Cukai rokok secara definitif merupakan jenis
pajak tidak langsung yang dipungut otoritas negara terhadap produk rokok. Disebut
pajak tidak langsung karena subjek yang harus menanggung beban cukai pertama
kali adalah pihak produsen rokok, baik dalam kapasitasnya sebagai pembuat atau
sebagai pengimpor. Selanjutnya beban pungutan cukai rokok dialihkan kepada
konsumen terakhir atau pemikul pajak yang sebenarnya, yaitu para perokok. Ketentuan
mengenai cukai cukai rokok, diatur oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995
tentang Cukai dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang
Cukai (UU Cukai). Pasal 1 angka 1 UU Cukai menyatakan, “Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan
terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang
ditetapkan dalam undang-undang ini.”
Adapun kriteria yang dimaksud “barang-barang tertentu yang mempunyai sifat
atau karakteristik”, dalam Pasal 1 angka 1 UU Cukai tersebut di atas, yaitu barang-barang
yang konsumsinya perlu dikendalikan; peredarannya perlu diawasi; pemakaiannya
dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; atau pemakaiannya
perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Barang-barang
yang masuk dalam kriteria ini yaitu rokok jenis sigaret kretek dan sigaret
putih. Oleh karena itu, rokok jenis sigaret kretek dan sigaret putih,
dikenai cukai.
Sigaret kretek (rokok) dibebani tarif cukai
berdasarkan tarif paling tinggi, sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal
5 UU Cukai. Sigaret kretek dianggap merupakan barang-barang tertentu yang
mempunyai sifat atau karakteristik tertentu, sehingga diatur secara khusus (lex
specialis) dengan dibebani pengenaan tarif cukai paling tinggi. Oleh karena
itu, berlakunya ketentuan pajak rokok atas cukai rokok dalam Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), menimbulkan
ketidakpastian hukum yang adil berdasarkan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945.
Demikian antara lain dalil permohonan uji
materi UU PDRD yang dilayagkan ke MK oleh Mulyana Wirakusumah, Hendardi,
Aizzudin, Neta S. Pane, dan Bambang Isti Nugroho. Para pemohon yang mengambil
kedudukan hukum (legal standing) sebagai perokok yang menanggung beban
pajak terakhir dari produk rokok. Pemohon merasa dirugikan akibat berlakunya Pasal 1 angka 19, Pasal 2 ayat (1) huruf e, Pasal
26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 94 ayat (1) huruf c
dan Pasal 181 UU PDRD. Sebagai peokok, mereka merasa mengalami perlakuan yang
tidak sama dengan subjek pajak daerah lainnya di hadapan hukum karena
pemberlakuan pajak ganda.
Permohonan uji materi UU PDRD ini diregistrasi
oleh Kepaniteraan MK dengan Nomor r 64/PUU-XI/2013 pada Rabu, 12 Juni 2013. MK
juga telah menjadwalkan sidang pemeriksaan pendahuluan untuk perkara ini pada
Selasa, 9 Juli 2013.
Pajak Ganda
Pasal-pasal dalam UU PDRD yang diuji
konstitusional tersebut, mengatur tentang Pajak Rokok yang dipungut atas cukai
rokok. Padahal, pengenaan pajak terhadap rokok, sebelumnya sudah dibebani pajak
(cukai) berdasarkan UU Cukai. Imbasnya, para Pemohon sebagai konsumen rokok terkena
beban bayar pajak dua kali (pajak ganda).
Menurut Pemohon, ketentuan dalam UU PDRD yang
mengatur pungutan pajak rokok ini, in litis adalah merupakan ekstensifikasi
terhadap barang kena pajak (objek pajak). Hal ini terlihat dalam ketentuan
Pasal 1 angka 19 UU PDRD yang menyebutkan bahwa “Pajak Rokok adalah pungutan
atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah.”
Berlakunya ketentuan tersebut menimbulkan
pungutan baru, yakni pungutan terhadap pungutan cukai yang sebelumnya diatur
dalam UU Cukai. Dengan demikian, ketentuan pasal-pasal UU PDRD yang dimohonkan
untuk diuji konstitusionalitasnya tersebut, tidak sinkron dengan UU Cukai. Para Pemohon selaku perokok
berpendapat, ketidaksinkronan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang
adil sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menentukan, “Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum."
Pemohon berdalil, merokok merupakan suatu
kegiatan legal, atau sekurang-kurangnya tidak dilarang, sehingga merokok
merupakan perbuatan yang diizinkan oleh hukum. Dengan demikian terdapat kepentingan-kepentingan
antinomik antara perokok dan masyarakat lingkungannya. Dalam keadaan demikian,
menurut para Pemohon, negara wajib mengatur secara konstitusional, proporsional
dan akomodatif dengan mengakomodasi kepentingan perokok dan kepentingan lingkungan
dalam aturan hukum. Kesemuanya itu sebenarnya sudah dipertimbangkan secara adil
dan seimbang berdasarkan UU Cukai. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 5 UU
Cukai, barang kena cukai di antaranya adalah rokok, telah dikenakan tarif cukai
paling tinggi dengan mempertimbangkan keadilan dan keseimbangan. Oleh karena
itu, apabila kemudian rokok dikenakan lagi pajak sebagaimana yang diatur dalam
UU PDRD, justru akan menjadi tidak adil atau bertentangan dengan keadilan,
karena telah dibebani pajak pajak ganda.
Kekeliruan Perpajakan
Wajib pajak rokok dari kalangan industri
adalah subjectum cukai rokok yang
dikenai tarif pajak rokok sepuluh persen dari cukai rokok. Sedangkan objek
pajak rokok adalah konsumsi rokok yang dibebankan selaku tatbestand sesuai dengan tujuan pajak rokok untuk menekan konsumsi
rokok. Hal ini pada hakikatnya merupakan kekeliruan perpajakan (belastingendwaling) yang merugikan hak
konstitusional setiap warga negara selaku subjectum
wajib pajak rokok, sehingga ketentuan Pasal 27 ayat (2), Pasal 26 ayat (1)
dan Pasal 29 UU PDRD, menurut Pemohon, bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1)
UUD 1945, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
kecualinya.”
Sedangkan subjek pajak rokok adalah konsumen
rokok yang dibebankan selaku tatbestand.
Konsumen rokok merupakan sasaran
pemajakan atas suatu objek
pajak yang tidak seharusnya dibebankan kepada subjek pajak rokok tersebut,
sehingga hal dimaksud menurut Pemohon, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Fungsi pengaturan yang adil seharusnya
terdapat dalam ketentuan Pasal 1 angka 19, Pasal 2 ayat (1) huruf e, Pasal 26,
Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 94 ayat (1) huruf c dan
Pasal 181 UU PDRD. Ketentuan tersebut mengatur pajak rokok sebagai
pajak daerah. Sistem pemungutan pajak rokok mengacu pada tarif cukai rokok di tingkat pusat, sehingga ketentuan
dalam UU PDRD tersebut berakibat pada pembebanan pajak yang berbeda antara warga
negara, khususnya yang perokok dengan para pemikul pajak daerah lainnya. Warga negara perokok
memikul pajak daerah (selain pajak rokok) yang ditetapkan berdasarkan
desentralisasi dan sekaligus pajak rokok yang mengacu pada besaran cukai rokok
yang sentralistik. Dengan demikian, ketentuan tersebut menekankan fungsi
mengatur yang tidak adil. Pajak rokok telah membuat pembedaan kedudukan hukum
antara warga negara, khususnya yang perokok selaku wajib pajak di daerah yang
otonom.
Nur Rosihin Ana
Catatan Perkara Majalah Konstitusi Edisi Juli 2013:
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/infoumum/majalahkonstitusi/pdf/7.%20BMK%20Edisi%20Juli%202013%20.pdf