Harmoni...

Jakarta, September 2010

Harmoni...

Jakarta, Desember 2010

Belahan jiwa

......

...Belahan jiwa...

......

ceria...

Jakarta, 8 Januari 2012

Nora Uzhma Naghata

Bogor, 24 Februari 2011

Nora Uzhma Naghata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Taman Safari Puncak

Bogor, 24 Februari 2011

Bandara Ahmad Yani

Semarang, 28 September 2011

Rileks

*********

Nur Rosihin Ana

Semarang, 19 Oktober 2010

Nur Rosihin Ana

mahkamah dusturiyyah, 18 Juli 2012

Nur Rosihin Ana

Hotel Yasmin, Puncak, Desember 2010

Nora Uzhma Naghata

Naghata

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Demak, 11 September 2011

Nur Rosihin Ana

Nagreg, Bandung 11 Juli 2011

Nora Uzhma Naghata, Sri Utami, Najuba Uzuma Akasyata, Nur Rosihin Ana

Sapa senja di Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Sapa Senja Jepara

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

...bebas, lepas...

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Kamis, 25 Oktober 2012

Pesangon PHK Daluwarsa, Mantan Satpam Ujikan UU Ketenagakerjaan


Marten Boiliu, Pemohon uji materi 
UU Ketenagakerjaan. (Foto: Dedy)

Tujuh tahun Marten Boiliu menjalani profesi sebagai petugas Satuan Pengaman (Satpam) pada perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melalui perusahaan penyedia jasa pengamanan. Marten mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ketika perusahaan jasa pengamanan tempat dia bernaung, tidak lagi menjalin hubungan kerja dengan BUMN tempat di mana dia ditugaskan. Marten kehilangan hak atas uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak karena tidak mengajukan tuntutan atas hak-hak tersebut dalam kurun waktu dua tahun. Artinya, setelah melampaui masa dua tahun, tuntutan pembayaran upah pekerja dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja mengalami daluwarsa. Begitulah ketentuan Pasal dalam UU Ketenagakerjaan.

Marten Boiliu merasa hak konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Selanjutnya, Marten mengadu ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan tersebut. Permohonan Marten diregisterasi oleh Kepaniteraan MK dengan Nomor 100/PUU-X/2012 pada 3 Oktober 2012.

Pasal 96 UU Ketenagakerjaan menyatakan, “Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kedaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak.” Menurut Marten, ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”

Marten dalam permohonan berkisah ihwal profesi yang digelutinya, yaitu sebagai petugas Satpam di PT Sandy Putra Makmur (PT SPM) yang bergerak di bidang penyedia jasa pengamanan. Tujuh tahun lebih ia mengabdi di PT SPM, yaitu sejak 15 Mei 2002. Pada  1 Juli 2009, Marten bersama 65 Satpam lainnya di-PHK oleh PT SPM berdasarkan Surat Keterangan PHK Nomor: 760/SEKR/01/SPM-02/VII/2009. Marten mengaku tidak menerima pembayaran apapun terkait berakhirnya hubungan kerja tersebut.

Marten Boiliu dan Nur Rosihin Ana. (Foto: Dedy)
Pasca keluarnya SK PHK, Marten dan 65 temannya tidak memiliki kemampuan untuk menuntut pertanggungjawaban PT SPM mengenai hak-hak normatif atas PHK sebagaimana ketentuan Pasal 156 jo Pasal 163 UU Ketenagakerjaan. Hal ini disebabkan perasaan takut dan cemas akan resiko tidak dipekerjakan lagi saat PT SPM kembali memenangkan tender jasa pengamanan. Dua tahun pasca PHK berlalu, PT SPM tidak lagi menjalin hubungan kerja dengan perusahaan di mana Marten dan kawan-kawannya ditugaskan (PT Telkom).

Syahdan, tiga tahun pasca PHK berlalu, pada Juni 2012 Marten bersama 65 temannya melakukan perundingan bipartit dengan PT SPM. Perundingan bipartit gagal, sehingga perselisihan didaftarkan ke Kantor Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jakarta Selatan untuk dimediasi. Namun, pihak PT SPM tidak pernah menghadiri mediasi. Marten dkk berencana mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.

Gugatan Daluwarsa


Dedy, Marten Boiliu, Nur Rosihin Ana. (Foto: Mantox)
Mengenai gugatan kadaluwarsa, Mahkamah Agung RI pernah mengeluarkan putusan Nomor 183 K/Pdt.Sus/2012 mengenai perselisihan hubungan industrial. MA dalam amar putusan menyatakan menolak permohonan Kasasi Zaenal karena tuntutan pembayaran upah yang diajukan Zaenal telah melampaui waktu dua tahun sebagaimana ketentuan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan. Putusan MA yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) juga merugikan Marten dkk yang hendak mengajukan gugatan terhadap kasus yang sama kadaluwarsanya.

Marten mendalilkan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan cenderung lebih menguntungkan kepentingan pengusaha. Marten dkk merasa diperlakukan tidak adil karena hak untuk mendapatkan uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak menjadi melayang hilang ditelan masa daluwarsa.

Oleh karena itu, Marten dalam petitum meminta Mahkamah agar menerima dan mengabulkan permohonan pengujian Pasal 96 UU Ketenagakerjaan. Meminta Mahkamah menyatakan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya. 

(Catatan Perkara Majalah Konstitusi Edisi Oktober 2012 Hal. 47) 
Download Majalah di sini


Update 19 September 2013 

Permohonan Dikabulkan 


Upaya Marten tak sia-sia. Akhirnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi UU Ketenagakerjaan yang dimohonkan oleh Marten Boiliu, dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 100/PUU-X/2012 yang dibacakan pada Kamis (19/9/2013). 

Mahkamah menyatakan mengabulkan seluruh permohonan Marten. Mahkamah menyatakan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.

Putusan Nomor 100/PUU-X/2012 dapat diunduh (downloading)  di sini



Nur Rosihin Ana


readmore »»  

Rabu, 24 Oktober 2012

Irfan Syauqi Beik: Penghimpunan Zakat Nasional Baru Capai 0.8%

Penghimpunan zakat oleh seluruh Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) di Indonesia pada tahun 2011, baru mencapai angka 1,73 triliun. Sedangkan potensinya adalah 217 triliun. “Artinya kemampuan penghimpunan ini baru mencapai angka 0,8% dari total potensi yang ada. Oleh karena itu kita perlu mendongkrak penghimpunan zakat ini sehingga diperlukan adanya kekuatan yang mampu melakukan intervensi.”
Demikian dikatan Irfan Syauqi Beik, saat didaulat sebagai ahli Pemerintah dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, Rabu (24/10/2012). Sidang kali kelima untuk perkara Nomor 86/PUU-X/2012 ihwal uji Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 38 dan Pasal 41 UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (UUPZ) ini beragendakan mendengar keterangan saksi/ahli Pemohon dan Pemerintah.
Dari perspektif kebijakan negara, lanjut Irfan, instrumen zakat belum menjadi instrumen utama dan menjadi bagian integral dari kebijakan ekonomi negara karena posisi zakat belum kuat dari perspektif kebijakan publik. Hadirnya UU Nomor 23 Tahun 2011 semakin memperkuat peran negara. Negara mendapat “perintah” untuk turut membangun perzakatan nasional melalui upaya fasilitasi dan penguatan infrastruktur kelembagaan dan anggaran bagi pembangunan zakat nasional. Hal ini tentunya harus dijabarkan oleh Peraturan Pemerintah (PP) yang akomodatif dan supportif. Berbeda halnya dengan UUPZ sebelumnya yaitu UU Nomor 38 Tahun 1999 yang tidak terlalu kuat memberikan tekanan dan perintah kepada negara. “Ketiadaan PP yang melaksanakan undang-undang yang lama menjadi bukti yang tidak terbantahkan,” dalil Irfan.
Pentingnya integrasi pengelolaan zakat dalam kebijakan Negara, telah dinyatakan oleh Abu Ubaid dalam kitabnya, “Al-AmwâlAbu Ubaid mengatakan bahwa zakat memiliki dua karakteristik. Pertama, karakter sebagai ibadah mahdhah yang berlaku final dan tidak bisa diganggu gugat. Kedua, karakter politik zakat. Karakter politik zakat menurut Abu Ubaid adalah bahwa zakat merupakan institusi keuangan publik yang peranannya sangat tergantung pada kondisi negara dan masyarakat.
“Kalau pemerintah punya political will yang baik, kondisi masyarakatnya juga baik, maka pengelolaan zakat juga akan baik. Demikian pula sebaliknya, akan tetapi Abu Ubaid juga menegaskan bahwa meskipun secara politik bisa naik dan turun, namun secara natural secara alami keterlibatan negara tetap tidak boleh diabaikan,” terang Irfan.
Tuan Guru H. Muharrar Mahfudz, Wakil Pimpinan Pondok Pesantren Nurul Hakim, Kediri Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), dalam kapasitasnya sebagai saksi pemohon, menerangkan pengalamannya dalam pelaksanaan ibadah zakat. Sebagai da’i yang sering mengisi pengajian di masyarakat, Muharrar sering menerima titipan zakat dari aghniyâ (orang-orang kaya). Hal serupa juga dialami para guru dan tokoh agama Islam lainnya. Mereka bukan amil, tetapi mereka adalah orang-orang yang dipercayakan oleh masyarakat untuk mendistribusikan zakat,” lanjutnya.
Muharrar juga berkisah tentang pengalamannya dalam pembangunan masjid dan pembangunan fisik lembaga pendidikan Islam di NTB. Setiap panen, ada taklimat (pengumuman) berisi permohonan dari takmir masjid kepada para petani untuk berzakat. “Kebetulan saat ini kami sedang membangun sebuah masjid yang pada saat-saat sudah persiapan pengecoran, sudah persiapan pembangunan, sudah sampai ke tingkat pelaksanaan, tetapi dana belum juga cukup, sehingga langkah (kami) mengimbau kalangan muzakki,” papar Muharrar.
Sementara itu, Anggota Dewan Petimbangan Badan Ambil Zakat (BAZ) Kota Balikpapan, Muhammad Jailani sebagai saksi dari Pemerintah memberikan keterangan berkaitan dengan pengelolaan zakat yang dilaksanakan oleh BAZ di Kota Balikpapan, khususnya yang terkait dengan pelaksanaan UUPZ. Pada 28 Agustus 2004 diselenggarakan sarahsehan sehari untuk meningkatkan peran masjid dalam pengelolan zakat di Kota Balikpapan. Hasil sarahsehan menyepakati pembentukan Unit Pengumpul Zakat (UPZ) sebagai bagian dari BAZ di seluruh masjid di Kota Balikpapan.  “Khusus pada bulan suci Ramadhan dan Idul Fitri, seluruh penerima zakat harta diserahkan kepada BAZ Kota Balikpapan setelah 1/8 dikeluarkan untuk hak-hak Amil. Adapun zakat fitrah, infaq, dan shadaqah dapat langsung dikelola oleh masjid setempat,” terang Jailani.
Selanjutnya, pascalahirnya UU Nomor 23 Tahun 2011, berdasarkan hasil rapat BAZ Kota Balikpapan bersama Dewan Masjid di Kota Balikpapan, disepakati bahwa hasil infaq Jum’at di setiap masjid sebagian disisihkan untuk dikumpulkan kepada BAZ Kota Balikpapan dengan persentase yang berbeda-beda sesuai dengan kesepakatan pengurus masjid masing-masing. Beberapa program tersebut, BAZ Kota Balikpapan membiayai atau menfasilitasi beberapa kegiatan di antaranya, membantu penyelenggaraan dakwah di masjid-masjid, memberikan insentif imam rawatib, bantuan renovasi masjid, insentif rutin kesejahteraan guru TK-TPA.
Untuk diketahui, pengujian konstitusionalitas materi UUPZ ini diajukan oleh Yayasan Dompet Dhuafa; Yayasan Rumah Zakat Indonesia; Yayasan Yatim Mandiri; Yayasan Portal Infaq; Yayasan Dana Sosial Al Falah Malang; Lembaga Pendayagunaan dan Pemberdayaan Zakat, Infaq, Shadaqoh dan Waqaf Harapan Ummat (LPP-ZISWAF HARUM); Yayasan Harapan Dhuafa Banten, Lembaga Manajemen Infaq (LMI), YPI Bina Madani Mojokerto; Rudi Dwi Setiyanto (Amil Zakat); Arif Rahmadi Haryono (Muzakki); Fadlullah (Muzakki); dan terakhir, Sylviani Abdul Hamid (Muzakki). Materi UUPZ yang diujikan yaitu Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 38 dan Pasal 41 UUPZ.
Pasal 5 UUPZ menyatakan: “(1) Untuk melaksanakan pengelolaan zakat, Pemerintah membentuk BAZNAS. (2) BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di ibu kota negara. (3) BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri.”
Pasal 6 UUPZ menyatakan: “BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional.”
Pasal 7 UUPZ menyatakan: “(1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. BAZNAS menyelenggarakan fungsi: a) perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; b) pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; c) pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; dan d) pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat. (2) Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, BAZNAS dapat bekerja sama dengan pihak terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) BAZNAS melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya secara tertulis kepada Presiden melalui Menteri dan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.”
Pasal 17 UUPZ menyatakan: “Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ.”
Pasal 18 UUPZ menyatakan: “(1) Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan apabila memenuhi persyaratan paling sedikit: a) terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial; b) berbentuk lembaga berbadan hukum; c) mendapat rekomendasi dari BAZNAS; d) memiliki pengawas syariat; e) memiliki kemampuan teknis, administratif, dan keuangan untuk melaksanakan kegiatannya; f) bersifat nirlaba; g) memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan umat; dan h) bersedia diaudit syariat dan keuangan secara berkala.”
Pasal 19 UUPZ menyatakan: “LAZ wajib melaporkan pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit kepada BAZNAS secara berkala.”
Pasal 38 UUPZ menyatakan: “Setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian, atau pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat yang berwenang”
Pasal 41 UUPZ menyatakan: Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).”
Para pemohon mendalilkan Pasal 38 jo Pasal 41 UUPZ telah memberikan dasar hukum untuk mengriminalisasi para amil zakat yang tidak memiliki izin dari pejabat yang berwenang walaupun amil zakat tersebut mendapat kepercayaan tinggi dari masyarakat. Pasal 17, Pasal 18 dan Pasal 19 UUPZ secara eksplisit mengsubordinasikan kedudukan LAZ bentukan masyarakat sipil dengan adanya persyaratan yang ditetapkan dalam Pasal 18 UUPZ. Ketentuan ini melahirkan ketidakpastian hukum bagi LAZ atau calon LAZ yang akan mengajukan izin ke Menteri. Pasal 18 ayat (2) huruf a bersifat diskriminatif dan dapat mematikan lebih dari 300 LAZ yang telah ada saat ini. Sebab hampir seluruh LAZ tersebut berbentuk badan hukum yayasan. Padahal dalam ketentuan Pasal 18 UUPZ mengharuskan LAZ terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas).
Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7 UUPZ telah mensentralisasikan pengelolaan zakat nasional berada di tangan pemerintah. Hal ini menghambat peran serta LAZ yang telah memberdayakan masyarakat dan menanggulangi kemiskinan. Pasal 5 dan Pasal 15 UUPZ menyatakan pendirian BAZNAS di tingkat pusat, provinsi serta kabupaten/kota tanpa memberikan persyaratan pendirian. Selain itu, BAZNAS berhak mendapatkan pembiayaan dari APBN serta dapat menggunakan sebagian dana zakat yang dihimpun. Sementara LAZ mendapatkan restriksi yang sangat ketat, tidak mendapat pembiayaan dari APBN dan hanya berhak mendapatkan pembiayaan dari hak amil saja.
Berlakunya UUPZ tidak hanya merugikan para pemohon tetapi juga seluruh warga Negara Indonesia yang selama ini telah banyak terbantu oleh berbagai program yang dilaksanakan oleh LAZ. UUPZ semestinya mengokohkan peran negara dalam memberi perlindungan bagi warga negara yang membayar zakat, menjaga ketertiban umum dengan mencegah penyalahgunaan dana zakat, memfasilitasi sektor filantropi Islam untuk perubahan social dan member insentif bagi perkembangan dunia zakat nasional. Tetapi kenyataannya, UUPZ ini justru mematahkannya. (Nur Rosihin Ana)

SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

readmore »»  

Selasa, 23 Oktober 2012

Mahkamah Tolak Pengujian Rangkap Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi


Pengujian konstitusionalitas kewenangan rangkap penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi oleh kejaksaan yang tersebar dalam beberapa Undang-Undang, memasuki tahap pengucapan putusan. Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (23/10/2012) siang, menggelar sidang pengucapan putusan Nomor 16/PUU-X/2012 ihwal Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) serta Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
Mahkamah dalam amar putusan menyatakan menolak seluruh permohonan yang diajukan oleh Iwan Budi Santoso, Muhamad Zainal Arifin, dan Ardion Sitompul. “Amar putusan, mengadili, menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” Kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD didampingi delapan hakim anggota, Achmad Sodiki, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, dan M. Akil Mochtar.
Hal yang menjadi objek permohonan Iwan Budi Santoso, Muhamad Zainal Arifin, dan Ardion Sitompul adalah uji konstitusional pasal-pasal yang berkaitan dengan kewenangan rangkap penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi oleh kejaksaan yang tersebar dalam beberapa UU, antara lain Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan; Pasal 39 UU Tipikor; dan Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU KPK khususnya frasa “atau kejaksaan” serta frasa “dan/atau kejaksaan” dalam UU KPK. Menurut para pemohon, ketentuan tersebut bertentangan dengan asas negara hukum [vide Pasal 1 ayat (3) UUD 1945], pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum [vide Pasal 28D ayat (1) UUD 1945].
Mahkamah berpendapat, UUD 1945 tidak melarang adanya fungsi ganda tersebut. Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang- Undang Dasar” dan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Setiap rancangan Undang-Undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.”
“Berdasarkan kedua pasal tersebut, maka Presiden selain sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan (eksekutif), juga berfungsi sebagai pembentuk Undang-Undang (legislatif) bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian UUD 1945 tidak melarang fungsi ganda tersebut,” kata Hakim Konstitusi Muhammad Alim saat membacakan Pendapat Mahkamah.
Selain itu, Mahkamah juga mengutip beberapa pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Nomor 28/PUU-V/2007 tanggal 27 Maret 2008 yang dalam paragraf [3.13.6] antara lain mempertimbangkan, “Dengan demikian kewenangan polisi sebagai penyidik tunggal bukan lahir dari UUD 1945 tetapi dari Undang-Undang,”. Kata “sesuai” dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya memungkinkan alat penegak hukum lainnya seperti kejaksaan diberi wewenang untuk melakukan penyidikan. Sementara itu Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dengan undang-undang. Undang-Undang yang diturunkan dari amanat Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 itu antara lain adalah UU Kejaksaan. Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan berbunyi, “Melakukan penyidikan terhadap pidana tertentu berdasarkan undangundang”.
Berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan para Pemohon supaya kewenangan penyidikan yang diberikan kepada kejaksaan dalam beberapa ketentuan tindak pidana khusus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, tidak beralasan menurut hukum,” tandas Alim. (Nur Rosihin Ana)



SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES
readmore »»  

Dalil Permohonan Kontradiktif, Uji Materi KUHAP Tidak Diterima

Pengujian konstitusionalitas Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dimohonkan oleh Dr. H. Idrus M.Kes dinilai kabur (obscuur libel) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena terjadinya pertentangan antar dalil dalam permohonan dan antar dalil dalam posita dengan petitum. Alhasil, dalam amar Putusan Nomor 71/PUU-X/2012, Mahkamah menyatakan permohonan Idrus tidak dapat diterima. “Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” Kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD didampingi delapan hakim anggota, Achmad Sodiki, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, dan M. Akil Mochtar, dalam sidang pengucapan putusan di MK, Selasa (23/10/2012) siang.
Idrus mengujikan ketentuan Pasal 244 KUHAP terkait dengan kewenangan Jaksa Penuntut Umum untuk dapat tidaknya mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung yang selengkapnya berbunyi, “Terhadap putusan, perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh Pengadilan lain selain dari pada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”. Hal ini menurutnya bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Saat mengajukan permohonan ke MK pada 11 Juli 2012 lalu, Idrus sedang menunggu putusan dari Mahkamah Agung atas permintaan pemeriksaan kasasi Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negri Lubuk Sikaping tertanggal 9 Juli 2008, atas putusan Pengadilan Negri Lubuk Sikaping Nomor 55/Pid/2007/Pn.Lbs tanggal 19 Juni 2008.
Adapun permasalahan yang dihadapi Idrus yaitu pada tahun 2004 yang lalu, Pemerintah melalui Kementerian Sosial memberikan hibah kepada Kabupaten Pasaman berupa 100 ekor sapi untuk 100 kepala keluarga (KK) yang kurang mampu. Saat itu, Idus menjabat sebagai Kepala Dinas Sosial, Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Pasaman, yang bertugas melakukan pembinaan terhadap kelompok KK miskin tersebut melalui jajaran di bawahnyaPada awal Tahun 2006, Idrus pindah tugas menjadi Kepala Dinas Kesehatan dan Keluarga Berencana Kabupaten Pasaman. Suatu saat, Idrus menegur stafnya yang bernama Hayati, istri Kejari Lubuk Sikaping. Teguran ini rupanya memicu kasus perkara Idrus.
Pada akhir 2006 Kejaksaan Negeri (Kejari) Lubuk Sikaping melakukan pemanggilan kepada Idrus untuk penyelidikan tentang bantuan hibah pada Tahun 2004. Saat itu pula Idrus ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di LP Lubuk Sikaping selama 7 bulan 10 hari. Selama dalam penahanan, Idrus dua kali diperiksa oleh Kejari Lubuk Sikaping dengan tuduhan menerima uang Rp 1.200.000 dari KUBE FM dan mendakwa Idrus telah menyebabkan kerugian negara sebanyak Rp 20.000.000.
Pada 2008 Pengadilan Negeri Lubuk Sikaping membuat putusan bebas murni kepada Idrus dengan Putusan Nomor 55/Pid/2007/PN.Lbs Tanggal 19 Juni 2008, dengan alasan bantuan sapi tersebut adalah merupakan hibah, sesuai dengan Surat Perjanjian Kerjasama antara Kementrian Sosial dengan Bupati Agam Nomor 53/HUK/2004. Kemudian pada tanggal 9 Juli 2008 Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Lubuk Sikaping mengajukan permintaan pemeriksaan Kasasi kepada Mahkamah Agung (MA) dengan dasar hukumnya Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor K/275/Pid/1983, yang bersumber dari Pasal 244 KUHAP, karena JPU beranggapan Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Sikaping adalah bebas tidak murni. Sampai saat ini, Idrus belum mendapatkan keputusan kasasi tersebut dari MA. Merasa diperlakuan diskriminatif dan tidak mendapat kepastian hukum, Idrus lalu mengajukan pengujian Pasal 244 KUHAP ke MK.
Idrus dalam petitum permohonannya meminta dua pilihan kepada Mahkamah untuk memutus Pasal 244 KUHAP. Pertama memohon Mahkamah menyatakan Pasal 244 KUHAP bermakna. Maksudnya, Pasal 244 KUHAP dinyatakan tetap berlaku dan tidak bertentangan dengan UUD 1945, disertai dengan konsekuensi bahwa Yurisprudensi Mahkamah Agung melalui putusan Mahkamah Agung Reg. Nomor 275K/Pid/1983 yang bertentangan dengan Pasal 244 KUHAP menjadi tidak berlaku. Konsekuensi ikutan lain yaitu putusan PN Lubuk Sikaping atas perkara Idrus menjadi berkekuatan hukum tetap.
Kedua, Idrus juga memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 244 KUHAP tidak bermakna, maksudnya menyatakan Pasal 244 KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum tetap, dengan konsekuensi bahwa semua ketentuan yang berdasar pada ketentuan Pasal 244 KUHAP, salah satunya Yurisprudensi Mahkamah Agung melalui Putusan Mahkamah Agung Reg. Nomor 275K/Pid/1983, juga dinyatakan tidak bermakna, sehingga Putusan PN Lubuk Sikaping atas perkara Idrus menjadi memiliki kekuatan hukum tetap.
Menurut Mahkamah, terdapat pertentangan antar dalil-dalil dalam posita maupun antara posita dan petitum dalam permohonan Idrus. Di satu sisi Idrus mendalilkan Pasal 244 KUHAP tidak bermakna. Di sisi lain, Idrus mendalilkan Pasal 244 KUHAP bermakna. Selain itu, apabila dalil dalam posita tersebut dikaitkan dengan petitum, maka antara dalil tersebut dan petitum juga bertentangan. Terlebih lagi Idrus memohon supaya Putusan PN Lubuk Sikaping atas perkara Idrus menjadi memiliki kekuatan hukum tetap.
“Atas dasar pertentangan-pertentangan antar dalil-dalil dalam permohonan Pemohon dan antara dalil-dalil dalam posita dengan petitum, maka menurut Mahkamah, permohonan a quo kabur (obscuur libel). Oleh karena itu Mahkamah tidak perlu mempertimbangkan lebih lanjut tentang kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, dan pokok permohonan,” kata Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi saat membacakan poin Kewenangan Mahkamah dalam putusan ini. (Nur Rosihin Ana)

Download putusannyanya di sini

SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES



readmore »»  

Senin, 22 Oktober 2012

Uji UU Parpol dan UU Pileg: Pemohon Minta Parpol Bersifat Lokal dan Nasional


Uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pileg) kembali disidangkan di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (22/10/2012) siang. Sidang kali kedua dengan agenda perbaikan permohonan untuk perkara yang diregistrasi Panitera MK dengan Nomor 94/PUU-X/2012, ini dilaksanakan oleh Panel Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva (ketua panel) didampingi anggota panel Harjono dan M. Akil Mochtar.
Ketua Panel Hamdan Zoelva menyatakan telah menerima perbaikan permohonan pada 19 Oktober 2012. Hamdan melihat banyak hal yang diperbaiki dalam permohonan. Intinya, para pemohon meminta agar keberadaan parpol tidak hanya bersifat nasional, tapi juga dimungkinkan bersifat lokal.  
“Partai lokal ini batasnya hanya tingkat provinsi atau kabupaten dan kota, ini yang belum jelas. Yang Saudara (inginkan) ini hanya tingkat provinsi saja, atau dua-duanya?” tanya Hamdan Zoelva. “Dua-duanya, Majelis Hakim, setiap provinsi dan kabupaten.” jawab Iskandar Zulkarnaen, kuasa hukum para Pemohon.
Seharusnya, lanjut Iskandar Zurkarnaen, saat pendirikan parpol, dalam anggaran dasar disebutkan bersifat lokal tingkat kabupaten/kota dan tingkat provinsi, serta bersifat nasional.
“Jadi, ada tiga kemungkinan ya, nasional, provinsi, kabupaten/kota,” tukas Hamdan.
Panel hakim akan melaporkan kepada pleno untuk menentukan apakah uji materi UU Parpol dan UU Pileg ini akan berlanjut pada sidang pleno dengan mengundang pihak pemerintah dan DPR. “Kalau menurut pleno hakim cukup sampai di sini, maka langsung akan menjatuhkan vonis. Itu sangat tergantung pada permusyawaratan hakim mengenai perkara ini,” terang Hamdan.
Sebelum menutup persidangan, panel hakim mengesahkan alat bukti. Para Pemohon mengajukan tujuh alat bukti, yaitu bukti P-1 sampai P-7 yang antara lain berupa UUD 1945, UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemda, UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Untuk diketahui, uji materi UU Parpol dan UU Pileg ini diajukan oleh Jamaludin dan Andriyani. Materi yang diujikan yaitu Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 ayat (2) huruf c UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol); dan Pasal 8 ayat (2) huruf b, c dan d UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pileg).
Pasal 1 angka 1 UU Parpol menyatakan, “Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Jamaludin dan Andriyani merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena kepentingan politiknya terbatasi dengan syarat kepartaian yang bersifat nasional. Keduanya kehilangan hak untuk mendirikan partai politik (parpol) yang berbadan hukum dan berbasis masyarakat di daerah yang masing-masing mempunyai kekhususan.
Konstruksi Pasal 3 ayat (2) huruf c UU Partai Politik dan Pasal 8 ayat (2) huruf b, c, dan d UU Pileg, telah menutup kemungkinan lahirnya partai politik yang hanya berada di satu provinsi atau di satu kabupaten/kota saja. Semestinya, UU Pileg membuka kemungkinan untuk menghadirkan parpol berskala lokal dengan tidak memaksakan persyaratan kepengurusannya secara nasional sebagai prasyarat mengikuti pemilu. (Nur Rosihin Ana)

SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

readmore »»  

Jumat, 19 Oktober 2012

Mahasiswa LPTK Perbaiki Uji Materi UU Guru dan Dosen


Peninjauan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) di persidangan Mahkamah Konstitusi memasuki tahap perbaikan permohonan, Jum’at (19/10/2012) pagi. Pada sidang kali kedua untuk perkara Nomor 95/PUU-X/2012 ini para pemohon melalui kuasanya, Muhammad Sholeh, memaparkan perbaikan permohonan berdasarkan nasihat majelis hakim pada persidangan pendahuluan dua pekan lalu.
Inti perbaikan meliputi dua hal. Pertama, para pemohon pada pokok permohonan lebih fokus mempersoalkan konstitusionalitas Pasal  9 UUGD khususnya frasa “Pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat”. Sebelumnya, para pemohon mengujikan seluruh ketentuan Pasal 9 UUGD. “Kami konsentrasi bahwa yang menjadi pokok permohonan kita adalah frasa kata ‘pendidikan tinggi program sarjana atau pendidikan diploma empat’ karena itu yang menjadi inti pokok dari pasal yang kami persoalkan,” kata Muhammad Soleh.
Kedua, perbaikan petitum permohonan. Para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 9 UUGD bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu, meminta Mahkamah memberikan makna khusus pada Pasal 9 UU GD. “Kami sebagai pemohon menginginkan Pasal 9 ini dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Tetapi kami (juga) ingin ada pemaknaan khusus sebagai yang dinyatakan dengan seorang guru harus mempunyai kualifikasi sarjana kependidikan atau program diploma empat Kependidikan,” pungkas Soleh.
Hakim Konstitusi Muhammad Alim selaku ketua panel, sebelum mengakhiri persidangan, mengesahkan alat bukti pemohon. Alat bukti pemohon berupa buku saku UUD 1945, UUGD, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 8 Tahun 2012, dan fotokopi KTP para pemohon.
Untuk diketahui, permohonan pengujian Pasal 9 UUGD ini dimohonkan oleh 7 orang mahasiswa Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), yakni Aris Winarto, Achmad Hawanto, Heryono, Mulyadi, Angga Damayanto, M. Khoirur Rosyid, dan Siswanto. Pasal 9 UUGD menyatakan: “Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan sarjana atau program diploma empat.”
Para pemohon merasa hak konstitusional mereka dirugikan oleh berlakunya ketentuan Pasal 9 UUGD. Kerugian konstitusional yang dimaksud adalah para pemohon harus bersaing dengan para sarjana non-kependidikan yang tidak menempuh kuliah di LPTK dimana terdapat beberapa mata kuliah belum pernah diajarkan di universitas non-kependidikan.

Para pemohon mendalilkan profesi guru merupakan bidang khusus sehingga dibutuhkan keahlian khusus. Keahlian khusus ini tidak mungkin didapatkan di perkuliahan non-LPTK. Pasal 9 UUGD tidak memberikan perlindungan serta kepastian hukum kepada Para Pemohon sebab tidak memberikan jaminan bagi lulusan LPTK sebagai satu-satunya sarjana yang bisa masuk dalam pendidikan profesi guru. Menurut para pemohon, ketentuan Pasal 9 UUGD bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. (Nur Rosihin Ana)

SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES



readmore »»  

Kamis, 18 Oktober 2012

Tiada Bukti, Mahkamah Tolak Permohonan Pasangan Cabup Halmahera Tengah Edi Langkara-Yuslan Idris

Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten Halmahera Tengah (Halteng), Provinsi Maluku Utara Tahun 2012 yang diajukan oleh pasangan Edi Langkara-Yuslan Idris (Edi-Yus) berbuah penolakan di persidangan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah dalam dalam sidang yang digelar pada Kamis, (18/10/2012) siang, menyatakan menolak seluruh permohonan pasangan Edi-Yus. Mahkamah juga menolak eksepsi
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kab. Halteng selaku termohon, dan menolak eksepsi pasangan M. Al Yasin Ali-Soksi Hi. Ahmad (Acim-Soksi) selaku pihak terkait.
“Amar putusan, mengadili, menyatakan, dalam eksepsi, menolak eksepsi termohon dan eksepsi pihak terkait. Dalam pokok permohonan, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD didampingi Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, Muhammad Alim, Hamdan Zoelva, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Anwar Usman, saat sidang pengucapan putusan Nomor 67/PHPU.D-X/2012.
KPU Halteng dan pasangan Acim-Soksi dalam eksepsinya menyatakan permohonan Edi-Yus tidak berkait dengan sengketa hasil penghitungan suara sehingga permohonan Edi-Yus kabur. Acim-Soksi juga menilai permohonan Edi-Yus salah objek (error in objecto). Sebaliknya, menurut Mahkamah, eksepsi tersebut tidak beralasan hukum. “Menurut Mahkamah, objek permohonan Pemohon pada esensinya adalah keberatan terhadap Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pasangan Calon Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Halmahera Tengah Tahun 2012 tanggal 25 September 2012 sehingga eksepsi a quo menurut Mahkamah adalah tidak tepat dan tidak beralasan menurut hukum,” kata Hakim Konstitusi Muhammad Alim saat membacakan Pendapat Mahkamah dalam putusan ini.
Sementara itu, mengenai pokok permohonan, pasangan Edi-Yus mendalilkan terjadinya pelanggaran Pemilukada yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif sehingga mempengaruhi hasil perolehan suara, yaitu pelanggaran yang dilakukan oleh KPU Halteng pada tahapan pemilihan anggota PPK dan PPS di seluruh wilayah Kab. Halteng dengan mengangkat pendukung Acim-Soksi.
Terhadap dalil tersebut, KPU Halteng mengemukakan bahwa pengumuman seleksi anggota PPK dan PPS dilaksanakan sesuai prosedur dan tidak diarahkan. Selain itu, pengumuman seleksi telah ditempelkan di tempat-tempat umum yang dapat diketahui masyarakat.
Mahkamah berpendapat tidak ada bukti yang cukup meyakinkan bahwa seleksi PPS dan PPK tersebut hanya ditujukan bagi para pendukung Acim-Soksi. “Kalau pun benar ada anggota PPS dan PPK yang nampak mendukung salah satu pasangan calon tertentu, dalam hal ini Pihak Terkait (pasangan Acim-Soksi), tidak terbukti hal itu terjadi secara sistematis, terstruktur dan masif. Sebagaimana terungkap dalam persidangan bahwa gejala keberpihakan anggota PPS dan PPK tidak saja kepada Pihak Terkait tetapi juga kepada Pemohon. Oleh karenanya, menurut Mahkamah, dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” lanjut Hakim Konstitusi Muhammad Alim.
Kemudian dalil Edi-Yus mengenai adanya Daftar Pemilih Tetap (DPT) ganda dan fiktif yang tersebar pada delapan kecamatan se-Kabupaten Halmahera Tengah. Terhadap hal ini, KPU Halteng mememaprkan proses pendataan dan pemutakhiran data dilakukan sejak tahun 2011 hingga akhir tahun 2011, dari jumlah penduduk sebanyak 48.693 jiwa. Selanjutnya pada 20 April 2012 dikeluarkan DP-4 sejumlah 30.403 pemilih kemudian diserahkan ke KPU. Setelah diserahkan ke KPU, DP-4 tersebut diproses menjadi DPS dan terdapat penambahan sehingga DPS berjumlah 32.033 pemilih. Setelah itu ditetapkan menjadi DPT sejumlah 32.761 pemilih. Penambahan data pemilih terjadi ketika penetapan DPT di tingkat PPS pada tanggal 18-19 Juni 2012 dan hampir sebagian besar disetujui oleh saksi dari kedua pasangan calon. Pada saat penetapan DPT tanggal 4 Agustus 2012, keberatan dari saksi pasangan Edi-Yus mengenai lima warga Desa Wedana yang belum masuk dalam daftar pemilih sementara diakomodasi oleh KPU Halteng dan dimasukkan ke dalam DPS. Begitu juga mengenai keberatan dari saksi pasangan Edi-Yus terkait 25 orang warga Desa Fidi Jaya yang dianggap fiktif dan ganda telah diverifikasi dan hasilnya tidak ada pemilih ganda dan fiktif.
Mahkamah berpendapat bahwa sebagaimana telah dinyatakan dalam putusan-putusan Mahkamah sebelumnya, bahwa dalam pelaksanaan tahapan Pemilu, penyusunan daftar pemilih sebenarnya bukan saja merupakan kewajiban KPU Halteng semata, melainkan juga menjadi kewajiban Pemerintah Daerah untuk menyediakan data kependudukan yang benar serta peran Panwaslukada dalam mengawasi tahapan penyelenggaraan penyusunan daftar pemilih agar sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Meskipun demikian, hal tersebut tentu tidak dapat dijadikan alasan pembenar bagi KPU pada umumnya, KPU Halteng pada khususnya untuk terus menerus mengabaikan dan menyederhanakan persoalan DPT (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009, bertanggal 12 Agustus 2009).
Dalam permasalahan DPT ini, Mahkamah menilai tidak terdapat bukti mengenai berapa jumlah riil penambahan ataupun pengurangan suara secara tidak sah yang terjadi di lapangan. Lagipula, seandainya pun pasangan Edi-Yus dapat membuktikan jumlah riil adanya penambahan ataupun pengurangan jumlah suara dalam Pemilukada Kab. Halteng, tidak ada bukti yang dapat memastikan kepada pasangan calon tertentu pergeseran jumlah suara baik berupa penambahan ataupun pengurangan tersebut telah terjadi. Sebab selain dapat menambah atau mengurangi jumlah suara Pemohon, dapat pula para calon pemilih yang dianggap memiliki DPT bermasalah tersebut justru tidak memberikan suaranya sama sekali kepada Pasangan Calon manapun. Oleh karenanya, menurut Mahkamah, dalil pasangan Edi-Yus ini juga tidak terbukti secara hukum.
Begitu pula dalil pasangan Edi-Yus mengenai adanya pelanggaran-pelanggaran lainnya, menurut Mahkamah, tidak dibuktikan dengan bukti yang cukup meyakinkan bahwa pelanggaran tersebut terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif yang secara signifikan mempengaruhi perolehan suara pasangan Edi-Yus sehingga melampaui perolehan suara pasangan Acim-Soksi. “Mahkamah berpendapat Pemohon tidak dapat membuktikan dalil-dalil dan alasan-alasan hukum permohonannya,” tandas Muhammad Alim. (Nur Rosihin Ana).


Putusan Pemilukada Halmahera Tengah bisa didownload di sini
Catatan: Terdapat kesalahan dalam putusan 67/PHPU.D-X/2012. Pada halaman 99-100 tertulis: “Pihat Terkait ditetapkan sebagai pasangan Walikota dan Wakil Walikota Singkawang terpilih tahun 2012...” Kemudian pada halaman 108 tertulis: “...Pihak Terkait sebagai Pasangan Calon Walikota dan Pasangan Calon Wakil Walikota Singkawang...

SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

readmore »»  

Rabu, 17 Oktober 2012

Amelia Fauzia: UU Pengelolaan Zakat Persempit Hak individu Berzakat


Pembentukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (UUPZ) pada dasarnya diawali niat yang baik untuk memperbaiki praktek pengelolaan zakat di Indonesia yang sebelumnya diatur oleh UU Nomor 38 Tahun 1999. Niat baik UUPZ yakni untuk memodernisasi dan memaksimalisasi kemanfaatan zakat serta mengontrol lembaga yang tidak akuntabel.
Namun, niat baik ini dilakukan dengan cara yang kurang tepat. UUPZ mengatur terlalu ketat dan hampir tidak menyisakan ruang untuk masyarakat sipil memberdayakan dirinya sendiri. Padahal praktek zakat sudah menjadi tradisi bagi masyarakat. Zakat dan dana kedermawanan ini telah mendorong penguatan masyarakat sipil di Indonesia menjadi lebih independent. Pemberlakuan UUPZ ini akan menurunkan praktek zakat dan memperlemah civil society.
UUPZ berdampak signifikan bagi Lembaga Amil Zakat (LAZ), amil perorangan, takmir masjid yang berjumlah sekitar 710.000 masjid di Indonesia, pesantren dan madrasahSulit bagi mereka untuk tidak mengelola zakat atau menolak mengelola zakat, apalagi zakat fitrah walaupun ada ancaman kriminalisasi. Tidak mudah bagi pengelola zakat tradisional untuk masuk pada pengelolaan zakat modern menjadi LAZ.
Bagi pengelola zakat tradisional, opsi menjadi Unit Pengumpul Zakat (UPZsangat tidak tepat. Sebab pengelolaan zakat tidak hanya terbatas mengumpulkan tapi juga harus mendistribusikan. Takmir masjid, amil, mendapat amanah dari masyarakat untuk mengelola yang artinya sampai pada pendistribusian. Justru keberhasilan pada pendistribusian inilah yang menjadi tolak ukur kepercayaan masyarakat.
Dalam UUPZ disebutkan masyarakat dapat membantu dan berperan serta melaksanakan kegiatan pengelolaan zakat dengan membentuk LAZ. Namun substansinya akan sulit karena persyaratan yang begitu berat dan belum tentu pihak pemerintah siap dengan infrastrukturnya. Selain itu, LAZ memiliki subkultur sendiri yang berbeda dengan Badan Amil Zakat (BAZ). LAZ juga akan sulit untuk bertransformasi menjadi ormas.
Hak individu Muslim untuk berkumpul dan berorganisasi khususnya untuk menjalankan amanah dan kepercayaan masyarakat dalam hal mengelola zakat menjadi terhalangi. Begitu pula hak individu Muslim untuk melaksanakan kepercayaan agamanya untuk memberikan zakat kepada lembaga yang dipercayainya menjadi terbatasi.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 mempersempit dan menghalangi hak individu untuk menunaikan zakat. Dalam prakteknya zakat mal, zakat fitrah, sedekah dan wakaf itu sulit dipisahkan. BAZ, LAZ selain mengelola dana zakat juga mengelola dana sedekah dan undang-undang zakat juga di dalamnya juga menyebutkan dana  sosial lain selain zakat dan kepercayaan itu tidak mudah didapatkan begitu saja untuk mengelola zakat. Seyogianya undang-undang ini bisa diperbaiki untuk dapat memberi ruang bagi praktisi zakat civil society untuk tetap eksis.
Pernyataan tersebut disampaikan pakar sejarah filantropi, Dr. Amelia Fauzia, di hadapan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (17/10/2012). Amelia dihadirkan sebagai ahli oleh pemohon perkara Nomor 86/PUU-X/2012 ihwal uji Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 38 dan Pasal 41 UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (UUPZ). Sidang kali keempat yang digelar di ruang pleno lt 2 gedung MK ini beragendakan mendengar keterangan DPR, Pemerintah, dan saksi.
Amelia dalam paparannya di hadapan hakim konstitusi menyatakan, aspek normatif kewajiban berzakat dalam Islam tidak berubah sejak abad 7 sampai saat ini. Kendati demikian, mekanisme pelaksanaan zakat terkait erat dengan fenomena sosial, ekonomi, dan politik umat Islam. Fakta sejarah memperlihatkan bahwa secara umum telah terjadi transformasi atau pergeseran praktik pengelolaan zakat dari kewajiban agama yang ditunaikan kepada penguasa, dalam hal ini negara, menjadi kewajiban individu.
Hasil ijtihad Utsman ibn Affan menyatakan harta yang dizakatkan dibagi menjadi harta yang terlihat (al-amwâl al-zhâhiriyyah) dan harta yang tidak terlihat (al-amwâl al-bâthiniyyah). Saat itu hanya al-amwâl al-zhâhiriyyah seperti hasil pertanian yang zakatnya diserahkan kepada negara. Kebijakan ini antara lain untuk membatasi perilaku tidak amanah kolektor zakat. Khalifah Utsman ibn Affan mempersilakan kaum muslimin untuk menunaikan zakatnya melalui lembaga pemerintah (ulil amri) atau secara langsung kepada mustahik. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Amwâl”. “Kitab ‘Al-Amwâl menunjukkan bahwa pandangan dan praktik-praktik pemberian zakat kepada individu, selain penguasa itu sudah ada,” terang Amelia.
Lebih lanjut Amelia Fauzia menyatakan, empat Imam Mazhab yaitu Malik ibn Anas (Imam Malik), Ahmad ibn Hambal (Imam Hambali), Abu Hanifah an-Nu’man (Imam Hanafi) dan Abu Abdullah Muhammad ibn Idris as-Syafi’i (Imam Syafi’i) membolehkan pengumpulan zakat oleh penguasa dengan syarat bahwa penguasa tersebut bersikap adil. Imam Malik membolehkan pengumpulan zakat oleh negara, tetapi menolak adanya pemaksaan oleh negara. Menurut Malik, pembayaran zakat harus diserahkan kepada individu-individu untuk memutuskan apa yang mereka ingin bayar. Imam Syafi’i juga mendukung pendapat ini dan menambahkan bahwa individu bisa membayar seluruh atau sebagian dari zakat mereka kepada negara. Pendapat ini terutama didasari pada keraguan atas legitimasi penguasa dan ketidakpercayaan terhadap pengelolaan zakat yang baik pada masa itu,” lanjut Amelia.
Pada Abad ke-10, zakat merupakan salah satu pemasukan untuk negara meskipun tidak signifikan karena di sisi lain, pelaksanaan pajak dan zakat diwarnai praktik korupsi. Abu Yusuf dalam kitabnya, “Al-Kharaj”, mengritik sekaligus memberikan masukan kepada Khalifah Harun Al-Rasyid tentang bagaimana mereformasi administrasi pajak dan zakat untuk melindungi rakyat. Pada masa Dinasti Fathimiyah, kolektor zakat hampir tidak ada. Imam Al-Ghazali menceritakan hanya sejumlah kecil muslim Sunni membayar zakat mâl dan mereka tidak membayar kepada negara.
Praktik zakat kemudian bergeser kepada distribusi zakat oleh masyarakat. Praktik pembayaran zakat dilakukan oleh individu ke beberapa pemimpin lokal, seperti ulama, imam, syaikh, yang berperan sebagai distributor (amil) dan sekaligus penerima manfaat zakat. “Praktik inilah juga yang terdapat di Indonesia,” terang Amelia.
Pengumpulan dan distribusi zakat oleh individu maupun kelompok semakin berkembang dan memunculkan organisasi atau lembaga keislaman yang mengelola zakat. Hal ini terjadi pada abad ke-18 dan abad ke-19 di mana banyak masyarakat muslim yang hidup di bawah pemerintah non-muslim. Para ulama melarang pembayaran zakat kepada penguasa yang tidak adil atau penguasa muslim yang berada di bawah otoritas orang-orang kafir.
Setelah periode kolonialisme, banyak negara muslim yang merdeka dan mengatur zakat sebagai praktik swasta oleh umat Islam tanpa keterlibatan manajemen negara. Saat ini ada 6 negara Islam, yaitu Saudi Arabia, Libya, Yaman, Malaysia, Pakistan, dan Sudan yang menerapkan pembayaran zakat mâl tertentu. Negara-negara ini juga mengatur sanksi terhadap orang-orang yang tidak patuh membayar zakat, tetapi pelaksanaannya tidak dijalankan sungguh-sungguh. “Pengelolaan zakat ini juga tidak maksimal dan tidak dapat dijadikan model yang tepat untuk fenomenal zakat di Indonesia,” saran Amelia.
Ruang partisipasi publik dalam praktik zakat sangat besar. Sejarah pengelolaan zakat di atas memperlihatkan pada masa di mana masyarakat menyerahkan zakat kepada negara tidak berarti bahwa tidak ada yang membayarkan zakatnya secara langsung. Perlu digarisbawahi bahwa zakat yang diserahkan oleh mayoritas muslim adalah zakat untuk harta yang terlihat (al-amwâl al-zhâhiriyyah).
Zakat yang dikelola oleh negara adalah zakat mâl (zakat harta), dan bukan zakat fitrah yang dikeluarkan pada akhir bulan Ramadhan. Zakat fitrah di banyak komunitas muslim menjadi tradisi yang lepas dari pengelolaan negara dan lebih bersifat kultural. Namun justru tradisi zakat fitrah ini yang dilakukan secara masif oleh hampir semua muslim di seluruh dunia. Survei yang dilakukan tahun 1991 oleh Tempo dan tahun 2003 oleh Center for the Study of Religion and Culture/CSRC (Pusat Kajian Agama dan Budaya) UIN Jakarta memperlihatkan hal demikian. Bahkan survei CSRC UIN Jakarta tahun 2010 memperlihatkan angka 95% muslim yang menunaikan zakat fitrah,” lanjut Amelia.
Sejarah kedermawanan Islam di Indonesia memperlihatkan bahwa zakat, sedekah, dan wakaf menjadi pendorong gerakan sosial kemasyarakatan dan telah membiayai pendidikan Islam sejak Abad 16 dan terus berkembang hingga saat ini. Tidak hanya itu, zakat, sedekah, dan wakaf menjadi sumber pendanaan organisasi masyarakat sipil yang berkembang cukup masif pada masa kolonial Belanda. Pada masa ini pemerintah tidak campur tangan dalam urusan agama dan urusan kedermawanan Islam. Karena uang kedermawanan Islam adalah hak dan uang pribadi masyarakat. Akibat kebijakan ini, organisasi masyarakat sipil seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama berkembang. Muhammadiyah merupakan pionir gerakan kedermawanan Islam modern di Indonesia. Muhammadiyah memiliki ribuan aset masjid, sekolah, rumah sakit, dan lainnya dari gerakan derma ini.
Keterlibatan negara dalam mengelola filantropi Islam khususnya zakat di Indonesia dimulai sejak masa pemerintahan Orde Baru. Pemerintah tidak menghendaki formalisasi agama atau adanya aturan legal terkait zakat di tingkat nasional. Namun, pemerintah Orde Baru, khususnya Presiden Soeharto berusaha memodernisasi zakat dan mensentralisasi pengelolaan zakat mâl pada tahun 1968. Namun upaya ini tidak berhasil dan berakhir dengan sendirinya pada tahun 1972 karena hanya sedikit sekali yang mau membayar zakat melalui Soeharto. Setelah kegagalan itu, upaya modernisasi dan penggalangan zakat di sponsori oleh pemerintah provinsi seperti BAZIS DKI Jakarta, namun wilayahnya hanya terbatas pada kalangan pegawai negeri sipil. Pada masa Orde Baru, praktik kedermawanan termasuk zakat fitrah dan zakat mal di masyarakat juga menguat. Banyak berdiri panitia zakat di RT/RW, masjid, termasuk di lembaga-lembaga pendidikan. Pada masa ini LAS professional mulai muncul.
reformasi mendorong adanya percepatan gerakan zakat berupa pendirian LAZ non-pemerintah. Reformasi memberi ruang kepada kemunculan legislasi zakat dalam bentuk UU yaitu UU Nomor 38 Tahun 1999. UU ini cukup akomodatif dalam hal menfasilitasi organisasi zakat yang ada, baik organisasi pemerintah yaitu BAZ dan organisasi zakat masyarakat yaitu LAZ. Riset CSRC UIN Jakarta menunjukkan pada Tahun 2004 dana zakat dan sedekah yang disumbangkan masyarakat adalah sebesar Rp19,3 triliun. Jumlah ini belum termasuk dana wakaf yang tersebar di masyarakat.
Pada perkembangannya terjadi penguatan BAZ dan LAZ. Penguatan paling besar terjadi pada LAZ yang memiliki program kreatif menjalankan prinsip akuntabilitas dan transparansi. Sayangnya dari 5.669 BAZ yang harusnya bisa beroperasi di Indonesia, setidaknya sejak UU No. 38 1999 berlaku, hanya 1.001 BAZ saja yang terbentuk dan 300 saja yang aktif pada tahun 2007. Sedangkan dari 30 LAZ dan BAZ nasional pada tahun 2006 sampai 2010, lima besar didominasi oleh LAZ milik masyarakat yang perform lebih baik. Hal ini karena praktek zakat sangat tergantung pada kepercayaan atau trust. Organisasi yang memiliki manajeman profesional, akuntabel dan transparan cenderung mendapat kepercayaan.
Selain praktek zakat melalui organisasi modern, ada pula praktek zakat yang dikelola oleh masyarakat dalam bentuk yang tradisional, dan praktek ini justru sangat besar. Survey CSRC UIN Jakarta tahun 2003 memperlihatkan bahwa 95% masyarakat memberikan zakatnya tidak ke organisasi zakat modern (BAZ atau LAZ), tapi secara langsung. Hal ini karena zakat adalah kewajiban agama yang sudah menjadi kultur. Pemaksaan pengelolaan zakat melalui organisasai modern pada saat ini sulit akan berhasil. Terdapat hidden resistant terhadap pengelolaan zakat yang tidak amanah dan dengan cara pemaksaan. Kasus open resistant yang cukup mengemuka misalnya terjadi di NTB pada Tahun 2007-2008 dimana ribuan guru menolak pemotongan pajak oleh BAZ setempat. Mereka tidak menolak membayar zakat, tapi yang mereka tolak adalah pengelolaan zakat yang tidak amanah. “Perlu pendidikan jangka panjang untuk mengubah tradisi ini. Sejarah Islam Indonesia memperlihatkan adanya kontestasi antara negara dan masyarakat sipil dalam pengelolaan filantropi Islam yang terjadi sejak abad 16 sampai saat ini,” tandas Amelia.
Untuk diketahui, pengujian materi UUPZ ini diajukan oleh Yayasan Dompet Dhuafa; Yayasan Rumah Zakat Indonesia; Yayasan Yatim Mandiri; Yayasan Portal Infaq; Yayasan Dana Sosial Al Falah Malang; Lembaga Pendayagunaan dan Pemberdayaan Zakat, Infaq, Shadaqoh dan Waqaf Harapan Ummat (LPP-ZISWAF HARUM); Yayasan Harapan Dhuafa Banten, Lembaga Manajemen Infaq (LMI), YPI Bina Madani Mojokerto; Rudi Dwi Setiyanto (Amil Zakat); Arif Rahmadi Haryono (Muzakki); Fadlullah (Muzakki); dan terakhir, Sylviani Abdul Hamid (Muzakki). Materi UUPZ yang diujikan yaitu Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 38 dan Pasal 41 UUPZ.
Pasal 5 UUPZ menyatakan: “(1) Untuk melaksanakan pengelolaan zakat, Pemerintah membentuk BAZNAS. (2) BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di ibu kota negara. (3) BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri.”
Pasal 6 UUPZ menyatakan: “BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional.”
Pasal 7 UUPZ menyatakan: “(1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. BAZNAS menyelenggarakan fungsi: a) perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; b) pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; c) pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; dan d) pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat. (2) Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, BAZNAS dapat bekerja sama dengan pihak terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) BAZNAS melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya secara tertulis kepada Presiden melalui Menteri dan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.”
Pasal 17 UUPZ menyatakan: “Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ.”
Pasal 18 UUPZ menyatakan: “(1) Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan apabila memenuhi persyaratan paling sedikit: a) terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial; b) berbentuk lembaga berbadan hukum; c) mendapat rekomendasi dari BAZNAS; d) memiliki pengawas syariat; e) memiliki kemampuan teknis, administratif, dan keuangan untuk melaksanakan kegiatannya; f) bersifat nirlaba; g) memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan umat; dan h) bersedia diaudit syariat dan keuangan secara berkala.”
Pasal 19 UUPZ menyatakan: “LAZ wajib melaporkan pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit kepada BAZNAS secara berkala.”
Pasal 38 UUPZ menyatakan: “Setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian, atau pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat yang berwenang”
Pasal 41 UUPZ menyatakan: Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).”
Para pemohon mendalilkan Pasal 38 jo Pasal 41 UUPZ telah memberikan dasar hukum untuk mengriminalisasi para amil zakat yang tidak memiliki izin dari pejabat yang berwenang walaupun amil zakat tersebut mendapat kepercayaan tinggi dari masyarakat. Pasal 17, Pasal 18 dan Pasal 19 UUPZ secara eksplisit mengsubordinasikan kedudukan LAZ bentukan masyarakat sipil dengan adanya persyaratan yang ditetapkan dalam Pasal 18 UUPZ. Ketentuan ini melahirkan ketidakpastian hukum bagi LAZ atau calon LAZ yang akan mengajukan izin ke Menteri.
Kemudian Pasal 18 ayat (2) huruf a bersifat diskriminatif dan dapat mematikan lebih dari 300 LAZ yang telah ada saat ini. Sebab hampir seluruh LAZ tersebut berbentuk badan hukum yayasan. Padahal dalam ketentuan Pasal 18 UUPZ mengharuskan LAZ terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas). Sedangkan menurut UU Nomor 8 Tahun 1985, yang disebut sebagai Ormas adalah entitas yang berbasis keanggotaan. Padahal yayasan tidak memiliki anggota.
UUPZ menetapkan bahwa BAZNAS sebagai operator zakat nasional dan status tersebut juga sama dengan LAZ, sehingga ketentuan tersebut jelas menimbulkan conflict of interest dan tidak memberikan kejelasan tentang tata kelola yang baik untuk dunia zakat nasional. Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7 UUPZ telah mensentralisasikan pengelolaan zakat nasional berada di tangan pemerintah. Hal ini menghambat peran serta LAZ yang telah memberdayakan masyarakat dan menanggulangi kemiskinan. Pasal 5 dan Pasal 15 UUPZ menyatakan pendirian BAZNAS di tingkat pusat, provinsi serta kabupaten/kota tanpa memberikan persyaratan pendirian. Selain itu, BAZNAS berhak mendapatkan pembiayaan dari APBN serta dapat menggunakan sebagian dana zakat yang dihimpun. Sementara LAZ mendapatkan restriksi yang sangat ketat, tidak mendapat pembiayaan dari APBN dan hanya berhak mendapatkan pembiayaan dari hak amil saja.
Berlakunya UUPZ tidak hanya merugikan para pemohon tetapi juga seluruh warga Negara Indonesia yang selama ini telah banyak terbantu oleh berbagai program yang dilaksanakan oleh LAZ. Dalam konteks masyarakat madani Indonesia yang demokratis, UUPZ semestinya mengokohkan peran negara dalam memberi perlindungan bagi warga Negara yang membayar zakat, menjaga ketertiban umum dengan mencegah penyalahgunaan dana zakat, memfasilitasi sektor filantropi Islam untuk perubahan social dan member insentif bagi perkembangan dunia zakat nasional. Tetapi kenyataannya, UUPZ ini justru mematahkannya. (Nur Rosihin Ana)


readmore »»  
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More