Ikhtisar Putusan Mahkamah
Konstitusi
Nomor 26/PUU-VII/2009
Tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
Pemohon:
Sri Sudarjo.
Jenis Perkara:
Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Pokok Perkara:
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Pasal 1 angka (2), Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), serta Pasal 14 ayat (2)
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;
Tanggal Registrasi:
13 April 2008.
Tanggal Putusan:
14 September 2009.
Amar putusan:
- Menyatakan Permohonan Pemohon terhadap
Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924) tidak dapat
diterima.
- Menolak Permohonan Pemohon
selebihnya.
Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya menyatakan menolak permohonan Pemohon selebihnya. Demikian
amar putusan untuk perkara Nomor 26/PUU-VII/2009 yang diajukan oleh Sri Sudarjo.
Pemohon sebagai warga negara RI dirugikan hak konstitusionalnya dengan
disahkannya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden (selanjutnya disebut UU 42/2008). Pemohon mendalilkan bahwa Ketentuan muatan UU 42/2008 Pasal 1 ayat (2), Pasal
8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) bertentangan
UUD 1945 Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat
(2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28H ayat
(2), Pasal 28I ayat (2), ayat (4), ayat (5), Pasal 28J ayat (1), karena
telah berakibat merugikan hak konstitusional Pemohon yang hendak mencalonkan
diri sebagai Presiden Republik Indonesia melalui jalur independen yang dijamin
oleh Pancasila dan UUD 1945.
Di samping itu, ketentuan materi muatan pasal UU 42/2008 a
quo mempunyai penafsiran ganda dalam penerapan hukum, tidak memberikan
kepastian hukum, sehingga jelas bertentangan dengan maksud dan ketentuan Pasal
1 ayat (3) Negara Indonesia adalah negara hukum. Oleh karena itu, Pasal
1 ayat (2), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4),
dan Pasal 14 ayat (2) secara arti tekstual dan arti kontekstual ketentuan
dengan Pasal 6A ayat (2), Pasal 1 ayat (2), ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal
28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), ayat (3), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28H ayat
(2), Pasal 28I ayat (2), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan Pasal 28J
ayat (1) UUD 1945 serta terbukti mengakibatkan kerugian konstitusional yang
disebut di atas.
Mengenai legal standing Pemohon, Mahkamah menyatakan bahwa Pemohon
dalam permohonannya mengkualifikasikan dirinya sebagai warga negara RI yang
dirugikan hak konstitusionalnya oleh berlakunya pasal-pasal dalam UU 42/2008 a quo. Namun pada
persidangan tanggal 7 Mei 2009, Pemohon telah merevisi kedudukan hukumnya tidak
lagi sebagai warga negara Indonesia, melainkan sebagai Presiden Lembaga Dewan
Nasional Komite Pemerintahan Rakyat Independen berdasarkan Akta Notaris Herman
Eddy, S.H., tanggal 30 Desember 2008 Nomor 34. Pemohon melihat independen tidak
dalam bentuk privat, tetapi melihat independen sebagai sikap politik wadah
kolegial (sic).
Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 5 Akta Pendirian Lembaga Komite Pemerintahan
Rakyat Independen Nomor 34 pada huruf d dan huruf e pada pokoknya menyatakan
bahwa Maksud dan Tujuan Lembaga ini adalah untuk memperjuangkan hak politik
rakyat yang berkeadilan menuju masyarakat adil dan makmur, dan membangun
“independensi politikal rakyat” dan “politikal rakyat independen”. Lembaga
Komite Pemerintahan Rakyat Independen yang dibentuk dengan akta Notaris
tersebut dimaksudkan untuk memperoleh status sebagai satu badan hukum perdata.
Akan tetapi dari alat-alat bukti yang diajukan, tidak ternyata bahwa badan
hukum tersebut telah memperoleh pengesahan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia,
sehingga oleh karenanya menurut Mahkamah, Pemohon belum dapat dikualifikasikan
sebagai badan hukum, akan tetapi dapat dikualifikasikan sebagai perorangan atau
kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama.
Berdasar Putusan MK Sebelumnya
Pasal-pasal dalam UU 42 Tahun 2008 yang dimohonkan pengujiannya oleh
Pemohon adalah menyangkut pasal-pasal yang telah diuji dan diputus oleh
Mahkamah dalam putusan-putusan sebelumnya, yaitu, Putusan Nomor 054/PUU-II/2004
dan Nomor 057/PUU-II/2004 masing-masing bertanggal 6 Oktober 2004, Putusan
Nomor 56/PUU-VI/2008 tanggal 17 Februari 2008, dan Putusan Nomor
51-52-59/PUU/2008 bertanggal 18 Februari 2009.
Terhadap Pasal 8 dan Pasal 9 UU 42/2008 a quo, yang dimohonkan
pengujiannya oleh Pemohon, dengan alasan-alasan yang tidak berbeda dengan
alasan dan dasar konstitusionalitas yang diajukan dalam 6 (enam) perkara secara
keseluruhan yang telah diperiksa dan diputus oleh Mahkamah sebelumnya, maka
Mahkamah tidak dapat lagi menguji pasal-pasal tersebut.
Berdasarkan Pasal 60 UU MK dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
06/PMK/2005, maka terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam
undang-undang yang telah diuji oleh Mahkamah, tidak dapat dimohonkan pengujian
kembali, kecuali jika diajukan dengan alasanalasan konstitusionalitas yang
berbeda. Mahkamah berpendapat bahwa alasan yang diajukan oleh Pemohon dalam
pengujian materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian undang-undang yang diuji,
terutama pengujian terhadap Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), Pasal 27 ayat
(1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28E ayat
(3), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2), ayat (4), ayat (5) dan
Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 yang dijadikan sebagai dasar pengujian tidak
berbeda, sehingga oleh karenanya Mahkamah harus menyatakan permohonan Pemohon
tidak dapat diterima;
Permohonan Ditolak
Khusus terhadap Pasal 1 angka 2 dan Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3)
dan ayat (4) serta Pasal 14 ayat (2) UU 42/2008, Mahkamah berpendapat sebagai
berikut:
1. Pasal 1 angka 2 UU 42/2008, merupakan bagian
dari ketentuan umum yang menguraikan pengertian atau definisi operasional, yang
dimaksudkan agar batas pengertian atau definisi, singkatan atau akronim yang
berfungsi menjelaskan makna suatu kata atau istilah yang harus dirumuskan
sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda. Permohonan yang mempersoalkan batasan
pengertian, singkatan atau hal-hal lain yang bersifat umum, yang dijadikan
dasar bagi pasal-pasal berikutnya dalam Undang-Undang a quo, sangat
tidak beralasan.
2. Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4) UU 42/2008 yang juga dimohonkan diuji mengatur tentang mekanisme
internal Partai Politik dalam pemilihan dan pengusulan pasangan calon Presiden
dan Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum, sama sekali tidak memiliki masalah
konstitusionalitas yang harus dipersoalkan dan alasan yang diajukan sepanjang
mengenai pengujian Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU
42/2008 tersebut tidak berdasar hukum;
3. Pasal 14 ayat (2) UU 42/2008 yang hanya
menentukan tenggang waktu untuk pendaftaran Pasangan Calon Presiden dan Wakil
Presiden, merupakan pilihan pembentuk undang-undang yang menjadi kewenangannya
sehingga materinya tidak dapat dimintakan pengujian. Berdasarkan ketiga alasan
tersebut maka permohonan Pemohon sepanjang mengenai Pasal 1 angka 2, Pasal 10 ayat
(1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), serta Pasal 14 ayat (2) UU 42/2008 harus
dinyatakan ditolak.
Mahkamah berpendapat, alasan-alasan permohonan tentang usul perubahan pasal-pasal,
menurut Mahkamah tidak rasional sehingga tidak berdasar hukum untuk
dipertimbangkan. Oleh karena itu, berdasarkan pertimbangan hukum dan fakta
tersebut, dalam amar putusannya Mahkamah menyatakan Menolak Permohonan Pemohon
selebihnya. (Nur Rosihin Ana).