Harmoni...

Jakarta, September 2010

Harmoni...

Jakarta, Desember 2010

Belahan jiwa

......

...Belahan jiwa...

......

ceria...

Jakarta, 8 Januari 2012

Nora Uzhma Naghata

Bogor, 24 Februari 2011

Nora Uzhma Naghata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Taman Safari Puncak

Bogor, 24 Februari 2011

Bandara Ahmad Yani

Semarang, 28 September 2011

Rileks

*********

Nur Rosihin Ana

Semarang, 19 Oktober 2010

Nur Rosihin Ana

mahkamah dusturiyyah, 18 Juli 2012

Nur Rosihin Ana

Hotel Yasmin, Puncak, Desember 2010

Nora Uzhma Naghata

Naghata

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Demak, 11 September 2011

Nur Rosihin Ana

Nagreg, Bandung 11 Juli 2011

Nora Uzhma Naghata, Sri Utami, Najuba Uzuma Akasyata, Nur Rosihin Ana

Sapa senja di Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Sapa Senja Jepara

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

...bebas, lepas...

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Rabu, 25 November 2015

Proses Seleksi Hakim

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kemerdekaan institusional lembaga peradilan tercermin dalam kebebasan para hakim sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman harus bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan.
Alkisah suatu saat Khalifah Umar ibn Khattab dalam perjalanan ke Madinah. Di suatu dusun di Madinah, Umar melihat seekor kuda yang dijajakan oleh warga. Umar tertarik lalu membeli kuda itu. Setelah transaksi jual-beli selesai, Umar menaiki kuda tersebut. Namun, sekira perjalanan beberapa ratus meter, langkah kuda melambat. Ternyata kaki kuda cedera, sehingga jalannya pincang.
Umar segera berbalik arah menuju kampung tempat di mana dia membeli kuda. Setelah bertemu dengan si penjual kuda, Umar komplain mengenai kondisi kuda yang baru dibelinya. Umar bermaksud mengembalikannya. Namun penjual kuda bersikukuh kuda yang dijualnya dalam kondisi sehat, tidak cacat.
Jual-beli kuda berujung sengketa antara khalifah dengan rakyatnya. Keduanya sepakat menyelesaikan sengketa ke hadapan qadhi (hakim). Tersebutlah seorang qadhi bernama Syuraih bin Al-Haritz Al-Kindi yang menangani perkara ini.
Setelah mendengar keterangan dari kedua belah pihak yang bersengketa, tibalah giliran Qadhi Syuraih menjatuhkan vonis. Qadi Syuraih memutuskan, Khalifah Umar dapat mengambil kuda yang telah dibelinya, atau mengembalikan kuda kepada si penjual seperti kondisi semula.
Vonis yang menempatkan khalifah dalam posisi yang kalah. Khalifah kalah melawan rakyatnya di peradilan. Kendati demikian, Khalifah Umar berlapang dada menerima putusan itu. Bahkan pasca putusan tersebut, Syuraih langsung mendapat promosi. Khalifah Umar mengangkat Syuraih menjadi qadhi di Kufah.
Masih banyak kisah Qadhi Syuraih dalam penyelesaian perkara. Kisah terebut merupakan gambaran penyelesaian perkara yang bersih, jujur, adil, dan berwibawa. Syuraih memutus perkara tanpa pandang bulu. Sepanjang kiprahnya di pengadilan selama kurang lebih 60 tahun, putusan-putusan Syuraih mendapat pujian. Tak heran segenap kalangan baik muslim maupun non muslim mematuhi putusan Syuraih.
Hakim sebagai pelaku kekuasaan kehakiman merupakan ujung tombak penegakkan hukum. Kekuasaan kehakiman menjadi institusi yang merdeka, berwibawa, manakala memiliki hakimhakim yang bersih, jujur dan adil.
Hakim merupakan bagian integral dari sistem kekuasaan kehakiman. Keberadaan institusi peradilan yang merdeka dan berwibawa sangat ditentukan oleh hakimhakim yang berkualitas, berintegritas, serta bernurani keadilan. Maka perlu dilakukan proses seleksi pengangkatan hakim.
Proses seleksi pengangkatan hakim menjadi faktor penting yang sangat menentukan penyelenggaraan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Lalu, lembaga mana yang berwenang melakukan seleksi hakim?
Ketentuan mengenai proses seleksi pengangkatan hakim dalam UndangUndang (UU) Peradilan Umum, UU Peradilan Agama dan UU Peradilan Tata Usaha Negara, dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY). Padahal Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka. Terlebih lagi jika dihubungkan dengan sistem peradilan “satu atap”, maka seleksi dan pengangkatan calon hakim pengadilan tingkat pertama menjadi kewenangan MA. Sistem satu atap lebih menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan kebebasan hakim. Keikutsertaan pemerintah ataupun institusi lain dalam proses seleksi, berpotensi mempengaruhi kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan kebebasan hakim.
Selain itu, Pasal 24B UUD 1945 jelas menyebutkan kewenanngan KY hanyalah dalam proses seleksi hakim agung saja. Dengan demikian, KY tidak berwenang untuk terlibat dalam proses seleksi hakim tingkat pertama. Keberadaan KY adalah sebagai supporting element atau state auxiliary organ. KY merupakan pendukung pelaku kekuasaan kehakiman. Dengan demikian KY sendiri sejatinya bukanlah merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman.
Kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan independensi peradilan memberikan kemerdekaan dan independensi kepada hakim. Tanpa adanya kemerdekaan dan independensi hakim, kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan independensi peradilan tidak akan dapat ditegakkan.

Nur Rosihin Ana

Dalam Rubrik Editorial Majalah “Konstitusi” edisi November 2015
readmore »»  

Senin, 23 November 2015

Menggugat Semangat Importasi dalam UU Peternakan

Sistem zona dalam UU Peternakan telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi. Namun dihidupkan kembali dalam perubahan UU Peternakan. Sistem zona mengusung semangat importasi ternak kian marak. Kesehatan ternak pun ikut terancam.

Putusan Mahkamah Konstitusi yang dibacakan pada 27 Agustus 2010 silam, menyatakan mengabulkan sebagian permohonan pengujian materi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Permohonan ini diajukan oleh Perkumpulan Institute For Global Justice (IGJ), Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI), Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), dkk. Sidang pleno yang diketuai Moh. Mahfud MD kala itu, dalam amar Putusan Nomor 137/PUU-VII/2009 Mahkamah menyatakan frasa, ”Unit usaha produk hewan pada suatu negara atau zona”, dalam Pasal 59 ayat (2); frasa, ”Atau kaidah internasional” dalam Pasal 59 ayat (4); kata ”dapat” dalam Pasal 68 ayat (4) UndangUndang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Selang empat tahun kemudian, tepatnya pada 17 Oktober 2014, diberlakukan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (UU Peternakan). Putusan MK di atas menjadi salah satu dasar perubahan UU Peternakan. Namun, perubahan UU Peternakan ini dituding tidak menaati putusan MK.
Hal tersebut melatarbelakangi permohonan uji materi UndangUndang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (UU Peternakan) ke MK. Permohonan diajukan oleh Teguh Boediyana, Mangku Sitepu, Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), Gun Gun Muhamad Lutfi Nugraha, H. Asnawi, dan H. Rachmat Pambudy. Permohonan ini diregistrasi oleh Kepaniteraan Mahkamah dengan Nomor 129/PUU-XIII/2015.
Para Pemohon berasal dari berbagai latar belakang profesi berbeda. Misalnya Teguh Boediyana adalah peternak sapi. Teguh, GKSI dan Asnawi juga tercatat sebagai salah seorang Pemohon pengujian UU No. 18 Tahun 2009 sebagaimana Putusan MK Nomor 137/PUU-VII/2009 di atas. Mangku Sitepu berprofesi sebagai dokter hewan dan dokter manusia. Mangku menjadi korban dari penyakit hewan yang menular ketika menjalankan profesinya sebagai dokter hewan. Gun Gun Muhamad Lutfi Nugraha adalah Petani dan konsumen daging dan susu segar. Sedangkan Rachmat Pambudy adalah seorang dosen sekaligus konsumen daging dan susu segar.
Para Pemohon yang menamakan diri sebagai kelompok “Save Indonesia” ini merasa dirugikan akibat berlakunya sistem zona dalam UU Peternakan. Adapun materi UU Peternakan yang diujikan yakni, frasa “atau zona dalam suatu negara” dalam Pasal 36C ayat (1), kata “zona” dalam Pasal 36C ayat (3), kata “zona” dalam Pasal 36D ayat (1), dan frasa “ atau zona dalam suatu negara” dalam Pasal 36E ayat (1). Menurut para Pemohon, kata dan frasa dalam pasal-pasal UU Peternakan tersebut bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pembukaan UUD 1945, Pasal 1 ayat (3), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 33 ayat (4).

Pasal 36C ayat (1) UU Peternakan
Pemasukan ternak ruminansia indukan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat berasal dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukannya.

Pasal 36C ayat (3) UU Peternakan
Pemasukan ternak ruminansia indukan yang berasal dari zona sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga harus terlebih dahulu:
a.        Dinyatakan bebas penyakit hewan menular di negara asal oleh otoritas veteriner negara asal sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan badan kesehatan hewan dunia dan diakui oleh otoritas veteriner Indonesia.
b.        Dilakukan penguatan sistem dan pelaksanaan surveilan di dalam negeri; dan
c.         Ditetapkan tempat pemasukan tertentu. Pasal 36D ayat (1) UU Peternakan Pemasukan ternak ruminansia indukan yang berasal dari zona sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36C harus ditempatkan di pulau karantina sebagai instalasi karantina hewan pengamanan maksimal untuk jangka waktu tertentu.

Pasal 36E ayat (1) UU Peternakan
Dalam hal tertentu, dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional, dapat dilakukan pemasukan ternak dan/atau produk hewan dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan ternah dan/ atau produk hewan.

Pembangkangan Putusan MK
Pemohon sangat menyayangkan pembentuk UU No. 41/2014 karena mengabaikan Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat. Rumusan norma tentang penerapan “sistem zona” melalui frasa “atau zona dalam suatu negara” yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh MK, justru dihidupkan kembali dalam UU UU No. 41 Tahun 2014.
Hal tersebut menunjukkan pembuat UU melakukan pembangkangan terhadap konstitusi. Padahal seharusnya pembentuk UU (DPR dan Presiden) memegang teguh asas self respect atau self obidence. Menurut para Pemohon, pembentukan UU No. 41 Tahun 2014 adalah pembentukan UU yang sangat buruk yang mengabaikan keamanan, keselamatan, bahkan melecehkan putusan Mahkamah Konstitusi sebagai jiwa dari Konstitusi itu sendiri.
Makna Zona
Menurut para Pemohon, frasa ”atau Zona dalam suatau negara” menimbulkan pengertian “Negara dapat memasukkan hewan dan produk hewan segar dari zona suatu negara yang pada zona tersebut di anggap memenuhi syarat.” Pemberlakuan sistem zona (zona based) akan berpotensi menimbulkan kerugian bagi pemohoan juga masyarakat Indonesia karena ”tidak ada kepastian apakah hewan dan produk hewan segar yang kemudian masuk ke Indonesia adalah hewan dan produk hewan dari zona yang tadinya sudah dinyatakan aman.”
Suatu zona bebas pada suatu negara berlaku internal di setiap negara masing-masing dan untuk kepentingan negara bersangkutan. Pernyataan adanya zona yang bebas penyakit tertentu tidak berlaku selama-lamanya dan menuntut adanya prosedurprosedur ilmiah dan teknis kesehatan hewan yang berterusan dan tak dapat diintervensi oleh negara lain namun dapat dinilai dan dinyatakan bebas setelah dievaluasi sesuai dengan kode dari Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (World Organization for Animal health/OIE).
Status bebas penyakit ini pun dapat saja hanya berlaku bagi jumlah populasi ternak yang kecil di zona tersebut yang bila diekspor ke negara yang populasinya besar, dapat habis dalam waktu singkat sebelum berhasil meningkatkan populasi di zona tersebut. Dalam keadaan demikian, bukan mustahil bagi negara tersebut untuk memenuhi kuota ekspornya dengan mengambil dari zona lain yang tidak bebas dan hal ini tak dapat dikontrol oleh negara pengimpor.
Dengan memberlakukan sistem zona mengindikasikan penyebaran penyakit menjadi lebih sempit hanya wilayah tertentu dari suatu negara. Padahal faktanya tidak seperti itu, lihatlah penyebaran penyakit yang sekarang hampir mewabah di seluruh dunia. Flu babi, flu burung, dll. Hal ini menunjukkan penyakit hewan menular sangat variatif dan cara penularannya bervariasi berkaitan erat dengan mobilitas manusia, hewan, dan media pembawa lainnya.
Salah satu penyakit yang dikhawatirkan penyebarannya di dunia adalah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dan Penyakit Sapi Gila (Bovine Spongioform Encephalopathy/ BSE). Indonesia berstatus bebas dari penyakit ini. Untuk PMK yang terkategori salah satu penyakit yang ditakuti di dunia umumnya dihadapi dengan importasi hanya dalam bentuk makanan olahan yang lebih mudah penjaminannya (bukan produk segar maupun hewan hidup). Sedangkan pemerintah Indonesia saat ini akan memberlakukan sistim zona untuk memasukkan produk hewan yang segar dan juga produk hewan atau daging olahan sekaligus. Negaranegara lain di dunia yang berstatus bebas PMK yang sekalipun memiliki sistem perlindungan keamanan produk hewan dan kesehatan hewan yang canggih, masih memberlakukan persyaratan maximum security dalam memasukkan hewan atau produk hewan segar dari negara lain dengan membolehkan hanya dari status negara bebas (country base) dan bukan status zona bebas (zone base).
Pemberlakuan sistim zona oleh suatu negara dapat diartikan tidak adanya perlindungan yang pasti atas kesehatan dan keselamatan masyarakat serta jaminan kelangsungan ekonomi para peternak. Kemudian, tidak adanya pengamanan maksimum masuknya hewan dan produk hewan dari negara lain. Sistem zona menjadikan suatu negara tunduk kepada ketentuan yang berlaku pada negara lain tentang status zona aman dan tidak aman, yang berpotensi merugikan negara itu sendiri.
Semangat Importasi
Pemberlakuan sistem zona semata-mata didorong oleh semangat untuk melakukan impor hewan dan produk hewan ke Indonesia dengan mudah, tanpa memperhatikan kesehatan dan keselamatan masyarakat Indonesia dari wabah penyakit menular, serta kemampuan dan kondisi ekonomi peternak dalam negeri. Masuknya PMK ke Indonesia dapat berakibat kerugian pada peternak dan juga jutaan peternak kecil.
Rumusan Pasal 36E UU No. 41 Tahun 2014 ditegaskan dalam penjelasannya, dirumuskan “dalam hal tertentu” termasuk ketika “Masyarakat/ rakyat membutuhkan”. Hal ini jelas merupakan penyelundupan hukum agar pemerintah maupun pihak swasta bisa kapan saja melakukan impor atas hewan maupun produk hewan dari zona manapun, tanpa memperhatikan keamanan dan keselamatan manusia, hewan dan lingkungan di Indonesia. Padahal, alsaan impor adalah karena rakyat membutuhkan dan tidak terpenuhinya bahan di dalam negeri.

Berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, para Pemohon meminta Mahkamah agar menyatakan frasa “atau zona dalam suatu negara” dalam Pasal 26C ayat (1); kata “zona” dalam Pasal 36C ayat (3); kata “zona”, dalam Pasal 36D ayat (1); dan frase“ atau zona dalam suatu negara” dalam Pasal 36E ayat (1) UU Nomor 41 Tahun 2014 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Nur Rosihin Ana
dalam Rubrik "Catatan Perkara" Majalah "Konstiitusi" edisi November 2015.


Update Selasa 7 Februari 2017

Akhirnya Mahkamah pada Selasa, 7 Feberuari mengeluarkan Putusan uji materi UU Peternakan dan Kesehatan Hewan. Putusan ini cukup menyedot perhatian publik karena adanya kasus operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap hakim konstitusi Patrialis Akbar (PA). PA diduga menerima sejumlah uang dari pengusaha berinisial BH berkaitan dengan uji materi UU ini. PA ditangkap KPK di Mal Grand Indonesia, Jakarta, Rabu, 25 Januari 2017.


Putusan Nomor 129/PUU-XIII/2015 ihwal uji materi UU Peternakan dan Kesehatan Hewan dapat diunduh di sini: download

readmore »»  
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More