Harmoni...

Jakarta, September 2010

Harmoni...

Jakarta, Desember 2010

Belahan jiwa

......

...Belahan jiwa...

......

ceria...

Jakarta, 8 Januari 2012

Nora Uzhma Naghata

Bogor, 24 Februari 2011

Nora Uzhma Naghata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Taman Safari Puncak

Bogor, 24 Februari 2011

Bandara Ahmad Yani

Semarang, 28 September 2011

Rileks

*********

Nur Rosihin Ana

Semarang, 19 Oktober 2010

Nur Rosihin Ana

mahkamah dusturiyyah, 18 Juli 2012

Nur Rosihin Ana

Hotel Yasmin, Puncak, Desember 2010

Nora Uzhma Naghata

Naghata

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Demak, 11 September 2011

Nur Rosihin Ana

Nagreg, Bandung 11 Juli 2011

Nora Uzhma Naghata, Sri Utami, Najuba Uzuma Akasyata, Nur Rosihin Ana

Sapa senja di Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Sapa Senja Jepara

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

...bebas, lepas...

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Rabu, 10 September 2014

Pernikahan Dini


Perkembangan hukum Indonesia yang mengatur usia anak telah mengalami kemajuan yang pesat, khususnya sejak pengesahan Konvensi Hak-Hak Anak. Namun, di sisi lain praktek perkawinan anak masih marak dan jamak terjadi. Perkawinan anak atau perkawinan dini, merupakan praktik tradisional yang telah lama dikenal di seluruh belahan dunia.
Perkawinan anak merampas hak anak untuk tumbuh dan berkembang serta mendapatkan pendidikan. Hal inilah antara lain dalil permohonan uji materi Undang-Undang Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) terhadap UUD 1945.
Permohonan yang diregistrasi oleh Kepaniteraan MK dengan Nomor 74/PUU-XII/2014, ini diajukkan oleh Indry Oktaviani, Fr Yohana Tantria W, Dini Anitasari Sa’Baniah, Hadiyatut Thoyyibah, Ramadhaniati, dan Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA). Indry Oktaviani dan Fr Yohana Tantria W merupakan aktivis pemajuan dan perlindungan hak-hak perempuan. Sedangkan Dini Anitasari Sa’Baniah, Hadiyatut Thoyyibah, dan Ramadhaniati, adalah para ibu yang memiliki anak. Sementara itu, YPHA adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang didirikan atas dasar kepedulian dan dalam rangka turut serta melakukan pemajuan dan perlindungan hak-hak anak di Indonesia.
Para Pemohon mengujikan ketentuan Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa “16 (enam belas) tahun” dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) terhadap UUD 1945. Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan selengkapnya menyatakan, “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.” Kemudian di dalam penjelasannya dikatakan: “…untuk menjaga kesehatan suami istri dan keturunan perlu ditetapkan batas batas umur untuk perkawinan.” Sedangkan Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan menyatakan, “Dalam hal penyimpangan Pasal terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.”

Umur Anak
Ketentuan frasa “16 (enam belas) tahun” dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan menjadi asas hukum dibenarkannya perkawinan bagi wanita yang sudah mencapai umur 16 tahun. Bahkan dalam praktik, menjadi peluang untuk dapat dilakukannya pernikahan bagi usia wanita sebelum umur 16 tahun.
Padahal hukum Indonesia yang mengatur usia anak telah mengalami kemajuan, khususnya semenjak pengesahan Konvensi Hak-Hak Anak. Pasal 1 Konvensi Hak-Hak Anak menyatakan, “…Untuk digunakan dalam konvensi yang sekarang ini, anak berarti setiap manusia yang berusia di bawah delapan belas tahun kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku untuk anak-anak kedewasaan telah dicapai lebih cepat.”
Penegasan serupa juga terdapat dalam sejumlah peraturan perundang-undangan nasional. Antara lain Pasal 1 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan, “Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Pasal 1 angka 5 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan, “Anak adalah setiap manusia yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.”
Sementara di sisi lain, ketentuan Pasal 47 UU Perkawinan justru menyatakan, “(1) anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.”
Hal tersebut di atas dengan jelas menunjukkan bahwa batas “usia anak” khususnya anak perempuan dalam UU perkawinan secara a contrario tidak seragam. Akibatnya, secara faktual dan aktual menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai batas usia anak di Indonesia. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa “16 (enam belas) tahun” UU Perkawinan bertentangan dengan prinsip kepastian hukum, sebagaimana diamanatkan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. 

Dispensasi Perkawinan
Batas usia wanita untuk menikah yang terdapat dalam UU Perkawinan sudah tidak sesuai lagi dengan dengan segala pengaturan yang ada di Indonesia. Hal ini dalam rangka melindungi hak-hak anak, khususnya hak-hak anak perempuan.
Ketidakpastian hukum dari ketentuan tersebut juga nampak sepanjang frasa “Penyimpangan” dalam Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan, yang mengandung ketidakjelasan tentang apa saja kategori yang dimaksud dengan Penyimpangan tersebut. Dalam ketentuan ini, anak yang kawin di bawah 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan harus mendapatkan dispensasi perkawinan dari pengadilan agama. Dispensasi perkawinan di bawah umur selanjutnya diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyebutkan sebuah alasan dispensasi dapat diberikan, yaitu untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga. Interpretasi kemaslahatan keluarga dan rumah tangga kemudian menjadi ranah kewenangan hakim di pengadilan agama.
Pencatatan perkawinan di KUA bagi anak di bawah usia 16 tahun seharusnya tidak dimungkinkan oleh UU Perkawinan. Namun dengan adanya dispensasi perkawinan di bawah usia 16 tahun yang diatur Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, hal tersebut sangat mungkin terjadi. Dalam praktiknya, “dalam hal penyimpangan ini” dimaknai berbeda-beda oleh Hakim. Hakim mengabulkan dispensasi perkawinan untuk kasus anak yang terlanjur sudah hamil. Sebab jika anak lahir tanpa seorang bapak, hal ini ditakutkan akan merugikan kepentingan anak perempuan itu sendiri. Akan tetapi, pada umumnya hakim tidak mengabulkan dispensasi untuk kasus selain alasan kehamilan.
Interpretasi kemaslahatan keluarga dan rumah tangga tersebut mengakibatkan tidak pastinya batasan dalam hal “penyimpangan” yang dimaksud, sehingga mengkibatkan pemberian izin menikah bagi anak dapat dimaknai secara sangat luas. Oleh karenanya jelas keberadaan ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan telah menciptakan situasi ketidakpastian hukum, sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pembenaran perkawinan anak sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan merupakan ancaman terhadap pemenuhan dan perlindungan hak-hak asasi anak khususnya anak perempuan Indonesia. Sebab ketentuan ini kemudian menjadi landasan dan dasar hukum dibenarkannya perkawinan bagi wanita yang sudah mencapai umur 16 tahun. Bahkan dalam praktiknya menjadi peluang dilakukannya pernikahan bagi usia wanita sebelum umur 16 tahun. Bahkan di sejumlah pedesaan, pernikahan dilakukan segera setelah anak perempuan mendapat haid pertama.

Kawin Paksa Anak
Persetujuan merupakan salah satu syarat yang menentukan legalitas sebuah perkawinan. UU Perkawinan menetapkan persyaratan yang harus dipenuhi agar sebuah perkawinan dapat dianggap sah.
Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan didasarkan pada persetujuan dari pengantin laki-laki dan perempuan. Persyaratan adanya persetujuan ini bertujuan untuk melindungi anak-anak dari perkawinan paksa. Namun, apakah anak-anak yang belum dewasa dapat memberikan persetujuan yang “bebas dan penuh”.
Perkawinan anak (di bawah 18 tahun) yang diperbolehkan berdasarkan UU Perkawinan merupakan bentuk pelanggaran hak. Anak terlalu muda untuk membuat keputusan tentang pasangan perkawinan mereka atau tentang implikasi dari perkawinan itu sendiri.
Dalam KHI, persetujuan dari pengantin laki-laki dan perempuan bahkan didefinisikan sebagai, “Persetujuan dari pengantin perempuan dapat berupa pernyataan tegas dalam bentuk pernyataan tertulis atau lisan, atau gerakan, tetapi juga dapat diam saja, yang dapat ditafsirkan sebagai tidak ada penolakan yang tegas”. Definisi persetujuan seperti ini justru akan berkontribusi pada terjadinya perkawinan paksa, khususnya dalam masyarakat patriarki, dengan ketidakberdayaan perempuan dan kurang diartikulasikannya aspirasi mereka.
Misalnya kasus pernikahan antara Pujiono Cahyo Widiono, atau lebih dikenal sebagai Syekh Puji (43 tahun), menikahi Lutfiana Ulfa (12 tahun) pada November 2008. Pujiono, seorang pengusaha kaya di Semarang, telah beristri. Sementara itu, Ulfa baru lulus sekolah dasar. Orang tua Ulfa adalah karyawan perusahaan swasta dan memiliki latar belakang kesejahteraan ekonomi yang terbatas. Banyak yang menilai bahwa perkawinan tersebut bermotif ekonomi.
Pernikahan kontroversial ini menuai kecaman dari berbagai pihak. Akibatnya, permohonan surat nikah (proses legal formal) perkawinan Pujiono dengan Ulfa ditolak olah KUA Kabupaten Semarang. Dalam perkembangannya, pada 14 Oktober 2010, Pujiono dituntut dengan hukuman enam tahun penjara dan denda 60 juta. Dia dihukum dengan pertimbangan tidak mengindahkan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan dalih mengawini anak di bawah umur, melecehkan perempuan, serta memasung hak anak karena tidak dapat bersekolah.

Ancaman Kesehatan
Kehamilan pada usia kurang dari 17 tahun akan meningkatkan risiko komplikasi medis, baik pada ibu maupun pada anak. Kehamilan di usia yang sangat muda ternyata berkorelasi dengan angka kematian dan kesakitan ibu. Disebutkan bahwa anak perempuan berusia 10-14 tahun berisiko lima kali lipat meninggal saat hamil maupun bersalin dibandingkan kelompok usia 20-24 tahun. Risiko ini meningkat dua kali lipat pada kelompok usia 15-19 tahun. Sebagai contoh angka kematian ibu usia di bawah 16 tahun di Kamerun, Etiopia, dan Nigeria, bahkan lebih tinggi hingga enam kali lipat. Hal ini terjadi karena anatomi tubuh anak belum siap untuk proses mengandung maupun melahirkan, sehingga dapat terjadi komplikasi berupa obstructed labour serta obstetric fistula.
Data dari UNPFA tahun 2003, memperlihatkan 15%-30% di antara persalinan di usia dini disertai dengan komplikasi kronik, yaitu obstetric fistula. Fistula merupakan kerusakan pada organ kewanitaan yang menyebabkan kebocoran urin atau feses ke dalam vagina. Wanita berusia kurang dari 20 tahun sangat rentan mengalami obstetric fistula. Obstetric fistula ini dapat terjadi pula akibat hubungan seksual di usia dini. Pernikahan anak berhubungan erat dengan fertilitas yang tinggi, kehamilan dengan jarak yang singkat, juga terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan.
Perkawinan anak dengan kehamilan dini (di bawah umur 18 tahun) sangat berisiko tinggi bagi si Ibu, karena si Ibu sedang dalam masa pertumbuhan yang masih memerlukan gizi. Sementara janin yang dikandungnya juga memerlukan gizi sehingga ada persaingan perebutan nutrisi dan gizi antara ibu dan janin. Hal ini antara lain beresiko potensi kelahiran premature, bayi lahir cacat, meningkatkan Angka Kematian Ibu (AKI). 

Hak Anak atas Pendidikan
Semakin muda usia anak perempuan menikah maka semakin rendah tingkat pendidikan yang dapat dicapai oleh anak. Pernikahan dini menyebabkan anak tidak lagi bersekolah karena ia memiliki tangung jawab baru, baik sebagai istri atau calon ibu, atau orangtua yang akan diharapkan berperan lebih besar mengurus rumah tangga atau menjadi tulang punggung keluarga dan keharusan mencari nafkah.
Hak atas pendidikan semestinya bisa dinikmati oleh setiap anak di Indonesia. Sistem pendidikan nasional di Indonesia menerapkan wajib belajar 12 tahun. Apabila perkawinan anak dilakukan pada usia 16 tahun, anak tersebut tidak dapat menikmati hak-hak konstitusionalnya untuk mendapatkan pendidikan. Hal ini secara faktual dan juga potensial mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap hak anak untuk tumbuh dan berkembang, serta memperoleh hak atas pendidikan, sehingga ketentuan dalam uji materi UU Perkawinan ini harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945. 

Bias Jender
Pernikahan dini menimbulkan konsekuensi ketidaksetaraan jender. Mempelai anak perempuan memiliki kapasitas yang terbatas baik untuk menyuarakan pendapat, menegosiasikan keinginan berhubungan seksual, memakai alat kontrasepsi, dan mengandung anak, juga terbatas dalam aspek domestik lainnya.
Dominasi pasangan seringkali menyebabkan anak perempuan rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Hasil penelitan PSKK UGM, menunjukkan bahwa anak perempuan yang kawin pada usia muda rentan terhadap tindak KDRT. Kasus KDRT paling banyak dialami anak perempuan di Sikka, Lembata, Dompu, Indramayu, dan Rembang. Terjadinya KDRT tak jarang dipicu oleh tekanan adat yang menempatkan anak perempuan pada posisi yang rentan. Terkait adat belis di Sikka misalnya, pihak suami merasa telah membeli istri melalui pemberian belis, sehingga ia merasa berhak melakukan kekerasan terhadap istri.
Segala bentuk diskriminasi adalah dilarang menurut berbagai instrumen hukum internasional HAM, juga dilarang oleh UUD 1945 khususnya Pasal 28I ayat (2), termasuk juga larangan diskriminasi dalam pemenuhan hak-hak anak, yang ditegaskan di dalam ketentuan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Keberadaan ketentuan yang mengatur mengenai batas usia perkawinan anak perempuan telah secara jelas dan meyakinkan melahirkan adanya tindakan yang diskriminatif dalam perlakuan antara anak laki-laki dan perempuan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, para Pemohon dalam Petitum meminta Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan, sepanjang frasa “umur 16 (enam belas) tahun”, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dibaca “umur 18 (delapan belas) tahun”. Kemudian, menyatakan ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat. 

Nur Rosihin Ana 
Dalam "Catatan Perkara Majalah Konstitusi Edisi September 2014", hal 48-50. klik di sini
readmore »»  

Senin, 01 September 2014

Permohonan Uji Materi UU Perkawinan

Kepada Yang Terhormat,

KETUA MAHKAMAH KONSTITUSI  REPUBLIK INDONESIA

Di Jalan Medan Merdeka Barat No. 6
       Jakarta Pusat 10110


Perihal: Permohonan Pengujian Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Dengan hormat,

Perkenankanlah kami:

Supriyadi Widodo Eddyono, S.H., Wahyudi Djafar, S.H., Anggara, S.H., Wahyu Wagiman, SH., Ade Novita, S.H., Erasmus  A. T. Napitupulu, S.H., Rully Novian, S.H., Robert Sidauruk, S.H., Adi Condro Bawono, SH., Alfeus Jebabun, SH.,

Kesemuanya adalah Advokat/Pengacara Publik/Asisten Advokat/Asisten Pengacara Publik,yang memilih domisili hukum pada kantor Indonesian Institute for Constitutional Democracy (IICD), yang beralamat di Jl. Cempaka No. 4 Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12530, Telp/Fax. 021-7810265, bertindak untuk dan atas nama Para Pemberi Kuasa di bawah ini, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal  18 Juli 2014 dalam hal ini bertindak bersama-sama ataupun sendiri-sendiri untuk dan atas nama:

1. Indry Oktaviani, warga negara Indonesia, lahir di Jakarta, , 27 Oktober 1975, pekerjaan Direktur Organisasi  Semerlak Cerlang Nusa (SCN), agama Islam, bertempat tinggal di Jl. Teratai BL. Q No. 6, RT. 003 RW. 002, Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Selanjutnya disebut sebagai ______________________________Pemohon I

2. Fr Yohana Tantria W, warga negara Indonesia, lahir di Playen, 5 April 1980, pekerjaan Koordinator Eksekutif Masyarakat Untuk Keadilan Gender dan Antar Generasi (MAGENTA), agama Katolik, bertempat tinggal di Jalan Jl. T.B. Simatupang, RT. 02 RW. 03, Gedong, Pasar Rebo Jakarta Timur.
Selanjutnya disebut sebagai _____________________________Pemohon II

3. Dini Anitasari Sa’Baniah, warga negara Indonesia, lahir di Bogor, 10 Agustus 1975, pekerjaan Associate pada Organisasi Semerlak Cerlang Nusa (SCN), agama Islam, bertempat tinggal di Bukit Pamulang Indah G 9/5, RT. 001 RW. 005, Pamulang Timur, Tangerang Selatan.
Selanjutnya disebut sebagai ____________________________Pemohon III

4.Hadiyatut Thoyyibah, warga negara Indonesia, lahir di Rembang, 9 Desember 1972,  pekerjaan Staf Sistem Managemen Informasi pada Sekretariat Nasional Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), agama Islam, bertempat tinggal di Jl. Sendang, RT. 033 RW. 015 Karangsari, Kulonprogo, Yogyakarta.
Selanjutnya disebut sebagai _____________________________Pemohon IV

5. Ramadhaniati, warga negara Indonesia, lahir di Lirik, 12 Desember 1966,  pekerjaan Staf pada Organisasi  Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), agama Islam, bertempat tinggal di Jl. 50 Koto No. 652, RT. 01 RW. 07, Surau Gadang, Nanggalo, 50 Koto, Sumatera Barat.
Selanjutnya disebut sebagai ______________________________Pemohon V

6. Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA), sebuah Yayasan yang dibentuk berdasarkan hukum Negara Republik Indonesia yang berkedudukan di Jl. Rawa Bambu, kompleks Batan Blok D2 lt. 3 Rawa Bambu, Pasar Minggu, Jakarta Selatan yang dalam hal ini diwakili oleh Agus Hartono, warga negara Indonesia, lahir di Sukabumi, Tanggal 13 Desember 1971, bertempat tinggal di Jalan Taman Siswa 48 YK, RT. 044 RW 014 Wirogunan, Mergangsan, Yogyakarta, yang bertindak dalam kedudukannya sebagai Ketua berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat (1) Anggaran Dasar Yayasan berhak dan sah bertindak untuk dan atas nama Yayasan.
Selanjutnya disebut sebagai _____________________________Pemohon VI

Untuk selanjutnya secara keseluruhan Pemohon tersebut di atas disebut juga sebagai PARA PEMOHON.

Para Pemohon dengan ini mengajukan Permohonan Pengujian Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2)UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Bukti P-1), terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Bukti P-2).

A.      Kewenangan Mahkamah Konstitusi

1. Bahwa transisi politik dari otoritarian ke demokrasi yang berujung pada amandemen UUD 1945, salah satunya telah menghasilkan perubahan terhadap Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”;

2. Bahwa selanjutnya Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”;

3.  Bahwa berdasarkan ketentuan di atas, MK berwenang melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, yang juga didasarkan pada Pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: (a) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”;

4.  Bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai lembaga pengawal konstitusi (the guardian of constitution). Artinya, apabila terdapat Undang-Undang yang berisi atau terbentuk bertentangan dengan konstitusi (inconstitutional), maka Mahkamah Konstitusi dapat menganulirnya dengan membatalkan keberadaan Undang-Undang tersebut secara menyeluruh atau pun perpasalnya;

5.  Bahwa sebagai pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi juga berwenang memberikan penafsiran terhadap sebuah ketentuan pasal-pasal Undang-Undang agar berkesesuaian dengan nilai-nilai konstitusi. Tafsir Mahkamah Konstitusi terhadap konstitusionalitas pasal-pasal Undang-Undang tersebut merupakan tafsir satu-satunya (the sole interpreter of constitution) yang memiliki kekuatan hukum. Oleh karena itu, terhadap pasal-pasal yang memiliki makna ambigu, tidak jelas, dan/atau multi tafsir dapat pula dimintakan penafsirannya kepada Mahkamah Konstitusi;

6.  Bahwa ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menurut Para Pemohon telah menciptakan suatu ketidakpastian hukum, melahirkan penafsiran yang ambigu, tidak jelas, dan multi tafsir, serta mengekang pemenuhan hak-hak konstitusional warga negara, khususnya Para Pemohon, sehingga merugikan hak-hak konstitusional Para Pemohon;

7.  Bahwa oleh karena itu melalui permohonan ini Para Pemohon mengajukan pengujian Pasal Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap UUD 1945;

8.  Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, karena permohonan pengujian ini merupakan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada, maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan pengujian materiil undang-undang ini;

B. Kedudukan Hukum Para Pemohon

9.  Bahwa pengakuan hak setiap warga negara Indonesia untuk mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 merupakan satu indikator perkembangan ketatanegaraan yang positif, yang merefleksikan adanya kemajuan bagi penguatan prinsip-prinsip negara hukum;

10. Bahwa Mahkamah Konstitusi, berfungsi antara lain sebagai “guardian” dari “constitutional rights” setiap warga negara Republik Indonesia. Mahkamah Konstitusi merupakan badan yudisial yang bertugas menjaga hak asasi manusia sebagai hak konstitusional dan hak hukum setiap warga negara. Dengan kesadaran inilah Para Pemohon kemudian memutuskan untuk mengajukan permohonan uji materiil Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap UUD 1945;

11. Bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi jo. Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang menyatakan bahwa: Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang yaitu:
a.  perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat;
d.     lembaga negara.

12. Bahwa di dalam penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dinyatakan bahwa ”Yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945”;

13. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang hadir berikutnya, Mahkamah Konstitusi telah menentukan 5 syarat mengenai kerugian konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK, yakni sebagai berikut:
a. harus ada hak dan/atau kewenangan konstitutional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut bersifat spesifik dan aktual, setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian; dan
e. ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

14. Bahwa selain lima syarat untuk menjadi Pemohon dalam perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, yang ditentukan di dalamPutusan Mahkamah Konstitusi No. 022/PUU-XII/2014, disebutkan bahwa “warga masyarakat pembayar pajak (tax payers) dipandang memiliki kepentingan sesuai dengan Pasal 51 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Hal ini sesuai dengan adagium “no taxation without participation” dan sebaliknya “no participation without tax”. Ditegaskan MK “setiap warga negara pembayar pajak mempunyai hak konstitusional untuk mempersoalkan setiap Undang-Undang”;

Pemohon Perorangan Warga Negara Indonesia

15. Bahwa Pemohon I merupakan individu warga negara Indonesia (Bukti P-3), yang bekerja sebagai Direktur Semarak Cerlang Nusa (SCN), sebuah organisasi nirlaba yang bergerak pada upaya pemajuan dan perlindungan hak-hak perempuan. Pemohon I selama ini juga telah aktif memperjuangkan dan mengadvokasi hak-hak perempuan, khususnya dalam setiap pengambilan kebijakan negara yang terkait dengan isu perempuan;

16. Bahwa keberadaan pasal-pasal a quo telah berakibat pada terhambatnya atau bahkan berpotensi menggagalkan setiap aktifitas yang sudah dilakukan oleh Pemohon I dalam rangka pemajuan dan perlindungan hak-hak perempuan. Oleh karena itu eksistensi pasal-pasal a quo nyata-nyata atau setidak-tidaknya potensial telah merugikan hak-hak konstitusional Pemohon I;

17. Bahwa Pemohon II merupakan individu warga negara Indonesia (vide Bukti P-3), yang bekerja sebagai Direktur Magenta, sebuah organisasi nirlaba yang bergerak pada upaya pemajuan dan perlindungan hak-hak perempuan dan anak. Pemohon II selama ini juga telah aktif memperjuangkan dan mengadvokasi hak-hak perempuan dan, khususnya dalam setiap pengambilan kebijakan negara yang terkait dengan perempuan dan anak, baik dalam bentuk-bentuk penelitian, pemantauan maupun berpartisipasi secara aktif dalam setiap pengambilan kebijakan tersebut;

18. Bahwa keberadaan pasal-pasal a quo telah berakibat pada terhambatnya atau bahkan potensial menggagalkan keseluruhan aktifitas yang sudah dilakukan oleh Pemohon II dalam rangka pemajuan dan perlindungan hak-hak perempuan dan anak. Oleh karena itu keberadaan pasal-pasal a quo secara faktual atau setidak-tidaknya potensial telah merugikan hak-hak konstitusional Pemohon II;

19. Bahwa Pemohon III, Pemohon IV, dan Pemohon V merupakan perorangan warga negara Indonesia (vide Bukti P-3), yang memiliki anak, sehingga bertanggungjawab penuh sebagai ibu atas anak-anaknya tersebut. Bahwa keberadaan pasal-pasal a quo, baik secara langsung maupun tidak langsung potensial akan merugikan hak-hak konstitusional Pemohon III, Pemohon IV, dan Pemohon V, khususnya yang terkait dengan hak-hak konstitusional anak-anak dari Para Pemohon tersebut;

20. Bahwa eksistensi pasal-pasal a quo secara aktual jika dibiarkan tetap ada akan menghambat atau bahkan mengancam pemenuhan hak-hak konstitusional anak-anak dari Pemohon III, Pemohon IV, dan Pemohon V, seperti halnya hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, serta hak untuk tumbuh dan berkembang yang telah dijamin pemenuhan dan perlindungannya oleh UUD 1945. Oleh karena itu, nampak begitu terang-benderang potensi terjadinya hak-hak konstitusional yang dialami oleh Para Pemohon akibat berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo;

21. Bahwa selain itu, Pemohon I, II, III, IV, dan V juga merupakan pembayar pajak (tax payer) yang dibuktikan dengan fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) (vide Bukti P-3). Para Pemohon sebagai tax payer menyatakan kepentingan konstitusionalnya telah terlanggar dengan adanya ketentuan pasal-pasal a quo, karena menciptakan ketidakpastian hukum dan potensial merugikan pemenuhan hak-hak konstitusional Para Pemohon. Dengan demikian, syarat legal standing seperti disebutkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 022/PUU-XII/2014 terpenuhi;

Pemohon Badan Hukum Privat

22. Bahwa Pemohon VI adalah Organisasi Non Pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh dan berkembang secara swadaya, atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat yang didirikan atas dasar kepedulian dan dalam rangka turut serta melakukan pemajuan dan perlindungan hak-hak anak di Indonesia;

23. Bahwa tugas dan peranan Pemohon VI dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang mendorong pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak di Indonesia, dalam hal ini telah mendayagunakan lembaganya sebagai sarana untuk mengikutsertakan sebanyak mungkin anggota masyarakat dalam memastikan penjaminan serta adanya perlindungan yang layak bagi setiap anak di Indonesia. Hal ini sebagaimana tercermin di dalam ketentuan Anggaran Dasar dan/atau akta pendirian organisasi dari Pemohon VI (vide Bukti P-3);

24. Bahwa dasar dan kepentingan hukum Pemohon VI dalam mengajukan Permohonan Pengujian undang-undang a quo dapat dibuktikan dengan Anggaran Dasar dan/atau Anggaran Rumah Tangga Pemohon VI. Dalam Pasal 5 Akta Pendirian Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA), tertanggal 20 Agustus 2003, yang merupakan Anggaran Dasar dari Pemohon VI, YPHA menjalankan kegiatan usaha yang meliputi: (i) pengorganisasian dan advokasi hak anak; (ii) melakukan publikasi kegiatan anak; dan (iii) melakukan promosi atas hak anak;

25. Bahwa dalam mencapai maksud dan tujuannya Pemohon VI telah melakukan berbagai macam usaha/kegiatan yang dilakukan secara terus menerus, hal mana telah menjadi pengetahuan umum (notoire feiten). Adapun, bentuk kegiatan yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Melakukan kajian-kajian (penelitian) yang terkait dengan perlindungan hak anak;
b. Melakukan pemantauan terhadap penjaminan perlindungan hak anak;
c. Menerbitkan buku-buku atau pun bentuk-bentuk publikasi lainnya, yang terkait dengan pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak; dan
d. Secara terus-menerus melakukan advokasi dalam pengambilan kebijakan negara yang terkait dengan perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak.

26. Bahwa persoalan yang menjadi objek pengujian yang diujikan oleh Pemohon VI merupakan persoalan setiap warga negara Indonesia, yang bukan hanya urusan Pemohon VI. Lebih jauh, pengajuan permohonan pengujian undang-undang a quo merupakan wujud kepedulian dan upaya Pemohon VI dalam rangka memastikan pemenuhan dan perlindungan hak-hak konstitusional setiap anak di Indonesia, seperti hak pendidikan, kesehatan, serta tumbuh dan berkembang;

27. Bahwa keberadaan pasal-pasal a quo telah menciptakan situasi ketidakpastian hukum dalam perlindungan hak-hak anak di Indonesia, sehingga berakibat pada terlanggarnya hak-hak konstitusional setiap anak di Indonesia. Bahwa situasi tersebut secara faktual atau setidak-tidaknya potensial akan menggagalkan setiap usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh Pemohon VI dalam rangka memastikan pemenuhan dan penjaminan perlindungan hak-hak anak di Indonesia;

28. Bahwa keberadaan pasal dan frasa dalam undang-undang a quo, telah sangat mengganggu dan menghambat aktivitas Pemohon VI yang selama ini concern dalam isu penjaminan perlindungan hak-hak anak di Indonesia, sehingga telah merugikan hak-hak konstitusional Pemohon VI, untuk berperan secara kelembagaan dalam memastikan pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak, sebagai wujud pelaksanaan hak untuk berpatisipasi dalam pembangunan masyarakat, bangsa dan negara yang merupakan mandat dari Pasal 28C ayat (2) UUD 1945;

29. Bahwa berdasarkan uraian di atas, jelas keseluruhan Para Pemohon telah memenuhi kualitas maupun kapasitas sebagai Pemohon pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 sebagaimana ditentukan Pasal 51 huruf c UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maupun Peraturan Mahkamah Konstitusi dan sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan penjelasan mengenai syarat-syarat untuk menjadi pemohon pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945. Oleh karenanya, jelas pula keseluruhan Para Pemohon memiliki hak dan kepentingan hukum mewakili kepentingan publik untuk mengajukan permohonan pengujian materiil Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2)UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap UUD 1945;

C. Pokok Perkara

Ruang Lingkup Pasal yang Diuji


Ketentuan


Rumusan


Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Sepanjang frasaumur 16 (enam belas) tahun.”

Pasal 7 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Dalam hal penyimpangan Pasal terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita


Dasar Konstitusional yang Digunakan


Ketentuan
UUD 1945


Materi

Pasal 1 ayat (3)

Negara Indonesia adalah negara hukum.

Pasal 24 ayat (1)
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Pasal 28B ayat (2)
Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Pasal 28C ayat (1)
Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
Pasal 28D ayat (1)
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Pasal 28I ayat (2)
Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.



Alasan – Alasan Permohonan

30. Bahwa Para Pemohonmengajukan permohonan pengujian Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa “16 (enam belas) tahun” danPasal 7 ayat (2) UU Perkawinan, adalah demi pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi anak, khususnya anak perempuan Indonesia,serta memberikan kepastian hukum yang adil bagi warga negara sebagaimana dimandatkan oleh UUD 1945. Permohonan tersebut dilandasi dengan alasan-alasan sebagai berikut:

C.1. KetentuanPasal 7 ayat (1)sepanjang frasa “16 (enam belas) tahundan Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan telah menciptakan situasi ketidakpastian hukum, sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945

31. Bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dengan tegas menyatakan, Negara Indonesia adalah negara hukum”, yang di dalamnya salah satunya dikandut prinsip kepastian hukum sebagai bagian dari moralitas konstitusi, sebagaimana juga ditegaskan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang menyebutkan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;

32. Bahwa salah satu unsur terpenting dari negara hukum, seperti juga diakui oleh UUD 1945, adalah adanya jaminan serta tegaknya prinsip kepastian hukum, hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Gustav Radbruch yang menjelaskan bahwa cita hukum (Idee des Rechts), yang kemudian dilembagakan dalam suatu bentuk negara hukum, dapat diklasifikasikan ke dalam tiga prinsip umum, yaitu: purposiveness—kemanfaatan (zweckmassigkeit), justice—keadilan (gerechtigkeit), dan legal certainty—kepastian hukum (rechtssicherheit);

33. Bahwa kepastian hukum juga salah satu unsur utama moralitas hukum. Hal ini seperti dikemukakan oleh salah seorang pemikir hukum alam generasi terakhir, Lon L. Fuller. Ditegaskannya Fuller sebuah peraturan hukum perlu tunduk pada internal moraliti, oleh karena itu dalam pembentukannya harus memerhatikan empat syarat berikut ini:
a. Hukum-hukum harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti oleh rakyat biasa. Fuller juga menamakan hal ini juga sebagai hasrat untuk kejelasan;
b. Aturan-aturan tidak boleh bertentangan satu sama lain;
c. Dalam hukum harus ada ketegasan. Hukum tidak boleh diubah-ubah setiap waktu, sehingga setiap orang tidak lagi mengorientasikan kegiatannya kepadanya;
d. Harus ada konsistensi antara aturan-aturan sebagaimana yang diumumkan dengan pelaksanaan senyatanya;

34. Bahwa dalam tradisi negara hukum khususnya yang berparadigma rechtsstaat, kepastian hukum adalah bagian penting yang harus diperhatikan oleh negara yang menganutnya, dijelaskan oleh Friedrich Julius Stahl, bahwa theRechtsstaat must determine with precision and with certainty the boundaries and the limits of its activity, as well as the free sphere of its citizens, according to the modalities of law”;

35. Bahwa pendapat Julius Stahl di atas diperkuat oleh argumentasi yang dikemuakan Charles Eisenmann, ahli hukum Perancis, yang mengatakan, “Let no one claim that the legislator is precluded from creating law. No, he is still free to create whatever he likes, but everything that he validly creates will be regular law. What is more, in this way the certainty of law is guaranteed by means of the uniformity and homogeneity of legislative law”;

36. Bahwa pentingnya kepastian hukum tidak hanya dianut dalam tradisi rechtsstaat, tradisi the rule of law juga memberikan penegasan tentang pentingnya kepastian hukum. The rule of law sendiri dimaknai sebagai “a legal system in which rules are clear, well-understood, and fairly enforced”—sebuah sistem hukum yang jelas (kecil kemungkinan untuk disalahgunakan), mudah dipahami, dan menjaga tegaknya keadilan. Kepastian hukum menjadi salah ciri the rule of law, yang di dalamnya mengandung asas legalitas, prediktibilitas, dan transparansi;

37. Bahwa kepastian hukum menurut pendapat Friedrrich von Hayek berarti hukum dapat diprediksi, atau memenuhi unsur prediktibilitas, sehingga seorang subjek hukum dapat memperkirakan peraturan apa yang mendasari perilaku mereka, dan bagaimana aturan tersebut ditafsirkan dan dilaksanakan. Kepastian hukum merupakan aspek penting yang sangat terkait dengan kebebasan bertindak dari seseorang;

38. Bahwa perkembangan hukum Indonesia yang mengatur usia anak telah mengalami kemajuan yang pesat, khususnya semenjak pengesahan Konvensi Hak-Hak Anak. Dinyatakan dalam ketentuan Pasal 1 Konvensi Hak-Hak Anak : “…Untuk digunakan dalam  konvensi yang sekarang ini, anak berarti setiap manusia yang berusia di bawah delapan belas tahun  kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku untuk anak-anak kedewasaan telah dicapai lebih cepat”;

39. Bahwa penegasan serupa juga dapat kita temukan di dalam sejumlah peraturan perundang-undangan nasional, yang antara lain adalah sebagai berikut:


No.

Peraturan Perundang-Undangan

Pasal dan Materi

1
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Pasal 330: “Yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya.
2
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 1 angka 26: Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun
3
UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Pasal 1 angka 2: Anak adalah seseorang yang belummencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.

4
UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
Pasal 1 angka 8, Anak didik pemasyarakatan adalah:
a.    Anak pidana, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
b.    Anak negara, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
c.     Anak sipil, yaitu anak yang atas 5permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
5
UU No.3 Tahun 19957 tentang Pengadilan Anak
Pasal 1: Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun akan tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
6
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 1 angka 5: Anak adalah setiap manusia yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
7
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pasal 1 ayat (1): Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
8
UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Pasal 1 angka 26: Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
9
UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Pasal 2ayat (1) huruf a: Yang di maksud drngan Anak dalam ketentuan ini termasuk anak angkat atau anak tiri
10
UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
Pasal 39 ayat (1): Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Paling sedikit berusia 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah
11
UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Pasal 41 ayat (6): Hak ahli waris atas manfaat pensiun anak berakhir apabila anak tersebut menikah, bekerja tetap, atau mencapai umur 23 (dua puluh tiga) tahun.
12
UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
Pasal 4: Warga Negara Indonesia adalah: a–g ...
anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin.
13
UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Pasal 1 angka 5: Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
14
UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
Pasal 1 ayat (4): Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun.
15
UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
Pasal 131 ayat (2): Upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak anak masih dalam kandungan, dilahirkan, setelah dilahirkan, dan sampai berusia 18 (delapan belas) tahun.
16
UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Pasal  1 angka 2 – 5
(2) Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi
korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.
(3) Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12
(dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
(4) Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang
belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian
ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.
(5) Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum
berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat,
dan/atau dialaminya sendiri.
17
Keputusan menteri kehakiman Republik Indonesia No M 02-IZ.01.10 tahun 1995 tentang visa, visa kunjungan, Visa Tinggal terbatas, Izin masuk dan izin keimigrasian
Pasal 1 ke (3): Anak adalah anak yang berumur di bawah 18 (delapan belas)  tahun, dan belum kawin.
18
Peraturan Pemerintah (PP) 1949 No 35 (35/1949)  tentang pemberian pensiun kepada janda (anak anaknya) pegawai negeri yang meninggal dunia
Pasal 5: Anak yang dapat ditunjuk sebagai yang berhak menerima tunjangan ialah anak yang dilahirkan sebelum dan sesudahnya peraturan ini dijalankan dan belum mencapai umur 21 tahun penuh
19
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 56 Tahun 1996 tentang Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia
Pasal 1: Istri dan anak yang belum di bawah delapan belas tahun dari seseorang yang memperoleh kewarganegaraan RI melalui proses pewarganegaraan, langsung ikut serta menjadi warganegara RI mengikuti Kewarganegaraan suami/ayahnya tersebut.

40. Bahwa ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU a quomenyebutkan, “(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.kemudian di dalam penjelasannya dikatakan: “…untuk menjaga kesehatan suami istri dan keturunan perlu ditetapkan batas batas umur untuk perkawinan”;

41. Bahwa ketentuan a quo di atas selanjutnya dijadikan sebagai landasan dan dasar hukum dibenarkannya perkawinan bagi wanita yang sudah mencapai umur 16 tahun dan dalam praktiknya menjadi peluang untuk dapat dilakukannya pernikahan bagi usia wanita sebelum umur 16 tahun;

42. Bahwa pemahaman tersebut sebagaimana ditegaskan oleh Saidus Sahar yang mengatakan, “… syarat umur seseorang untuk melangsungkan perkawinan berdasarkan Pasal 7 UU perkawinan adalah “perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”, sedangkan bagi seseorang yang umurnya belum mencapai persyaratan yang dimaksud maka bagi yang beragama Islam diperlukan dispensasi dari Pengadilan Agama untuk memperoleh izin nikah (Bukti P-4);

43. Bahwa pemahaman tersebut juga dibenarkan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Plan Internasional, sebuah organisasi yang fokus pada perlindungan hak-hak anak. Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa, “pengalaman anak dalam perkawinan di Jawa (Indramayu, Grobogan, dan Rembang), dan NTB (Dompu) yang mayoritas penduduknya beragama Islam banyak terbentuk oleh berlakunya kedua hukum positif (UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam). Para pemangku kepentingan dalam hal ini pegawai KUA dan pengadilan agama, modin, serta camat dan kepala desa, berperan besar di dalam membentuk pandangan umum tentang usia minimal kawin sesuai UU Perkawinan. Ini diperkuat oleh hasil survei yang menunjukkan bahwa usia minimal kawin 16 tahun bagi anak perempuan menjadi acuan bagi sebagian besar masyarakat setempat dalam menentukan batas usia kawin (Bukti P-5);

44. Bahwa Dalam Naskah Akademis Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan (RUU HMPA), yang disusun oleh Direktorat jenderal Bimas Islam, Departemen Agama Republik Indonesia Tahun 2008 juga telah mendorong hal ini dengan menyatakan “……perlu menetapkan syarat usia minimum bagi calon suami yaitu 21 Tahun dan 18 tahun bagi calon istri guna kemaslahatan keluarga dan rumah tangga” (Bukti P-6 )

45. Bahwa pada sisi lain ketentuan Pasal 47 UU Perkawinan justru menyatakan bahwa: “(1) anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas)  tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya”;

46.      Bahwa berdasarkan studi yang dilakukan oleh Ade Maman Suherman dan J. Satrio, dikatakan bahwa “… seharusnya dari Pasal 47 sampai dengan Pasal 50 Undang-Undang  Perkawinan berpatokan pada umur dewasa 18 tahun. Kalau undang-undang menetapkan kewenangan orang tua dan wali untuk mewakili anak belum dewasa berakhir pada saat anak mencapai usia 18 tahun (atau telah menikah sebelumnya; Pasal 47 dan Pasal 50 UU Perkawinan) maka tidak logis kalau UU perkawinan mempunyai patokan usia dewasa lain dari pada 18 Tahun(vide Bukti P-4);

47. Bahwa berdasarkan pada uraian argumentasi di atas terlihat dengan jelas bahwa batas “usia anak” khususnya anak perempuan dalam UU perkawinan secara a contrario tidak seragam, serta secara faktual dan aktual telah menimbulkan situasi ketidakpastian hukum mengenai batas usia anak di Indonesia. Oleh karena itu, terang bahwa ketentuan a quo bertentangan dengan prinsip kepastian hukum, sebagaimana diamanatkan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

48. Bahwa melihat perkembangan kekininian peraturan perundang-undangan di Indonesia, khususnya yang mengatur batas usia anak, sebagaimana telah diuraikan di atas, juga terlihat jelas bahwa batas usia wanita untuk menikah yang terdapat dalam UU Perkawinan sudah tidak sesuai lagi dengan dengan segala pengaturan yang ada di Indonesia dalam rangka melindungi hak-hak anak, khususnya hak-hak anak perempuan, sehingga semakin jelas adanya ketidakpastian hukum dalam upaya melindungi hak-hak anak;

49. Bahwa ketidakpastian hukum dari ketentuan a quo juga nampak sepanjang frasa “Penyimpangan” dalam Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan, yang mengandung ketidakjelasan tentang apa saja kategori yang dimaksud dengan Penyimpangan tersebut. Padahal prinsip kepastian hukum salah satunya menghendaki adanya hasrat untuk kejelasan;

50. Bahwa dalam UU a quo, anak yang kawin di bawah 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan harus mendapatkan dispensasi perkawinan dari pengadilan agama. Dispensasi perkawinan di bawah umur selanjutnya diatur dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang pada Pasal 15 menyebutkan bahwa batas usia kawin sama seperti Pasal 7 UU Perkawinan. Namun di dalam KHI disebutkan sebuah alasan dispensasi dapat diberikan, yaitu untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga. Interpretasi kemaslahatan keluarga dan rumah tangga kemudian menjadi ranah kewenangan hakim di pengadilan agama;

51. Bahwa pencatatan perkawinan di KUA bagi anak di bawah usia 16 tahun seharusnya tidak dimungkinkan oleh UU Perkawianan, namun dengan adanya dispensasi perkawinan di bawah usia 16 tahun yang diatur Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, hal tersebut sangat mungkin terjadi;

52. Bahwa dalam praktiknya, “dalam hal penyimpangan ini” dimaknai berbeda-beda oleh Hakim, walaupun dalam beberapa kasus yang khusus hakim mengabulkan dispensasi perkawinan untuk kasus anak yang terlanjur sudah hamil karena jika anak lahir tanpa seorang bapak, hal ini ditakutkan akan merugikan kepentingan anak perempuan itu sendiri. Akan tetapi, pada umumnya hakim tidak mengabulkan dispensasi untuk kasus selain karena alasan kehamilan (vide Bukti P-5);

53. Bahwa penafsiran Interpretasi kemaslahatan keluarga dan rumah tangga tersebut mengakibatkan tidak pastinya batasan dalam hal penyimpangan” yang dimaksud, sehingga dalam penggunaanya mengkibatkan pemberian ijin menikah bagi anak dapat dimaknai secara sangat luas. Oleh karenanya jelas keberadaan ketentuan a quo telah menciptakan situasi ketidakpastian hukum, sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

C.2. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa “16 (enam belas) tahun dan Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan telah melahirkan banyaknya praktik ‘perkawinan anak’, yang mengakibatkan dirampasnya hak-hak anak untuk tumbuh dan berkembang, serta mendapatkan pendidikan, oleh karenanya bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945

54. Bahwa Perkawinan anak, atau sering juga disebut perkawinan dini, merupakan praktik tradisional yang telah lama dikenal dan tersebar luas di seluruh belahan dunia. Beberapa studi pustaka mencatat dua pola perkawinan anak, yaitu menikahkan anak perempuan dengan laki-laki dewasa dan menjodohkan anak laki-laki dengan anak perempuan yang dilakukan oleh orang tua kedua anak yang bersangkutan;

55. Bahwa seiring dengan advokasi hak asasi manusia, baik hak perempuan maupun hak anak, anggapan bahwa perkawinan merupakan praktik tradisional yang tidak adil dan berbahaya untuk anak telah mengilhami pendefinisian yang berbasis hukum mengenai perkawinan anak. Dalam hal ini, perkawinan anak didefinisikan sebagai perkawinan yang dilakukan di bawah usia 18 tahun, sebelum anak perempuan secara fisik, fisiologis, dan psikologis siap memikul tanggungjawab perkawinan dan pengasuhan anak;

56. Bahwa banyak hukum dan konvensi internasional terkait hak asasi manusia hukum telah dijadikan pedoman terkait dengan perkawinan anak, seperti UDHR, CRC dan CEDAW. Sejumlah instrumen hak asasi manusia menjadi sandaran norma-norma yang akan diterapkan terkait dengan hukum pernikahan, yang meliputi isu mengenai usia, persetujuan, kesetaraan dalam pernikahan, serta hak-hak pribadi dan hak milik perempuan. Instrumen dan artikel penting terkait hal itu adalah sebagai berikut:

57. Bahwa Definisi yang paling berpengaruh tentang ‘perkawinan anak’ adalah dari Convention on the Rights of the Child (CRC), yang mendefinisikan perkawinan anak sebagai perkawinan yang terjadi di bawah usia 18 tahun. Namun pendefinisian secara legal formal ini masih meninggalkan pertanyaan tentang rentang usia berapa seseorang dapat disebut anak dan bentuk relasi seperti apa yang dapat disebut perkawinan. Ketentuan-ketentuan di dalam CRC (Konvensi Hak Anak) yang berkaitan dengan isu perkawianan anak dapat ditemukan dalam beberapa pasal berikut:

Ketentuan
Materi
Pasal 1
Seorang anak adalah setiap manusia di bawah usia 18 tahun, kecuali di bawah hukum yang berlaku terhadap si anak, mayoritas usia yang ditentukan adalah yang lebih muda daripada itu.
Pasal 2
Kebebasan dari diskriminasi atas dasar apa pun, termasuk jenis kelamin, agama, asal etnis atau sosial, kelahiran atau status lainnya.
Pasal 3
Dalam semua tindakan mengenai anak-anak ... kepentingan terbaik dari anak harus menjadi pertimbangan utama.
Pasal 6
Memberikan dukungan maksimum terhadap kelangsungan hidup dan pembangunan.
Pasal 12
Hak untuk mengekspresikan pandangannya secara bebas dalam segala hal yang memengaruhi anak, sesuai dengan usia dan kematangannya.
Pasal 19
Hak atas perlindungan dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, cidera atau penyalahgunaan, penganiayaan atau eksploitasi, termasuk penyalahgunaan seksual, ketika sedang dalam pengasuhan orang tua, wali, atau orang lain.
Pasal 24
Hak untuk kesehatan dan mengakses layanan kesehatan, serta untuk dilindungi dari praktik-praktik tradisional yang berbahaya.
Pasal 28 dan 29
Hak untuk berkesempatan mendapatkan pendidikan dasar yang sama.
Pasal 34
Hak atas perlindungan dari semua bentuk eksploitasi seksual dan pelecehan seksual.
Pasal 35
Hak untuk perlindungan dari penculikan, penjualan, atau perdagangan.
Pasal 36
Hak perlindungan dari segala bentuk eksploitasi yang merugikan aspek apa pun dalam kesejahteraan anak.

58. Bahwa ketentuan yang menjamin hak-hak anak untuk tidak dipaksa melakukan perkawinan anak juga ditegaskan di dalam Pasal 16 dari Universal Declaration of Human Rights(UDHR) 1948, yang menyatakan: (1) Laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa ... berhak untuk menikah dan membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal pernikahan, selama menjalani pernikahan, dan pada saat perceraian; (2) Pernikahan harus dilaksanakan hanya dengan persetujuan penuh dan secara bebas dari para pihak yang terlibat.  Ketentuan serupa juga kembali ditegaskan di dalam International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights 1966 dan International Covenant on Civil and Political Rights1966. Selain itu perlindungan serupa juga secara tegas dikemukanan di dalam beberapan instrumen internasional HAM berikut ini:

Ketentuan
Materi
Pasal 1 Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade, and Institutions and Practices Similar to Slavery tahun 1956
Setiap praktik ketika (i) seorang wanita, tanpa hak untuk menolak, dijanjikan atau dinikahkan dengan pembayaran berdasarkan pertimbangan uang atau barang kepada orang tuanya, wali, keluarga ...
Pasal 1, 2, dan 3 dari Convention on Consent to Marriage, Minimum Age for Marriage and Registration of Marriages tahun 1964
(1) Sebuah pernikahan dianggap tidak sah apabila tidak ada persetujuan penuh dan secara bebas dari kedua belah pihak yang terlibat dan persetujuan tersebut akan diungkapkan oleh mereka secara pribadi ... sebagaimana ditentukan oleh hukum. (2) Pihak negara harus ... menetapkan usia minimum untuk menikah ("tidak kurang dari 15 tahun" sesuai dengan rekomendasi tidak terikat dari konvensi ini). Tidak ada pernikahan yang sah secara hukum dilaksanakan oleh setiap orang di bawah batas umur ini, kecuali otoritas yang berwenang telah memberikan dispensasi terkait usia karena alasan yang serius dan demi kepentingan kedua mempelai ... (3) Semua perkawinan harus didaftarkan ... oleh pejabat yang berwenang.

Pasal 16.1 dan 16.2 Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women tahun 1979
-  dalam hal: (a) memasuki pernikahan, (b) bebas memilih pasangan dan untuk memasuki pernikahan hanya dengan persetujuan yang penuh dan bebas; ...
-  pertunangan dan pernikahan seorang anak tidak akan memiliki kekuatan hukum dan semua tindakan yang diperlukan, termasuk legislasi, harus diambil untuk menetapkan usia minimum seseorang untuk menikah.

Pasal XXI African Charter on the Rights and Welfare of the Child tahun 1990
pernikahan anak serta pertunangan antara anak perempuan dan laki-laki harus dilarang dan tindakan efektif, termasuk legislasi, harus diambil untuk menetapkan usia minimum pernikahan menjadi delapan belas tahun.

59. Bahwa berdasarkan uraian di atas terlihat jika instrumen internasional hak asasi manusia juga menghendaki adanya batas usia minimum bagi perkawinan, meski tidak secara tegas menetapkan usia yang dipandang tepat. Kendati ada kecenderungan untuk menafsirkan standar pelarangan perkawinan dari seseorang yang berusia di bawah 18 tahun sesuai dengan Konvensi Hak Anak, yang dimaksudkan untuk melindungi dan menjamin terpenuhinya hak-hak anak;

60. Bahwa pembenaran adanya perkawinan anak sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan menunjukkan adanya ancaman terhadap pemenuhan dan perlindungan hak-hak asasi anak khususnya anak perempuan Indonesia. Sebab ketentuan a quokemudian menjadi landasan dan dasar hukum dibenarkannya perkawinan bagi wanita yang sudah mencapai umur 16 tahun dan dalam praktiknya menjadi peluang dilakukannya pernikahan bagi usia wanita sebelum umur 16 tahun yang menurut para pemohon merupakan ‘perkawinan anak’;

61. Bahwa di Indonesia, 34,5% dari 2.049.000 perkawinan yang terjadiselama tahun 2008 adalah perkawinan anak. Dilaporkan juga bahwa selama kurun waktu tahun 2000-2008, kecenderungan perkawinan anak di tingkat nasional dan di Jawa Tengah cenderung menurun, tetapi cenderung meningkat di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (BPS, 2009). Seperti halnya di banyak negara lain, perkawinan anak lebih sering terjadi di daerah perdesaan dan menimpa perempuan berpendidikan rendah (vide Bukti P-5);

62. Bahwa berdasarkan Survei Data Kependudukan Indonesia (SDKI) 2007 menunjukan 22% perempuan menikah sebelum usia 18 tahun, bahkan di beberapa daerah didapatkan bahwa sepertiga dari jumlah pernikahan yang terdata, ternyata dilakukan oleh pasangan yang usianya di bawah 16 tahun.Selain itu berdasarkan Hasil Survei Demografi dan Kesehatan (SDKI) 2012 menunjukkan masih ada 10% (6927) remaja usia 15-19 yang sudah pernah melahirkan atau sedang hamil anak pertama (Bukti P-7);

63. Bahwa di sejumlah pedesaan, bahkan pernikahan seringkali dilakukan segera setelah anak perempuan mendapat haid pertama. Hasil penelitian UNICEF di Indonesia (2002), menemukan angka kejadian pernikahan anak berusia 15 tahun berkisar 11% (vide Bukti P-5);

Ketentuan a quo mengakibatkan banyaknya kasus pemaksaan perkawinan anak

64. Bahwa menurut UU Perkawinan, persetujuan merupakan salah satu syarat yang menentukan legalitas sebuah perkawinan. Pasal 6 sampai dengan Pasal UU Perkawinan menetapkan persyaratan yang harus dipenuhi agar sebuah perkawinan dapat dianggap sah. Ini terdiri dari persyaratan internal yang berhubungan dengan kondisi orang yang akan kawin dan persyaratan eksternal yang berhubungan dengan pengaturan perkawinan yang melibatkan pejabat publik;

65. Bahwa dalam Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan disebutkan bahwa perkawinan didasarkan pada persetujuan dari pengantin laki-laki dan perempuan. Meskipun persyaratan adanya persetujuan ini bertujuan untuk melindungi anak-anak dari perkawinan paksa, yang tetap menjadi kepedulian adalah apakah anak-anak yang belum dewasa dan memiliki kapasitas untuk bertindak dapat memberikan persetujuan yang "bebas dan penuh". Deklarasi Universal HAM mengakui bahwa persetujuan untuk kawin tidak dapat dikatakan "bebas dan penuh” ketika salah satu pihak yang terlibat tidak cukup matang untuk membuat keputusan tentang pasangan hidup;

66. Bahwa dalam hal ini, perkawinan anak (di bawah 18 tahun) yang diperbolehkan berdasarkan UU a quo merupakan suatu bentuk pelanggaran hak, karena anak terlalu muda untuk membuat keputusan tentang pasangan perkawinan mereka atau tentang implikasi dari perkawinan itu sendiri. Dalam Kompilasi Hukum Islam, persetujuan dari pengantin laki-laki dan perempuan bahkan didefinisikan sebagai, “Persetujuan dari pengantin perempuan dapat berupa pernyataan tegas dalam bentuk pernyataan tertulis atau lisan, atau gerakan, tetapi juga dapat diam saja, yang dapat ditafsirkan sebagai tidak ada penolakan yang tegas”. Definisi persetujuan seperti ini justru akan berkontribusi pada terjadinya perkawinan paksa, khususnya dalam masyarakat patriarki, dengan ketidakberdayaan perempuan dan kurang diartikulasikannya aspirasi mereka;

67. Bahwa sebagai contoh yang umum untuk melihat situasi ada dalam sebuah kasus pernikahan antara Pujiono Cahyo Widiono, atau lebih dikenal sebagai Syekh Puji (43 tahun), menikahi Lutfiana Ulfa (12 tahun) pada November 2008. Syekh Puji adalah seorang pengusaha kaya di Semarang yang telah beristri. Sementara itu, Ulfa baru lulus dari sekolah dasar dan dikenal oleh teman-temannya sebagai murid yang cerdas, rajin, dan ramah dalam pergaulan. Orang tua Ulfa adalah karyawan pada suatu perusahaan swasta dan memiliki latar belakang kesejahteraan ekonomi yang terbatas. Oleh karena perbedaan ekonomi yang mencolok antara Puji dan mertuanya ini, banyak yang menilai bahwa perkawinan tersebut bermotif ekonomi;

68. Bahwa Pujiono Cahyo Widiono mengakui dirinya telah menikah secara agama pada 8 Agustus 2008, pukul 03.03 dini hari di kediamannya, kompleks ponpes Miftahul Jannah, Desa Bedono dengan disaksikan oleh ribuan orang yang terdiri atas para santri, karyawan perusahaannya, dan tokoh-tokoh masyarakat setempat. Dia juga sekaligus mengumumkan bahwa perkawinan sirinya dengan anak perempuan berusia 12 tahun sebagai hal yang wajar dan halal menurut ajaran agama Islam. Dikatakannya juga bahwa dia akan menikahi dua perempuan belia lainnya yang masih berusia 9 dan 7 tahun dalam waktu dekat;

69. Bahwa pernyataannya di media tersebut semakin memicu kontroversi yang luar biasa dari masyarakat luas dan menuai kecaman dari berbagai pihak. Sebagai akibatnya, permohonan surat nikah (proses legal formal) untuk perkawinannya dengan Lutfiana Ulfa ditolak olah KUA Kabupaten Semarang. Alasannya adalah tidak melihat indikasi adanya pemberian izin dari istri pertama terhadap pelaksanaan poligami yang dijalani Syekh Puji;

70. Bahwa dalam perkembangannya, pada 14 Oktober 2010, Pujiono akhirnya dituntut dengan hukuman enam tahun penjara dan denda enam puluh juta rupiah. Dia dihukum dengan pertimbangan tidak mengindahkan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan dalih mengawini anak di bawah umur, melecehkan perempuan, serta memasung hak anak karena tidak dapat bersekolah;

Ketentuan a quo mengancam kesehatan reproduksi anak perempuan

71. Bahwa kehamilan pada usia kurang dari 17 tahun akan meningkatkan risiko komplikasi medis, baik pada ibu maupun pada anak. Kehamilan di usia yang sangat muda ternyata berkorelasi dengan angka kematian dan kesakitan ibu. Disebutkan bahwa anak perempuan berusia 10-14 tahun berisiko lima kali lipat meninggal saat hamil maupun bersalin dibandingkan kelompok usia 20-24 tahun, sementara risiko ini meningkat dua kali lipat pada kelompok usia 15-19 tahun. Sebagai contoh Angka kematian ibu usia di bawah 16 tahun di Kamerun, Etiopia, dan Nigeria, bahkan lebih tinggi hingga enam kali lipat. Hal ini terjadi karena anatomi tubuh anak belum siap untuk proses mengandung maupun melahirkan, sehingga dapat terjadi komplikasi berupa obstructed labour serta obstetric fistula (vide Bukti P-7); (Bukti P-8); (Bukti P-9); (Bukti P-10);

72. Bahwa data dari UNPFA tahun 2003, memperlihatkan 15%-30% di antara persalinan di usia dini disertai dengan komplikasi kronik, yaitu obstetric fistula. Fistula merupakan kerusakan pada organ kewanitaan yang menyebabkan kebocoran urin atau feses ke dalam vagina. Wanita berusia kurang dari 20 tahun sangat rentan mengalami obstetric fistula. Obstetric fistula ini dapat terjadi pula akibat hubungan seksual di usia diniPernikahan anak berhubunganerat dengan fertilitas yang tinggi, kehamilan dengan jarak yang singkat, juga terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan (vide Bukti-P7); (vide Bukti P-8); (vide Bukti P-9);  dan ; (vide Bukti P-10)

73. Bahwa mudanya usia saat melakukan hubungan seksual pertamakali juga meningkatkan risiko penyakit menular seksual dan penularan infeksi HIV. Banyak remaja yang menikah dini berhenti sekolah saat mereka terikat dalam lembaga pernikahan, mereka seringkali tidak memahami dasar kesehatan reproduksi, termasuk di dalamnya risiko terkena infeksi HIV. Infeksi HIV terbesar didapatkan sebagai penularan langsung dari partner seks yang telah terinfeksi sebelumnya. Lebih jauh lagi, perbedaan usia yang terlampau jauh menyebabkan anak hampir tidak mungkin meminta hubungan seks yang aman akibat dominasi pasangan;

74. Bahwa perkawinan anak dengan kehamilan dini (di bawah umur 18 tahun) sangat berisiko tinggi bagi si Ibu, karena si Ibu sedang dalam masa pertumbuhan yang masih memerlukan gizi, sementara janin yang dikandungnya juga memerlukan gizi sehingga ada persaingan perebutan nutrisi dan gizi antara ibu dan janin; dengan resiko lainnya, adalah:
-   Potensi kelahiran premature;
-   Bayi lahir cacat;
-   Bayi lahir dengan berat badan rendah/kurang;
-   Ibu beresiko anemia (kurang darah),
-   Ibu mudah terjadi perdarahan pada proses persalinan,
-   Ibu mudah eklampsi (kejang pada perempuan hamil),
-  Meningkatnya angka kejadian depresi pada Ibu karena perkembangan psikologis belum stabil
-  Meningkatkan Angka Kematian Ibu (AKI),
- Study epidemiologi kanker serviks menunjukan resiko meningkat lebih dari 10x bila jumlah mitra sex 6/lebih atau bila berhubungan seks pertama dibawah usia 15 tahun
- Semakin muda perempuan memiliki anak pertama, semakin rentan terkena kanker serviks
-  Resiko terkena penyakit menular seksual
-  Organ reproduksi belum berkembang sempurna

75. Bahwa perkawinan usia muda juga berisiko pada terjadinya karsinoma serviks, akibat keterbatasan gerak sebagai istri dan kurangnya dukungan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, karena terbentur kondisi ijin suami dan ekonomi, sehingga berkontribusi terhadap meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas pada remaja yang hamil (vide Bukti-P7); (vide Bukti P-8); (vide Bukti P-9);  dan ; (vide Bukti P-10)

76. Bahwa berdasarkan Indikator dari Age Specific Fertility Rate atau angka kelahiran menurut umur (ASFR) menunjukkan kesempatan yang tersedia untuk remaja perempuan dan kerentanan yang mereka alami selama dan sepanjang masa remaja mereka terutama dalam periode kehamilan akibat dari belum siapnya anak remaja perempuan tersebut dalam hal fisik, mental, sosial dan ekonomi. Komplikasi kehamilan dan melahirkan pada usia dini merupakan salah satu penyumbang dari tingginya angka kematian ibu (AKI); (vide Bukti-P7); (vide Bukti P-8); (vide Bukti P-9);  dan ; (vide Bukti P-10)

77. Bahwa menurut data UNICEF perempuan yang melahirkan pada usia 15-19 tahun beresiko mengalami kematian dua kali lebih besar dibandingkan dengan perempuan yang melahirkan pada usia di atas 20 tahun (vide Bukti P-8);

78. Bahwa hasil penelitian di Indonesia juga menunjukkan apabila kelahiran terjadi pada perempuan usia anak sebelum mencapai usia 18 tahun mempunyai resiko kematian (mengancam hidupnya), kecacatan dan kesakitan (kelangsungan hidupnya). Dengan demikian pembiaran pengaturan usia 16 tahun anak perempuan menikah  bertentangan dengan tujuan konstitusi untuk melindungi hak hidup dan kelangsungan hidup anak;

79. Bahwa kasus komplikasi kehamilan anak perempuan yang kawin pada usia anak cukup tinggi. Hasil kajian PSKK (2011) menunjukkan bahwa tigkat komplikasi kehamilan dari anak perempuan yang kawin cukup tinggi terutama di Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat, yang angkanya bisa mencapai rata-rata sekitar 70%. Penyebab utamanya adalah tingginya faktor resiko dan minimnya sarana kesehatan yang bisa melayani mereka (vide Bukti P-5);

80. Bahwa hasil penelitian yang dilakukan Hanum (1997) juga telah memperkuat data di atas, dikatakannya bahwa perkawinan dini hanya melahirkan resiko besar terhadap prognosa kehamilan yang berimplikasi terhadap kesehatan ibu dan anak, serta mempunyai beban psikologis pasangan yang bertubi-tubi (vide Bukti P-5 dan vide Bukti P-7);

Ketentuan a quomengancam hak anak atas pendidikan

81. Bahwa semakin muda usia anak perempuan menikah maka semakin rendah tingkat pendidikan yang dapat dicapai oleh anak yang bersangkutan. Pernikahan anak seringkali  menyebabkan anak tidak lagi bersekolah karena ia memiliki tangungjawab baru baik sebagai istri atau calon ibu, atau orangtua yang akan diharapkan berperan lebih besar mengurus rumah tangga atau menjadi tulang punggung keluarga  dan keharusan mencari nafkah;

82. Bahwa berdasarkan beberapa penelitian UNICEF  didapatkan korelasi antara tingkat pendidikan dan usia saat menikah, dimana jika semakin tinggi usia anak saat menikah maka pendidikan anak relative lebih tinggi dan demikian pula sebaliknya. Pernikahan di usia dini menurut penelitian UNICEF tahun 2006 tampaknya berhubungan dengan derajat pendidikan yang rendah. Oleh karena itu menunda usia pernikahan merupakan salah satu cara agar anak dapat mengenyam pendidikan yang lebih tinggi (vide Bukti P-8); (vide Bukti P-9) dan (Vide Bukti P-10)

83. Bahwa situasi yang digambarkan dalam fakta-fakta hasil penelitian di atas telah berakibat pada terampasnya hak atas pendidikan yang semestinya bisa dinikmati oleh setiap anak di Indonesia, sebagai bagian dari pemenuhan hak-hak konstitusional warga negara. Sistem pendidikan nasional di Indonesia menerapkan wajib belajar 12 tahun, apabila perkawinan anak perempuan dilakukan pada usia 16 tahun, anak tersebut tidak dapat menikmati hak-hak konstitusionalnya untuk mendapatkan pendidikan; (vide Bukti P-7)

84. Bahwa berdasarakan pada uraian argumentasi di atas, khususnya implikasi yang ditimbulkan oleh ketentuan a quo, jelas ketentuan a quo baik langsung maupun tidak langsung telah secara faktual dan juga potensial mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap hak anak untuk tumbuh dan berkembang, serta memperoleh hak atas pendidikan, sehingga ketentuan a quo harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945;

C.3. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa “16 (enam belas) tahun dan Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan telah mengakibatkan terjadinya diskriminasi dalam pemenuhan hak antara anak laki-laki dan anak perempuan, sehingga bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945

85. Bahwa ketidaksetaraan jender merupakan konsekuensi dalam pernikahan anak. Oleh karena mempelai anak perempuan memiliki kapasitas yang terbatas baik untuk menyuarakan pendapat, menegosiasikan keinginan berhubungan seksual, memakai alat kontrasepsi, dan mengandung anak, juga terbatas dalam aspek domestik lainnya (vide Bukti P-7); (vide Bukti P-8) dan (vide Bukti P-9);

86. Bahwa dominasi pasangan seringkali menyebabkan anak perempuan rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga tertinggi terjadi di India, terutama pada perempuan berusia 18 tahun. Anak yang menghadapi kekerasan dalam rumah tangga cenderung tidak melakukan perlawanan, sebagai akibatnya mereka pun tidak mendapat pemenuhan rasa aman baik di bidang sosial maupun finansial.Selain itu, pernikahan dengan pasangan terpaut jauh usianya meningkatkan risiko keluarga menjadi tidak lengkap akibat perceraian, atau menjanda karena pasangan meninggal dunia (vide Bukti P-5,(vide Bukti P-7), (vide Bukti P-8) dan (vide Bukti  P-9);

87. Bahwa merujuk pada hasil penelitan PSKK UGM, menunjukkan bahwa anak perempuan yang kawin pada usia muda rentan terhadap tindak KDRT. Kasus KDRT paling banyak dialami anak perempuan di Sikka, Lembata, Dompu, Indramayu, dan Rembang. Terjadinya KDRT tak jarang dipicu oleh tekanan adat yang menempatkan anak perempuan pada posisi yang rentan. Terkait adat belis di Sikka misalnya, pihak suami merasa telah membeli istri melalui pemberian belis, sehingga ia merasa berhak melakukan kekerasan terhadap istri. Mereka yang mengalami KDRT tingkat rendah (frekuensi jarang) mencapai di atas 60%, sedangkan yang mengalami KDRT tingkat tinggi (frekuensi sering) mencapai di atas 40% (vide Bukti P-5 );

88. Bahwa temuan serupa juga dikemukakan oleh penelitian Sativa (2009), yang menunjukkan bahwa perkawinan dini hanya akan menjadi industri yang memproduksi perilaku sulit dalam menjalankan peran akan status baru, hingga kemudian terbukti tidak harmonisnya rumah tangga. Efek lanjutannya, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dalam beberapa kasus menjadi pemicu utama terjadinya perceraian (vide Bukti P-7);

89. Bahwa penegasan yang sama juga dikemukakan oleh Imariar (2010), yang membuktikan bahwa perkawinan pada usia dini memiliki relasi fungsi terhadap terjadinya perceraian. Masalah dalam keluarga baru, datang silih berganti seiring masa transisi yang begitu cepat. Perubahan status yang cukup cepat berdampak pada pasangan kawin tidak siap dalam menjalankan peran baru. Akibatnya adalah proses perceraian yang tidak terelakkan. Selanjutnya masalah yang mendera pasangan cerai ini semakin runcing dan serba sulit seiring dengan kesedihan yang harus dijalani dalam lingkungan sosial tanpa pasangan (vide Bukti P-7);

90. Bahwa informasi yang sama juga disampaikan oleh Muh. Azwar Thamrin (2009), yang mengatakan, dampak dari perkawinan dini adalah terjadinya pertengkaran selama perkawinan yang merupakan ancaman bagi kelangsungan rumah tangga sehingga membuat kehidupan rumah tangga mareka tidak harmonis. Sebagian yang lain juga menganggap bahwa pertengkaran merupakan hal yang biasa atau wajar terjadi dalam setiap hubungan tidak terkecuali di dalam hubungan perkawinan. Pertengkaran-pertengkaran yang terjadi tersebut disebabkan oleh beragam faktor mulai dari faktor ekonomi yang paling sering menjadi pemicu pertengkaran, faktor emosi sampai faktor anak/keturunan dalam hal mengurus anak, yang pada akhirnya bisa mengarah pada terjadinya perceraian (vide Bukti P-5);

91. Bahwa Komite tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan telah menyatakan dalam Rekomendasi Umum No. 21, dengan mengatakan: “Mempertimbangkan bahwa usia minimum perkawinan hendaknya 18 tahun bagi mempelai laki-laki maupun mempelai perempuannya. Ketika seorang laki-laki dan seorang perempuan menikah, mereka memiliki tanggungjawab penting. Oleh karena itu, perkawinan sebaiknya tidak diperbolehkan sebelum mereka mencapai kematangan penuh dan kematangan untuk bertindak”. Oleh karena itu, berdasar pada rekomendasi tersebut, penetapan usia minimum untuk menikah yang lebih rendah bagi anak perempuan dibanding anak laki-laki adalah suatu bentuk diskriminasi;

92. Bahwa diskriminasi menurut berbagai instrumen hukum internasional hak asasi manusia yang diakui, dapat diartikan sebagai setiap bentuk pembedaan, tidak memasukkan atau exclusion, pembatasan atau preferensi, yang didasarkan pada alasan apapun seperti ras, warna kulit, kelamin, bahasa, agama, pandangan politik dan pandangan lain, asal rumpun bangsa atau asal sosial, kepemilikan status kelahiran atau status lain yang bertujuan atau yang mengakibatkan dihapuskan atau dihalanginya pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan oleh semua orang dengan kesetaraan semua hak dan kebebasan;

93. Bahwa segala bentuk diskriminasi adalah dilarang menurut berbagai instrumen hukum internasional hak asai manusia, juga dilarang oleh UUD 1945 khususnya Pasal 28I ayat (2), termasuk juga larangan diskriminasi dalam pemenuhan hak-hak anak, yang ditegaskan di dalam ketentuan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945;

94. Bahwamenyikapi berbagai bentuk tindakan diskriminasi, khususnya yang terkait dengan batas usia perkawinan anak laki-laki dan perempuan, Komite tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan telah memberikan rekomendasi sebagai berikut: “…perundang-undangan mengenai usia minimum untuk menikah harus di tinjau kembali untuk memastikan bahwa undang-undang atau peraturan tersebut tidak bersifat membeda-bedakan berdasarkan jenis kelamin dan agama dan Negara-negara anggota sebaiknya mempertimbangkan untuk menaikkan batas usia minimum menjadi 18 tahun dan Bahwa Pertimbangan harus diberikan untuk menghapuskan atau mengamendemen perundang-undangan yang memperbolehkan mereka untuk menikah dalam keadaan luar biasa, khususnya ketika perundang-undangan ini membolehkan mereka untuk menikah tanpa suatu ketetapan pengadilan bahwa perkawinan merupakan kepentingan terbaik bagi mereka”;

95. Bahwa berdasarkan alasan-alasan di atas, keberadaan ketentuan a quo yang mengatur mengenai batas usia perkawinan anak perempuan telah secara jelas dan meyakinkan melahirkan adanya tindakan yang diskriminatif dalam perlakuan antara anak laki-laki dan perempuan, sehingga berakibat pada tidak terpenuhinya sejumlah hak-hak konstitusional khususnya bagi anak perempuan. Oleh karena itu ketentuan a quo harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;

D.  Petitum

Berdasarkan alasan-alasan hukum dan konstitusional di atas, maka Para Pemohon dalam hal ini memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk dapat memutus hal-hal sebagai berikut:

1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian undang-undang yang diajukan oleh Para Pemohon untuk seluruhnya;
2.  Menyatakan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sepanjang frasa umur 16 (enam belas) tahun”, bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang tidak dibaca umur 18 (delapan belas) tahun”;
3.  Menyatakan ketentuan Pasal 7 ayat (1)  UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sepanjang frasa umur 16 (enam belas) tahun”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dibaca umur 18 (delapan belas) tahun”;
4. Menyatakan ketentuan Pasal  7 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945;
5. Menyatakan ketentuan Pasal 7 ayat (2)  UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
6. Memerintahkan amar putusan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang mengabulkan permohonan pengujian undang-undang a quo, untuk dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan;

Atau apabila Majelis Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aeque et bono).



Jakarta, 16  Juli 2014







Supriyadi Widodo Eddyono, S.H.




                                             


Wahyudi Djafar, S.H.








Anggara, S.H.








Wahyu Wagiman, SH.








Ade Novita, S.H.








Erasmus  A. T. Napitupulu, S.H.







Rully Novian, S.H.







Robert Sidauruk, S.H.








Adi Condro Bawono, SH.








Alfeus Jebabun, SH.



-------------------------------------------------------------------------------------------


Keterangan:
Permohonan uji materi UU Perkawinan ini diregistrasi oleh Kepaniteraan MK pada Senin 11 Agustus 2014 dengan Nomor Perkara 74/PUU-XII/2014.
readmore »»  
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More