Harmoni...

Jakarta, September 2010

Harmoni...

Jakarta, Desember 2010

Belahan jiwa

......

...Belahan jiwa...

......

ceria...

Jakarta, 8 Januari 2012

Nora Uzhma Naghata

Bogor, 24 Februari 2011

Nora Uzhma Naghata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Taman Safari Puncak

Bogor, 24 Februari 2011

Bandara Ahmad Yani

Semarang, 28 September 2011

Rileks

*********

Nur Rosihin Ana

Semarang, 19 Oktober 2010

Nur Rosihin Ana

mahkamah dusturiyyah, 18 Juli 2012

Nur Rosihin Ana

Hotel Yasmin, Puncak, Desember 2010

Nora Uzhma Naghata

Naghata

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Demak, 11 September 2011

Nur Rosihin Ana

Nagreg, Bandung 11 Juli 2011

Nora Uzhma Naghata, Sri Utami, Najuba Uzuma Akasyata, Nur Rosihin Ana

Sapa senja di Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Sapa Senja Jepara

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

...bebas, lepas...

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Kamis, 21 Agustus 2014

Gubernur Capres Harus Mundur?

Pejabat negara yang menjadi calon presiden/wakil presiden harus mundur dari jabatannya. Apakah gubernur/wakil gubernur, bupati/walikota, serta wakil bupati/wakil walikota, termasuk ke dalam definisi pejabat negara?

Perrtanyaan seputar siapa yang dimaksud “pejabat negara” mengemuka dalam persidangan perkara Nomor 52/PUU-XII/2014 ihwal permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres). Tiada rumusan yang jelas mengenai siapa yang dimaksud “pejabat negara” dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU Pilpres beserta penjelasannya.
Rumusan mengenai “pejabat negara” Pasal 6 ayat (1) UU Pilpres beserta penjelasannya menimbulkan diskriminasi dan ketidakpastian yang bertentangan dengan UUD 1945. Bahkan Pasal 6 ayat (1) UU Pilpres beserta penjelasannya pun bertentangan dengan UU lainnya, yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Pasal 122 huruf l dan m UU ASN menyebutkan gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota, adalah pejabat negara. Selengkapnya Pasal 122 huruf l dan m UU ASN menyatakan, “Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 yaitu:... l. Gubernur dan wakil gubernur; m. Bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota;...”
Pasal 6 ayat (1) UU Pilpres menyatakan, “Pejabat negara yang dicalonkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya.”Penjelasan Pasal 6 ayat (1) UU Pilpres menyatakan, “Yang dimaksud dengan “pejabat negara” dalam ketentuan ini adalah Menteri, Ketua Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Konstitusi, Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.”Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilpres menyatakan, “(1) Gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota yang akan dicalonkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus meminta izin kepada Presiden. (2) Surat permintaan izin gubernur, wakil gubernur, bupati, wakilbupati, walikota, dan wakil walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada KPU oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagai dokumen persyaratan calon Presiden atau calon Wakil Presiden.
Permohonan uji materi UU Pilpres ini diajukan oleh dua orang warga yakni, Yonas Risakotta dan Baiq Oktavianty. Adapun materi yang diujikan para Pemohon yaitu Pasal 6 ayat (1), Penjelasan Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilpres. Menurut Pemohon, ketentuan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Idealnya, kepala daerah yang mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden haruslah mengundurkan diri seperti pejabat negara lainnya.
Yonas Risakotta adalah pendukung berat Joko Widodo (Jokowi) dalam Pemilukada DKI Jakarta tahun 2012. Belum genap dua tahun usia Jokowi menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, Jokowi kembali tampil sebagai Capres dalam Pilpres tahun 2014. Yonas tetap setia mendukung Jokowi. Namun, kali ini dia berharap Jokowi menjadi seorang negarawan. Sebagai negarawan, Jokowi yang maju sebagai Capres harus siap mundur dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sementara Baiq Oktavianty adalah penduduk DKI Jakarta yang memiliki hak konstitusional untuk menduduki jabatan-jabatan publik seperti menjadi menteri, ketua MA, ketua MK, pimpinan BPK, pimpinan KPK.

Calon Presiden Negarawan
Presiden sebagai pejabat kekuasaan eksekutif merupakan cabang kekuasaan yang memegang kewenangan pemerintahan negara yang tertinggi (the most powerful authority). Sistem pemerintahan dalam UUD 1945 menganut sistem presidensil yang terpusat pada jabatan presiden sebagai kepala pemerintah sekaligus sebagai kepala negara. Hal ini berbeda dengan jabatan legislatif dan yudikatif.
Jabatan presiden merupakan jabatan tunggal yang hanya diisi oleh satu orang pemangku jabatan. Maka tidak mengherankan jika hal ini menjadikan presiden sebagai figur nasional yang amat berpengaruh. “Tidak mengherankan jika seorang presiden akan menikmati legitimasi pemilu yang sangat kokoh, menjadikannya nasional figur yang amat berpengaruh,” kata A.H. Wakil Kamal, selaku kuasa hukum para Pemohon dalam sidang pendahuluan yang digelar di MK, Senin (16/6/2014).
UUD 1945 telah memberikan kekuasaan yang luar biasa kepada presiden. Hal ini bisa dilihat dari Pasal 4 ayat (1) dan selanjutnya. Bahkan kewenangan presiden dalam UUD 1945 tidak hanya bersifat eksekutif, melainkan juga terdapat kewenangan noneksekutif yang meliputi kewenangan bersifat legislatif dan bersifat yudisial, dan kewenangan pemerintahan dalam keadaan darurat.
Berdasarkan segala bentuk privilege dan kekuasaan presiden (presidential powers) sebagaimana dalam UUD 1945, maka untuk dapat mencalonkan diri sebagai presiden/wakil presiden tidak dengan peruntungan atau coba-coba. Seseorang yang hendak maju sebagai Capres harus penuh kesungguhan dan memiliki sikap negarawan. “Harus dengan kesungguhan dan sikap negarawan,” lanjut Wakil Kamal.

Harus Mundur
Khidmah untuk menjadi seorang calon presiden merupakan puncak pengabdian tertinggi dari seorang warga negara kepada negara dan bangsanya. Oleh karenanya, pejabat publik harus mundur dari jabatannya ketika menjadi Capres/Cawapres. Hal ini untuk menghindari spekulasi dan “perjudian” dalam memperoleh jabatan. “Kalau seorang pemegang jabatan politik tidak mundur ketika mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden, itu sama saja dengan memperjudikan jabatannya yang penuh spekulatif, serta tidak mau ambil risiko. Kalau menang dalam pemilu presiden, baru kemudian mundur. Tapi kalau tidak menang, maka jabatan yang diembannya dilanjutkan kembali,” dalil Wakil Kamal.
Hal tersebut jelas telah menciderai kehormatan, wibawa, dan martabat jabatan presiden dan lembaga kepresidenan itu sendiri yang menghendaki sosok negarawan sejati. Seorang negarawan harus terbebas dari nafsu merebut dan mempertahankan kekuasaan semata. Jabatan presiden merupakan panggilan negara dan bangsa yang memerlukan totalitas pengabdian dan pengorbanan, serta mengenyampingkan kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan.
Apabila menteri, ketua, atau pimpinan lembaga negara yang menjadi Capres/Cawapres diharuskan mundur, sedangkan pejabat negara seperti gubernur, bupati, walikota, tidak diharuskan mundur, maka telah terjadi diskriminasi pejabat publik atau dalam bahasa lain adalah terjadi ketidaksamaan di hadapan hukum dan pemerintahan. Jika seorang gubernur atau bupati yang hendak mengikuti kontestan pemilu sebagai anggota DPR, DPD, atau DPRD saja wajib mundur, maka ia pun harus mundur ketika mencalonkan diri menjadi Capres/Cawapres.
Oleh karena itulah, Pemohon dalam petitum permohonan meminta Mahkamah menyatakan Pasal 6 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) UU Pilpres bertentangan secara bersyarat terhadap UUD 1945 dan tidak tidak berkuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai: Pejabat negara “termasuk gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati atau walikota atau wakil walikota.” Kemudian menyatakan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilpres bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Memperkuat dalil-dalil permohonan, Pemohon mengajukan bukti P-1 sampai P-5. Pemohon juga menghadirkan dua ahli yaitu, Irmanputra Sidin dan Ubedilah Badrun yang memberikan keterangan dalam persidangan di MK, Rabu (2/7/2014).

Gubernur adalah Pejabat Negara
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mualimin Abdi menyatakan, UU Pilpres mewajibkan kepada menteri, Ketua MA, Ketua MK, Pimpinan BPK, Panglima TNI, Kepala Polri, dan Pimpinan KPK yang akan dicalonkan menjadi presiden atau wakil presiden harus mengundurkan diri pada saat mendaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pengunduran diri para pejabat negara tersebut dimaksudkan untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan terwujudnya etika politik ketatanegaraan pemerintahan. Namun di sisi lain, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota hanya perlu meminta izin kepada presiden pada saat dicalonkan menjadi presiden atau wakil presiden.
Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia terpilih adalah pemimpin bangsa, bukan hanya pemimpin golongan atau kelompok tertentu. Untuk itu, dalam membangun etika pemerintahan, terdapat semangat bahwa presiden atau wakil presiden terpilih tidak merangkap jabatan.
Definisi suatu kata atau istilah dalam suatu peraturan perundang-undangan, harus sama dengan rumusan definisi dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di kemudian hari, sesuai dengan dinamika hukum yang ada dan sesuai dengan kebutuhan yang terkait dengan materi yang akan diatur. Hal ini sebagaimana diatur di dalam Lampiran 104 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Dalam Pasal 1 angka (1) Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dinyatakan bahwa, “Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Kemudian, dalam Pasal 2 disebutkan, penyelenggara negara meliputi, pejabat negara pada lembaga tertinggi negara, pejabat negara pada lembaga tinggi negara, mentari, gubernur, hakim, pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketiga, dalam Pasal 122 huruf l sebagaimana disebutkan di muka.
Oleh karena itu, menurut Pemerintah, rumusan definisi pejabat negara adalah meliputi seluruh unsur penyelenggara negara, termasuk di dalamnya adalah kepala daerah. “Pemerintah menyimpulkan bahwa rumusan definisi pejabat negara adalah meliputi seluruh unsur penyelenggara negara, termasuk di dalamnya adalah kepala daerah, yaitu gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota,” kata Mualimin Abdi.
Mualimin yang juga menjabat Plt. Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan lebih lanjut menegaskan, pejabat negara dalam klausul sebagai calon presiden dan wakil presiden, hendaknya dimaknai sama bagi seluruh penyelenggara pemerintahan, sebagaimana diatur di dalam Ketentuan Pasal 122 huruf l UU ASN. “Karena Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara diberlakukan kemudian,” tegasnya.
Iklim dalam negara demokrasi menghendaki adanya hak untuk memilih dan dipilih. Salah satunya adalah hak untuk dapat memilih presiden dan dipilih sebagai presiden. Namun, dalam penyelenggaraan etika tata pemerintahan kehidupan berbangsa dan bernegara, hendaknya setiap pejabat negara yang masih aktif dalam jabatannya, mempunyai iktikad baik untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai dengan amanah yang telah dipercayakan kepadanya hingga masa jabatannya berakhir. “Pejabat negara, berhak untuk mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden sepanjang memenuhi persyaratan yang telah ditentukan, antara lain mundur dari jabatannya,” terang Mualimin.

Idealnya, pejabat negara yang masih aktif tidak tergoda untuk menjadi Capres/Cawapres hingga masa jabatannya berakhir. Hal ini terutama untuk menjaga wibawa pejabat negara di mata masyarakat dan menjaga stabilitas ketatanegaraan di segala aspek kehidupan. “Sebaiknya pejabat negara yang masih aktif tidak mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden hingga jabatannya berakhir,” saran Mualimin. 

Pemerintah
Kepala Daerah adalah Pejabat Negara
Rumusan definisi “pejabat negara” meliputi seluruh unsur penyelenggara negara, termasuk di dalamnya adalah kepala daerah. “Pemerintah menyimpulkan bahwa rumusan definisi pejabat negara adalah meliputi seluruh unsur penyelenggara negara, termasuk di dalamnya adalah kepala daerah, yaitu gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota,” kata Plt. Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan, Mualimin Abdi saat menyampaikan keterangan Pemerintah dalam persidangan di MK, Rabu (2/7/2014).Pejabat negara dalam klausul sebagai Capres/Cawapres, hendaknya dimaknai sama bagi seluruh penyelenggara pemerintahan, sebagaimana diatur di dalam Ketentuan Pasal 122 huruf l UU ASN. “Karena Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara diberlakukan kemudian,” tegasnya.Setiap pejabat negara yang masih aktif, hendaknya mempunyai iktikad baik untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sesuai dengan amanah yang telah dipercayakan hingga masa jabatannya berakhir. “Pejabat negara, berhak untuk mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden sepanjang memenuhi persyaratan yang telah ditentukan, antara lain mundur dari jabatannya,” terang Mualimin. 

DPR
Tidak Etis, Tidak Adil
Persamaan kedudukan bagi setiap warga negara mutlak dijelaskan di dalam UUD 1945. Seharusnya terhadap setiap pejabat negara, ketegasan itu harus betul-betul dijalankan. Sebab penyelengara negara, pejabat negara memiliki peranan yang besar di dalam jabatannya untuk juga bisa memberikan ketidakadilan pada saat dia menjadi seorang calon presiden,” kata Anggota Komisi III DPR RI, Martin Hutabarat, saat menyampaikan keterangan DPR dalam persidangan di MK, Rabu (2/7/2014).Cotohnya, saat seorang calon presiden mengadakan acara jalan kaki di Jakarta. Saat itu, ada podium bagi sang Capres untuk melakukan kampanye politik. “Tidak ada satu pun pejabat di bawahnya, di pemerintahan gubernur tersebut, yang berani menegurnya, karena masih melekat jabatan sebagai pejabat negara yang belum berhenti pada saat yang bersangkutan menjadi seorang calon presiden,” kata Martin menyontohkan.Hal tersebut jelas menimbulkan ketidakadilan bagi para Capres lainnya. Padahal seharusnya UUD 1945 menjamin kesetaraan, keadilan, kesamaan hak bagi setiap warga negara, termasuk juga pada setiap pejabat negara untuk memberikan satu kedudukan yang sama dalam menjalankan peran sebagai Capres. “Tidak etis dan tidak menunjukkan keadilan, itulah yang menjadikan bahwa kami menyatakan sikap menginginkan agar putusan Majelis dapat memberikan keadilan yang sesuai dengan norma yang sesuai dengan UUD 1945,” saran DPR. 

Irmanputra Sidin
Gubernur adalah Pejabat Negara
Munculnya norma baru dalam penjelasan UU menjadi masalah laten pembentukan peraturan perundang-undangan kita sejak dahulu. Biasanya norma baru dalam penjelasan adalah produk kompromistis para pembentuk UU yang sesunggguhnya adalah materi yang tidak disetujui menjadi batang tubuh, sehingga menyusup menjadi bagian dari penjelasan.Sejak MK hadir dalam sejarah konstitusi kita, norma baru dalam bentuk penjelasan sebuah UU adalah inkonstitusional karena akan bertentangan dengan konstitusi Pasal 1 dan Pasal 28D UUD 1945. Putusan Mahkamah Nomor 011/PUU-III/2005 yang kemudian ditegaskan lagi dalam Putusan 79/PUU-IX/2011 menegaskan bahwa penjelasan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma.
Penjelasan Pasal 6 ayat (1) UU Pilpres yang tidak menggolongkan jabatan kepala daerah sebagai pejabat negara, adalah norma baru yang bersifat limitatif. “Norma baru seperti ini cenderung akan menimbulkan kekacauan impelementasi atau akan menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga penjelasan ini sesungguhnya bertentangan dengan konstitusi,” kata Irmanputra Sidin saat bertindak sebagai ahli Pemohon dalam persidangan di MK, Rabu (2/7/2014).Putusan Mahkamah Nomor 75/PUU-X/2012 pun mengakui kepala daerah adalah pejabat negara. Kemudian dalam Putusan Nomor 15/PUU-XI/2013 Mahkamah menegaskan lagi bahwa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah merupakan jabatan eksekutif pemerintahan dengan kewenangan tunggal. “Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 disebutkan bahwa penyelenggara negara c.q. pejabat negara, salah satunya adalah gubernur,” tegasnya. 

Ubedillah Badrun
Identitas Pejabat Negara Melekat pada Gubernur
Dalam perspektif politik kelembagaan (institutionalist approach), gubernur adalah orang yang menduduki posisi sebagai pejabat negara dalam lembaga negara atau eksekutif di tingkat daerah yang menjalankan pemerintah di daerah berdasarkan UU dan sistem politik demokrasi di Indonesia saat ini. Perpesktif ini menunjukkan posisi gubernur sebagai pejabat negara di tingkat daerah. Bukti struktural lainnya adalah dalam perspektif politik anggaran yang tidak hanya terikat oleh APBD, tapi juga terikat oleh UU APBN. “Ini menunjukkan kelekatan padanya identitas pejabat negara,” kata Ubedillah Badrun saat bertindak sebagai ahli Pemohon dalam persidangan di MK, Rabu (2/7/2014).
Dalam perspektif normative analysis, gubernur memiliki kewajiban normatif ketaatan kepada UU yang berlaku. Hal ini juga nampak ada korelasinya dengan perspektif etika politik yang menghendaki agar elit politik tidak memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi. Oleh karena itu, secara etika politik, kepala daerah yang mencalonkan diri sebagai presiden, seharusnya mengundurkan diri dari jabatannya. “Ketika seorang gubernur mundur dari jabatannya dalam proses pencalonan pemilihan presiden, secara etik politik, sesungguhnya ia menunjukkan sebagai seorang negarawan untuk memenuhi panggilan kepentingan negara yang lebih besar. Dengan demikian, lepas dari persepsi sebagai seorang yang memiliki hasrat dan ambisi kekuasaan,” tegasnya.

Nur Rosihin Ana
Majalah Konstitusi Edisi No. 90 - Agustus 2014 hal. 14-19 klik di sini

readmore »»  

Rabu, 20 Agustus 2014

Potret Buram Pemilu Legislatif Di Maluku Utara

Perintah Mahkamah untuk penghitungan ulang suara Pemilu Legislatif Tahun 2014 di Dapil Maluku Utara Itidak dilaksanakan sepenuhnya oleh KPU Provinsi Maluku Utara. Mahkamah pun memerintahkan pemungutan suara ulang di 15 kecamatan di Kabupaten Halmahera Selatan.
Pemilihan umum (Pemilu) merupakan suatu mekanisme rekrutmen untuk pengisian anggota lembaga perwakilan. Pemilu sebagai suatu mekanisme demokrasi didasarkan pada suatu prinsip bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan.
Namun, apa jadinya jika penyelenggaraan Pemilu tidak seiring sejalan dengan cita ideal yang dikehendaki. Fakta menunjukkan terjadinya pelanggaran dan kecurangan masih mewarnai tahapan penyelenggaraan Pemilu. Hal ini tentu sangat mencoreng proses perjalanan demokrasi di negeri ini.
Apa yang terjadi di Daerah Pemilihan (Dapil) Maluku Utara I dalam Pemilu Legislatif 2014 menjadi potret buram dalam proses dan tahapan Pemilu. Betapa tidak, perintah Mahkamah untuk melakukan penghitungan suara ulang, tidak dilakukan sepenuhnya oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Maluku Utara (Termohon). Padahal Mahkamah dalam Putusan Nomor 04-03-31/PHPU-DPR-DPRD/XII/2014 telah memerintahkan Termohon untuk melakukan penghitungan suara ulang untuk DPR RI Dapil Maluku Utara I di 18 kecamatan di Kabupaten Halmahera Selatan. Namun Termohon hanya melakukan penghitungan ulang di tiga kecamatan dengan menggunakan data perolehan suara yang lengkap. Sedangkan 15 Kecamatan lainnya dihitung ulang dengan data yang tidak lengkap.

Modus Penggelembungan Suara
Putusan Sela MK Nomor 04-03-31/PHPU-DPR-DPRD/XII/2014 muncul bermula adanya permohonan perselisihan hasil Pemilu calon anggota DPR/DPRD Tahun 2014 yang diajukan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). PKS dalam permohonannya menyebutkan, KPU (Termohon) menetapkan perolehan suara PKS di Dapil Maluku Utara untuk keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dinyatakan memperoleh 71.757. Sedangkan perolehan suara Partai Amanat Nasional (PAN) adalah sebesar 77.099.
Perolehan suara tersebut berdasarkan Keputusan KPU Nomor 411/Kpts/KPU/TAHUN 2014 tentang Penetapan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota Secara Nasional dalam Pemilu Tahun 2014, tertanggal 9 Mei 2014, juncto Model E-1 tentang Rekapitulasi Jumlah Perolehan Suara Sah Partai Politik Secara Nasional Dalam Pemilu Anggota DPR Tahun 2014. Terdapat selisih perolehan suara antara PKS dan PAN sebanyak 5.342 suara.
Menurut PKS, penetapan tersebut tidak benar karena diwarnai kecurangan yang sangat serius yang dilakukan secara sistematis, terstruktur, dan masif yang dilakukan oleh aparatur KPU Kabupaten Halmahera Selatan. Modusnya yaitu dengan menggelembungkan perolehan suara seluruh Parpol peserta Pemilu. Penggelembungan suara PAN lebih besar dari parpol lainnya. Penggelembungan suara dilakukan mulai dari rekapitulasi tingkat PPK/kecamatan (Formulir DA) dan kabupaten (Formulir DB) di Halmahera Selatan. Padahal sebelumnya pada pleno KPU Provinsi Maluku Utara berdasarkan Model DC 1 DPR – RI tertanggal 05 Mei 2014, hasil rekapitulasi perolehan suara pada Dapil Maluku Utara untuk tingkat provinsi, PKS memperoleh 70.162 suara, sedangkan PAN memperoleh 86.081 suara.
Termohon hanya melakukan pencermatan perolehan suara di 12 kecamatan dari 30 kecamatan. Sedangkan untuk 18 kecamatan sisanya hanya digunakan data dari DB Halmahera Selatan yang datanya meragukan. Selain itu, terjadi penambahan suara PAN sebanyak 2.482 suara di Kabupaten Halmahera Timur.
Untuk membuktikan dalilnya, Pemohon mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P.3.1 sampai dengan bukti P.3.429, serta 3 (tiga) orang saksi yaitu Asnawi Lagalante, Salman Gafar, dan Yanuar Arif Wibowo. Asnawi Lagalante menerangkan, di tingkat provinsi, suara PKS mengalami pengurangan yaitu dari 37.504 suara menjadi 34.504 suara akibat adanya dua versi Formulir DA yang ditandatangani oleh KPU. Sedangkan suara PAN mengalami peningkatan menjadi sekitar 33.000 suara. “Di (tingkat) provinsi, PKS keberatan dengan suara yang diperoleh, karena (suara) PKS mengalami penurunan dari 37.504 menjadi 34.504, berkurang 3000,” kata Asnawi Lagalente ketika menyampaikan kesaksian dalam persidangan di MK, Jum’at (6/6/2014).

Dua Dokumen Berbeda
Sekuensi fakta yang terjadi dalam rekapitulasi perolehan suara anggota DPR RI di Dapil Maluku Utara I, berdasarkan keterangan Termohon dan Keterangan Bawaslu Maluku Utara adalah, terdapat dua dokumen Model DB penghitungan suara yang berbeda di Kabupaten yang angkanya berbeda. Yaitu dokumen yang diperoleh dari print out Model DB yang dibagikan kepada para saksi Parpol pada 25 April 2014, dan Model DB yang dibagikan kepada para saksi Parpol pada tanggal 26 April 2014.
Menindaklanjuti Hal tersebut, Bawaslu Provinsi Maluku Utara melakukan kajian yang dituangkan dalam dokumen Nomor 07.19/KL/BAWASLU-MU/2014, tertanggal 1 Mei 2014. Berdasarkan hasil kajian, Bawaslu lalu mengeluarkan rekomendasi Nomor 77/Bawaslu-MU/2014, tanggal 1 Mei 2014. Isi rekomendasi Bawaslu antara lain, merekomendasikan kepada KPU Provinsi Maluku Utara segera memerintahkan kepada KPU Kabupaten Halmahera Selatan melakukan rekapitulasi ulang di 16 kecamatan di Kabupaten Halmahera Selatan untuk Calon Anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten. Ke-16 kecamatan dimaksud yaitu Kecamatan Obi, Obi Selatan, Obi Barat, Bacan Timur, Bacan, Bacan Timur Selatan, Bacan Timur Tengah, Mandioli Utara, Mandioli Selatan, Gane Barat Selatan, Gane Timur, Gane Timur Tengah, Gane Timur Selatan, Kayoa Utara, Kayoa Barat, dan Makian Barat.
Sedangkan untuk 14 kecamatan lainnya, apabila ada keberatan saksi dan/atau Bawaslu Provinsi Maluku Utara yang dibuktikan dengan data C dan lampiran C-1, maka harus dilakukan pembetulan dengan merujuk kepada Formulir C dan C-1 lampiran dan dilakukan rekapitulasi ulang untuk semua partai yang dibuka lampiran C-1. Selain itu, Untuk DPR RI dan DPD RI, apabila ada keberatan saksi yang dibuktikan dengan dokumen yang sah, maka harus dilakukan pembetulan dari dokumen DA, dan apabila tidak sesuai maka dibuka dokumen C dan lampirannya dalam forum rekapitulasi KPU Provinsi Maluku Utara.
Alasan Bawaslu mengeluarkan rekomendasi tersebut, antara lain, adalah KPU Kabupaten Halmahera Selatan tidak menanggapi keberatan saksi Parpol karena ketidaksesuaian antara data DB Kabupaten Halmahera Selatan hasil cetakan KPU Kabupaten Halmahera Selatan tanggal 25 April 2014 dengan DA1 dan C1 yang dimiliki oleh masing-masing saksi Parpol dan Bawaslu. Kemudian terhadap Berita Acara Model DB Kabupaten Halmahera Selatan setelah dipelajari oleh Panwaslu Kabupaten Halmahera Selatan, terdapat ketidakcocokan antara Berita Acara Model DA dan Berita Acara Model C1.
Berdasarkan Berita Acara KPU Maluku Utara Nomor 17/BA/V/2014 tentang Rapat Koreksi Pembetulan Angka Perolehan Suara Calon Anggota DPR di Seluruh Kecamatan dalam Wilayah Kabupaten Halmahera dalam Wilayah Kabupaten Halmahera Timur, Halmahera Selatan, dan Kabupaten Pulau Morotai, 9 Mei 2014, bertempat di KPU RI, untuk Halmahera Selatan disepakati melakukan koreksi dan pembetulan angka pada DB DPR RI Kabupaten Halmahera Selatan dengan memeriksa keabsahan 22 Form DA yang dimiliki KPU Provinsi.
Setelah diyakini bahwa dokumen sah maka angka pada Form DA dimasukkan pada Form DB. Jumlah Form DA yang dianggap sah oleh peserta rapat sebanyak 12 kecamatan dan 9 kecamatan lainnya diragukan oleh Bawaslu dan saksi Parpol, 9 Form DA tersebut karena itu tidak diinput ke dalam Form DB. Untuk data pada 18 kecamatan yang tidak terkoreksi tetap menggunakan data DB yang lama. Berita Acara Nomor 17/BA/V/2014 ditandatangani oleh lima anggota KPU Provinsi Maluku Utara. Sedangkan dari Parpol, hanya ditandatangani oleh dua saksi Parpol yaitu PAN dan Partai Golkar.
Form DB yang dipermasalahkan di Kabupaten Halmahera Selatan terdapat 30 kecamatan, yaitu kecamatan Obi, Obi Utara, Obi Barat, Obi Timur, Obi Selatan, Bacan, Kepulauan Botang Lomang, Bacan Barat, Bacan Barat Utara, Kasiruta Timur, Kasiruta Barat, Bacan Selatan, Bacan Timur, Bacan Timur Tengah, Bacan Timur Selatan, Mandioli Utara, Mandioli Selatan, Gane Barat, Gane Barat Utara, Gane Barat Selatan, Kepulauan Joronga, Gane Timur, Gane Timur Tengah, Gane Timur Selatan, Kayoa, Kayoa Barat, Kayoa Selatan, Kayoa Utara, Pulau Makian, dan Makian Barat.
Dalam Berita Acara Nomor 17/BA/V/2014, perolehan suara yang sudah terkoreksi adalah pada 12 kecamatan yaitu kecamatan Obi, Obi Barat, Obi Selatan, Obi Utara, Obi Timur, Pulau Makian, Kayoa, Kayoa Barat, Kayoa Selatan, Kepulauan Jorongan, Bacan Timur Selatan, dan Bacan Barat Utara.
Rekomendasi Bawaslu Provinsi Maluku Utara tersebut di atas, ternyata tidak dilaksanakan sepenuhnya. Sebab dari 30 kecamatan tersebut, terhadap 18 kecamatan yang tidak terkoreksi, alias mempergunakan data dari Model DB yang lama, yaitu DB DPR RI Kabupaten Halmahera Selatan yang datanya menurut Bawaslu Provinsi Maluku Utara harus dihitung ulang.

Hitung Ulang 18 Kecamatan
Alhasil Mahkamah mengeluarkan Putusan Sela yang dibacakan pada Senin (30/6/2014). Amar putusan Mahkamah untuk DPR RI Dapil Maluku Utara I yaitu menangguhkan berlakunya Keputusan KPU Nomor 411/Kpts/KPU/TAHUN 2014 tentang Penetapan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota secara nasional dalam Pemilu Tahun 2014 sepanjang mengenai DPR RI Dapil Maluku Utara I di 18 kecamatan di Kabupaten Halmahera Selatan. Yaitu Kecamatan Bacan, Kepulauan Botang Lomang, Bacan Barat, Kasiruta Timur, Kasiruta Barat, Bacan Selatan, Bacan Timur, Kecamatan Bacan Timur Tengah, Mandioli Utara, Mandioli Selatan, Gane Barat, Gane Barat Utara, Gane Barat Selatan, Gane Timur, Gane Timur Tengah, Gane Timur Selatan, Kayoa Utara, dan Kecamatan Makian Barat.
Selanjutnya, Mahkamah memerintahkan KPU Provinsi Maluku Utara melakukan penghitungan suara ulang di 18 kecamatan tersebut dengan mempergunakan Model Form D. Apabila tidak ditemukan Model Form D tersebut, dengan mempergunakan bukti penghitungan perolehan suara yang sah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak diucapkan putusan ini dalam sidang terbuka untuk umum. “Memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum Provinsi Maluku Utara untuk melakukan penghitungan suara ulang untuk DPR RI Dapil Maluku Utara I di 18 kecamatan di Kabupaten Halmahera Selatan,” kata Ketua MK Hamdan Zoelva membacakan amar putusan Nomor 04-03-31/PHPU-DPR-DPRD/XII/2014.
Mahkamah juga memerintahkan KPU, Bawaslu, Bawaslu Provinsi Maluku Utara, dan Panwaslu Kabupaten Halmahera Selatan untuk mengawasi pelaksanaan penghitungan suara ulang dan melaporkan hasilnya paling lambat dua hari setelah selesainya pelaksanaan penghitungan suara ulang. Selain itu, memerintahkan Kepolisian Republik Indonesia Daerah Maluku Utara untuk mengamankan pelaksanaan penghitungan suara ulang.

Pelaksanaan Hitung Ulang
Selanjutnya, KPU Provinsi Maluku Utara melaksanakan rapat pleno terbuka penghitungan suara ulang pada 18 kecamatan di Kabupaten Halmahera Selatan pada 6-8 Juli 2014 pukul 10.00 WIT. Bertempat di Hotel Bella International, rapat dihadiri oleh KPU Halmahera Selatan, Bawaslu Provinsi Maluku Utara, unsur Pemda dan aparat keamanan dari Polda Maluku Utara, serta saksi dari Parpol. Saksi yang hadir terdiri dari 10 Parpol, sedangkan dua Parpol yaitu PKB dan PPP berhalangan hadir.
Sesuai dengan berita acara, jumlah dokumen penghitungan suara ulang yang berada dalam 3 kotak suara diterima dari KPU Halmahera Selatan. Yaitu Model C1 ukuran plano sebanyak 55 dokumen dari total 276 TPS pada 18 kecamatan, tetapi 4 plano diantaranya dikategorikan invalid karena tidak tercantum nomor dan alamat TPS. Kemudian dokumen Model D1 Plano sebanyak 7 dokumen dari 154 PPS. Terakhir, satu dokumen Model DA 1 Plano dari 18 kecamatan, tapi tidak digunakan dalam penghitungan ulang.

Penolakan Saksi
Ketika menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu untuk penghitungan suara dengan menggunakan form/dokumen Model C dan Model D yang dimiliki oleh Bawaslu Provinsi Maluku Utara pada rapat pleno 7 Juli 2014, terjadi keberatan dan penolakan dari sebagian besar saksi Parpol. Mereka berpendapat dokumen yang ada pada Bawaslu tidak dapat dijadikan dokumen rujukan dan alat bukti untuk penghitungan suara ulang karena dokumen tersebut adalah dokumen sandingan. Penolakan saksi Parpol dituangkan dalam Berita Acara yang ditandatangani, dan meminta KPU Provinsi untuk menyerahkan print out hasil penghitungan sementara berdasarkan dokumen dari KPU Halmahera Selatan yang sudah selesai dihitung.
Setelah mereka menerima print out hasil penghitungan sementara, saksi partai politik menyerahkan surat pernyataan dan meninggalkan ruang pleno karena KPU Provinsi akan melanjutkan penghitungan suara dengan menggunakan dokumen KPU yang ada pada Bawaslu yang terlebih dahulu disandingkan dengan data saksi yang bersedia hadir. Adapun saksi Parpol yang menolak yaitu, Partai Nasdem, PDIP, Partai Golkar, Partai Gerindra, PAN, Hanura, PBB, dan PKPI.
Rapat pleno yang dilaksanakan pada Selasa 8 Juli 2014 pukul 11.00 WIT dimulai dengan penyandingan data antara form yang dimiliki Bawaslu Provinsi Maluku Utara dan data form yang dimiliki saksi dari Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat. Data yang disanding dari data Bawaslu terdiri dari Model D-1 sejumlah 10 dokumen dan Model C-1 sejumlah 52 dokumen. Adapun hasil rekapitulasi penghitungan suara ulang sebagaimana tertuang dalam Formulir Model DA-1 DPR RI halaman 3-1 sampai dengan halaman 6-1, sebagaimana yang tercantum dalam Berita Acara Nomor 35/BA/VII/2014.

Dokumen 18 Kecamatan Raib
Bawaslu Provinsi Maluku Utara dalam laporannya antara lain menyatakan bahwa KPU Provinsi Maluku Utara melalui sidang pleno penghitungan suara ulang mengakui tidak memiliki dokumen Berita Acara Model D pada seluruh desa di 18 kecamatan sebagaimana diperintahkan oleh Mahkamah. KPU Provinsi Maluku Utara mengaku hanya memiliki data Formulir Model D-1 Plano sejumlah tujuh dokumen dari 154 desa dan Formulir C-1 Plano sejumlah 55 dokumen dari 276 TPS.
Bawaslu Provinsi Maluku Utara juga melaporkan bahwa saat proses rekapitulasi terjadi perdebatan terkait dengan tafsir Putusan Mahkamah. Perbedaan mengerucut dalam dua pendapat. Pertama, penghitungan suara ulang dengan menggunakan Formulir D, apabila Formulir D tidak lengkap maka turun ke Formulir C-1 apabila data hasil penghitungan suara tidak dimiliki oleh KPU Provinsi maka menggunakan data yang dimiliki oleh Pengawas Pemilu. Kedua, penghitungan suara hanya menggunakan data yang dimiliki oleh KPU Provinsi apabila KPU Provinsi tidak ada data bukti hasil penghitungan suara, maka dibuatkan Berita Acara dan selanjutnya dilaporkan ke MK.

Pemungutan Ulang
Mahkamah berpendapat, amar Putusan Nomor 04-03-31/PHPU.DPRDPRD/XII/2014 yang dibacakan pada Senin (30/6/2014) dengan jelas memerintahkan dilakukannya penghitungan suara ulang pada 18 kecamatan di Kabupaten Halmahera Selatan untuk pengisian keanggotaan DPR RI Dapil Maluku Utara. Termohon pun telah melakukan penghitungan ulang.
Namun, dari 18 kecamatan tersebut, hanya tiga kecamatan yang telah dihitung ulang oleh Termohon dengan menggunakan data perolehan suara yang lengkap yang dipegang Termohon dan Bawaslu. Tiga Kecamatan tersebut adalah Kecamatan Mandioli Utara, Gane Barat dan Kecamatan Gane Barat Selatan. Sedangkan untuk 15 Kecamatan lainnya dihitung ulang dengan data yang tidak lengkap. Data yang telah dihitung ulang oleh Termohon hanya mencakup 90 TPS, sehingga dari 276 TPS di 18 kecamatan tersebut, terdapat 150 TPS yang tidak dilakukan penghitungan ulang oleh Termohon.
Kendati dari 15 kecamatan tersebut telah dilakukan penghitungan suara ulang dengan menggunakan dokumen penghitungan suara yang sah pada sebagian TPS, namun hasil penghitungan tersebut tidak dapat memberikan gambaran yang pasti mengenai berapa perolehan suara Parpol dan calon anggota legislatif yang sebenarnya. Dengan demikian, menurut Mahkamah, Termohon tidak melaksanakan penghitungan ulang sesuai dengan amar putusan Mahkamah khusus untuk 15 kecamatan di Kabupaten Halmahera Selatan.
Dengan demikian, menurut Mahkamah, 15 kecamatan tersebut harus dilakukan pemungutan suara ulang. Ke-15 kecamatan dimaksud yaitu, Bacan, Kepulauan Botang Lomang, Bacan Barat, Kasiruta Timur, Kasiruta Barat, Bacan Selatan, Bacan Timur, Bacan Timur Tengah, Mandioli Selatan, Gane Barat Utara, Gane Timur, Gane Timur Tengah, Gane Timur Selatan, Kayoa Utara, dan Makian Barat.
Alhasil, Mahkamah pun memerintahkan KPU Provinsi Maluku Utara untuk melaksanakan pemungutan suara ulang untuk pengisian Anggota DPR RI Dapil Maluku Utara di 15 kecamatan di Kabupaten Halmahera Selatan paling lambat 30 hari sejak pengucapan putusan ini. “Memerintahkan Komisi Pemilihan Umum Provinsi Maluku Utara untuk melaksanakan Pemungutan Suara Ulang untuk pengisian Anggota DPR RI Dapil Maluku Utara di 15 kecamatan di Kabupaten Halmahera Selatan,” kata Ketua MK membacakan amar putusan Nomor 04-03-31/PHPU-DPR-DPRD/XII/2014, Rabu (6/8/2014), di ruang sidang pleno MK.
Mahkamah juga memerintahkan KPU, Bawaslu, Bawaslu Provinsi Maluku Utara, dan Panwaslu Kabupaten Halmahera Selatan untuk mengawasi pelaksanaan amar putusan ini. Kemudian memerintahkan kepada KPU, KPU Provinsi Maluku Utara, Banwaslu, Bawaslu Provinsi Maluku Utara, KPU Kabupaten Halmahera Selatan, dan Panwaslu Kabupaten Halmahera Selatan untuk melaporkan pelaksanaan amar putusan ini paling lambat dua hari setelah selesainya penghitungan hasil pemungutan suara ulang. Mahkamah juga memerintahkan Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Maluku Utara untuk mengamankan pelaksanaan amar putusan ini.

Nur Rosihin Ana
Majalah Konstitusi Edisi No. 90 - Agustus 2014 hal. 8-12 klik di sini
readmore »»  

Selasa, 19 Agustus 2014

Ambiguitas Keadilan dalam Ganti Rugi Tanah

Pembangunan yang sedang gencar dilakukan Pemerintah adalah dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Untuk mencapai tujuan pembangunan, Pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan dan regulasi.
Pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum mustahil terwujud tanpa pengadaan tanah. Tanah dan pembangunan merupakan satu kesatuan (unitas) tak terpisahkan. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan, dan keselarasan sesuai dengan nilai-nilai berbangsa dan bernegara. Pengadaan tanah harus diselenggarakan melalui perencanaan dengan melibatkan semua pemangku dan pengampu kepentingan. Oleh karena itu, pengadaan tanah harus memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat.
Ganti kerugian tanah untuk kepentingan publik seringkali memicu permasalahan di masyarakat. Harga yang tidak setimpal dengan nilai tanah membuat masyarakat enggan menyerahkan tanahnya untuk kepentingan umum. Hal ini mengakibatkan proses pembangunan faslititas umum menjadi terhambat.
Regulasi pengadaan tanah untuk kepentingan umum mengabaikan prinsip keadilan. Begitulah dalil yang mengemuka dalam judicial review Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (UU PTPKU) yang kini tengah bergulir di dalam proses persidangan di Mahkamah Konstitusi. Permohonan diajukan oleh delapan warga yang tergabung dalam Paguyuban Warga Peduli Pembangunan Jalan Toll. Mereka yaitu R. Soedarno, Zulhasril Nasir, Soetopo Ronodihardjo, Benggol Martonohadi, Purwoko, Pekik Denjatmiko, Surya Gunawan, dan Hidayat. Paguyuban Warga Peduli Pembangunan Jalan Toll merupakan paguyuban yang memiliki kepedulian terhadap warga yang memiliki tanah yang terkena proyek Jalan Toll Cinere Jagorawi (Cijago) dan pembangunan jalan toll lainnya di Indonesia di waktu yang akan datang, terdiri dari.
Permohonan yang diregistrasi oleh Kepaniteraan MK pada Kamis (10/4/2014) dengan Nomor 42/PUU-XII/2014 ini meminta MK menguji ketentuan Pasal 1 ayat (10) PTPKU yang menyatakan, “Ganti Kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah.”
Menurut para Pemohon, berlakunya Pasal 1 ayat (10) UU PTPKU dan pasal terkait lainnya yaitu Pasal 9 ayat (2), Pasal 31, Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 27 ayat (4) PTPKU, menyebabkan para Pemohon mengalami kerugian konstitusional. Ketentuan ini tidak memberikan kepastian hukum. Apakah keadilan yang dimaksud adalah menurut pihak yang membebaskan atau pihak yang dibebaskan? Sehingga menurut para Pemohon ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 yang menjamin hak konstitusional Para Pemohon untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum yang adil atas hak miliknya.

Korbankan Hak Milik Rakyat
Keadilan adalah penilaian dengan memberikan kepada siapapun sesuai dengan apa yang menjadi haknya, yakni dengan bertindak proposional dan tidak melanggar hukum. Keadilan berkaitan erat dengan hak. Dalam konsepsi bangsa Indonesia hak tidak dapat dipisahkan dengan kewajiban.
Inkonstitusionalitas norma dalam frasa “pemberian ganti kerugian yang layak dan adil”, dalam pelaksanaannya menimbulkan multitafsir pihak-pihak terkait. Rakyat selaku pemegang hak, seringkali menjadi korban.
Penilaian besarnya ganti kerugian yang adil juga terkait dengan Pasal 31 UU PTPKU yang menyatakan, “(1) Lembaga Pertanahan menetapkan Penilai sesuai dengan peraturan perundang-undangan. “(2) Lembaga Pertanahan mengumumkan Penilai yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk melaksanakan penilaian Obyek Pengadaan Tanah.”

Peran Perusahaan Appraisal
Penilai yang dimaksud dalam UU PTPKU adalah perusahaan yang bergerak di bidang Appraisal. Ketentuan Pasal 31 UU PTPU tersebut membuka celah terjadinya pemberian kuasa tidak terbatas kepada pihak appraisal (Penilai) dalam menjalankan tugasnya.
Seyogianya dalam pasal tersebut atau dalam Penjelasannya harus disebutkan dengan metode apa perusahaan appraisal menilai aset-aset pemilik hak. Hal ini untuk menjamin kepastian hukum Para Pemohon, dan menghindari adanya tindakan kesewenang-wenangan secara sepihak.
Seperti diketahui, selain NJOP, terdapat beberapa metode yang dapat dijadikan tolak ukur bagi penilai dalam melakukan penilaiannya terhadap suatu aset tanah atau bangunan. Misalnya Metode Penyusutan atau Nilai Buku, dan Metode Nilai Perolehan dengan Hasil Baru (nilai pengganti, atau nilai perolehan sebagai bangunan baru).
Ketentuan Pasal 31 UU PTPU juga membuka celah masuknya pihak ketiga, dalam hal ini pihak sponsor yang merupakan pihak pemberi order. Kepentingan sponsor berpotensi membuat penilaian harga menjadi lebih rendah dari harga yang sebenarnya.

Untungkan Investor
Ganti kerugian yang adil dalam ketentuan Pasal 1 angka 10 dan pasal-pasal UU PTPKU lainnya, membuka peluang bagi pihak pembebas untuk menetapkan ganti kerugian serendah mungkin lahan dengan cara sewenang-wenang, baik secara terang-terangan atau terselubung. Penilaian dan penetapan suatu harga yang memenuhi unsur keadilan, harus berdasarkan beberapa unsur misalnya, harga jual pada saat itu dan harga berdasarkan luas bangunan. Harga NJOP tidak selamanya realistis di daerah tertentu dan pada periode waktu tertentu. Harga NJOP tidak sama dengan nilai rata-rata nilai jual yang sesungguhnya terjadi di daerah tersebut.
Menjadi pertanyaan pihak masyarakat adalah mengapa NJOP yang merupakan Pendapatan Asli Daerah, tidak disesuaikan dengan harga nyata di masyarakat. Penetapan NJOP yang rendah mempengaruhi PAD untuk pembangunan daerah dari NJOP tetap rendah.
Pembebasan lahan yang hanya mengacu kepada harga NJOP sangat menguntungkan bagi investor dalam pengadaan tanah. Padahal dari sisi kelayakan usaha, investor tetap akan dapat memperoleh return on investment (RoI) yang baik dan terjamin, tanpa harus menekan serendah-rendahnya harga pembebasan lahan. Misalnya soal tarif toll, Pemerintah selalu mendukung investor secara berkala menaikkan tarip toll. Hal ini berarti peningkatan volume sales tanpa kesulitan berarti. Apalagi tarip toll di Jakarta saat ini relatif masih sangat rendah dibandingkan dengan tarip toll kota-kota metropolitan lainnya di dunia, misalnya Tokyo dan New York, sehingga tarip toll di Jakarta sangat berpotensi untuk dinaikkan sesuai situasi.
Pembangunan jalan toll akan terus berjalan, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Oleh karena itu perlu adanya perlindungan dalam UU agar masyarakat, termasuk para Pemohon terhindar dari kepentingan aksi ambil untung para pembebas tanah. Masyarakat tidak menjadi korban pemiskinan dengan intimidasi dan ancaman baik terang-terangan atau terselubung yang tidak mereka sadari.
Ketentuan Pasal 1 ayat 10 UU PTPKU merupakan langkah mundur jika dibandingkan dengan ketentuan ganti kerugian yang sebelumnya yang diatur dalam PerPres Nomor 36/2005 yang sudah diganti (diperbaharui) dengan Perpres Nomor 65/2006. Pasal 1 ayat 11 Perpres Nomor 36/2005 menyatakan, “Ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik dan/atau non fisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelumterkena pengadaan tanah.”
Ganti kerugian yang layak dan adil dalam Pasal 1 ayat 10 UU PTPKU membuka peluang multitafsir. Layak dan adil menurut pihak pembebas lahan, atau layak dan adil menurut pihak pemilik lahan?
Oleh karena itu, para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Bab I Pasal 1 Angka 10 UU PTPKU Konstitusional Bersyarat (conditionally constitutional). Demi menjamin keadilan bagi rakyat, bunyi Pasal 1 angka 10 UU PTPKU menjadi, “Ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik dan/atau non fisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah.”

Nur Rosihin Ana
Majalah Konstitusi Edisi No. 90 - Agustus 2014 hal. 32-33 klik di sini


readmore »»  
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More