260 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden, sepanjang frasa “tahun 2009” bertentangan dengan
UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dibaca “tahun
2014”.