Harmoni...

Jakarta, September 2010

Harmoni...

Jakarta, Desember 2010

Belahan jiwa

......

...Belahan jiwa...

......

ceria...

Jakarta, 8 Januari 2012

Nora Uzhma Naghata

Bogor, 24 Februari 2011

Nora Uzhma Naghata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Taman Safari Puncak

Bogor, 24 Februari 2011

Bandara Ahmad Yani

Semarang, 28 September 2011

Rileks

*********

Nur Rosihin Ana

Semarang, 19 Oktober 2010

Nur Rosihin Ana

mahkamah dusturiyyah, 18 Juli 2012

Nur Rosihin Ana

Hotel Yasmin, Puncak, Desember 2010

Nora Uzhma Naghata

Naghata

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Demak, 11 September 2011

Nur Rosihin Ana

Nagreg, Bandung 11 Juli 2011

Nora Uzhma Naghata, Sri Utami, Najuba Uzuma Akasyata, Nur Rosihin Ana

Sapa senja di Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Sapa Senja Jepara

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

...bebas, lepas...

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Selasa, 22 April 2014

Hak Pilih Anggota TNI/POLRI dalam Pemilu Presiden 2014

Anggota TNI/POLRI dilarang menggunakan hak pilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) atau terlibat dalam kegiatan politik praktis. Larangan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU POLRI).
Pembatasan hak pilih anggota TNI/POLRI juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu Legislatif), serta Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pemilu Presiden). Dalam Pasal 326 UU Pemilu Legislatif disebutkan bahwa anggota TNI/POLRI tidak diberikan hak pilih dalam Pemilu 2014.
Namun, ketentuan dalam UU Pemilu Presiden yang menjadi acuan Pemilu Presiden Tahun 2014, justru dapat mengancam kelanjutan agenda reformasi sektor keamanan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM), sebagai bagian yang tak terpisahkan dari agenda demokratisasi di Indonesia. Hal ini tercermin dalam ketentuan Pasal 260 UU Pemilu Presiden.
Pasal 260 UU Pemilu Presiden menyatakan, “Dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009, anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan haknya untuk memilih.”
Ketentuan Pasal 260 UU Pemilu Presiden tersebut dianggap merugikan hak-hak konstitusional Ifdhal Kasim dan Supriyadi Widodo Eddyono. Selanjutnya Ifdhal dan Supriyadi mengajukan permohonan pengujian Pasal 260 UU Pemilu Presiden ke MK. Kepaniteraan MK meregistrasi permohonan Pemohon pada Senin, 3 Maret 2014 dengan Nomor 22/PUU-XII/2014. Mahkamah juga telah menggelar dua kali persidangan, yaitu sidang pemeriksaan pendahuluan pada Kamis, 20 Maret 2014, dan sidang perbaikan permohonan pada Rabu, 2 April 2014. Mahkamah juga telah mengagendakan sidang untuk mendengarkan keterangan Pemerintah dan DPR pada Senin, 28 April 2014 pukul 14.00 WIB.
Ifdhal Kasim adalah mantan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Sedangkan Supriyadi Widodo Eddyono adalah Advokat Indonesian Institute for Constitutional Democracy (IICD). Para Pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia yang concern pada isu-isu pemajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM di Indonesia, termasuk isu reformasi sektor keamanan dan HAM yang menyoal mengenai netralitas TNI/Polri dalam Pemilu.

Pengecualian Objektif dan Masuk Akal
Dalam rezim hukum internasional HAM, hak politik, terutama hak untuk memilih dan dipilih, termasuk berpartisipasi dalam pemerintahan, merupakan hak dasar bagi setiap warga negara tanpa terkecuali. Hal ini juga sebagaimana ditegaskan oleh ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Pengurangan dan pembatasan terhadap hak untuk memilih dan dipilih, dengan berpedoman pada ketentuan Pasal 25 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, sebagaimana telah disahkan Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005, dapat dibenarkan jika dilakukan dengan kriteria yang objektif dan masuk akal.
Syahdan, muncul perbedaan pendapat. Apakah hak memilih dan dipilih untuk menjadi pejabat publik tertentu, termasuk anggota militer dan kepolisian dapat dikecualikan atau ditangguhkan? Sebagian ahli berpandangan hak memilih dan dipilih harus diberikan kepada setiap warga negara, tanpa terkecuali. Sementara sebagian ahli lainnya berpendapat, pengecualian atau penangguhan dapat dilakukan terhadap anggota militer, polisi, atau pejabat publik lainnya, sepanjang dengan alasan yang objektif dan masuk akal.
Pengecualian atau penangguhan hak memilih dan dipilih bagi anggota militer dan polisi, berangkat dari argumentasi bahwa tindakan tersebut merupakan ukuran yang diperlukan dan dibenarkan untuk memastikan netralitas administrasi Pemilu. Pandangan sebaliknya dikemukakan oleh para pendukung hak penuh bagi anggota militer dan polisi untuk berpartisipasi dalam Pemilu. Kelompok ini berpendapat, bahwa mendaftar dan memberikan suara bukanlah suatu tindakan politik. Menurut kelompok ini, pembatasan hanya boleh dilakukan untuk tidak menjadi anggota partai politik atau aktivis partai politik.
Negara-negara di dunia juga beragam di dalam menerapkan ketentuan ini. Sebagian negara memberikan hak memilih dan dipilih secara penuh kepada anggota militer atau polisi. Sebagian lagi hanya memberikan hak untuk memilih. Kemudian sebagian lainnya menangguhkan sama sekali. Negara-negara yang memberian hak pilih kepada militer atau polisi yaitu, Armenia, Australia, Belize, Bolivia, Bulgaria, Canada, China, Republik Czech, Perancis, Jerman, Israel, New Zealand, Nicaragua, Philippines, Poland, Russia, South Africa, Sweden, United kingdom, United States, Venezuela, Ukraine, dan Vietnam. Sedangkan negara-negara tanpa hak pilih bagi militer yaitu, Angola, Argentina, Brazil (di bawah pangkat sersan), Chad, Colombia, Republik Dominika, Ecuador, Guatemala, Honduras, Indonesia, Kuwait, Paraguay, Peru, Senegal, Tunisia, Turkey, Uruguay (di bawah pangkat kopral).

Layak Dibatasi
Ketentuan perundang-undangan di Indonesia juga menganut rezim pembatasan terhadap hak memilih dan dipilih bagi anggota militer dan kepolisian (TNI/Polri). Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 2 huruf d dan Pasal 39 UU TNI serta Pasal 28 UU POLRI.
Pasal 39 UU TNI menyatakan, “Prajurit dilarang terlibat dalam: (1) kegiatan menjadi anggota partai politik; (2) kegiatan politik praktis; (3) kegiatan bisnis; dan (4) kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilihan umum dan jabatan politis lainnya.”
Pasal 28 UU POLRI menyatakan, “1) Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. (2) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilih dan dipilih. (3) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.”
Selain diatur dalam UU TNI dan UU POLRI, pembatasan/penangguhan terhadap hak pilih TNI/POLRI secara prosedural juga diatur di dalam UU yang mengatur tentang prosedur/tata cara/penyelenggaraan pemilihan umum, yakni UU Pemilu Legislatif dan UU Pemilu Presiden. Kemudian, menurut jurisprudensi Putusan MK, pembatasan terhadap hak pilih seseorang, termasuk hak pilih TNI/POLRI, juga sangat mungkin untuk dilakukan, yakni dalam Putusan Nomor 132/PUU-VII/2009 ihwal pengujian UU Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD (UU 10/2008), MK menyatakan, “Bahwa berdasarkan perspektif original intent pembentuk UUD 1945, seluruh hak asasi manusia yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945 keberlakuannya dapat dibatasi [vide Pasal 28J ayat (2) UUD 1945] sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945 tersebut. Berdasarkan penafsiran sistematis (sistematische interpretatie), hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.”
Berangkat dari pertimbangan Putusan MK tersebut, dalam konteks perkara ini juga berlaku logika hukum yang sama. Artinya hak untuk memilih dan dipilih bagi TNI/POLRI harus dikaitkan dengan kewajibannya sebagai anggota TNI/POLRI sebagaimana diatur dalam UU TNI/UU POLRI yang secara tegas melarang keterlibatan anggota TNI/POLRI dalam politik praktis.
Sudah selayaknya pengecualian/penangguhan hak pilih TNI/POLRI dilakukan. Kendati demikian, pada suatu saat nanti, dengan pertimbangan yang juga objektif dan masuk akal, pengecualian tersebut dapat juga dilakukan pencabutan.

Ketidakpastian Hukum
Ketentuan dalam UU Pasal 260 UU Pemilu Presiden akan digunakan dalam pelaksanaan Pemilu Presiden Tahun 2014, karena hingga saat ini belum ada aturan baru yang menentukan berbeda. Sedangkan ketentuan sebaliknya diatur di dalam Pasal 326 UU Pemilu Legislatif. Ketentuan dalam Pasal 326 UU Pemilu Legislatif berarti bahwa dalam Pemilu 2014, anggota TNI/POLRI tidak diberikan hak memilih dan dipilih. Sementara, ketentuan mengenai larangan bagi anggota TNI/POLRI untuk menggunakan hak pilih dalam Pemilu atau terlibat dalam kegiatan politik praktis, sampai hari masih juga diatur di dalam ketentuan UU TNI dan UU POLRI.
Pengaturan yang berbeda tersebut telah menimbulkan situasi ketidakpastian hukum. Pada satu sisi hak pilih TNI/Polri dibatasi (UU TNI, UU POLRI, dan UU Pemilu Legislatif). Sedangkan pada sisi lain, dengan tidak adanya larangan penggunaan hak pilih dalam Pemilu Presiden Tahun 2014, maka dapat diartikan TNI/Polri dapat menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu Presiden 2014.
Berdasarkan argumentasi konstitusionalitas di atas, maka pengecualian/penangguhan hak pilih TNI/POLRI, termasuk dalam Pemilu Presiden 2014, adalah suatu tindakan yang diperlukan dan dibutuhkan, serta memenuhi kaidah-kaidah hukum, konstitusi, dan hukum HAM internasional. Oleh karena itu, Para Pemohon dalam petitum meminta MK menyatakan ketentuan Pasal 260 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, sepanjang frasa “tahun 2009” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dibaca “tahun 2014”.

Nur Rosihin Ana

Dalam Rubrik  Catatan Perkara Majalah Konstitusi Edisi April 2014. kllik di sini



readmore »»  
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More