Harmoni...

Jakarta, September 2010

Harmoni...

Jakarta, Desember 2010

Belahan jiwa

......

...Belahan jiwa...

......

ceria...

Jakarta, 8 Januari 2012

Nora Uzhma Naghata

Bogor, 24 Februari 2011

Nora Uzhma Naghata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Taman Safari Puncak

Bogor, 24 Februari 2011

Bandara Ahmad Yani

Semarang, 28 September 2011

Rileks

*********

Nur Rosihin Ana

Semarang, 19 Oktober 2010

Nur Rosihin Ana

mahkamah dusturiyyah, 18 Juli 2012

Nur Rosihin Ana

Hotel Yasmin, Puncak, Desember 2010

Nora Uzhma Naghata

Naghata

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Demak, 11 September 2011

Nur Rosihin Ana

Nagreg, Bandung 11 Juli 2011

Nora Uzhma Naghata, Sri Utami, Najuba Uzuma Akasyata, Nur Rosihin Ana

Sapa senja di Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Sapa Senja Jepara

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

...bebas, lepas...

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Selasa, 21 Oktober 2014

Nasib Tenaga Honorer

Selaksa asa dan cita mewarnai derap langkah para tenaga honorer dalam khidmah dan bakti kepada negara. Bahkan rasa cemas dan takut pun bergayut di sudut tak bertepi menanti kepastian pengangkatan. Tenaga Honorer ingin dihargai secara wajar, bermartabat sebagaimana layaknya para pegawai negeri sipil, pegawai sipil, dan pengabdian lainnya.


Era otonomi daerah memberikan kewenangan manajemen kepegawaian tidak lagi sentralistik. Semua kewenangan yang merupakan kewenangan daerah, dan tugas-tugas desentralisasi yang semula terpusat, menjadi kewenangan daerah. Salah satu implikasinya yaitu terjadi perubahan terutama yang berkaitan dengan penerimaan dan pengangkatan pegawai menjadi kewenangan daerah.
Kewenangan daerah terukir dalam Pasal 76 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan “Daerah mempunyai kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan pegawai, serta pendidikan dan pelatihan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah, Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan”.
Dalam rangka penyempurnaan manajemen, pada 2004 terbit Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hadirnya UU 32/2004 ini yang mencabut dan menyatakan tidak berlaku Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah karena tidak mampu mengakomodasikan kebutuhan yang berubah dengan cepat.

Pengangkatan Pegawai
Berkaitan dengan manajemen Pegawai Negeri Sipil Daerah, dalam Pasal 129 ayat (2) UU 32/2004 terdapat frasa yang menggelitik yaitu “…meliputi penetapan formasi, pengangkatan, pemindahan, …kedudukan hukum, pengembangan kompetensi, dan pengendalian jumlah.” Kemudian pada Pasal 132 mengesankan hanya penetapan formasi yang harus berkoordinasi dengan Menpan melalui Gubernur. Berlakunya UU 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara tegas menyatakan pada pasal 137 mencabut ketentuan UU 32/2004 pada bab V Kepegawaian Daerah mulai Pasal 129 hingga Pasal 135 dan peraturan pelaksanaannya.
Sementara itu, Pada Pasal 2 ayat (3) UU 43/1999 jo UU 8/1974 tentang Pokok Pokok Kepegawaian, tertera jelas adanya perkenan bagi pejabat yang berwenang untuk mengangkat pegawai tidak tetap. Pada bagian penjelasannnya, yang dimaksud dengan pegawai tidak tetap adalah “Pegawai yang diangkat untuk jangka waktu tertentu guna melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan yang bersifat teknis profesional dan administrasi sesuai kebutuhan dan kemampuan organisasi. Pegawai tidak tetap tidak berkedudukan sebagai pegawai negeri. Selain itu, terdapat restriksi seperti yang tertera pada Pasal 1 angka 6 terutama pada kalimat berupa “Jabatan karier adalah jabatan struktural dan fungsional yang hanya dapat diduduki oleh Pegawai Negeri Sipil.”
UU Kepegawaian menimbulkan kekosongan hukum bagi tenaga honorer/pegawai tidak tetap serta tidak mengatur mengenai jaminan bagi tenaga honorer. Begitu pula peraturan pelaksananya.

Posisi Tenaga Honorer

Pada 15 Januari 2014 terbit Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Berlakunya UU ASN khususnya yang mengatur Pengadaan PNS merupakan pengganti UU Kepegawaian yang mengatur tentang PNS. Namun, UU ASN juga tidak memberikan pengaturan lebih lanjut mengenai tenaga honorer. UU ASN hanya mengatur mengenai pembagian Aparatur Sipil Negara yang terdiri dari PNS dan PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja). Bahkan pengaturan mengenai PPPK ini pun tidak mewadahi nasib tenaga honorer non kategori atau tidak termasuk ke dalam kategori PNS maupun PPPK.
Hal tersebut mengundang keberatan Forum Perjuangan Honorer Indonesia (FPHI) Korda Ponorogo yang dalam hal ini diwakili oleh Rochmadi Sularsono, seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pemda Kabupaten Ponorogo. Keberatan dilampiaskan ke MK melalui permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Kepaniteraan MK meregistrasi permohonan ini pada Rabu (3/9/2014) dengan Nomor 86/PUU-XII/2014. Adapun materi UU ASN yang dimohonkan untuk diuji di MK yaitu Pasal 2 huruf (a) “kepastian hukum”, huruf (j) “non diskriminatif” serta huruf (l) “keadilan dan kesetaraan”, Pasal 6, Pasal 58 ayat (3) terutama pada kata “seleksi” serta pasal 67 terutama pada frasa kata “Ketentuan lebih lanjut mengenai pengadaan PNS … diatur oleh Peraturan Pemerintah” serta Pasal 129 ayat (2). Menurut Pemohon ketentuan dalam UU ASN ini bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Pasal 2 huruf a, huruf j, dan huruf l UU ASN menyatakan, Penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN berdasarkan pada asas: (a) kepastian hukum; (j) nondiskriminatif; (l) keadilan dan kesetaraan.”
Pasal 58 ayat (3) UU ASN menyatakan, Pengadaan PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tahapan perencanaan, pengumuman lowongan, pelamaran, seleksi, pengumuman hasil seleksi, masa percobaan, dan pengangkatan menjadi PNS.”
Pasal 129 ayat (2) UU ASN menyatakan, “Upaya administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari keberatan dan banding administratif.”
Menurut Pemohon, pengangkatan tenaga honorer terutama pada frasa kata baik “teknis fungsional maupun administrasi” seperti yang tertera pada UU 43/1999 bilamana digabungkan dengan UU 14/2005 tentang guru dan dosen, UU 36/2009 tentang Kesehatan, dan UU 44/2009 tentang Rumah Sakit, tidak memiliki payung hukum yang kokoh. Selain itu bertentangan dengan UU 13/2003 tentang ketenagakerjaan Pasal 59 ayat (2) pada frasa “tidak terdapat perkenan melakukan kontrak kerja berbatas waktu bilamana sifat kerjanya tetap” serta ayat (7) terutama frasa “… demi hukum menjadi pagawai tetap” khususnya yang memiliki masa pengabdian diatas tiga tahun terus menerus.

Hak Mengabdi dan Berprofesi

Pengadaan PNS pada Pasal 58 ayat (3) UU ASN kata “seleksi” serta Pasal 67 pada frasa “Diatur dengan Peraturan Pemerintah” serta pasal 139 yang intinya semua produk hukum yang bersifat pengaturan UU 8/1974 jo UU 43/1999 tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang Undang ini. Khusus menyangkut prasyarat penerimaan CPNS, ketentuan tersebut menjadikan tenaga honorer baik yang baru diangkat sebagai CPNS semenjak diberlakukannya UU ASN, tenaga honorer yang masih tersisa baik K 1 ataupun K 2 serta tenaga honorer non katagori, terhambat nasibnya sebagai CPNS khususnya pada tenaga non katagori yang penerimaannya antara tanggal 4 Januari sampai dengan 11 November 2005 serta mulai 11 November 2014 hingga akhir 2011, karena prasyarat usia terutama bagi yang lama pengabdiannya dan/atau berpendidikan setara Sarjana.
Restriksi yang ada telah mematikan hak untuk mengabdi dan berprofesi sebagai PNS atau setidak-tidaknya bukan menjadi pegawai tidak tetap yang mengabdi pada negara. Padahal tenaga honorer yang memiliki sifat kerja tetap itu berasal dari UU, Peraturan Pemerintah (PP). Namun UU dan PP pula yang meniadakan kesempatan menjadi PNS.
Ciri negara hukum adalah adanya jaminan terhadap HAM warga negaranya. Salah satunya adalah persamaan dalam Hukum (Equality before the law). Adanya Affirmative Actions (tindakan khusus yang bersifat sementara) yang mengizinkan berlakunya kebijakan penerimaan tenaga honorer, bukan berarti penghilangan atas hak dasar yang melekat pada tenaga honorer lainnya dalam hal ini tenaga honorer non katagori.
Pemohon dalam petitum antara lain meminta Mahkamah agar menyatakan UU ASN Bagian (3) manajemen PNS terutama Paragraf 2 kata “Pengadaan” pada Pasal 58 ayat (3) terutama kata “seleksi” sepanjang tidak mencantumkan “perkenan pemerintah untuk mengangkat langsung Pegawai Negeri Sipil bagi mereka yang mengabdi pada instansi yang menunjang kepentingan nasional”. Bagian penjelasannya terutama frasa kata “ …sangat selektif …berjasa dan diperlukan bagi negara” bukannya “dan/atau”, maka sepanjang itu pula Pasal 58 ayat (3) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Hal ini agar kontinuitas kebijakan terjamin khususnya bagi tenaga honorer baik K1 ataupun K2 ataupun dokter dan tenaga tertentu lainnya yang ada pada PP 56/2012 yang memenuhi prasyarat pada Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta ayat (4) dan ayat (8) dan yang terutama lulus tes namun belum diangkat sepanjang telah diberlakukan UU ASN.
Kemudian menyatakan UU ASN Pasal 2 huruf (2) huruf a. kepastian hukum, j. non diskriminatif serta l. keadilan dan kesetaraan sepanjang tidak mengatur baik berujud bagian/Pasal/ayat tersendiri tenaga honorer yang diangkat oleh pejabat yang berwenang termasuk dalam hal ini oleh satuan pendidikan baik yang bersifat teknis fungsional maupun administrasi diluar ketentuan tanggal 3 Januari 2005 hingga penerbitan PP 48/2005 dan kehilangan kesempatan disebut tenaga K1 atau K2 maka sepanjang itu pula UU ASN Pasal 2 huruf (a) kepastian hukum, huruf (j) non diskriminatif serta (l) keadilan dan kesetaraan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Pemohon juga meminta Mahkamah menyatakan bahwa UU ASN pada Bagian keempat manajemen PPPK sepanjang tidak mengatur tenaga honorer di luar ketentuan yang ada pada PP 48/2005 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat bilamana pada sifat kerja yang tetap tidak ada pengaturan khusus yang dimulai pada tahun 2012 karena bertentangan dengan Asas Kepastian Hukum dan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) hingga ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2).


Nur Rosihin Ana

(Majalah Konstitusi No. 92 – Oktober 2014)
readmore »»  

Senin, 20 Oktober 2014

Perusahaan Pailit Harus Dahulukan Upah Buruh

Manakala sebuah perusahaan ditimpa pailit, maka upah dan hak-hak pekerja/buruh harus didahulukan pembayarannya. Namun dalam pelaksanaan putusan pailit, kata “didahulukan” ditempatkan setelah pelunasan terhadap hak-hak negara dan para kreditor separatis (pemegang hak tanggungan, gadai, fidusia, hipotik). Titah Mahkamah, pembayaran upah pekerja/buruh didahulukan atas semua jenis kreditor, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah.


Pemerintah RI pada 25 Maret 2003 mengesahkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), yang tercatat dalam Lembaran Negara Nomor 39 Tahun 2003. UU Ketenagakerjaan mengatur tentang hak dan kewajiban dalam suatu hubungan industrial sekaligus juga mengatur tentang ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam hal terjadinya perselisihan dalam hubungan industrial.
Salah satu pasal dalam UU Ketenagakerjaan yaitu Pasal 95 ayat (4) menyatakan; “Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya”
Berdasarkan ketentuan Pasal 95 ayat (4) di atas, upah dan hak-hak lainnya dari para pekerja/buruh merupakan utang yang “didahulukan” pembayarannya. Namun dalam pelaksanaan putusan pailit, kata “didahulukan” ditempatkan setelah pelunasan terhadap hak-hak negara dan para kreditor separatis yang merujuk Buku Dua Bab XIX KUH Perdata dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 yang diubah oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994. Di sini, hak negara ditempatkan sebagai pemegang hak posisi pertama, diikuti oleh kreditor separatis (pemegang hak tanggungan, gadai, fidusia, hipotik).
Ketentuan pasal tersebut dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapannya. Tak ayal hal ini membuat sembilan karyawan PT Pertamina melakukan aksi uji materi UU Ketenagakerjaan ke MK. Mereka mengajukan permohonan dengan surat permohonan bertanggal 17 Juni 2013. Kepaniteraan MK meregistrasi permohonan pada 27 Juni 2013 dengan Nomor 67/PUU-XI/2013.
Kesembilan karyawan PT Pertamina dimaksud yaitu, Otto Geo Diwara Purba, Syamsul Bahri Hasibuan, Eiman, Robby Prijatmodjo, Macky Ricky Avianto, Yuli Santoso, Joni Nazarudin, Piere J Wauran, dan Maison Des Arnoldi. Para Pemohon ini memohon kepada MK agar menguji konstitusionalitas frasa “yang didahulukan pembayarannya” dalam Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan tentang pelunasan utang dalam hal perusahaan dinyatakan pailit yang tidak mendahulukan pembayaran upah pekerja/buruh, melainkan mendahulukan pembayaran (1) utang negara dan biaya kurator, (2) kreditor separatis pemegang jaminan gadai, fidusia, dan/atau hak tanggungan, (3) kreditor preferen, dan (4) kreditor konkuren.
Para Pemohon mengaku berpotensi menjadi “korban” pemberlakuan Pasal 95 UU Ketenagakerjaan, jika perusahaan tempat mereka bekerja mengalami pailit. Ketentuan pasal ini tentu dapat menyulitkan para Pemohon dalam menuntut hak-hak mereka kelak apabila diperhadapkan dengan kreditor lainnya. “Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menurut Para Pemohon, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 karena berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pekerja,” kata Janses Sihaloho saat bertindak sebagai kuasa para Pemohon dalam persidangan perdana di MK, Selasa (16/7/2013).
Tanpa adanya penafsiran yang tegas terhadap pemberlakuan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan, selain berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, juga merupakan pengingkaran hak-hak para Pemohon selaku pekerja dan pekerja lainnya yang bekerja di perusahaan tempat mereka bekerja yang sedang mengalami pailit berdasarkan putusan pengadilan.

Praktik Kontradiktif

Ketentuan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan memang mewajibkan perusahaan yang pailit harus mendahulukan pemenuhan hak-hak pekerja seperti pesongan dan hak-hak lainnya. Namun, dalam praktik, terdapat urutan peringkat penyelesaian tagihan kreditor setelah selesainya kreditor separatis, dimana upah buruh masih harus menunggu urutan setelah tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah untuk didahulukan. Praktik yang kontradiktif ini tertuang dalam Pasal 1134 ayat (2) juncto Pasal 1137 KUH Perdata dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Dalam Pasal 1149 KUH Perdata, piutang buruh terhadap perusahaan/majikan berkedudukan sebagai kreditor/piutang preferen, sehingga dengan dinyatakan pailitnya debitor tidak akan menghilangkan hak-hak buruh sebagai kreditor terhadap perusahaan tersebut. Buruh dapat menuntut pembayaran upahnya sebagai kreditor dengan mengajukan tagihan kepada kurator yang ditunjuk oleh Pengadilan Niaga yang bertugas untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit. Kurator mendahulukan pembayaran upah buruh sebagai kreditor preferen dari hasil penjualan boedel pailit daripada pembayaran kepada kreditor konkuren.
Praktik kontradiktif lainnya yaitu dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (UU Perasuransian), di mana pemegang polis asuransi didahulukan terhadap hak-hak buruh. Pasal 20 ayat (2) UU Perasuransian menyatakan bahwa: “Hak pemegang polis atas pembagian harta kekayaan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa yang dilikuidasi merupakan hak utama.”

Alasan Prioritas

Lalu, apa alasan hak-hak pekerja harus diproritaskan? Menurut para Pemohon, pekerja merupakan kelompok yang menggantungkan kehidupannya dan keluarganya kepada perusahaan tempat dia bekerja. Hampir semua pekerja yang dikenakan pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak dapat lagi bekerja di perusahaan lain yang disebabkan oleh beberapa hal seperti masalah umur dan lapangan kerja yang terbatas. Artinya, hak-hak pekerja seperti pesangon merupakan modal utama untuk melanjutkan hidup untuk kehidupan pekerja dan keluarganya.
Bila dibandingkan dengan pemegang polis asuransi, maka ketergantungan pemegang polis asuransi terhadap dana asuransi tidaklah se-vital pesangon atau hak-hak buruh. Sebab asuransi diperuntukkan untuk meng-cover risiko yang mungkin terjadi bagi pemegang asuransi. Sedangkan pesangon dipergunakan untuk penghidupan pekerja.
Kemudian bila dibandingkan dengan pemegang hak tanggungan dan pemegang fidusia, maka kedudukan pekerja jauh lebih lemah dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan pemegang hak tanggungan yang tentunya mempunyai dana dan kemampuan lebih untuk hidup dibandingkan dengan pekerja.
Begitu pula bila dibandingkan dengan piutang-piutang negara seperti pajak, tentu posisi pekerja sangat lebih lemah dan lebih penting untuk didahululan, mengingat pajak itu pun secara hukum akan tetap dikembalikan untuk kepentingan masyarakat yang tentunya termasuk pekerja di dalamnya. “Sangat tidak logis piutang negara diutamakan dibanding pekerja karena bagaimana pun negara bertanggung jawab secara konstitusional terhadap jaminan hidup yang layak bagi warga negara, termasuk pekerja. Berdasarkan prinsip perlakuan khusus terhadap pihak yang lemah, maka selayaknyalah dan sepatutnyalah hak pekerja didahulukan dari semua kreditor,” jelas Janses Sihaloho berargumen.
Tidak adanya jaminan kepastian hukum bagi pekerja sebagaimana diuraikan di atas, maka ketentuan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan sepanjang frasa “didahulukan pembayarannya” menimbulkan multitafsir. Selain itu, menempatkan pekerja dalam posisi yang lemah dan tidak equal dengan para kreditor separatis yang dalam praktik lebih didahulukan pembayarannya.
Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan merupakan norma yang belum jelas dan belum tegas tafsirnya, mengingat belum jelas apa yang dimaksud dengan klausula “…didahulukan pembayarannya”. Sebabnya, meskipun upah dan hak-hak buruh dijamin dalam hal terjadinya pailit atau likuidasi perusahaan, namun posisi pekerja selaku kreditor preferen khusus, menjadi rentan karena masih menunggu pembayaran bagi kreditor separatis dalam hal terjadinya kepailitan. Dengan demikian salah satu pihak yang dijaminkan haknya selama proses pailit itu yaitu para buruh dan pekerja menjadi terabaikan hak asasi manusianya untuk mendapatkan penghidupan yang layak dan imbalan yang sesuai dengan kerjanya.
Untuk diketahui, saat perusahaan pailit, kreditor akan terbagi kedalam 3 bagian yaitu kreditor separatis, kreditor preference dan kreditor konkuren. Buruh merupakan kreditor preference, yang pembayaran hak-haknya dilakukan setelah tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah. Posisi atau kedudukan buruh selaku kreditor preference yang masih menunggu urutan peringkat pembayaran setelah tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah adalah merupakan suatu kedudukan yang bertentangan dengan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan.
Akibat dari tidak jelasnya penafsiran Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan, maka dengan sendirinya juga menimbulkan ketidakadilan terhadap salah satu pihak karena tidak mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, para Pemohon dalam petitumnya meminta Mahkamah menyatakan frasa “didahulukan pembayarannya” dalam Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan adalah inkonstitusional, kecuali bila ditafsirkan bahwa pelunasan upah dan hak-hak pekerja mendahului semua jenis kreditor baik kreditor separatis/istimewa, kreditor preference, pemegang hak tanggungan, gadai dan hipotik dan kreditor bersaing (concurent).
Untuk memperkuat dalil permohonan, para Pemohon mengusung bukti-bukti yaitu bukti P-1 sampai P-9. Para Pemohon dalam persidangan yang digelar pada Selasa (10/9/2013) juga menghadirkan dua ahli yaitu Timboel Siregar dan Yogo Pamungkas.

Hak Tagih

Politik hukum pembentukan UU 13/2003 adalah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Politik hukum ketenagakerjaan adalah untuk meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan merata, baik materiil maupun spiritual. Oleh karena itu, pengaturan ketenagakerjaan dalam UU Ketenagakerjaan harus memenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh serta pada saat yang sama harus dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan usaha. Selain itu, pembinaan hubungan industrial harus diarahkan untuk mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan.
Pengujian konstitusionalitas yang dimohonkan para Pemohon ini memiliki kesamaan substansi dengan pengujian konstitusionalitas Pasal 29, Pasal 55 ayat (1), Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 138 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 18/PUU-VI/2008, tanggal 23 Oktober 2008. Pertimbangan Mahkamah dalam putusan ini antara lain menyebutkan bahwa pernyataan pailit oleh hakim adalah merupakan satu peletakan sita umum (algemene beslag) terhadap seluruh harta kekayaan seorang debitor. Tujuannya adalah supaya dapat membayar semua tagihan kreditor secara adil, merata, dan seimbang. Mahkamah juga mempertimbangkan bahwa kedudukan pekerja/buruh dalam perusahaan merupakan salah satu unsur yang sangat vital dan mendasar yang menggerakkan proses usaha. Unsur lain yang memungkinkan usaha bergerak adalah modal, yang juga merupakan unsur yang esensial. Dalam membuat kebijakan hukum, hak-hak pekerja/buruh tidak boleh termarginalisasi dalam kepailitan, namun tidak boleh mengganggu kepentingan kreditor (separatis) yang telah diatur dalam ketentuan hukum jaminan baik berupa gadai, hipotek, fidusia, maupun hak tanggungan lainnya.
Menurut Mahkamah, dasar hukum bagi adanya hak tagih masing-masing kreditor ternyata sama, kecuali bagi hak tagih negara. Dasar hukum bagi kreditor separatis dan bagi pekerja/buruh adalah sama, yaitu perjanjian yang dilakukan dengan debitor. Mengenai dasar hukum kewajiban kenegaraan adalah peraturan perundang-undangan. Adapun mengenai dasar hukum bagi adanya peringkat atau prioritas pembayaran sebagaimana pertimbangan Putusan Nomor 18/PUU-VI/2008 tersebut di atas, adalah karena adanya perbedaan kedudukan yang disebabkan oleh isi perjanjian masing-masing berhubung adanya faktor-faktor tertentu. Meskipun antara kreditor separatis dan pekerja/buruh dasar hukumnya adalah sama, yaitu perjanjian, namun manakala dilihat dari aspek lain, yaitu aspek subjek hukum yang melakukan perjanjian, objek, dan resiko, antara keduanya terdapat perbedaan yang secara konstitusional signifikan.

Hubungan Pengusaha-Pekerja

Dalam aspek subjek hukum, perjanjian gadai, hipotik, dan fidusia serta perjanjian tanggungan lainnya, merupakan perjanjian yang dilakukan oleh subjek hukum, yaitu pengusaha dan pemodal. Secara sosial ekonomis para pihak tersebut dapat dikonstruksikan sama. Terlebih lagi pemodal, yang boleh jadi adalah pengusaha juga. Sebaliknya, perjanjian kerja merupakan perjanjian yang dilakukan oleh subjek hukum yang berbeda, yaitu pengusaha dan pekerja/buruh.
Pengusaha dan pekerja/buruh, secara sosial ekonomis tidaklah sejajar. Pengusaha tentu lebih kuat dan lebih tinggi, bila dibandingkan pekerja/buruh. Meskipun demikian, antara pengusaha dan pekerja/buruh saling memerlukan. Perusahaan tidak akan berproduksi tanpa pekerja/buruh. Begitu pula pekerja/buruh tidak dapat bekerja tanpa ada pengusaha. Oleh karena itu, hak-hak pekerja/buruh telah dijamin oleh UUD 1945. “Maka Undang-Undang harus memberikan jaminan perlindungan untuk dipenuhinya hak-hak para pekerja/buruh tersebut,” kata Hakim Konstitusi Patrialis Akbar membacakan Pendapat Mahkamah dalam Putusan Nomor 67/PUU-XI/2013, Kamis (11/9/2014).
Dalam aspek objek, perjanjian gadai, hipotik, fidusia, dan perjanjian tanggungan lainnya yang menjadi objeknya adalah properti. Sementara itu, perjanjian kerja yang menjadi objeknya adalah tenaga atau keterampilan (jasa) dengan imbalan jasa dalam kerangka untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup bagi diri dan keluarga pekerja/buruh. Antara kedua aspek ini memiliki perbedaan yang mendasar, yaitu properti dan manusia. Pertanyaannya adalah bagaimana perbedaan tersebut terkait dengan apa yang sejatinya dilindungi oleh hukum. Pembentukan hukum jelas dimaksudkan untuk melindungi kepentingan manusia. Dalam kasus ini manakah yang seharusnya menjadi prioritas. Kepentingan manusia terhadap properti atau kepentingan manusia terhadap diri dan kehidupannya. Apalagi berdasarkan sistem pembayaran upah pekerja/buruh dalam kegiatan usaha yang dibayar sebulan setelah pekerja melaksanakan pekerjaan, hal ini merupakan argumentasi tersendiri karena upah pekerja/buruh sesungguhnya adalah hutang pengusaha kepada pekerja/buruh, yang seharusnya harus dibayar sebelum kering keringatnya. “Menurut Mahkamah, kepentingan manusia terhadap diri dan kehidupannya haruslah menjadi prioritas, harus menduduki peringkat terdahulu sebelum kreditor separatis,” lanjut Patrialis.
Dalam aspek risiko, bagi pengusaha, risiko merupakan hal yang wajar dalam pengelolaan usaha, Risiko merupakan hal yang menjadi pertimbangan pengusaha ketika melakukan usaha. Risiko bukan ruang lingkup pertimbangan pekerja/buruh.
Sementara itu, bagi pekerja/buruh upah merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi diri dan keluarganya. Sehingga menjadi tidak tepat manakala upah pekerja/buruh tersebut menduduki peringkat yang lebih rendah dengan argumentasi yang dikaitkan dengan risiko yang bukan ruang lingkup pertimbangannya. “Adalah tidak adil mempertanggungkan sesuatu terhadap sesuatu yang ia tidak turut serta dalam usaha,” jelas Patrialis.

Selain Upah Tidak Prioritas

Menurut Mahkamah, hak-hak pekerja/buruh yang lainnya adalah tidak sama atau berbeda dengan upah pekerja/buruh. Upah pekerja/buruh secara konstitusional berdasarkan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 merupakan hak konstitusional. Oleh karena itu, adalah hak konstitusional pula untuk mendapat perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Adapun hak-hak pekerja/buruh lainnya tidaklah demikian. Implikasi hukumnya adalah wajar bila terkait dengan pembayaran dimaksud hak tersebut berada pada peringkat di bawah kreditor separatis. Sementara itu, mengenai kewajiban terhadap negara hal tersebut adalah wajar manakala berada pada peringkat setelah upah pekerja/buruh. Argumentasinya antara lain adalah karena negara memiliki sumber pembiayaan lain. Sedangkan bagi pekerja/buruh upah adalah satu-satunya sumber untuk mempertahankan hidup bagi diri dan keluarganya.
Dengan demikian, menurut Mahkamah, permohonan para Pemohon beralasan hukum untuk sebagian. Walhasil, Mahkamah dalam amar putusan mengabulkan sebagian permohonan. “Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Hamdan Zoelva membacakan amar putusan Putusan Nomor 67/PUU-XI/2013, Kamis (11/9/2014).
Mahkamah menyatakan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: “pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang didahulukan atas semua jenis kreditor termasuk atas tagihan kreditor separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditor separatis.”
"Upah pekerja/buruh sesungguhnya adalah hutang pengusaha kepada pekerja/buruh, yang seharusnya harus dibayar sebelum kering keringatnya."

readmore »»  

Minggu, 19 Oktober 2014

Memilih Pimpinan DPR

Kullukum râ'in wa kullukum mas'ûlun 'an ra'iyyatihi...
Setiap kalian adalah pemimpin dan kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan kalian.
(HR Bukhari dan Muslim).


Suhu politik nasional seharusnya berangsur menurun seiring rampungnya semua tahapan hajat demokrasi dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden/wakil presiden. Faktanya, eskalasi politik bergolak memperebutkan kursi pimpinan di DPR.
Riak politik perebutan takhta pimpinan di Senayan bermula berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). UU MD3 yang disahkan Presiden pada 5 Agustus 2014 ini menyulut polemik ihwal siapa berhak duduk sebagai pimpinan DPR dan pimpinan alat kelengkapan DPR.
Salah satu pangkal polemik yaitu berlakunya ketentuan Pasal 84 ayat (2) UU MD3 Tahun 2014 yang menentukan pimpinan DPR dipilih oleh anggota DPR dalam satu paket. Mekanisme pemilihan pimpinan DPR model ini dinilai sarat dengan muatan politik. Sementara dalam UU MD3 sebelumnya, yakni Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 pada Pasal 82 ayat (2) menyebutkan bahwa yang berhak menduduki ketua DPR adalah parpol pemenang pemilu legislatif.
PDI Perjuangan menjadi parpol pemenang pemilu legislatif tahun 2014. Sebanyak 109 anggota DPR RI dari PDI-P berhasil masuk ke senayan. Sebagai parpol pemenang pileg, PDI-P merasa dirugikan karena tidak otomatis menduduki tampuk kepemimpinan di parlemen. Ketentuan dalam Pasal 84, Pasal 97, Pasal 104, Pasal 109, Pasal 115, Pasal 121, dan Pasal 152 UU MD3 merintangi anggota DPR terpilih dari PDI-P untuk mendapatkan hak konstitusionalnya menjadi Ketua DPR-RI dan pimpinan alat-alat kelengkapan DPR RI. Padahal periode sebelumnya kepemimpinan DPR dipegang oleh parpol pemenang pemilu. Ketua DPR-RI Periode 2004-2009 berasal dari Fraksi Partai Golkar dan Ketua DPR-RI Periode 2009-2014 berasal dari Fraksi Partai Demokrat.
Pertanyaannya, apakah pemilihan pimpinan DPR RI dan alat kelengkapannya melalui mekanisme dipilih oleh anggota DPR RI, bertentangan dengan UUD 1945? Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa pemilu adalah untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD, bukan untuk memilih pimpinan DPR. Tidak ada ketentuan dalam UUD 1945 yang mengatur mengenai cara dan mekanisme pemilihan pimpinan DPR. Pasal 19 ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa susunan DPR diatur dengan UU.
Mekanisme pemilihan pimpinan DPR adalah wilayah kebijakan pembentuk UU. Maka tidak mengherankan jika cara pemilihan pimpinan DPR cukup beragam, baik sebelum atau sesudah perubahan UUD 1945. Antara lain, ditentukan oleh dan dari anggota DPR sendiri dengan sistem paket atau pencalonan oleh fraksi. Sebelum perubahan UUD 1945, penentuan pimpinan DPR dilakukan dengan cara pemilihan dari dan oleh anggota.
Fakta menunjukkan bahwa pembentukan UU MD3 telah sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945, yaitu telah dibahas dan disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. Saat masih proses pembahasan RUU MD3 di DPR, juga dilakukan secara transparan. Bahkan PDI-P pun ikut dalam seluruh proses itu. Mempersoalkan konstitusionalitas UU MD3 berarti mempersoalkan tindakan fraksi dan anggotanya sendiri.
Satu hal yang perlu menjadi catatan, perubahan UU MD3 hendaknya tidak dilakukan setiap lima tahun. Hal ini menghindari permainan politik sesaat. Perubahan dilakukan apabila memang benar-benar diperlukan karena perubahan situasi ketatanegaraan.

Nur Rosihin Ana

(Editorial Majalah Konstitusi No. 92 – Oktober 2014)
readmore »»  
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More