Harmoni...

Jakarta, September 2010

Harmoni...

Jakarta, Desember 2010

Belahan jiwa

......

...Belahan jiwa...

......

ceria...

Jakarta, 8 Januari 2012

Nora Uzhma Naghata

Bogor, 24 Februari 2011

Nora Uzhma Naghata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Taman Safari Puncak

Bogor, 24 Februari 2011

Bandara Ahmad Yani

Semarang, 28 September 2011

Rileks

*********

Nur Rosihin Ana

Semarang, 19 Oktober 2010

Nur Rosihin Ana

mahkamah dusturiyyah, 18 Juli 2012

Nur Rosihin Ana

Hotel Yasmin, Puncak, Desember 2010

Nora Uzhma Naghata

Naghata

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Demak, 11 September 2011

Nur Rosihin Ana

Nagreg, Bandung 11 Juli 2011

Nora Uzhma Naghata, Sri Utami, Najuba Uzuma Akasyata, Nur Rosihin Ana

Sapa senja di Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Sapa Senja Jepara

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

...bebas, lepas...

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Kamis, 27 Maret 2014

Pola Rekrutmen Komisioner KY dan KPK

Kewenangan sentral Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam rekrutmen calon anggota Komisi Yudisial (KY) dan calon anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapat kritik dari kalangan akademisi. Pola rekrutmen calon anggota KY dan calon anggota KPK yang harus melalui fit and profer test di DPR sangat bertentangan dengan eksistensi KY dan KPK yang dibentuk sebagai lembaga negara yang independen dalam rangka menegakkan kekuasaan kehakiman dan penegakan hukum yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pola rekrutmen calon anggota KY dan calon anggota KPK yang sudah melalui seleksi yang sangat ketat di tingkat Panitia Seleksi (Pansel), ternyata hasilnya dapat “dimentahkan” pada saat mengikuti fit and profer test di DPR.
Keterlibatan DPR dalam menentukan calon anggota KY dan calon anggota KPK sangat bertentangan dengan tujuan pembentukan KY dan KPK sebagai lembaga negara yang independen. Independensi atau kemerdekaan sebuah lembaga negara bukan hanya ditentukan oleh kedudukan lembaganya tetapi juga oleh pola rekrutmen calon anggotanya. Oleh karena itu, keterlibatan DPR dalam penentuan calon anggota KY dan calon anggota KPK justru akan mengganggu independensi atau kemerdekaan lembaga negara.
Demikian inti dari permohonan pengujian materiil Pasal 28 ayat (6), Pasal 28 ayat (3) huruf c, dan Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5250), serta Pasal 30 ayat (1), ayat (10), dan ayat (11) Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4520) terhadap Pasal 24B ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Permohonan diajukan oleh Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof. Dr. H. Edy Suandi Hamid, M.Ec, dan Dosen FH UII yang juga Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII), Sri Hastuti Puspitasari, SH, MH. Rektor dan dosen yang sangat concern dan aktif melakukan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan penerapan nilai-nilai konstitusionalisme ini merasa keberatan dengan pola rekrutmen tersebut.
Melalui kuasa hukumnya Zairin Harahap dkk, Para Pemohon mengirimkan surat permohonan ke Mahkamah Konstitusi bertanggal 5 Februari 2014. Selanjutnya, Kepaniteraan MK meregistrasi permohonan ini dengan Nomor 16/PUU-XII/2014.
Rekrutmen Komisoner KY
KY berdasarkan Pasal 24B UUD 1945 memiliki wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Mengingat peran penting dari KY ini, maka independensi kelembagaan KY harus ditempatkan pada posisi yang penting pula. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjaga potensi adanya intervensi dari lembaga manapun. Oleh karena itu maka ketentuan Pasal 24B ayat (3) UUD 1945 secara eksplisit menegaskan, “Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Menurut Para Pemohon, kata “persetujuan” dalam Pasal 24B ayat (3) UUD 1945 harus dimaknai bahwa DPR hanya diberi kewenangan untuk memberikan persetujuan atas calon yag diajukan oleh Presiden, bukan kewenangan untuk “memilih”. Namun, ketentuan Pasal 24B ayat (3) UUD 1945 justru disimpangi oleh ketentuan dalam Pasal 28 ayat (6) UU KY yang menyatakan, “DPR wajib memilih dan menetapkan 7 (tujuh) calon anggota dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima usul dari Presiden”. Frasa “memilih dan menetapkan” sebagaimana dimaksud pada Pasal 28 ayat (6) UU KY secara nyata bertentangan dengan Pasal 24B ayat (3) UUD 1945 dan menyimpang dari maksud dan tujuan pembentukan KY, yakni terwujudnya kelembagaan KY yang mandiri dan bebas dari intervensi lembaga manapun.
Padahal jika merujuk pada Undang-undang Nomor 27 tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), khususnya ketentuan yang mengatur mengenai tugas dan wewenang DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 71, nampak jelas bahwa DPR sama sekali tidak memiliki tugas dan wewenang untuk memilih calon anggota KY yang diajukan oleh Presiden.
Karena Pasal 24B ayat (3) UUD 1945 secara eksplisit telah menegaskan agar pengangkatan anggota KY dilakukan dengan pola “persetujuan” DPR, maka seharusnya tidak menentukan jumlah atau kuota calon yang diajukan kepada DPR, sebagaimana telah dilakukan dalam pengangkatan Panglima TNI (Pasal 13 UU No. 34 Tahun 2004), Kapolri (Pasal 11 UU No. 2 Tahun 2002), dan Gubernur Bank Indonesia (Pasal 41 UU No. 23 Tahun 1999 jo. UU No. 3 Tahun 2004 jo. UU No. 6 Tahun 2009).
Pengangkatan anggota KY dengan pola “memilih” menimbulkan konsekuensi kepada Presiden untuk mengajukan calon anggota KY melebihi formasi yang dibutuhkan. Hal tersebut terbukti dengan dibuatnya ketentuan Pasal 37 ayat (1) UU KY yang mengharuskan Presiden mengajukan calon anggota pengganti sebanyak 3 (tiga) kali dari jumlah keanggotaan yang kosong kepada DPR. Hal ini menyulitkan Presiden/Pansel untuk memenuhi jumlah yang dibutuhkan, selain pemborosan uang negara juga mengganggu proses perekrutan dan independensi Komisi Yudisial.
Oleh karena itu, selayaknya jika mekanisme pengangkatan calon anggota KY dikembalikan sebagaimana ketentuan konstitusi. Keharusan mengajukan calon anggota pengganti sebanyak 3 (tiga) kali dari jumlah keanggotaan yang kosong tersebut, haruslah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai sebanyak 1 (satu) kali dari jumlah keanggotaan yang kosong.
Rekrutmen Komisioner KPK
KPK dibentuk sebagai lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya. Untuk menjaga KPK sebagai lembaga negara yang independen, maka dalam Pasal 30 UU KPK diatur tentang pola seleksi anggota KPK. Seleksi calon anggota KPK dilakukan secara ketat, profesional, dan akuntabel. Hal itu dilakukan untuk mendapatkan calon anggota KPK yang independen dan bebas dari kepentingan politik.
Namun, adanya ketentuan Pasal 30 ayat (1), ayat (10), dan ayat (11) UU KPK justru menimbulkan ketidakpastian hukum bagi calon anggota KPK karena ada campur tangan lembaga lain yakni DPR untuk memilih calon yang sudah terseleksi dengan ketat di Pansel. Hal ini terjadi dalam proses seleksi calon anggota KPK periode tahun 2011-2015. Saat itu Pansel mencantumkan ranking calon anggota KPK sebelum disampaikan kepada Presiden. Perankingan yang telah dilakukan oleh Pansel berdasarkan pertimbangan dan penelitian ilmiah. Namun sayangnya perankingan ini tidak bisa diterima oleh DPR. Bahkan Pansel dianggap ingin menggiring anggota DPR RI untuk fokus pada calon pimpinan di urutan atas.
Pasal 30 ayat (1) UU KPK menyatakan, “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh Presiden Republik Indonesia.”
Pasal 30 ayat (10) UU KPK menyatakan, “Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia wajib memilih dan menetapkan 5 (lima) calon yang dibutuhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (9), dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya usul dari Presiden Republik Indonesia.”
Pasal 30 ayat (11) UU KPK menyatakan, “Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia wajib memilih dan menetapkan di antara calon sebagaimana dimaksud pada ayat (10), seorang Ketua sedangkan 4 (empat) calon anggota lainnya dengan sendirinya menjadi Wakil Ketua.”
Seleksi yang dilakukan oleh Pansel sudah cukup ketat, profesional dan akuntabel. Apabila kemudian DPR melakukan pemilihan lagi, maka akan tidak sejalan dengan semangat pembentukan KPK sebagai lembaga independen, mengingat lembaga DPR adalah lembaga politik yang tidak bisa terlepas dari berbagai kepentingan politik.
Keterlibatan DPR dalam rekrutmen calon anggota KPK haruslah bersifat “persetujuan” bukan “pemilihan”. Karena apabila kewenangan DPR adalah memilih maka dapat mempengaruhi independensi KPK, apalagi senyatanya pola rekruitmen pemilihan yang dilakukan oleh DPR tidak terukur dan sangat subyektif. Oleh karena itu, menurut Para Pemohon, ketentuan Pasal 30 ayat (1), ayat (10) dan ayat (11) UU KPK bertentangan dengan dengan Pasal 28D ayat (1) U Menurut Para Pemohon, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena menimbulkan ketidakpastian hukum bagi calon anggota KPK.
Berdasarkan hal-hal tersebut, Para Pemohon dalam petitum meminta kepada Mahkamah agar menyatakan kata “memilih” dalam Pasal 28 ayat (6) UU KY bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “persetujuan”. Frasa “sebanyak 21 (dua puluh satu) calon” dalam Pasal 28 ayat (3) huruf c UU KY bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebanyak 7 (tujuh) calon. Frasa ”sebanyak 3 (tiga) kali” dalam Pasal 37 ayat (1) UU KY bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “sebanyak 1 (satu) kali”. Kemudian, menyatakan Pasal 30 ayat (1), ayat (10), dan ayat (11) UU KPK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.
Nur Rosihin Ana
Catatan Perkara Majalah Konstitusi Edisi Maret 2014 klik di sini
readmore »»  

Sabtu, 15 Maret 2014

Meretas Konstitusionalitas UU Ormas

Definisi Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) sebagai organisasi yang yang bersifat nirlaba, merupakan definisi yang absurd. Sebab, dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) justru memperbolehkan pendirian badan usaha Ormas. Ketentuan yang bertentangan satu sama lain ini tidak memberikan kepastian hukum dan merugikan kepentingan kontitusional sejumlah Ormas, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Demikian dalil permohonan uji materi UU Ormas yang diajukan oleh PP Muhammadiyah.

Rancangan UU Ormas disahkan menjadi UU dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa 2 Juli 2013 lalu. Belum seumur jagung, UU Ormas menuai kritik dari Pimpinan Pusat Persyarikatan Muhammadiyah (PP Muhammadiyah). Ormas Islam tertua di Indonesia ini berdalil, lahirnya UU Ormas justru mengekang kebebasan untuk berserikat dan berkumpul. Merasa dirugikan, PP Muhammadiyah mengadu ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengujikan sejumlah ketentuan pasal dalam UU Ormas.
Selain PP Muhammadiyah, permohonan uji materi UU Ormas juga diajukan Yayasan FITRA Sumatera Utara, Indonesia Corruption Watch (ICW), dkk. Permohonan Yayasan FITRA Sumatera Utara dkk diregistrasi dengan Nomor 3/PUU-XII/2014.

Definisi Absurd
Definisi Ormas dalam Pasal 1 angka 1 UU Ormas menyebutkan bahwa Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan NKRI yang berdasarkan Pancasila. Pasal 4 UU Ormas juga menerangkan bahwa Ormas bersifat sukarela, sosial, mandiri, nirlaba, dan demokratis. Selain itu, Pasal 5 UU Ormas secara tegas memaksa Ormas untuk secara kumulatif bertujuan antara lain yaitu untuk menjaga nilai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Menurut PP Muhammadiyah, definisi Ormas sebagai organisasi yang yang bersifat nirlaba, merupakan definisi yang absurd. Sebab, dalam Pasal 39 UU Ormas justru memperbolehkan pendirian badan usaha Ormas. Hal ini jelas ketentuan yang bertentangan satu sama lain yang pada akhirnya tidak memberikan kepastian hukum dan merugikan kepentingan kontitusional PP Muhammadiyah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. “Pasal-pasal a quo jelas menggunakan definisi yang absurd,” kata Kuasa Hukum PP Muhammadiyah, Iwan Satriawan, dalam sidang pendahuluan di MK, Kamis (10/20/2013) lalu.
PP Muhammadiyah mensinyalir adanya upaya pembentuk UU untuk “ikut campur” yang terlalu berlebihan terhadap kemerdekaan berserikat dan berkumpul. Hal ini tercermin dalam ketentuan Pasal 33 ayat (1) dan (2) UU Ormas yang menyatakan, “(1) Setiap warga negara Indonesia berhak menjadi anggota Ormas. (2) Keanggotaan Ormas bersifat sukarela dan terbuka.” Kemudian Pasal 34 ayat (2) UU Ormas menyatakan, “Setiap anggota Ormas memiliki hak dan kewajiban yang sama.”
PP Muhammadiyah juga berdalil bahwa kewajiban membuat laporan pertanggungjawaban keuangan bagi Ormas yang menghimpun dan mengelola dana dari iuran anggota, sebagaimana ketentuan Pasal 38 UU Ormas, merupakan ketentuan yang mengada-ngada dan mereduksi makna Pasal 28Eayat (3) UUD 1945. Sangat tidak relevan apabila UU menentukan bahwa Ormas yang mengelola keuangan iuran anggota diwajibkan membuat laporan pertanggungjawaban keuangan sesuai dengan standar akuntansi. Hal ini tidak perlu diatur dalam UU. “Dikarenakan proses pertanggungjawaban dalam hal apa pun yang dilakukan oleh ormas merupakan hak prerogatif ormas itu sendiri,” lanjut Iwan Satriawan.

Bangkitkan Ormas “Plat Merah”
Kemudian mengenai pemberdayaan terhadap Ormas oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah (Pemda), sebagaimana ketentuan Pasal 40 UU Ormas, berpotensi menimbulkan tindakan korup yang dilakukan atas nama pemberdayaan Ormas. Pembinaan Ormas juga potensial membawa kepentingan terselubung bagi Pemerintah dan/atau Pemda untuk membangkitkan kembali “ormas plat merah” sebagaimana yang dulu besar pada masa Orde Baru melalui ketentuan-ketentuan yang serupa.
Ihwal larangan menerima atau memberikan sumbangan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, sebagaimana ketentuan Pasal 59 ayat (3) huruf a UU Ormas. Ketentuan ini multitafsir dan sesungguhnya telah diatur dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang khususnya pada Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5. Multitafsir dikarenakan di satu sisi perbuatan yang demikian itu merupakan tindak pidana dan di sisi lain hanya bersifat pelarangan yang justru akan membingungkan.

Tidak Komersial
Segala argumentasi dan dalil yang disampaikan PP Muhammaddiyah tersebut dibantah oleh para penyusun UU Ormas.
Ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 4 dan Pasal 5 UU Ormas yang diujikan oleh PP Muhammadiyah, tidaklah saling bertentangan dan bukan merupakan pembatasan perkembangan Ormas. Sebaliknya, rumusan tersebut bertujuan agar Ormas mandiri dalam hal menghidupi organisasinya. Selain itu, mendorong agar Ormas menjadi badan hukum. “Karena yang dapat mendirikan badan usaha adalah ormas yang berbadan hukum, perkumpulan, atau yayasan,” kata Anggota Komisi III DPR Ruhut Poltak Sitompul dalam persidangan di MK, Kamis (7/11/2013) lalu.
Menurut DPR, Ormas tidak dapat digunakan sebagai wadah usaha dan tidak dapat melakukan kegiatan usaha secara langsung, tapi harus melalui badan usaha yang didirikannya atau melalui badan usaha lain di mana Ormas dapat menyertakan kekayaannya. Hal ini berbeda dengan tujuan pendirian dari Perseroan Terbatas. Tujuan filosofis pendirian Ormas adalah tidak bersifat komersial. Sedangkan untuk menjaga keberlangsungan dan kemandirian Ormas, maka Ormas dapat mendirikan badan usaha. “Hasil keuntungan yang diperoleh dari badan usaha, Ormas tersebut dapat digunakan untuk membayar operasional Ormas secara berkelanjutan. Hal ini dimaksudkan agar ormas tidak hanya menanti uluran bantuan dari Pemerintah atau pihak lain, baik dalam maupun luar negeri untuk membiayai operasional Ormas.
Badan usaha yang didirikan oleh Ormas pun harus sesuai peraturan perundang-undangan. Misalnya, ormas berbadan hukum yayasan mendirikan badan usaha pendidikan sekolah atau perguruan tinggi, harus mematuhi aturan bidang pendidikan. Begitu pula Ormas berbadan hukum kerumahsakitan, harus sesuai aturan bidang kesehatan.
Ormas yang memiliki sumber pendanaan tetap secara mandiri, akan meningkatkan independensi dan mencegah ketergantungan Ormas pada sumber pendanaan dari pihak lain, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Ormas tidak tergoda untuk melakukan kegiatan yang bertentangan dengan hukum untuk sekadar mencari biaya guna membiayai operasional organisasinya, atau sebagai upaya ormas untuk bertahan hidup. “Oleh karena itu, DPR berpendapat bahwa Pasal 1 angka 1, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 39 UU Ormas, tidaklah saling bertentangan dan tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” bantah Ruhut.
Menanggapi absurditas definisi Ormas sebagaimana didalilkan PP Muhammadiyah, DPR menyatakan UU Ormas telah memberikan solusi untuk mengenali berbagai terminologi tersebut dengan Ormas yang dapat menaungi keseluruhan terminologi dengan yayasan dan perkumpulan sesuai bentuk badan hukumnya, serta memberikan perlindungan hukum dan pengaturan. Masyarakat bebas untuk berserikat dengan berdasarkan enam pilar dasar yaitu kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan sesuai Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Ormas. “Jadi, apa pun organisasi yang didirikan, advokat, notaris, wartawan, hobi, keagamaan, dan lain-lain, pada dasarnya didirikan berdasarkan lingkup enam pilar dasar tersebut,” terang Ruhut.
Dalam perspektif hukum dikenal dua jenis peraturan organisasi, yaitu nonmembership organization (organisasi tanpa anggota), dan membership based organization (organisasi berdasarkan keanggotaan). Sedangkan untuk badan hukumnya, Indonesia mengenal dua jenis badan hukum yang khusus untuk bidang kegiatan sosial yaitu yayasan (stichting) dan perkumpulan (vergadering). Adapun perbedaan yayasan dan perkumpulan yaitu, yayasan adalah sekumpulan kekayaan yang disisihkan untuk tujuan sosial, sedangkan perkumpulan adalah sekumpulan orang yang berkumpul untuk tujuan sosial. “Untuk badan hukum yayasan, diatur melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan. Sedangkan perkumpulan, dulu diatur dalam Staatsblad 1870-64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum, dan saat ini sudah diatur di dalam undang-undang a quo,” ungkap Ruhut.

Rumpun Ormas
Sejarah mencatat keberadaan Ormas adalah sebagai salah satu wadah dalam upaya pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ormas-ormas tersebut antara lain adalah Budi Utomo, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan ormas-ormas yang lain yang lahir dan didirikan sebelum NKRI berdiri. “Ormas telah menorehkan suatu upaya warga negara Indonesia yang punya nilai tinggi serta merupakan aset bangsa yang penting bagi perjalanan bangsa dan negara Republik Indonesia,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mualimin Abdi, saat menyampaikan keterangan Pemerintah dalam persidangan di MK, Kamis (7/11/2013) lalu.
Saat ini, terang Mualimin, jumlah Ormas yang terdaftar pada Pemerintah dan Pemda sebanyak 139.957 ormas. Rinciannya adalah, terdaftar di Kemenkumham sebagai Ormas yang berbadan hukum berjumlah 48.000 ormas. Terdaftar sebagai organisasi sosial pada Kemensos sejumlah 25.406 ormas. Kemudian yang terdaftar di Kemenlu 108 Ormas. Dan yang terdaftar di Kemendagri berjumlah 65.577. “Dengan jumlah Ormas yang terdaftar sedemikian besar, maka menurut Pemerintah perlu pengaturan, perlu penataan, dan perlu pemberdayaan agar ormas-ormas tersebut bersama-sama pemerintah dapat mewujudkan cita-cita dan tujuan negara sebagaimana diamanatkan di dalam konstitusi kita,” dalil Mualimin.
Menurut pemerintah, UU Ormas diperlukan untuk melindungi hak asasi warga negara, baik secara individu maupun secara kolektif, termasuk dalam hal berserikat dan berkumpul. Pemerintah menegaskan bahwa UU Ormas tidak dalam rangka membelenggu, menggangu, atau membatasi hak warga negara untuk berserikat dan berkumpul. UU Ormas juga tidak bersifat represif karena Pemerintah dan Pemda tidak mempunyai kewenangan yang subjektif untuk membubarkan ormas yang telah berdiri. Sebab keputusan membubarkan Ormas, terutama Ormas yang telah berbadan hukum, harus melalui putusan lembaga yudikatif, sebagaimana diatur di dalam Pasal 68 ayat (2) dan Pasal 71 ayat (1) UU Ormas.
“Kewenangan subjektif Pemerintah tidak dapat digunakan secara sewenang-wenang karena harus dikonfirmasi oleh lembaga yudikatif,” jelas Mualimin.
Mualimin kemudian menjelaskan ihwal pendirian Ormas berdasarkan aspek keagamaan, yang tidak menjadi dasar kesamaan dalam definisi, sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 angka 1 UU Ormas. Menurut pemerintah, hal demikian bukan berarti masyarakat tidak dapat mendirikan Ormas yang memiliki bidang kegiatan keagamaan. Sebab, aspek kesamaan aspirasi, kesamaan kehendak, kesamaan kebutuhan, kesamaan kepentingan, kesamaan kegiatan, dan kesamaan tujuan, secara eksplisit bermakna mengakomodasi organisasi-organisasi yang berlatar belakang agama. Lembaga swadaya masyarakat, NGO, OMS, Orsos, NPO, OKP, dan lain-lain, termasuk rumpun organisasi kemasyarakatan. Meskipun jenis-jenis organisasi tersebut memiliki sifat-sifat yang khas, tetapi memiliki unsur, ciri, sifat, wujud dan bentuk yang termasuk dalam kategori organisasi kemasyarakatan.
Selanjutnya mengenai kategori Ormas sebagai organisasi yang bersifat nirlaba, sebagaimana tercantum di dalam Pasal 5 UU Ormas, bukanlah dimaksudkan untuk membatasi ruang gerak aspirasi, kebutuhan, kepentingan, dan partisipasi Ormas dalam memajukan organisasinya. “Akan tetapi lebih kepada bentuk kontrol dan apresiasi Pemerintah terhadap dinamika perkembangan Ormas yang semakin kompleks,” lanjut Mualimin.
Ketentuan Pasal 38 ayat (1) UU Ormas, sama sekali tidak mengurangi hak Ormas untuk mempertanggungjawabkan iuran anggota berdasarkan AD/ART masing-masing Ormas. Adapun kewajiban mempertanggungjawabkan iuran anggota sesuai dengan standar akuntansi umum, tetap dalam koridor sesuai dengan AD/ART masing-masing Ormas dalam rangka mendorong akuntabilitas tata kelola keuangan secara internal, guna mencegah terjadinya maladministrasi maupun unprofessional.
Mengenai lingkup UU Ormas yang dianggap membatasi ruang gerak Ormas, menurut Pemerintah, pengaturan tentang ruang lingkup Ormas, yang terdiri dari lingkup kabupaten, lingkup provinsi, dan lingkup nasional adalah terkait erat dengan teritori keberadaan Ormas itu sendiri. Justru UU Ormas memberikan kemudahan seluas-luasnya kepada Ormas untuk dapat melakukan kegiatan di seluruh wilayah Indonesia. Bahkan Ormas dapat membentuk cabang di luar negeri sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 26 dan Pasal 27 UU Ormas. “Dengan perkataan lain, kategorisasi ruang lingkup Ormas di dalam rangka untuk membatasi aktivitas, pengembangan, dan keberadaan Ormas itu sendiri,” bebernya.
Pemerintah menegaskan pengaturan dalam UU Ormas disarikan dan diharmonisasikan dengan peraturan lain sehingga tidak terjadi benturan. UU Ormas telah harmonis dan sejalan dengan amanat konstitusi maupun peraturan perundang-undangan lain misalnya KUHP, KUHAP, KUH Perdata, UU Yayasan, UU Keterbukaan Informasi Publik, UU TPPU, UU Anti Terorisme, UU Haki, UU Polri. UU Ormas pada intinya memberikan pilihan kepada masyarakat yang akan mendirikan Ormas, baik ormas yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
Pemerintah berketetapan bahwa UU Ormas telah sejalan dengan amanat konstitusi. Oleh karena itu, menurut Pemerintah, materi pasal dalam UU Ormas yang diajukan oleh PP Muhammadiyah, tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Nur RosihinAna
readmore »»  
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More