Harmoni...

Jakarta, September 2010

Harmoni...

Jakarta, Desember 2010

Belahan jiwa

......

...Belahan jiwa...

......

ceria...

Jakarta, 8 Januari 2012

Nora Uzhma Naghata

Bogor, 24 Februari 2011

Nora Uzhma Naghata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Taman Safari Puncak

Bogor, 24 Februari 2011

Bandara Ahmad Yani

Semarang, 28 September 2011

Rileks

*********

Nur Rosihin Ana

Semarang, 19 Oktober 2010

Nur Rosihin Ana

mahkamah dusturiyyah, 18 Juli 2012

Nur Rosihin Ana

Hotel Yasmin, Puncak, Desember 2010

Nora Uzhma Naghata

Naghata

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Demak, 11 September 2011

Nur Rosihin Ana

Nagreg, Bandung 11 Juli 2011

Nora Uzhma Naghata, Sri Utami, Najuba Uzuma Akasyata, Nur Rosihin Ana

Sapa senja di Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Sapa Senja Jepara

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

...bebas, lepas...

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Senin, 20 Mei 2013

PP Muhammadiyah Gugat UU Rumah Sakit

Pelayanan kesehatan masyarakat merupakan kewajiban negara. Konstitusi menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan layanan kesehatan yang relevan dengan kebutuhan. Konstitusi juga menjamin peran serta warga negara atau lembaga privat dalam penyelenggaraan layanan kesehatan.

Pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh negara, masih jauh dari harapan masyarakat. Di sisi lain, muncul ikhtiar dari masyarakat atau lembaga privat untuk berperan serta dalam hal penyelenggaraan layanan kesehatan. Partisipasi masyarakat atau lembaga privat dalam hal penyelenggaraan kegiatan di bidang kesehatan, selayaknya mendapatkan apresiasi oleh negara. Sebab, layanan kesehatan oleh masyarakat, lembaga privat, sangat berperan ikut mendorong program pemerintah dalam hal menigkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Apresiasi dari negara terhadap masyarakat atau lembaga privat yang memberikan layanan di bidang kesehatan, misalnya diwujudkan dalam hal memberikan kemudahan perizinan. Bukan justru mempersulit perizinan, apalagi mengganjar dengan sanksi pidana.

Kiprah Persyarikatan Muhammadiyah dalam bidang keagamaan/dakwah dan sosial kemasyarakatan, pendidikan dan pengajaran serta kesehatan telah berlangsung lama. Sebagai badan hukum, Muhammadiyah yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 18 November 1912 Miladiyah ini telah mendirikan berbagai amal usaha dalam bidang pendidikan, ekonomi, sosial, kesehatan. Amal usaha Muhammadiyah dalam bidang kesehatan, termasuk di dalamnya kegiatan di bidang rumah sakit, balai pengobatan, tertuang dalam surat pernyataan Menteri Kesehatan RI No. 155/Yan.Med/Um/1998, tanggal 22 Februari 1988. Saat ini Muhammadiyah memiliki kurang lebih 457 unit usaha rumah sakit, rumah sakit bersalin dan uni kesehatannya lainnya yang tersebar di provinsi di Indonesia.

Badan Hukum Khusus

Khidmah Muhammadiyah dalam dalam amal usaha bidang kesehatan menemui hambatan signifikan khususnya mengenai perizinan. Perpanjangan izin operasional  unit kesehatan yang diajukan Muhammadiyah, ditolak oleh Kementerian  Kesehatan (Kemenkes) dan badan yang berkompeten seperti, Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), Dinas Tenaga Kerja, Badan Pengendalian Lingkungan (Bapedal), Lembaga Metrologi Nasional Indonesia, Dinas Pekerjaan Umum, Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPFK), dan Dinas Kebakaran. Alasannya, unit kesehatan yang didirikan Muhammadiyah tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat 4 Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (UU RS) yang menyatakan, “Rumah Sakit yang didirikan oleh swasta sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) harus berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan.”

Muhammadiyah merasakan adanya kerugian materiil dan imateriil yang diakibatkan tidak adanya pengakuan dan jaminan atas keberadaan amal usaha RS Muhammadiyah. Selain itu, pembentukan badan khusus dimaksud memunculkan potensi konflik kepemilikan antara Muhammadiyah dengan pengelola RS Muhammadiyah yang status hukumnya harus disesuaikan dengan UU Rumah Sakit. Hal ini tentu sangat menggangu pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

Merasa dirugikan, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, dan Ketua Muhammadiyah Bidang Kesehatan, A. Syafiq Mughni, mengajukan permohonan Judicial Review atas Ketentuan Pasal 7 ayat (4), Pasal 17, Pasal 21, Pasal 25 ayat (5), Pasal 62, Pasal 63 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 64 ayat (1) UU RS. Din Syamsudin dan Syafiq Mughni melalui kuasa hukum Syaiful Bakhri dkk, menyatakan ketentuan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan dengan UUD 1945, khususnya Paragraf Keempat Pembukaan, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), Pasal 28I ayat (1), ayat (2), ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945.

Kepaniteraan MK pada Kamis (11/4/2013) meregistrasi permohonan PP Muhammadiyah dengan Nomor 38/PUU-XI/2013. Selanjutnya, MK menggelar sidang pendahuluan Kamis (17/4/2013) yang dihadiri oleh A. Syafiq Mughni dan para Direktur Rumah Sakit Islam Muhammadiyah se-Indonesia, serta didampingi kuasa hukum Syaiful Bakhri dkk. MK juga mengagendakan pemeriksaan lanjutan dengan agenda perbaikan permohonan pada persidangan yang digelar pada Selasa (7/4/2013).

Persyarikatan Muhammadiyah telah berstatus badan hukum sejak sebelum kemerdekaan Indonesia. Muhammadiyah merasa hak konstitusional yang dimilikinya sebagai badan hukum, direduksi oleh UU RS. Ketentuan Pasal  Pasal 7 ayat 4 UU RS tegas menyatakan RS swasta harus berbentuk badan hukum yang khusus yang bergerak di bidang perumahsakitan. Selain itu, ketentuan dalam UU RS juga memberikan sanksi pidana penjara, denda, dan sansksi administrasi bagi RS yang tidak didirikan oleh badan hukum khusus kerumahsakitan.

Ketentuan Pasal 7 ayat (4) UU RS mewajibkan Muhammadiyah membentuk badan hukum khusus untuk perumahsakitan. Ketentuan ini berarti memungkiri eksistensi PP Muhammadiyah sebagai badan hukum yang berhak memiliki amal usaha RS. “Sama halnya tidak mengakui hak bersyarikat dan berkumpulnya Pemohon (Muhammadiyah) dalam mewujudkan Persyarikatan Muhammadiyah yang yang telah diakui oleh negara sejak sebelum kemerdekaan sampai dengan kemerdekaan,” kata kuasa hukum PP Muhammadiyah, Syaiful Bakhri.

Liberalisasi Layanan Kesehatan

Kepemilikan amal usaha Rumah Sakit Muhammadiyah merupakan wujud nasionalisme yang tidak boleh terkikis oleh kewajiban status hukum dan administrasi sebagaimana ketentuan dalam UU Rumah Sakit. PP Muhammadiyah menengarai hadirnya UU RS menjadi pintu masuk liberalisasi dalam bidang pelayanan kesehatan di Indonesia. Pendekatan kelas dalam pelayanan kesehatan dengan perlakuan dan jaminan berbeda antara milik pemerintah dan milik swasta.

Ketentuan-ketentuan dalam UU RS tidak mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia. Beberapa ketentuan dalam UU RS justru membuka peluang perbedaan perlakuan dalam memperoleh pelayanan kesehatan. UU ini juga tidak mencerminkan asas kekeluargaan, karena tidak melihat seluruh elemen bangsa menjadi bagian integral dari negara dan bangsa Indonesia. Asas bhinneka tunggal ika, juga tidak tercermin dalam UU RS, karena tidak mengakomodasi elemen-elemen yang ada di masyarakat sebagai anak bangsa, tetapi menggunakan pendekatan kelas. Selain itu, UU RS ini tidak mencerminkan asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan karena masih membedakan status pemerintah dan swasta yang merupakan penegasan prinsip diskriminasi sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan konstitusi.

Nur Rosihin Ana
Catatan Perkara Majalah Konstitusi Edisi Mei 2013:


readmore »»  

Senin, 13 Mei 2013

Menguji Kapitalisasi Koperasi


Koperasi merupakan usaha bersama berdasar asas kekeluargaan, tolongmenolong, gotong-royong, senasib sepenanggungan. prinsip usaha koperasi yaitu “dari oleh dan untuk anggota”. Dalam koperasi tidak ada majikan dan buruh, semuanya pekerja yang bekerjasama untuk menyelenggarakan keperluan bersama (Hatta, 1954). Moh Hatta pernah menyebutkan bahwa cita-cita koperasi indonesia adalah menentang  individualisme dan kapitalisme secara fundamental. Paham koperasi Indonesia menciptakan masyarakat indonesia yang kolektif, berakar pada adat istiadat hidup Indonesia yang asli, tetapi ditumbuhkan pada tingkat yang lebih tinggi, sesuai dengan tuntutan zaman modern. Semangat kolektivisme indonesia yang akan dihidupkan kembali dengan koperasi mengutamakan kerjasama dalam suasana kekeluargaan antara manusia pribadi, bebas dari penindasan dan paksaan.

Dengan demikian, makna koperasi didirikan bukan untuk kepentingan seorang individu untuk menyejahterakan dirinya dengan cara merekrut orang lain dalam koperasi yang didirikannya. Akan tetapi, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian (UU Perkoperasian), justru mengebiri jiwa koperasi yang mengedepankan asas kekeluargaan. Seharusnya, paham kolektif (kolektivisme) yang mendasari batasan pengertian koperasi. Sebaliknya, UU Perkoperasian lebih mengedepankan paham individual (individualisme) yang menjadi batasan koperasi dengan mendefinisikan koperasi didirikan oleh orang perseorangan.

Dari Kolektivisme ke Individualisme
Pergeseran makna koperasi dari kolektivisme ke individualisme, terpampang gamblang dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Perkoperasian yang menyatakan, “Koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum Koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip Koperasi.”

Bila dibandingkan dengan UU tentang Perkoperasian yang pernah berlaku sebelumnya, maka tidak satu pun yang mendefinisikan koperasi sebagai badan usaha yang didirikan oleh orang perseorangan. Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 79 Tahun 1958 tentang Perkumpulan Koperasi menyatakan, “Koperasi ialah suatu perkumpulan yang beranggotakan orang-orang atau badan-badan hukum yang tidak merupakan konsentrasi modal.”

Menurut Pasal 3 UU Nomor 14 Tahun 1965 tentang Perkoperasian menyatakan, “Koperasi adalah organisasi ekonomi dan alat revolusi yang berfungsi sebagai tempat persemaian insan masyarakat serta wahana menuju Sosialisme indonesia berdasarkan Pancasila.” Kemudian Pasal 3 UU Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perkoprasian menyatakan, “Koperasi indonesia adalah organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial beranggotakan orang-orang atau badanbadan hukum Koperasi yang merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha Catatan Perkara56 KONSTITUSI April 2013 bersama berdasar atas azas kekeluargaan.”

Terakhir, pasal 1 angka 1 UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, “Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.”

Definisi koperasi sebagai sebuah badan hukum yang didirikan oleh perseorangan dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian tersebut di atas, menunjukkan bahwa semangat (legal policy) pembentukan UU ini adalah merubah paradigma keberadaan koperasi yang sebelumnya merupakan usaha bersama menjadi usaha pribadi. Frasa “didirikan oleh orang perseorangan” yang menjadi pengertian koperasi dalam pasal 1 angka 1 UU Perkoperasian, menempatkan koperasi serupa dengan commanditaire vennootschap (CV). Pasal 19 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang menyatakan, “perseroan yang terbentuk dengan cara meminjamkan uang atau disebut juga perseroan komanditer, didirikan antara seseorang atau antara beberapa orang perseroyang bertanggung jawab secara tanggung-renteng untuk keseluruhannya, dan satu orang atau lebih sebagai pemberi pinjaman uang.

Bukan hanya pasal 1 angka 1 UU Perkoperasian, bahkan beberapa pasal lainnya dalam UU Perkoperasian, juga dinilai semakin menjauh dari cita-cita pendiri bangsa yang telah mengembangkan koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional. Yaitu Pasal 50 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 56 ayat (1), Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, Pasal 72, Pasal 73, Pasal 74, Pasal, 75, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 80, Pasal 82, dan Pasal 83 UU Perkoperasian.

Eksistensi koperasi dalam ketentuan pasal-pasal tersebut, mengundang keberatan sejumlah koperasi dan anggota koperasi, yakni Gabungan Koperasi Pegawai Republik Indonesia (GKPRI) provinsi Jawa Timur, Pusat Koperasi Unit Desa (PUSKUD) Jawa Timur, Pusat Koperasi Wanita Jawa Timur (Puskowanjati), Pusat Koperasi An-nisa’ Jawa Timur, pusat Koperasi BUEKA Assakinah Jawa Timur, Gabungan Koperasi Susu indonesia, Agung Haryono, dan Mulyono. Merasa dirugikan, mereka menyuarakan hak konstitusional mereka dengan mengirim permohonan judicial review UU Perkoperasian ke MK, yang kemudian diregistrasi dengan Nomor 28/PUU-XI/2013. Menurut para pemohon, ketentuan pasal-pasal tersebut telah melanggar hak konstitusional mereka yang dijamin oleh Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (2), Pasal 28H Ayat (4), serta Pasal 33 Ayat (1) UUD 1945.

Pasal 50 ayat (1) huruf a UU Perkoperasian menyatakan, “pengawas bertugas: a. mengusulkan calon pengurus.” Pasal 55 ayat (1), “pengurus dipilih dari orang perseorangan, baik Anggota maupun non-Anggota.” Pasal 56 ayat (1), “pengurus dipilih dan diangkat pada rapat Anggota atas usul pengawas.” Kewenangan kepada pengawas untuk mengusulkan calon pengurus dalam rapat Anggota, mempersempit peluang setiap anggota untuk mengajukan diri sebagai calon pengurus koperasi. Kewenangan mengusulkan calon pengurus di tangan pengawas, menunjukkan penyelenggaraan koperasi bukan lagi berdasar asas kekeluargaan. Kemudian, munculnya pengurus dari kalangan eksternal dinilai sebagai “perampasan” kesempatan para anggota koperasi yang sejak semula berjuang untuk mengembangkan koperasi.

Ihwal Setoran Pokok yang dibayarkan oleh Anggota pada saat yang bersangkutan mengajukan permohonan sebagai anggota tidak dapat dikembalikan (Pasal 67), menurut para pemohon, adalah bentuk perampasan secara sewenangwenang terhadap hak milik pribadi yang dijamin Pasal 28H Ayat (4) UUD 1945. Selain itu, “Setoran Pokok” menyebabkan orang enggan dan segan masuk koperasi karena takut kehilangan uangnya. Adil Berbagi Hasil perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja atas asas kekeluargaan yang dijamin dalam Pasal 28D Ayat (2) dan pasal 33 Ayat (1) UUD 1945, direduksi oleh pasal 78 ayat (2) UU Perkoperasian, “Koperasi dilarang membagikan kepada Anggota Surplus Hasil Usaha yang berasal dari transaksi dengan non-Anggota.”

Kemudian pasal 80, “Dalam hal terdapat Defisit Hasil Usaha pada Koperasi Simpan pinjam, Anggota wajib menyetor tambahan Sertifikat Modal Koperasi.” Ketentuan tersebut membatasi pemberian surplus hasil usaha yang diperoleh dari transaksi dengan non anggota. Ketidakadilan dalam pembagian hasil kerja yang dilakukan oleh koperasi tersebut, sangat merugikan para pemohon. Usaha yang dilakukan secara bersamasama, hanya dinikmati non anggota koperasi. Kemudian mengenai kewajiban anggota setor tambahan modal saat terjadi defisit, hal ini merupakan eksploitasi. Padahal seharusnya dalam status koperasi sebagai badan hukum (rechtspersoon), pertanggungjawaban anggota hanya sebatas pada “modal” yang disetor.

Nur Rosihin Ana

Catatan Perkara, Majalah KONSTITUSI Edisi April 2013.


Update Berita:

Mahkamah Konstitusi pada Rabu (28/5/2014) menyatakan UU Perkoperasian bertentangan dengan UUD 1945. Ulasannya baca di sini: UU Koperasi Simpangi Konstitusi
readmore »»  
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More