Praktik
praperadilan yang diatur dalam Pasal 82 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d
KUHAP telah memunculkan multitafsir yang menyebabkan ketidakseragaman hukum
acara praperadilan di Indonesia. Multitafsir dimaksud yaitu pada frasa
“selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya."
Dalam praktik pula, ketidakseragaman ini telah mengakibatkan tidak tercapainya
kepastian hukum. Padahal keberadaan
praperadilan dalam sistem hukum pidana Indonesia adalah dalam rangka menjamin
hak asasi manusia. Apakah pengaturan praperadilan telah menjamin HAM sebagai
negara hukum atau justru menjadikan jaminan itu menjadi kabur?
Untuk
menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut, Anwar Sadat alias Sadat bin Satim dan Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana,
mengadu ke MK. Keduanya mengujikan
Pasal 82 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28 D ayat (1), dan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945. Permohonan mereka kemudian diregistrasi
Kepaniteraan MK dengan Nomor 78/PUU-XI/2013 pada 20 Agustus 2013.
Anwar
Sadat adalah Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup lndonesia (WALHI)
Sumatera Selatan. Anwar aktif mendampingi masyarakat Ogan Ilir Sumatera Selatan
yang menuntut pengembalian hak atas tanah mereka yang diambilalih PTPN VII
Cinta Manis, Ogan Ilir, Sumatera
Selatan. Aksi Anwar dan para petani di depan markas Kepolisian Daerah Sumatera
Selatan pada 28 Januari 2013 berujung kekerasan, penangkapan dan penahanan.
Anwar menganggap proses penangkapan dan penahanan dirinya tidak sesuai dengan
ketentuan dalam KUHAP.
Saat
proses pemeriksaan praperadilan tengah berlangsung di PN Palembang, ternyata
pokok perkara yang didakwakan kepadanya mulai disidangkan. Berdasarkan ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, Majelis
Hakim yang mengadili permohonan praperadilan yang diajukan Anwar memutuskan
bahwa Permohonan Praperadilan Anwar dinyatakan gugur. Putusan ini didasari oleh
alasan bahwa Pokok Perkara Pemohon telah mulai disidangkan.
Pemohon lain yang menggugat ketentuan ini adalah
Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana. LSM ini didirikan
atas dasar kepedulian untuk dapat memberikan perlindungan dan penegakan hak
asasi manusia di Indonesia.
Pasal 82 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d KUHAP menyatakan, “Acara pemeriksaan pra peradilan untuk hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 ditentukan sebagai berikut: (b) dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang; (c) pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya; (d) dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada pra peradilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur.”
Pasal 82 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d KUHAP menyatakan, “Acara pemeriksaan pra peradilan untuk hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 ditentukan sebagai berikut: (b) dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang; (c) pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya; (d) dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada pra peradilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur.”
Menurut para Pemohon, frasa “…hakim mendengar keterangan baik dari
tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang…” dalam ketentuan
tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab frasa ini menjadi dasar praktik dari persidangan
praperadilan terkait dengan penafsiran bahwa pengadilan wajib mendengar
keterangan kedua belah pihak dalam sidang praperadilan.
Dalam praktik,
pejabat yang berwenang sebagai termohon praperadilan, setelah dipanggil secara
patut dan layak oleh pengadilan untuk hadir dalam sidang yang dibuka pertama
kali, ternyata tidak menghadiri persidangan praperadilan tanpa alasan yang
jelas. Persidangan pun harus ditunda beberapa
kali. Akibatnya, pemohon praperadilan sebagai pihak yang dikenakan upaya paksa
terancam tidak dapat dilindungi berdasarkan pasal 28 D ayat (1) KUHAP.
Upaya Gugurkan
Praperadilan
Ketidakhadiran
pejabat di persidangan praperadilan membuat jangka waktu pemeriksaan
praperadilan secara umum melebihi 7 hari sebagaimana diatur secara tegas dalam Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP. Hal ini disinyalir merupakan upaya dari pejabat yang
berwenang untuk menggugurkan permohonan praperadilan dengan menunggu ataupun
mempercepat dilimpahkannya berkas perkara pokoknya ke pengadilan sebagaimana
diatur dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP.
Pengadilan
seharusnya dapat melanjutkan pemeriksaan permohonan praperadilan, meskipun
termohon tidak hadir pada pemeriksaan yang pertama. Pasal 82 ayat (1) huruf c
KUHAP tidak mengatur secara tegas awal
dimulainya perhitungan 7 hari untuk pemeriksaan praperadilan. Setidaknya
berkembang empat penafsiran yang berbeda-beda mengenai sejak kapan 7 hari
dimulai. Pertama, perhitungan dimulai setelah perkara didaftarkan dan
mendapat nomor registrasi PN. Kedua, setelah ketua PN melakukan
penunjukan hakim tunggal praperadilan. Ketiga, setelah hakim tunggal
praperadilan membuka sidang perdana. Keempat, perhitungan dimulai
setelah para pihak lengkap.
"Ketidakhadiran pejabat yang berwenang di persidangan praperadilan disinyalir merupakan upaya untuk menggugurkan permohonan praperadilan ..."
Apabila
penafsiran waktu dimulainya 7 hari berdasarkan pada saat kedua belah pihak
hadir lengkap, maka membuka kemungkinan bagi Pejabat yang berwenang untuk menunda kehadiran pada waktu
panggilan sidang yang pertama, meski panggilan tersebut telah dilakukan secara
patut dan layak. Penundaan kehadiran pejabat yang berwenang seringkali menjadi
salah satu penyebab lamanya waktu pemeriksaan praperadilan dan menjadi faktor
gugurnya pemeriksaan praperadilan karena pokok perkara telah didaftarkan ke
pengadilan
Gugurnya
praperadilan saat dimulainya pemeriksaan pokok perkara, menghilangkan hak
tersangka untuk menguji keabsahan penangkapan dan penahanan. Pengaturan dalam
pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAPyang mengakibatkan
gugurnya suatu pemeriksaan di praperadilan apabila pokok perkara telah mulai
diperiksa di PN adalah ketentuan yang
inkonstitusional. Sebab ketentuan ini menyebabkan
hilangnya hak tersangka untuk menguji keabsahan penangkapan dan penahanan
sebagimana dijamin Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Oleh karena itu,
para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 82 ayat (1) b KUHAP bertentangan
dengan pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, selama tidak dimaknai “hakim
mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang
berwenang dapat dilakukan tanpa dihadiri oleh pejabat yang berwenang dan dapat
menjatuhkan putusan tanpa kehadiran pejabat yang berwenang”. Kemudian,
menyatakan Pasal 82 ayat (1) c KUHAP bertentangan dengan pasal 1 ayat (3), Pasal
28D ayat (1) UUD 1945 selama tidak dimaknai “pemeriksaan selambat-lambatnya 7
hari tersebut dimulai pada saat hakim tunggal praperadilan membuka sidang
pertama kali dengan atau tanpa kehadiran pejabat yang berwenang.” Para Pemohon
juga meminta Mahkamah menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAPbertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 dan tidak
berkekuatan hukum mengikat.
Nur Rosihin Ana