Jakarta,
MK Online - Mekanisme pemutusan hubungan kerja (PHK) telah diatur dalam
UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Tenaker) dan UU 2/2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Pasal 151 UU
Tenaker menegaskan, pekerja dan pengusaha harus berusaha semaksimal
mungkin menghindari PHK. Seandainya PHK tidak dapat dihindari, maka
pekerja dan pengusaha harus berunding untuk mencari kesepakatan. Namun
jika tidak tercapai kesepakatan, PHK hanya dapat dilakukan setelah ada
penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Demikian
pendapat Mahkamah dalam sidang pengucapan putusan Perkara Nomor
37/PUU-IX/2011, Senin, (19/9/2011) bertempat di ruang sidang Pleno
Gedung MK. Permohonan uji materi UU Tenaker ini diajukan oleh Ugan
Gandar, Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), Eko
Wahyu Sekretaris Jenderal (FSPPB), dan Rommel Antonius Ginting. Para
Pemohon mengujikan konstitusionalitas frasa “belum ditetapkan” dalam
Pasal 155 ayat (2) UU Tenaker, yang menyatakan, “Selama putusan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik
pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala
kewajibannya” Menurut para Pemohon, frasa tersebut bertentangan dengan
Pasal 28D Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945.
Dalam
amar putusan, Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon. Mahkamah
menyatakan frasa ”belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UU 13/2003
tentang Ketenagakerjaan (UU Tenaker) bertentangan dengan UUD 1945
sepanjang tidak dimaknai belum berkekuatan hukum tetap.
Mahkamah
berpendapat, PHK yang dilakukan tanpa persetujuan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial menjadi batal demi hukum [vide Pasal
155 ayat (1) UU 13/2003]. Selama lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial masih memeriksa proses PHK, pekerja dan pengusaha
harus tetap melaksanakan tugas dan kewajibannya masing-masing
sebagaimana diatur dalam Pasal 155 ayat (2) UU 13/2003.
Ketika
perselisihan diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana
diatur dalam Pasal 24 UU 2/2004, maka perselisihan tersebut dianggap
belum final dan mengikat sampai putusan pengadilan memperoleh kekuatan
hukum tetap. Apabila frasa ”belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2)
UU 13/2003 dikaitkan dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan
industrial, maka terdapat potensi ketidakpastian hukum bagi para pihak
tentang makna frasa “belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UU
13/2003.
Di
sisi lain, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 telah menentukan:
”(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum;
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”
Berdasarkan
ketentuan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 tersebut, menurut
Mahkamah, perlu ada penafsiran yang pasti terkait frasa “belum
ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UU 13/2003, agar terdapat kepastian
hukum yang adil dalam pelaksanaan dari frasa tersebut, sehingga para
pihak dapat memperoleh jaminan dan kepastian hukum terhadap perolehan
hak-hak mereka dalam hal terjadinya perselisihan hubungan industrial.
Menurut
Mahkamah, frasa “belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UU 13/2003
harus dimaknai putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap
karena putusan Pengadilan Hubungan Industrial ada yang dapat langsung
memperoleh kekuatan hukum tetap pada tingkat pertama oleh Pengadilan
Hubungan Industrial, yaitu putusan mengenai perselisihan kepentingan,
putusan mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam
satu perusahaan, serta putusan mengenai perselisihan hak dan PHK yang
tidak dimohonkan kasasi. Adapun putusan mengenai perselisihan hak dan
PHK yang dimohonkan kasasi harus menunggu putusan kasasi dari Mahkamah
Agung terlebih dahulu baru memperoleh kekuatan hukum tetap. Mahkamah
berpendapat, permohonan para Pemohon tersebut terbukti dan beralasan
menurut hukum. (Nur Rosihin Ana/mh)