Harmoni...

Jakarta, September 2010

Harmoni...

Jakarta, Desember 2010

Belahan jiwa

......

...Belahan jiwa...

......

ceria...

Jakarta, 8 Januari 2012

Nora Uzhma Naghata

Bogor, 24 Februari 2011

Nora Uzhma Naghata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Taman Safari Puncak

Bogor, 24 Februari 2011

Bandara Ahmad Yani

Semarang, 28 September 2011

Rileks

*********

Nur Rosihin Ana

Semarang, 19 Oktober 2010

Nur Rosihin Ana

mahkamah dusturiyyah, 18 Juli 2012

Nur Rosihin Ana

Hotel Yasmin, Puncak, Desember 2010

Nora Uzhma Naghata

Naghata

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Demak, 11 September 2011

Nur Rosihin Ana

Nagreg, Bandung 11 Juli 2011

Nora Uzhma Naghata, Sri Utami, Najuba Uzuma Akasyata, Nur Rosihin Ana

Sapa senja di Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Sapa Senja Jepara

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

...bebas, lepas...

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Minggu, 20 Maret 2016

Masa Jabatan Hakim Pengadilan Pajak

Periodisasi masa jabatan hakim pengadilan pajak akan mengurangi konsentrasi hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Sebaiknya pembatasan masa jabatan hakim hanya berkaitan dengan usia pensiun.

Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan instrumen menegakkan hukum dan keadilan. Sudah seharusnya tidak ada batasan yang menghalangi kemerdekaan kehakiman dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan. Hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman sudah seharusnya tidak diliputi keraguan dan ketidakpastian terhadap masa jabatan dan periodisasinya. Sebab hal ini sangat menggangu konsentrasinya dalam memeriksa, memutus, dan mengadili sengketa untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Namun berlakunya ketentuan Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 13 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak), justru dinilai menciptakan ketidakpastian jabatan hakim. Bahkan menimbulkan keragu-raguan dan ketidaknyamanan dalam melaksanakan tugas dan kewenangan sebagai hakim.
Demikian dalil permohonan uji materi UU Pengadilan Pajak yang diajukan oleh Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Cabang Pengadilan Pajak. Permohonan ini diterima oleh Mahkamah Konstitusi pada 7 Desember 2015. Kepaniteraan Mahkamah meregistrasi permohonan ini dengan Nomor 6/PUU-XIV/2016 pada 16 Februari 2016. Mahkamah juga menetapkan panel hakim konstitusi yang memeriksa permohonan ini, yakni Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams (Ketua Panel), Patrialis Akbar, dan Suhartoyo. Sidang pemeriksaan pendahuluan digelar pada Selasa, 23 Februari 2016. Kemudian sidang kedua dengan agenda perbaikan permohonan digelar pada Senin, 7 Maret 2016.
Para Pemohon memberikan kuasa kepada Center for Strategic Studies University of Indonesia (CSSUI). Para Pemohon yang nota bene para hakim Pengadilan Pajak, dalam legal standing-nya menyebutkan norma yang diuji membatasi hak-hak para Pemohon yang dijamin Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD1945.
Kemudian, menghalangi kemerdekaan kehakiman yang dijamin Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”
Benturan Kekuasaan Kehakiman
Hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman seharusnya terbebas dari keraguan dan ketidakpastian masa jabatan. Sebab hal ini akan menghilangkan konsentrasinya dalam memeriksa, memutus, dan mengadili sengketa untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 13 ayat (1) huruf c UU Nomor 14 Tahun 2002 justru menciptakan ketidakpastian masa depan setelah memangku jabatan hakim. Bahkan menimbulkan keragu-raguan, dan ketidaknyamanan dalam melaksanakan tugas dan kewenangan. Hal ini langsung maupun tidak langsung menurunkan kualitas putusan dan pelaksanaan kinerja dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan.
Ketentuan Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 13 ayat (1) huruf c UU Pengadilan Pajak mengandung benturan terhadap hakikat kekuasaan kehakiman yang merdeka yang langsung maupun tidak langsung berpotensi menyebabkan kerugian bagi Pemohon. Bahkan mengurangi etos kerja dan kualitas kinerja dan putusan yang sesuai dengan tujuan hukum dan keadilan. Hakim Pengadilan Pajak sudah semestinya tidak diganggu dan terbagi konsentrasinya dengan permasalahan masa jabatan dan periodeisasi jabatan dan usia akhir jabatan.
Selain itu, ketentuan yang diujikan tersebut bertentangan dengan kepentingan hukum dan konstitusi. Bahkan bertentangan dengan kepentingan umum (in strijd met het algemeen belang) karena ketentuan tersebut berpotensi menurunkan kualitas putusan terhadap sengketa perpajakan serta mengurangi minat orang-orang yang mempunyai potensi dan kemampuan yang baik dan berkualitas untuk menjadi hakim Pengadilan Pajak.

Usia Pensiun
Periodeisasi ketua, wakil ketua, dan hakim Pengadilan Pajak sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di tingkat pertama, sebaiknya hanya dibatasi pada masa jabatan berkaitan dengan usia pensiun. Seharusnya Pasal 13 ayat (1) huruf c UU Pengadilan Pajak dimaknai sama dengan usia hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Hal ini sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah terakhir dengan UU Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN). Ketentuan masa pensiun ketua, wakil ketua, dan hakim PTUN sebagaimana Pasal 19 ayat (1) huruf c UU PTUN adalah 67 tahun. Sedangkan masa pensiun ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan Pajak adalah 65 tahun.
Hal tersebut menunjukkan ketidaksamaan di hadapan hukum mengingat Pengadilan Pajak adalah pengadilan khusus di lingkungan PTUN, yang langsung putusannya disamakan dengan pengadilan tinggi, karena upaya hukum pengadilan pajak langsung dilakukan peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Ketidakpastian hukum dan ketidaksamaan di hadapan hukum tersebut berdampak sistemik dan berkelanjutan bagi berlangsungnya Pengadilan Pajak sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Saat ini hakim Pengadilan Pajak berjumlah 46 hakim. Sementara 14 hakim dalam waktu dekat memasuki usia pensiun. Sementara perkara yang masuk di Pengadilan Pajak setiap hari berkisar 55 perkara sampai 60 perkara.

Hakikat Kekuasaan yang Merdeka
Para Pemohon berdalil kekuasaan kehakiman yang merdeka seharusnya tidak berada pada pengaruh atau potensi pengaruh, pikiran, atau perasaan yang langsung maupun tidak langsung menyebabkan ketua, wakil ketua, dan hakim Pengadilan Pajak menjadi tidak merdeka. Hal ini berpotensi mempengaruhi langsung maupun tidak langsung untuk menghasilkan putusan dan kinerja yang berkualitas bagi hukum dan keadilan. Padahal Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan Kekuasaan Kehakiman merupakan Kekuasaan yang Merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Rumusan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 tersebut secara konstitusional menjadi dasar hukum yang mengatur hakim pengadilan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya tidak dapat berada pada pengaruh, tekanan, dan perasaan yang mengurangi konsentrasinya dan kemerdekaannya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Pandangan klasik mengenai kekuasaan kehakiman yang merdeka hakikatnya terbebasnya pejabat pelaksana kekuasaan kehakiman dari adanya aturan, kebijakan, keputusan, perilaku, dan tekanan yang menyebabkan atau bahkan berpotensi menyebabkan berkurangnya kemerdakaan hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Pengadilan Pajak sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman yang merdeka bertujuan agar pengadilan tidak menjadi suatu alat kekuasaan (machtsapparaat), tetapi menjadi suatu alat hukum (rechtsapparaat). Dengan demikian, politik hukum apapun sudah semestinya dan seharusnya tidak menyebabkan Pengadilan Pajak menjadi seakan-akan di bawah kekuasaan pemerintah yang memiliki kewenangan alam pengelolaan di bidang perpajakan, karena seharusnya merupakan alat kekuasaan negara untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Pemberlakuan Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 13 ayat (1) huruf c UU Pengadilan Pajak berpotensi mengurangi kemerdekaan hakim serta mengurangi konsentrasinya dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara perpajakan karena dalam pelaksanaannya tidak konsisten dan tidak konsekuen sesuai dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Padahal, dalam konsep manajemen administrasi yang baik, ketua, wakil ketua, dan hakim tidak dibatasi periodeisasi jabatan kecuali masa jabatannya yang sesuai dengan masa pensiunnya. Pengaturan mealui periodeisasi akan mengurangi konsentrasinya dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Menurut hemat para Pemohon, sangat tepat apabila Mahkamah Konstitusi menyatakan Ketentuan Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 13 ayat (1) huruf c UU Pengadilan Pajak merupakan pasal yang potensial dikualifikasi melanggar prinsip perlindungan jaminan atas kepastian hukum dan persamaan di hadapan hukum bagi terwujudnya kekuasaan kehakiman yang merdeka sekaligus bagi terwujudnya penegakan hukum dan keadilan bagi wajib pajak. Dengan perumusan Pasal yang demikian, ketentuan tersebut tidak proporsional dan tidak konsisten, sehingga dengan sendirinya bertentangan dengan Pasal 24 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Oleh karena itu, para Pemohon dalam petitum meminta Mahkamah Menyatakan Pasal 8 ayat (3) UU Pengadilan Pajak bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mengikat secara hukum. Kemudian menyatakan Pasal 13 ayat (1) huruf c UU Pengadilan Pajak sepanjang frasa, “telah berusia 65 (enam puluh lima) tahun” berlaku konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) sepanjang usia diartikan konsisten dan sama dengan ketua, wakil ketua, dan hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, yaitu 67 (enam puluh tujuh) tahun.

Nur Rosihin Ana
Rubrik Catatan Perkara Majalah Konstitusi Nomor 109 • Maret 2016
readmore »»  

Pelanggaran Pilkada oleh Penyelenggara

Pilkada ternoda oleh ulah penyelenggara. Proses demokrasi yang cedera harus dipulihkan. Perintah pencoblosan ulang di lima daerah cukup beralasan.

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tahun 2015 secara umum berjalan dengan baik, lancar, dan aman. Sebanyak 268 daerah semula dijadwalkan mengikuti pilkada serentak yang digelar pada 9 Desember 2015. Ternyata terdapat lima daerah yang pelaksanaan pilkadanya ditunda di 2016. Adapun llima daerah yang melaksanakan pilkada susulan di 2016 yaitu Pilkada Provinsi Kalimantan Tengah, Kabupaten Fakfak, Kabupaten Simalungun, Kota Manado, dan Pilkada Kota Pematangsiantar.
Namun demikian, Pilkada serentak tak luput dari sengketa. Dari 268 daerah yang menyelenggarakan Pilkada, terdapat 136 daerah yang mengajukan permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHP Kada) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Besar kemungkinan pasangan calon di 132 daerah yang tidak mengajukan permohonan ke Mahkamah karena dipengaruhi oleh kesadaran dan pemahaman atas adanya ketentuan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).
Hingga berita ini diturunkan, Mahkamah telah menerima 151 permohonan PHP Kada dari 136 daerah. Rinciannya, 7 perkara PHP Kada gubernur, 132 PHP Kada bupati, dan 12 PHP Kada walikota.
Hingga Awal Maret 2016, Mahkamah telah mengeluarkan 149* putusan/ketetapan perkara PHP Kada. Adapun jika dirinci berdasarkan amar putusan, sebanyak 5 perkara Ditarik Kembali oleh Pemohon, 136 perkara diputus Tidak Dapat Diterima, 3 perkara ditolak, dan 5 perkara diputus pemungutan suara ulang.
Sedangkan sisanya, dua perkara masih dalam proses pemeriksaan. Dua perkara dimaksud yaitu perkara Nomor 150/PHP.KOT-XIV/2016 tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati Simalungun Tahun 2016 yang diajukan oleh pasangan Tumpak Siregar-H. Irwansyah Damanik, dan perkara Nomor 151/PHP.KOT-XIV/2016 tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Walikota Manado Tahun 2016 yang diajukan oleh pasangan Harley Alfredo Benfica Mangindaan-Jemmy Asiku.


Coblos Ulang di Lima Daerah
Para pihak yang berperkara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHP Kada) telah berada di dalam ruang sidang pleno yang terletak di lantai dua gedung MK, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6 Jakarta. Petugas persidangan meminta hadirin berdiri saat sembilan hakim konstitusi memasuki ruang sidang. Suasana ruangan pun mendadak senyap.
Siang itu, Senin 22 Februari 2016, tepat pukul 10.19 WIB, Ketua MK Arief Hidayat mengucapkan basmalah diiringi ketukan palu tiga kali pertanda persidangan dimulai. Hari itu MK akan mengucapkan tiga putusan perkara PHP Kada. Yakni PHP Kada Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara (Perkara Nomor 1/PHP.BUP-XIV/2016) yang diajukan oleh pasangan calon nomor urut 4, Bahrain Kasuba dan Iswan Hasjim. Kemudian PHP Kada Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua (Perkara Nomor 24/PHP.BUP-XIV/2016) yang diajukan oleh pasangan calon nomor urut 2, Demianus Kyeuw Kyeuw dan Adiryanus Manemi. Terakhir, PHP Kada Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau (Perkara Nomor 65/PHP.BUP-XIV/2016) yang diajukan oleh pasangan calon nomor urut 1, Indra Putra dan Komperensi.
Hawa dingin ruang sidang pleno seolah berubah gerah saat Ketua MK mulai membacakan putusan. Secara berturut-turut tiga putusan dibacakan tanpa jeda. Mahkamah menyatakan menolak permohonan PHP Kada Kabupaten Kuantan Singingi. Sedangkan terhadap permohonan PHP Kada Kabupaten Halmahera Selatan dan PHP Kada Kabupaten Mamberamo Raya, Mahkamah dalam putusan sela memerintahkan pemungutan suara ulang.
Selain dua kabupaten tersebut, dalam sidang pengucapan putusan pada Kamis (25/2/2016) Mahkamah memerintahkan tiga kabupaten lainnya untuk melaksanakan pemungutan suara ulang. Dengan demikian, terdapat lima kabupaten yang harus melakukan pemungutan suara ulang, yaitu Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Memberamo Raya, Kabupaten Kepulauan Sula, Kabupaten Teluk Bintuni, dan Kabupaten Muna.
Perintah pemungutan suara ulang dijatuhkan karena adanya pelanggaran-pelanggaran dalam penyelenggaraan pilkada. Ironisnya, dari lima kabupaten tersebut, tindak pelanggaran Pilkada di empat kabupaten dilakukan oleh penyelenggara, dalam hal ini KPU Kabupaten atau jajarannya. Sedangkan satu kabupaten, yaitu Pilkada Kabupaten Muna, pelanggaran dilakukan oleh dua orang oknum pemilih yang mencoblos lebih dari satu kali.

Pilkada Halmahera Selatan
Permohonan PHP Kada Halmahera Selatan diajukan oleh Pasangan Bahrain Kasuba-Iswan Hasjim. Permohonan ini diregistrasi oleh Kepaniteraan MK dengan Nomor 1/PHP.BUP-XIV/2016. Proses persidangan perkara ini mengungkap fakta bahwa penyelenggara Pilkada Kabupaten Halmahera Selatan tidak profesional dalam menjalankan tugasnya. Hal ini tentu menciderai proses demokrasi.
Untuk memulihkan proses demokrasi yang tercederai, Mahkamah dalam putusan sela yang dibacakan pada Jum’at (22/1/2016) memerintahkan KPU Provinsi Maluku Utara untuk melaksanakan penghitungan surat suara ulang 28 TPS di Kecamatan Bacan. Namun faktanya hanya dapat dilakukan penghitungan surat suara ulang untuk 8 TPS, karena surat suara dari 28 TPS yang ditemukan hanya di 8 TPS.
Mendapati fakta demikian, Mahkamah pun mengeluarkan putusan sela kedua yang dibacakan pada Senin (22/2/2016). Dalam amar putusannya, Mahkamah memerintahkan KPU Provinsi Maluku Utara untuk melakukan pemungutan suara ulang di 20 TPS di Kecamatan Bacan, Kabupaten Halmahera Selatan.

Pilkada Mamberamo Raya
Permohonan PHP Kada Kabupaten Mamberamo Raya diregistrasi oleh Kepaniteraan Mahkamah dengan Nomor 24/PHP.BUP-XIV/2016. Permohonan ini diajukan oleh pasangan calon nomor urut 2, Demianus Kyeuw Kyeuw-Adiryanus
Fakta yang terungkap di persidangan menunjukkan bahwa Pilkada Mamberamo Raya diwarnai pelanggaran aturan main pilkada. Ironisnya, hal ini dilakukan oleh penyelenggara Pilkada, dalam hal ini Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) Distrik Mamberamo Tengah Timur dan Distrik Rufaer. Misalnya tindakan petugas KPPS yang telah mencoblos sisa surat suara, pengubahan angka pada formulir rekapitulasi, memalsukan nama dan tanda tangan, dan tidak memberikan Formulir C-KWK, C1-KWK beserta lampirannya kepada saksi pasangan calon dan jajaran Panwas.
Mahkamah dalam amar putusan yang dibacakan pada Senin (22/2/2016) memerintahkan kepada KPU Kabupaten Mamberamo Raya untuk melaksanakan pemungutan suara ulang di 10 TPS, yaitu 2 TPS di Distrik Mamberamo Tengah Timur dan 8 (delapan) TPS di Distrik Rufaer. Mahkamah juga memerintahkan pemberhentian dan penggantian seluruh Ketua dan Anggota KPPS di TPS-TPS tersebut.

PHP Kada Kabupaten Kepulauan Sula
Kepaniteraan Mahkamah meregistrasi permohonan PHP Kada Kabupaten Kepulauan Sula Tahun 2015 dengan Nomor 100/PHP.BUP-XIV/2016. Permohonan ini diajukan oleh pasangan calon nomor urut 3, H. Safi Pauwah-H. Faruk Bahanan.
Penyelenggaraan Pilkada Kabupaten Kepulauan Sula Tahun 2015 diwarnai pelanggaran-pelanggaran. Fakta di persidangan mengungkapkan pelanggaran terjadi di 11 TPS. Dalam persidangan (2/2/2016) lalu, Mahkamah telah memerintahkan kepada KPU Kabupaten Kepulauan Sula agar menunjukkan Formulir A.Tb2-KWK dan Model C7-KWK. Keberadaan formulir A.Tb2-KWK berfungsi sebagai instrumen untuk melakukan crosscheck terhadap DPTb-2. Namun hingga proses sidang pemeriksaan berakhir, KPU Kabupaten Kepulauan Sula tidak dapat menunjukkan dokumen tersebut.
Ketidakmapuan KPU Kabupaten Kepulauan Sula menunjukkan formulir A.Tb2-KWK untuk 11 (sebelas) TPS, telah menimbulkan keragu-raguan sekaligus ketidakpastian mengenai kebenaran jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya dengan menggunakan tanda pengenal/ identitas yang dibenarkan oleh Undang-Undang (KTP, KK, SKTT, dsb).
Oleh karena itu, cara yang paling tepat untuk menghilangkan keragu-raguan dan ketidakpastian tersebut adalah dengan melakukan pemungutan suara ulang. Alhasil, dalam sidang pengucapan putusan sela, Kamis (25/2/2016) Mahkamah memerintahkan KPU Kabupaten Kepulauan Sula untuk melakukan pemungutan suara ulang Pilkada Kabupaten Kepulauan Sula Tahun 2015 di 11 TPS.

PHP Kada Kabupaten Teluk Bintuni
Pasangan calon Bupati Teluk Bintuni nomor urut 2, Petrus Kasihiw-Matret Kokop menggugat hasil Pilkada. Kepaniteraan Mahkamah meregistrasi permohonan PHP Kada Kabupaten Teluk Bintuni dengan Nomor 101/PHP.BUP-XIV/2016.
Fakta di persidangan menunjukkan terjadinya pelanggaran berupa pencoblosan ganda yang dilakukan oleh Ketua KPPS di TPS 1 Moyeba, Distrik Moskona Utara. Oleh karena itu, dalam putusan sela yang dibacakan pada Kamis (25/2/2016), Mahkamah memerintahkan KPU Kabupaten Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat, untuk melakukan pemungutan suara ulang di TPS 1 Moyeba, Distrik Moskona Utara.

PHP Kada Kabupaten Muna
Permohonan PHP Kada Kabupaten Muna dilayangkan oleh pasangan calon nomor urut 1, L.M. Rusman Emba-H. Abdul Malik Ditu. Proses persidangan perkara NOMOR 120/PHP.BUP-XIV/2016 ini mengungkap fakta terjadinya pelanggaran dalam penyelenggaraan Pilkada Kabupaten Muna Tahun 2015 di tiga TPS, yaitu TPS 4 Kelurahan Raha I dan TPS 4 Kelurahan Wamponiki, Kecamatan Katobu, serta TPS 1 Desa Marobo, Kecamatan Marobo, Kabupaten Muna.
Telah terbukti secara sah dan meyakinkan terjadi penggunaan hak pilih lebih dari satu kali yang dilakukan oleh Drs. Hamka Hakim dan Marlina D, di TPS 4 Kelurahan Raha I dan TPS 4 Kelurahan Wamponiki Kecamatan Katobu. Padahal keduanya tidak terdaftar sebagai pemilih yang sah di salah satu dari dua TPS tersebut. Alhasil, dalam putusan sela yang dibacakan pada Kamis (25/2/2016), Mahkamah memerintahkan KPU Kabupaten Muna melaksanakan pemungutan suara ulang Pilkada Kabupaten Muna Tahun 2015 di 3 (tiga) TPS, yaitu TPS 4 Kelurahan Raha I dan TPS 4 Kelurahan Wamponiki, Kecamatan Katobu, serta TPS 1 Desa Marobo, Kecamatan Marobo, Kabupaten Muna.

Nur Rosihin Ana
Rubrik Laporan Utama Majalah Konstitusi Nomor 109 • Maret 2016

* Ralat. Dalam Majalah Konstitusi Nomor 109 • Maret 2016, baik edisi cetak maupun PDF, tertulis 150 putusan/ketetapan. Yang benar adalah 149 putusan/ketetapan.
readmore »»  

Kejahatan Demokrasi

Demokrasi merupakan sistem pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem ini bertumpu pada daulat rakyat, bukan daulat pemimpin, daulat pemerintah atau daulat raja. Dalam sistem demokrasi, rakyat adalah pemilik kedaulatan. Adapun amanat yang diemban oleh para wakil rakyat, presiden dan pejabat publik lainnya, adalah bersumber dari rakyat. Rakyat memiliki hak dan kebebasan serta partisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini menempatkan demokrasi sebagai sistem yang dianggap ideal.
Sejatinya demokrasi itu mengacu pada nilai-nilai Pancasila. Yakni sila keempat Pancasila, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Proses musyawarah untuk mencapai mufakat dan sistem perwakilan, merupakan perwujudan demokrasi. Maka tak heran jika sejak awal kemerdekaan, demokrasi telah diterapkan di Indonesia.
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) merupakan ajang kompetisi memperebutkan suara rakyat untuk meraih jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Sebagai ajang kompetisi, pilkada harus diselenggarakan oleh lembaga yang kredibel. Penyelenggara harus memiliki integritas, profesional, mandiri, transparan dan akuntabel, serta tidak berpihak kepada salah satu pasangan calon.
Parameter pilkada berkualitas adalah pilkada yang yang dilaksanakan secara free and fair. Pelaksanaan pilkada yang tidak free and fair, sarat dengan berbagai pelanggaran, menunjukkan penyelenggara pilkada tidak mempunyai integritas, profesionalisme, dan akuntabilatas. Akibatnya, kepala daerah yang terpilih diragukan legitimasinya. Oleh karena itu, pilkada harus diemban oleh para penyelenggara pilkada yang mempunyai moral yang kuat dan bertintegritas. Sebab, penyeleggara pilkada yang tidak mempunyai integritas dan tidak profesional, sangat berpengaruh terhadap keberadaan sistem demokrasi kita.
Pilkada secara serentak tahap pertama tahun 2015 dilaksanakan di 268 daerah. Secara umum, pelaksanaan pilkada berjalan dengan baik, lancar, dan aman. Namun demikian, kontestasi demokrasi lokal ini tak luput dari sengketa. Sebanyak 151 permohonan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (PHP Kada) masuk ke MK. Dari 151 perkara tersebut, 5 perkara diputus pemungutan suara ulang. Mayoritas perkara diputus tidak dapat diterima (136 perkara), 5 perkara ditarik kembali oleh Pemohon, 3 perkara ditolak, dan 2 perkara masih dalam proses.
Mahkamah memerintahkan pencoblosan ulang di lima daerah, yaitu Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Memberamo Raya, Kabupaten Kepulauan Sula, Kabupaten Teluk Bintuni, dan Kabupaten Muna. Perintah pemungutan suara ulang dijatuhkan karena adanya pelanggaran-pelanggaran dalam penyelenggaraan pilkada. Ironisnya, dari lima kabupaten tersebut, tindak pelanggaran Pilkada di empat kabupaten dilakukan oleh penyelenggara, dalam hal ini KPU Kabupaten atau jajarannya. Sedangkan satu kabupaten, yaitu Pilkada Kabupaten Muna, pelanggaran dilakukan oleh dua orang oknum pemilih yang mencoblos lebih dari satu kali.
Seluruh elemen penyelenggara pilkada harus independen, menjaga integritas dan mematuhi peraturan perundang-undangan. Tindakan elemen penyelenggara pilkada di empat daerah tersebut merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Tindakan tersebut telah mengebiri suara rakyat, mencoreng demokrasi yang mulai bersemi di negeri ini. Selayaknya ada ada efek jera bagi mereka. Penyelenggara pilkada yang terbukti melakukan kejahatan demokrasi harus diberi sanksi.
Demokrasi membutuhkan kejujuran, keterbukaan, persatuan, dan pengertian demi kesejahteraan seluruh negeri. Penyelenggaraan Pilkada yang demokratis dapat terwujud apabila dilaksanakan oleh penyelenggara yang mempunyai integritas, profesionalisme, dan akuntabilitas.


Nur Rosihin Ana

Rubrik Editorial Majalah Konstitusi Nomor 109 • Maret 2016
readmore »»  
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More