Sistem pemerintahan Negara Republik
Indonesia menurut UUD 1945 adalah sistem pemerintahan presidensial dan bukan
sistem pemerintahan parlementer. Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menyatakan,
“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut
Undang-Undang Dasar.”
Kaitannya dengan sistem
pemerintahan presidensial, UUD 1945 tidak mengatur khusus tentang jadwal
pemilihan umum (Pemilu). Ketentuan norma Pasal 22E ayat (2) UUD 1945
menyebutkan empat jenis Pemilu. Yaitu, Pemilu DPR, DPD, Presiden dan Wakil
Presiden, dan terakhir, Pemilu DPRD. Istilah pemilihan umum yang digunakan UUD
1945 tiada lain adalah untuk mengisi jabatan keempat lembaga negara tersebut.
Yang menjadi pertanyaan, bagaimana urutan penyelenggaraan Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden, dan Pemilu DPR, DPD dan DPRD? Tiada pengaturan yang eksplisit
dalam UUD 1945 mengenai urutan penyelenggaraan Pemilu bagi keempat lembaga
negara tersebut di atas.
Dalam sistem pemerintahan
parlementer, Pemilu yang digelar terbelih dulu adalah untuk memilih anggota
parlemen. Kemudian diketahui perolehan kursi partai atau koalisi partai di
parlemen. Partai atau koalisi partai itulah yang akan mengajukan calon Perdana
Menteri kepada kepala negara. Sistem ini pernah dipraktikkan di Indonesia di
bawah UUD Sementara 1950 pasca Pemilu 1955.
Sebaliknya dalam sistem
pemerintahan presidensial. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden digelar terlebih
dulu, baru kemudian Pemilu untuk memilih badan-badan perwakilan. Sistem ini
dianut oleh negara Amerika Serikat, Perancis, Mesir, Iran, dan negara-negara di
Amerika Latin. Hanya negara Philipina yang menyelenggarakan pemilihan presiden
dan wakil presiden serta pemilihan anggota kongres dan senat yang digelar
secara serentak pada hari yang sama.
Demikian uraian permohonan uji
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden (UU Pemilu Presiden) yang diajukan oleh pakar hukum tata negara Yusril
Ihza Mahendra. Yusril pada Jumat, 13 Desember 2013 mendatangi MK untuk memohon
pengujian Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU Pemilu
Presiden. Pemohonan Yusril diregistrasi oleh Kepaniteraan MK pada Rabu, 18
Desember 2013 dengan Nomor 108/PUU-XI/2013.
Dalam permohonan setebal 13
halaman, Yusril memaparkan kerugian konstitusionalnya akibat berlakunya
ketentuan pasal-pasal tersebut. Yusril menjelaskan, Partai Bulan Bintang (PBB)
telah memutuskan untuk mencalonkan dirinya sebagai calon presiden tahun 2014.
Ketentuan pasal-pasal dalam UU Pemilu Presiden tersebut, menjadi hambatan
pencalonan Yusril sebagai presiden.
Pasal 3 ayat (5) UU Pemilu Presiden
menyatakan, “Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah
pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD.”
Pasal 9 UU Pemilu Presiden
menyatakan, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai
Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit
20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh
lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum
pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.”
Pasal 14 ayat (2) UU Pemilu
Presiden menyatakan, “Masa pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13,
paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil
Pemilu anggota DPR.”
Pasal 112 UU Pemilu Presiden
menyatakan, “Pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan
paling lama 3 (tiga) bulan setelah pengumuman hasil pemilihan umum anggota DPR,
DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.”
Inti dari pasal-pasal tersebut
mengatur mengenai mekanisme pencalonan pasangan presiden. Kemudian, Pemilu
presiden dilakukan setelah pelaksanaan Pemilu DPR, DPD dan DPRD.
Dalil Konstitusional
Amandemen UUD 1945 secara fundamental
telah merubah tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Sebelum
amandemen UUD 1945, Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR. Setelah
amandemen UUD 1945, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan Pasal 6A
ayat (1) UUD 1945 berubah menjadi “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam
satu pasangan secara langsung oleh rakyat.”
Begitu pula mengenai tata cara
pencalonan dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Jika sebelumnya diatur
dalam Ketetapan MPR, maka setelah amandemen UUD 1945, diatur lebih rinci dalam
norma undang-undang dasar yang selanjutnya diatur dengan undang-undang
sebagaimana disebutkan dalam norma Pasal 6 ayat (1) sampai ayat (5) UUD 1945.
Yusril mendalilkan, UUD 1945 tidak
secara spesifik mengatur mengenai Pemilu mana yang dilaksanakan terlebih dulu,
apakah Pemilu Presiden ataukah Pemilu Legislatif. Kendati demikian, ketentuan
Pasal 22E ayat (1) dan (2) menunjukkan bahwa Pemilu hanya diadakan satu kali
dalam lima tahun. Tidak ada ketentuan dalam UUD 1945 yang menyebutkan pemilu
diadakan dua kali, atau tiga kali dalam lima tahun.
Pasal 22E ayat (1) UUD 1945
menyatakan, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.” Kemudian Pasal ayat (2)-nya
menyatakan, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.”
Dengan demikian, tiada alasan
konstitusional untuk menyelenggarakan dua kali Pemilu dalam lima tahun. Tafsir
yang paling memungkinkan untuk memahami maksud Pasal 22E ayat (1) dan (2)
adalah bahwa penyelenggaraan Pemilu DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan
DPRD dilaksanakan serempak satu kali dalam lima tahun. Penafsiran ini sejalan
dengan sistem pemerintahan presidensial yang dianut oleh UUD 1945. Oleh karena
itu, menurut Yusril, mendahulukan Pemilu legislatif kemudian disusul dengan
Pemilu eksekutif, adalah bertentangan dengan sistem presidensial yang diatur
dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 7C UUD 1945.
Hadang Pesaing
Yusril memandang Pasal 3 ayat (5),
Pasal 9, Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU Pemilu Presiden tidak
sungguh-sungguh dimaksudkan untuk menegakkan konstitusi. Rumusan norma dalam
pasal-pasal tersebut merupakan keinginan dari kekuatan yang dominan di DPR dan
Presiden saat UU Pemilu Presiden dibuat. Perumusan norma pasal-pasal tersebut
dimaksudkan untuk menghalangi munculnya pesaing dalam pencalonan presiden dan
wakil presiden.
Komisi Pemilihan Umum telah
menetapkan parpol peserta Pemilu 2014 yang terdiri dari 12 parpol nasional dan
tiga parpol lokal di Aceh. Dengan demikian, maka tiada lagi kekhawatiran
munculnya calon Presiden dan Wakil Presiden akan terlalu banyak. Sehingga
pembatasan dengan “presidential threshold” 20% atau 25%, menjadi
kehilangan relevansinya. Seandainya semua parpol peserta pemilu masing-masing
mengajukan satu pasangan calon, maka akan terdapat 12 pasangan calon. Jumlah
ini masih berada dalam batas yang wajar.
Penafsiran konstitusi haruslah
dinamis. Penafsiran atas teks-teks konstitusi harus mempertimbangkan ratio
legis (asbâbul wurûd) dirumuskannya sebuah norma. Putusan MK di masa
lalu menafsirkan “presidential threshold” tidak bertentangan dengan
konstitusi. Namun putusan ini bukanlah tafsir absolut atas konstitusi.
Kaidah fikih yang dirumuskan oleh
Imam Asy-Syatibi menyatakan bahwa pembentukan norma hukum tergantung kepada
sebab-sebab (‘illat) yang melahirkannya. Jika ‘illat berubah,
maka norma atau penafsiran terhadap norma harus berubah pula. Jika tidak
demikian, maka yang terjadi adalah kejumudan.
Oleh karena itu, Yusril dalam petitum
permohonan meminta MK menyatakan Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat
(2) dan Pasal 112 UU Pemilu Presiden bertentangan dengan Pasal 4 ayat (1),
Pasal 6A ayat (2), Pasal 7C, Pasal 22E ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945
dan tidak berkuatan hukum tetap. Kemudian, menyatakan maksud Pasal 4 ayat (1)
dan Pasal 7C UUD 1945, sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 adalah
sistem presidensial. Apabila dikaitkan dengan sistem ini, maka frasa dalam
Pasal 22E ayat (1) ayat (2) dan ayat (3) yakni, pemilihan umum dilaksanakan
“setiap lima tahun sekali” untuk memilih anggota-anggota DPR, DPD, Presiden dan
Wakil Presiden dan DPRD adalah pemilihan umum itu dilakukan serentak dalam
waktu yang bersamaan.
Yusril juga meminta MK menyatakan
maksud Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 adalah, setiap partai politik yang telah
dinyatakan sebagai peserta pemilihan umum adalah berhak untuk mengusulkan
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebelum pelaksanaan pemilihan umum
yang diikuti oleh partai politik, yakni Pemilihan Umum DPR dan DPRD.
Nur Rosihin Ana
Catatan Perkara Majalah Konstitusi Edisi Januari 2014 klik di sini