Harmoni...

Jakarta, September 2010

Harmoni...

Jakarta, Desember 2010

Belahan jiwa

......

...Belahan jiwa...

......

ceria...

Jakarta, 8 Januari 2012

Nora Uzhma Naghata

Bogor, 24 Februari 2011

Nora Uzhma Naghata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Taman Safari Puncak

Bogor, 24 Februari 2011

Bandara Ahmad Yani

Semarang, 28 September 2011

Rileks

*********

Nur Rosihin Ana

Semarang, 19 Oktober 2010

Nur Rosihin Ana

mahkamah dusturiyyah, 18 Juli 2012

Nur Rosihin Ana

Hotel Yasmin, Puncak, Desember 2010

Nora Uzhma Naghata

Naghata

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Demak, 11 September 2011

Nur Rosihin Ana

Nagreg, Bandung 11 Juli 2011

Nora Uzhma Naghata, Sri Utami, Najuba Uzuma Akasyata, Nur Rosihin Ana

Sapa senja di Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Sapa Senja Jepara

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

...bebas, lepas...

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Minggu, 20 Juli 2014

Proses Penyidikan, Pembuktian, dan Penahanan Langgar HAM

Proses hukum harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan. Prosedur adalah cara yang benar dalam satu proses. Perlindungan hukum dalam satu proses hukum atau yang dikenal secara luas sebagai “Hukum Acara”, tidak bermakna sebagai pedoman atau cara yang sah untuk melindungi pelaku kejahatan untuk menghindar dari tangan hukum. Hukum Acara secara ideal memberikan kesetaraan antara tersangka, terdakwa dengan penyidik dan penuntut dan kemudian diberikan penilaian oleh hakim.
Hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur dan memberikan batasan yang dapat dilakukan oleh negara dalam proses penyelidikan, penyidikan hingga proses peradilan dengan motode yang baku untuk menegakkan hukum dan melindungi hak-hak individu selama proses hukum berlangsung. Pada hakikatanya hukum acara pidana adalah aturan hukum untuk melindungi warga negara dari perlakuan sewenang-wenang oleh aparatur penegak hukum karena diduga melakukan perbuatan pidana. Secara khusus, hukum acara pidana dirancang untuk melindungi dan menegakkan hak-hak konstitusional tersangka dan terdakwa, pada saat dimulai penyelidikan, penyidikan, proses peradilan sampai pelaksanaan hukuman atau eksekusi.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berpotensi menjadi sarana pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM) atas nama penegakan hukum yang akan terjadi terus menerus. Untuk menghindari hal ini, beberapa pasal dalam KUHAP harus diberi tafsir yang jelas atau didefinisikan secara pasti.
Demikian uji materi KUHAP yang diajukan oleh Bachtiar Abdul Fatah. Karyawan PT. Chevron Pacific Indonesia (PT. CPI) ini melalui kuasa hukum Maqdir Ismail, S.F Marbun, Alexander Lay, dkk, mengaku mengalami kerugian konstitusional akibat berlakunya ketentuan Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), Pasal 77 huruf a, Pasal 156 ayat (2) KUHAP. Permohonan Bachtiar diregistrasi oleh Kepaniteraan Mahkamah dengan Nomor 21/PUU-XII/2014.

Multitafsir Takrif Penyidikan
Penyidikan bukan merupakan suatu proses pidana yang mengharuskan lahirnya tersangka pada proses akhirnya. Penyidikan pun secara tegas memberikan syarat bahwa penetapan tersangka merupakan tahapan lanjutan yang syaratnya hanya dapat dilakukan setelah penyidik berhasil mengumpulkan bukti-bukti yang cukup.
Pasal 1 angka 2 KUHAP menyatakan, “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.
Sepintas ketentuan tersebut terlihat jelas. Namun dalam praktik telah menimbulkan pengertian yang multitafsir dan melanggar asas lex certa serta asas lex stricta sebagai asas umum dalam pembentukan perundang-undangan pidana. Sebab hakikat kegiatan penyidikan pengumpulan alat bukti untuk memastikan perbuatan yang diperiksa sebagai perbuatan pidana atau bukan perbuatan pidana, kemudian menentukan siapa pelaku perbuatan pidana tersebut.
Untuk menjamin kesesuaian ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP dengan prinsip-prinsip HAM sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 maka frasa “dan guna menemukan tersangkanya” dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP harus dimaknai sebagai “dan berdasarkan hasil penyidikan tersebut untuk kemudian dapat menemukan tersangkanya” sehingga penyidikan tidak lagi dipergunakan sebagai alat untuk menempatkan orang sebagai tersangka manakala suatu perkara memang tidak seharusnya ada tersangka.

Parameter Bukti Permulaan
Frasa “bukti permulaan” dalam Pasal 1 angka 14 dan frasa “bukti permulaan yang cukup” dalam Pasal 17 KUHAP tanpa disertai dengan parameter yang jelas. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum sehubungan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi penyidik sebelum menyatakan seseorang sebagai tersangka atau sebelum menggunakan upaya paksa dalam menangkap seseorang.
Pasal 1 angka 14 KUHAP menyatakan, “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.”
Bahwa Pasal 1 angka 17 KUHAP menyatakan, “Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.”
Berbeda dengan KUHAP, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) telah mengatur secara jelas parameter dari istilah “bukti permulaan yang cukup” sebagai syarat meningkatkan tahapan penyelidikan menjadi penyidikan dalam Pasal 44 ayat (2) yang menyatakan, “Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik.”
Syarat terdapatnya dua alat bukti dalam UU KPK adalah sejalan dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP. Oleh karena itu sudah seharusnya aparat penegak hukum menggunakan alat bukti sebagai parameter objektif sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka dan dalam menangkap seseorang. Pengertian “bukti permulaan” dan “bukti permulaan yang cukup” haruslah dinyatakan dalam undang-undang, dalam hal ini KUHAP, dan tidak boleh dilakukan melalui peraturan-peraturan lainnya apalagi melalui interpretasi dari para Penyidik.
Oleh karena itu, untuk menjamin HAM sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (5) dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, sudah seyogyanya Mahkamah menyatakan frasa “bukti permulaan” dan “bukti permulaan yang cukup” yang terdapat dalam Pasal 1 angka 14 jo Pasal 17 KUHAP tidak konstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “bukti permulaan” dan “bukti permulaan yang cukup” tidak dimaknai “sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti”.

Perintah Penahanan
Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan tiga Putusan mengenai pengujian Pasal 21 ayat (1) KUHAP yaitu Putusan Mahkamah No. 018/PUU-IV/2006 tertanggal 19 Desember 2006, Putusan Mahkamah No. 41//PUU-VIII/2010 tertanggal 10 Maret 2011 dan Putusan Mahkamah No. 16/PUU-IX/2011 tertanggal 11 April 2012.
Berulangnya pengujian terhadap Pasal 21 ayat (1) KUHAP menunjukkan bahwa permasalahan yang ada bukanlah hanya sekedar permasalahan implementasi atau penerapan hukum dari ketentuan Pasal 21 ayat (1) KUHAP, melainkan sudah merupakan permasalahan yang mengarah pada adanya kesalahan dalam rumusan norma di dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP yang jelas bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan yang secara nyata bertentangan dengan prinsip due process of law sebagaimana digariskan dalam Pasal 1 ayat (3) serta Pasal 28I ayat (5) UUD 1945.
Pasal 21 ayat (1) KUHAP menyatakan, ”Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.”
Terdapat dua frasa penting di dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP yang bersifat multitafsir dan menimbulkan ketidakpastian hukum serta memberikan ruang subyektivitas yang besar kepada penyidik dalam menerapkannya, yaitu frasa “berdasarkan bukti yang cukup” dan frasa “adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran”.
Tidak ada ukuran yang dimaksud dengan bukti yang cukup, maupun bagaimana kriteria penilaian terhadap bukti yang cukup, dari suatu keadaan untuk dapat dikatakan sebagai keadaan yang menimbulkan kekhawatiran, maupun ukuran atau standar atau parameter dari pemahaman atas definisi “keadaan yang menimbulkan kekhawatiran”, tidak ditemukan jawabannya di dalam ketentuan norma di dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP maupun Penjelasan atas pasal tersebut. Pemaknaannya sepenuhnya diserahkan kepada penyidik. Padahal, penyidik tidak diberikan kewenangan oleh UU untuk menginterpretasikan ketentuan UU yang tidak jelas sekalipun, termasuk memberikan interpretasi dasar menurut hukum (rechtmatige heid) dan dasar hukum menurut keperluan berdasarkan suatu keadaan (nood zakelijk heid) dalam melakukan penahanan, terutama berkenaan dengan alasan subyektif yang menimbulkan kekhawatiran bahwa Tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan/ atau mengulangi tindak pidana.
Berdasarkan hal tersebut, rumusan Pasal 21 ayat (1) KUHAP bersifat multitafsir dan menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (5) dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Untuk menepis hal ini, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan frasa “melakukan tindak pidana” dan frasa “dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sehingga Pasal 21 ayat (1) KUHAP menjadi: “Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras berdasarkan bukti yang cukup akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.”

NUR ROSIHIN ANA

Majalah Konstitusi No. 89 Edisi Juli 2014, hal 42-43. Klik di sini


readmore »»  

Kamis, 10 Juli 2014

Pemilu Presiden Satu Putaran

Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden berlangsung satu putaran jika pesertanya hanya dua pasangan calon.

Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) Tahun 2014 hanya diikuti oleh dua pasangan calon. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan pasangan Capres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Pasangan Capres Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai peserta Pilpres 2014.
Pemungutan suara Pilpres digelar pada 9 juli 2014. Kemudian KPU akan mengumumkan hasil resmi rekapitulasi penghitungan suara Pilpres yang rencananya digelar pada 22 Juli 2014.
Tentu ada menang-kalah dalam kompetisi. Namun, permasalahan konstitusional muncul dalam menentukan pemenang kompetisi Pilpres. Yang menjadi pertanyaan adalah, apabila salah satu pasangan Capres memperoleh suara terbanyak dalam Pilpres, apakah dinyatakan sebagai Capres terpilih walaupun perolehan suaranya tidak tersebar dengan sedikitnya 20% di lebih dari setengah provinsi di Indonesia?
Itulah pertanyaan konstitusional yang mengemuka dalam permohonan judicial review Pasal 159 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres). Permohonan yang diregistrasi oleh Kepaniteraan MK dengan Nomor 50/PUU-XII/2014 ini diajukan oleh sejumlah akademisi, pengacara, dan karyawan yang hak-hak konstitusionalnya terusik oleh ketentuan tersebut. Mereka antara lain Andi Muhammad Asrun, Heru Widodo, Zainal Arifin Hoesein (para Pemohon).
Menurut para Pemohon, penyelenggaraan Pilpres harus menjadi kompetisi yang fair agar terpilih pemimpin rakyat yang memiliki kompetensi dan integritas yang memadai. Pilpres secara langsung oleh rakyat merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Untuk menjamin penyelenggaraan pilpres yang demokratis dan beradab, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, maka perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pengaturan Pilpres dalam Pasal 159 UU Pilpres tentu memengaruhi penyelenggaraan Pilpres. Muatan Pasal 159 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilpres secara substansial merupakan duplikasi dari ketentuan Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945. Selengkapnya, berikut persandingan pasal-pasal tersebut.
Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden”
Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 menyatakan, “Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.”
Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres menyatakan, “Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia.”
Pasal 159 ayat (2) UU Pilpres menyatakan, “Dalam hal tidak ada Pasangan Calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), 2 (dua) Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.”
Berlakunya Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres justru menimbulkan multitafsir atas penerapan UUD 1945. Berlakunya Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres potensial mengakibatkan penggunaan keuangan negara yang berlebihan. Selain itu, potensial menimbulkan gesekan dan konflik di tingkat akar rumput.

Konstruksi Hukum Multitafsir
Konstruksi hukum yang dibangun Pasal 6A ayat (3) UUD 1945, menurut para Pemohon, didasarkan pada sebaran jumlah penduduk yang tidak merata antara Jawa dengan luar Jawa. Demikian pula sebaran penduduk pada antarprovinsi di luar Jawa pun tidak seimbang. Kemudian, apabila Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 tidak dapat dipenuhi, maka harus dibuat alternatif prosedurnya sebagaimana muatan materi Pasal 6A ayat (4) UUD 1945. Namun demikian Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 tidak menyatakan secara eksplisit jumlah pasangan calon dan baru dapat diketahui atau dipahami berapa jumlah pasangan calon yang dimaksud oleh Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 ketika dikaitkan dengan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 yang ditegaskan dalam frasa “Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presuiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua…..”.
“Di sinilah masalahnya. Nampak sekali konstitusi kita dengan melihat pada konstruksi pasal ini bahwa pasangan calon diharapkan adalah lebih dari 2, sehingga diambil 2 yang terbanyak, kemudian maju pada putaran kedua,” kata Andi Muhammad Asrun dalam sidang pendahuluan di MK, Senin, (16/6/2014).
Demikian pula ketentuan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres juga tidak diketahui berapa jumlah pasangan calon karena pengertian pasangan calon terpilih dilekatkan pada syarat yang limitatif, yaitu memperoleh suara lebih dari 50% dan sebaran suara 20%. Dalam ketentuan berikutnya yaitu pada Pasal 159 ayat (2) UU Pilpres diberikan jalan dalam prosedur tertentu untuk mengantisipasi jika pada Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres tidak terpenuhi yaitu; “Dalam hal tidak ada Pasangan Calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), 2 (dua) Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.”
Konstruksi hukum yang dibangun dalam ketentuan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres menimbulkan ketidakpastian tafsir. Hal ini diakibatkan oleh ketidakjelasan target penerapannya yaitu, apakah pada jumlah Pasangan Calon pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dengan dua pasangan Capres-Cawapres atau lebih dua Capres-Cawapres, terutama dikaitkan dengan situasi Pilpres 2014 yang hanya diikuti dua pasangan Capres-Cawapres. “Di sinilah letak persoalannya bahwa pada saat ini hanya ada 2 pasangan calon, sehingga penerapan pasal ini, saya kira tidak bisa diterapkan pada kondisi yang sekarang ini,” lanjut Asrun.
Apabila mengikuti alur konstruksi hukum Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945, Pemohon memahami bahwa memakani Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 sepanjang terkait dengan jumlah pasangan calon, maka harus dikaitkan dengan ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945. Hal ini berarti jumlah pasangan yang dimaksud Pasal 6A ayat (3) dikaitkan dengan ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 adalah lebih dari 2 (dua) pasangan calon. Demikian pula konstruksi hukum pada Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres dapat dimaknai bahwa sepanjang terkait dengan jumlah Pasangan Calon, maka harus dikaitkan dengan konstruksi Pasal 159 ayat (2) UU Pilpres, yakni lebih dari 2 (dua) pasangan calon.

Realitas Hukum
Ketentuan Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945 serta ketentuan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres merupakan norma hukum yang dijadikan dasar pijak penyelenggara Pemilu untuk menetapkan pasangan Capres terpilih dalam Pemilu. Namun realitas politik dan hukumnya berbeda karena ternyata Pilpres 2014 hanya diikuti oleh dua pasangan calon.
Realitas tersebut tidak diatur dalam ketentuan UU Pilpres. Padahal semestinya UU Pilpres menjelaskan secara rinci pemaknaan Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945. Hal ini untuk menjamin kepastian hukum yang berkeadilan jika hanya ada dua pasangan Capres.
Pilpres 2014 yang hanya diikuti oleh dua pasangan calon, merupakan realitas yang harus dihadapi dan diselesaikan. Hukum sebagai kenyataan dalam praktik, seringkali berbeda dengan hukum sebagai disiplin ilmu. Realitas hukum kadangkala berbeda dengan apa yang dipelajari dalam ilmu hukum. Nilai validitas suatu hukum terletak pada kesesuaiannya dengan norma lainnya terutama norma dasar.
Dalam doktrin pembentukan suatu peraturan perundang-undangan sebagai keputusan politik dan keputusan hukum, maka setiap pembentukan perundang-undangan memiliki fungsi yang inheren dengan fungsi hukum itu sendiri. Salah satu fungsinya di samping menjamin keadilan adalah terwujudnya kepastian Hukum.

Solusi Hindari Kekosongan Hukum
Untuk menghindari kesimpangsiuran tafsir dan menjamin keadilan dan kepastian hukum, para Pemohon berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi harus memberikan tafsir Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres agar Penyelenggara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dan para Pasangan Calon mendapatkan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan dari putusan tersebut. MK harus memberi arti yang pasti agar Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres sejalan dengan makna Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945 dan menjawab realitas Pilpres 2014 yang diikuti hanya oleh dua pasangan Capres.
Apabila hal ini dibiarkan, dikhawatirkan terjadi kekosongan hukum. Sebab, Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres dirancang untuk Pilpres dengan jumlah pasangan Capres lebih dari dua pasangan. Di samping itu, jika pun diterapkan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres dalam Pilpres 2014 yang diikuti oleh dua pasangan calon dan salah salah kandidat tidak dapat memenuhi ketentuan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres, maka prosedur berikutnya mengikuti ketentuan Pasal 159 ayat (2) UU Pilpres yaitu dilakukan Pilpres dua putaran. Kedua pasangan Capres bertarung kembali. Akibatnya, terjadi pemborosan keuangan negara dan ketidakstabilan politik, bahkan tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan gesekan sangat keras dan berdarah di kalangan akar rumput pada masing-masing pendukung.
Agar ketentuan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres tidak menimbulkan multitafsir, maka sudah saatnya dan seharusnya diberikan makna atau tafsir baru oleh MK, yaitu tidak diberlakukan untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan dua pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian materi muatan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres adalah, “Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia, dantidak diberlakukan untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan dua pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden.”
Berdasarkan argumentasi tersebut, para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres tidak bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres tidak diberlakukan untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan dua pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden.
Untuk memperkuat dalil-dalil permohonan, para Pemohon mengajukan sejumlah bukti (bukti P-1 sampai P-5.14). Pemohon juga menghadirkan dua orang pakar di persidangan (23/6/2014), yaitu H.A.S. Natabaya dan Harjono.

Terserah Mahkamah
Menanggapi permohonan para Pemohon, Presiden menyampaikan keterangan secara lisan dalam persidangan MK. Sedangkan DPR menyampaikan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada 1 Juli 2014.
Presiden melalui Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Politik, Hukum, dan Hubungan Antarlembaga, Reydonnyzar Moenek, menyampaikan keterangan dalam persidangan di MK, Senin (23/6/2014). Pada intinya Presiden menyatakan jika ketentuan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres diterapkan pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dengan dua pasangan calon maka akan potensial menimbulkan kekosongan kekuasaan.
Menurut Pemerintah, diperlukan pemahaman seluruh elemen bangsa untuk dapat menyepakati suatu kebijakan yang hakiki untuk menentukan arah penyelenggaraan pemerintahan negara yang lebih baik. Sedangkan untuk menjamin kepastian hukum atas hal ini, Pemerintah menyerahkan kepada putusan Mahkamah. “Pemerintah memohon kepada Mahkamah Konstitusi dapat memberikan putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono),” kata Reydonnyzar Moenek.
Sementara DPR dalam keterangan tertulis yang dilayangkan ke MK pada intinya menyatakan bahwa ketentuan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres tetap harus diterapkan meskipun peserta Pilpres hanya dua pasangan calon. Namun apabila tidak ada pasangan calon yang mampu memenuhi syarat persebaran, maka DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Mahkamah untuk menafsirkan ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 juncto Pasal 159 ayat (2) UU 42/2008 apakah akan ada pemungutan suara putaran kedua, atau ketentuan Pasal 6A ayat (3) tidak diberlakukan.

Alasan Persebaran Suara
Konstitusi tidak lahir dan tidak ditegakkan dalam ruang hampa, tetapi lahir dan ditegakkan dalam konteks sosial dan politik yang melingkupinya, sehingga makna konstitusi tidak hanya dapat dibaca dari teks yang ada, tetapi juga dari konteks lahirnya pasal-pasal dalam konstitusi dan konteks penerapannya, in concreto. Dengan demikian, yang dipahami sebagai Undang-Undang Dasar, tidak semata-semata hanya yang tertulis dalam teks, tetapi juga termasuk semangat yang ada di balik teks Undang-Undang Dasar yaitu konteks kelahiran dari pasal Undang-Undang Dasar serta konteks penerapannya dalam penyelenggaraan negara untuk mencapai tujuan bernegara. Dari sinilah fungsi penafsiran konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi yang menjadikan konstitusi sebagai konstitusi yang hidup dan dapat menjawab setiap persoalan kenegaraan yang timbul. Oleh karena itu, penafsiran konstitusional terhadap Undang-Undang yang dimohonkan pengujian ditafsirkan oleh Mahkamah, sehingga sesuai dengan semangat konstitusi.
Menurut Mahkamah, syarat keterpilihan Capres dengan persebaran perolehan suara sedikitnya 20% setiap provinsi di lebih dari setengah provinsi di Indonesia dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 menunjukkan maksud dan kehendak dari pembentuk UUD 1945 agar Presiden dan Wakil Presiden terpilih memperoleh dua legitimasi sekaligus yaitu legitimasi suara terbanyak dari rakyat dan legitimasi sebaran suara. Hal ini sangat wajar karena realitas kondisi geografis dan demografis Indonesia yang timpang, yaitu di Pulau Jawa dan Bali dengan wilayah terbatas tetapi penduduknya yang padat, dan di luar Pulau Jawa dengan wilayah yang luas tetapi penduduknya yang sedikit.
Syarat persebaran perolehan suara menjadi sangat penting untuk menjaga kesatuan dan kebersamaan dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Syarat tersebut juga dimaksudkan agar Calon Presiden dan Wakil Presiden harus mengenal wilayah dan dikenal oleh penduduk di seluruh wilayah Indonesia. Dalam kerangka itulah, menurut Mahkamah makna yang dikehendaki Pasal 6A ayat (3) UUD 1945. “Pengaturan ini untuk menghindari pasangan calon yang hanya berkonsentrasi pada provinsi-provinsi di Pulau Jawa yang jumlah pemilihnya lebih dari setengah jumlah seluruh pemilih di Indonesia,” kata Hakim Konstitusi Muhammad Alim membacakan Pendapat Mahkamah, Kamis (3/7/2014).

Tafsir Gramatikal dan Sistematis
Tidak ada penegasan bahwa Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 dimaksudkan apabila pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden lebih dari dua pasangan. Tetapi dikaitkan dengan konteks lahirnya Pasal 6A UUD 1945, dapat ditarik kesimpulan bahwa pembahasan pada saat itu terkait dengan asumsi pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden lebih dari dua pasangan calon.
Selain itu, dengan mendasarkan pada penafsiran gramatikal dan penafsiran sistematis makna keseluruhan Pasal 6A UUD 1945 sangat jelas bahwa makna yang terkandung dalam Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 paling tidak ada lebih dari dua pasangan Capres yang mengikuti pemilihan pada putaran sebelumnya sebagaimana terkandung dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Kalimat “Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua ...” menunjukkan dengan jelas makna itu jika dikaitkan dengan ketentuan pada ayat (2) dan ayat (3) sebelumnya.
Jika sejak semula hanya ada dua pasangan calon, mengapa dalam ayat (4) dinyatakan, “dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua ...”. Jika terdapat asumsi hanya ada dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang ikut pada pemilihan sebelumnya tidak perlu ada penegasan “dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua ...” karena dengan dua pasangan calon tentulah salah satu di antara keduanya memperoleh suara terbanyak pertama atau kedua. Dengan demikian makna Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 harus dibaca dalam satu rangkaian dengan makna keseluruhan Pasal 6A UUD 1945.

Tiada Putaran Kedua
Syahdan, bagaimana jika realitas Pilpres hanya diikuti oleh dua pasangan calon. Mengenai ihwal ini Mahkamah berpendapat bahwa dua pasangan Capres diajukan oleh gabungan beberapa partai politik yang bersifat nasional. Pada tahap pencalonan pasangan Capres telah memenuhi prinsip representasi keterwakilan seluruh daerah di Indonesia karena Capres sudah didukung oleh gabungan partai politik nasional yang merepresentasikan penduduk di seluruh wilayah Indonesia. “Dengan demikian, tujuan kebijakan pemilihan presiden yang merepresentasi seluruh rakyat dan daerah di Indonesia sudah terpenuhi,” lanjut Alim.
Menurut Mahkamah, Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres harus dimaknai apabila terdapat lebih dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Artinya, jika hanya ada dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden maka pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945, sehingga tidak perlu dilakukan pemilihan langsung oleh rakyat pada pemilihan kedua.
Alhasil, dalam amar putusan Mahkamah menyatakan mengabulkan permohonan. “Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Panel Hakim Hamdan Zoelva membacakan amar Putusan Nomor 50/PUU-XII/2013 dalam persidangan di MK, Kamis (3/7/2014). Lebih lanjut Mahkamah menyatakan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku untuk pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang hanya terdiri dari dua pasangan calon.
readmore »»  
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More