Harmoni...

Jakarta, September 2010

Harmoni...

Jakarta, Desember 2010

Belahan jiwa

......

...Belahan jiwa...

......

ceria...

Jakarta, 8 Januari 2012

Nora Uzhma Naghata

Bogor, 24 Februari 2011

Nora Uzhma Naghata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Taman Safari Puncak

Bogor, 24 Februari 2011

Bandara Ahmad Yani

Semarang, 28 September 2011

Rileks

*********

Nur Rosihin Ana

Semarang, 19 Oktober 2010

Nur Rosihin Ana

mahkamah dusturiyyah, 18 Juli 2012

Nur Rosihin Ana

Hotel Yasmin, Puncak, Desember 2010

Nora Uzhma Naghata

Naghata

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Demak, 11 September 2011

Nur Rosihin Ana

Nagreg, Bandung 11 Juli 2011

Nora Uzhma Naghata, Sri Utami, Najuba Uzuma Akasyata, Nur Rosihin Ana

Sapa senja di Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Sapa Senja Jepara

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

...bebas, lepas...

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Rabu, 21 Januari 2015

Jerat Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE

Jerat tindak pidana pencemaran nama baik mengancam pengguna dunia maya. Alih-alih menjamin rasa aman dan kepastian hukum, UU ITE dituding menimbulkan rasa takut dan memberangus kreativitas. Adakah yang salah dalam perumusan norma UU ITE?


Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat canggih telah memungkinkan setiap orang untuk dapat berinteraksi, berkomunikasi, bertukar informasi dan bahkan bertransaksi di dunia maya (cyberspace) secara bebas. Keadaan itu turut pula membuat negara berkewajiban memberikan perlindungan dan pemenuhan hak asasi setiap orang yang beraktivitas di dalamnya. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang diberlakukan sejak 21 April 2008 lalu, diharapkan dapat memberikan jaminan keamanan dan kepastian hukum bagi setiap orang dalam pemanfaatan teknologi informasi, media, dan komunikasi agar dapat berkembang secara optimal.Namun, dukungan pengaturan dan infrastruktur hukum itu dapat berakibat negatif dan menghambat pelaksanaan hak-hak asasi manusia lainnya jika terdapat rumusan norma yang tidak jelas, materi muatan yang multi tafsir dan menyebabkan ketidakpastian hukum serta ancaman hukuman yang tidak berkeadilan. Hal ini tercermin dalam Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) UU ITE.
Alih-alih memberikan rasa aman dan kepastian hukum yang adil, Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) UU ITE malah menimbulkan rasa takut dan memberangus kreativitas setiap orang untuk dapat berkembang dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu, norma hukum yang ambigu itu tentu dengan mudah dapat disalahartikan dan rentan disalahgunakan oleh pihak-pihak yang mempunyai kekuasaan. Hal inilah yang mendorong Mohammad Ibrahim untuk mengujikan ketentuan tersebut ke MK. Melalui surat permohonan bertanggal 24 Nopember 2014, calon advokat warga Jl. Kauman Nomor 50 Lawang, Malang, Jawa Timur ini melngajukan judicial review Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) UU ITE.
Mohammad Ibrahim (Pemohon) adalah calon advokat yang sedang magang pada Kantor Advokat Mansyur Sandhita SH dan Rekan yang beralamat di Jalan Lahor No. 9A Malang. Ibrahim juga aktif dalam beberapa jejaring sosial, antara lain Facebook dan Twitter. Aktifitas di medsos memungkinkan Ibrahim banyak mendapatkan informasi elektronik berupa teks, dokumen, gambar maupun link url yang di dalamnya memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama seseorang. Seringkali informasi itu ditransmisikan di jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter.
Rasa takut dan khawatir bergayut ketika ia sekedar menyebarluaskan informasi secara online di dunia maya. Padahal apa yang dilakukannya adalah untuk meningkatkan kualitas diri dengan cara menyatakan gagasan dan pemikiran melalui berbagai saluran yang tersedia seperti Facebook dan Twitter.
Pasal 27 ayat (3) UU ITE menyatakan, “Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Pasal 45 ayat (1) UU ITE menyatakan, “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Ketentuan Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) UU ITE merugikan hak konstitusional Ibrahim untuk beraktivitas di dunia maya, hak mengembangkan diri, hak untuk memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi dan hak untuk menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Selain itu, Ibrahim juga menganggap rumusan Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) UU ITE tidak jelas, multitafsir dan ambigu, rentan disalahgunakan dan tidak berkeadilan.
Norma Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) UU ITE ini telah menimbulkan banyak korban. Misalnya kasus Ronny Maryanto. Ronny adalah aktivis penggiat antikorupsi, ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Unit Cyber Crime Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri. Ia dijerat dengan Pasal 310 dan 311 KUHP tentang Pencemaran Nama Baik dan Fitnah jo Pasal 27 Ayat (3) UU ITE dan Pasal 45 ayat (1) UU ITE. Kemudian, Kasus Ervani Emy Handyani yang menumpahkan unek-unek di facebook sehingga berujung penetapan Ervany sebagai tersangka tindak pidana pencemaran nama baik dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE.
Peristiwa yang cukup mengundang perhatian publik muncul ketika terjadi kasusPrita Mulyasari. Prita adalah seorang pasien merasa tidak puas dengan pelayanan kesehatan di RS Omni Internasional Tangerang pada tahun 2008. Prita kemudian mengirimkan email sebagai ungkapan kekecewaan ke sejumlah orang. Akibatnya cukup fatal, Prita ditetapkan sebagai tersangka didakwa atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE jo Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP.
Norma Pasal 45 ayat (1) UU ITE menunjukkan bahwa lamanya pidana penjara dan banyaknya denda yang diancamkan kepada pelanggar Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) adalah sama. Padahal keempat ayat yang terdapat dalam Pasal 27 UU ITE itu mengatur tentang delik yang berbeda sama sekali.
Pasal 27 ayat (1) mengatur adanya unsur memiliki muatan yang melanggar kesusilaan; Pasal 27 ayat (2) menentukan adanya unsur memiliki muatan perjudian; Pasal 27 ayat (3) merumuskan adanya unsur memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik; dan Pasal 27 ayat (4) menyatakan adanya unsur memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.
Inkonstitusional Bersyarat
Guna memberikan perlindungan atas hak-hak konstitusional Pemohon dan untuk menyelaraskan dengan hukum yang akan berlaku di masa mendatang (Ius Constituendum), maka sudah sepatutnya Pasal 45 ayat (1) UU ITE dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat (conditionally unconstitutional). Artinya inkonstitusional, kecuali dimaknai dan Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah).
Oleh karena itu, dalam petitum, Ibrahim meminta MK Menyatakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat (conditionally unconstitutional), artinya inkonstitusional, kecuali dimaknai dengan maksud menyerang kehormatan dan nama baik seseorang serta bukan untuk kepentingan umum. Kemudian menyatakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE selengkapnya harus dibaca, “Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dengan maksud menyerang kehormatan dan nama baik seseorang serta bukan untuk kepentingan umum.”
Ibrahim juga meminta MK menyatakan Pasal 45 ayat (1) UU ITE bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum tetap secara bersyarat (conditionally unconstitutional), artinya inkonstitusional, kecuali dimaknai, dan Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah). Selanjutnya meminta MK menyatakan Pasal 45 ayat (1) UU ITE selengkapnya harus dibaca, Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah).

Nur Rosihin Ana

Rubrik Catatan Perkara, Majalah Konstitusi No. 95 januari 2015, hal 44-45
readmore »»  

Selasa, 20 Januari 2015

Refleksi

Jejak langkah MK dalam menjaga denyut nadi konstitusi selama 2014 patut menjadi refleksi sekaligus bahan evaluasi dalam rangka peningkatan kualitas kinerja di masa berikutnya. Sejak berdiri 11 tahun yang lalu, MK pernah mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat. Hal ini bermula dari kasus yang menimpa mantan Ketua MK M. Akil Mochtar, kala usia MK memasuki satu dasarwarsa. Seketika lentera MK meredup malam itu, Rabu, 2 Oktober 2013. Akil Mochtar terjerat operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di rumah dinas Ketua MK.
Memilukan, panas dalam satu dasawarsa dihapus hujan semalam. Akil berulah, seluruh jajaran MK terkena getah. Sejarah telah menorehkan noktah hitam pada lembaga MK. Bukan hal mudah membangun kembali kepercayaan masyarakat pencari keadilan di antara serpihan puing yang terserak. Sayap-sayap independensi dan imparsialitas hakim serasa patah dihantam krisis kepercayaan.
Badai berlalu. Ujian yang menimpa MK berangsur surut. Muruah mahkamah berangsur pulih. Tiang pancang konstitusi kembali tegak. Sembilan hakim konstitusi dengan daya dukung Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal berupaya maksimal mengikis krisis kepercayaan terhadap MK. Independensi dan imparsialitas yang dituangkan MK dalam setiap putusannya, cukup memberi kesan kepada rakyat Indonesia, bahwa lembaga ini masih layak untuk kembali mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.
Tahun 2014 merupakan tahun politik. Dua agenda besar berskala nasional digelar pada 2014, yaitu pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden/wakil presiden (Pilpres). Pileg digelar pada 9 April 2014. Berselang tiga bulan kemudian, tepatnya pada 9 Juli 2014, digelar Pilpres.
Pelaksanaan Pemilu 2014 menjadi indikasi bahwa bangsa Indonesia kian dewasa dalam berdemokrasi. Sukses Pemilu 2014 merupakan hasil kerja keras seluruh pihak, termasuk di dalamnya peran MK sebagai lembaga pengawal konstitusi dan demokrasi.
Hasil Pileg dan Pilpres yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyisakan sengketa di MK. Seluruh elemen di MK bergerak cepat, tepat, dan akurat berpacu dengan waktu 30 hari kerja menangani perselisihan hasil Pileg 2014. Begitu pula saat menangani pilpres. Tenggat waktu 14 hari kerja bukanlah waktu yang luang untuk menyelesaikan perkara sengketa Pilpres.
Sepanjang 2014, MK telah melaksanakan tiga kewenangan konstitusional dari empat kewenangan dan satu kewajiban yang dimilikinya. Tiga kewenangan dimaksud yaitu menguji konstitusionalitas UU, memutus perkara SKLN, dan memutus perselisihan hasil Pemilu yang meliputi Perselisihan Hasil Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (PHPU Kada), Pileg dan Pipres.
Proses peradilan yang cepat, bersih, transparan, imparsial dan memberikan putusan yang menjunjung tinggi prinsip keadilan, menjadi modal MK untuk bangkit dari keterpurukan. Selain itu, dalam menegakkan keadilan, MK mengedepankan keadilan substantif, yaitu keadilan yang lebih didasarkan pada kebenaran material/substansi daripada hanya kebenaran formal/prosedural.
Ikhtiar dan ijtihad telah ditempuh MK dalam menangani permasalahan hukum dan ketatanegaraan. Wujud dari ikhtiar dan ijtihad MK adalah berupa putusan yang betul-betul mencerminkan keadilan substansial.

Editorial Majalah Konstitusi No. 95 januari 2015
readmore »»  
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More