Harmoni...

Jakarta, September 2010

Harmoni...

Jakarta, Desember 2010

Belahan jiwa

......

...Belahan jiwa...

......

ceria...

Jakarta, 8 Januari 2012

Nora Uzhma Naghata

Bogor, 24 Februari 2011

Nora Uzhma Naghata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Taman Safari Puncak

Bogor, 24 Februari 2011

Bandara Ahmad Yani

Semarang, 28 September 2011

Rileks

*********

Nur Rosihin Ana

Semarang, 19 Oktober 2010

Nur Rosihin Ana

mahkamah dusturiyyah, 18 Juli 2012

Nur Rosihin Ana

Hotel Yasmin, Puncak, Desember 2010

Nora Uzhma Naghata

Naghata

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Demak, 11 September 2011

Nur Rosihin Ana

Nagreg, Bandung 11 Juli 2011

Nora Uzhma Naghata, Sri Utami, Najuba Uzuma Akasyata, Nur Rosihin Ana

Sapa senja di Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Sapa Senja Jepara

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

...bebas, lepas...

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Jumat, 31 Agustus 2012

UU Pemda Hambat Pemberantasan Korupsi

Pemberantasan tindak pidana korupsi terganggu dengan adanya penafsiran lain dari makna Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Jika pemaknaan ini dibiarkan, maka akan mengambat penegakan hukum khususnya di bidang korupsi.
Pasal 30 Ayat (1) menyatakan: “Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila dinyatakan melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan.”
Pasal 30 Ayat (2) menyatakan: “Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Demikian permohonan dengan registrasi perkara Nomor 75/PUU-X/2012 ihwal uji materi UU Pemda yang diajukan oleh Zainal Arifin Mochtar dan Feri Amsari, serta Indonesia Corruption Watch (ICW). Feri dkk mendalilkan, meskipun seorang kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dijatuhi hukuman kurang dari 5 tahun, tetapi tindak pidana yang dilakukannya diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, yang bersangkutan tetap diberhentikan sementara (bila belum berkekuatan hukum tetap) dan diberhentikan secara permanen (bila sudah berkekuatan hukum tetap)”.
Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda merupakan hal yang sama berlaku dalam berbagai ketentuan UU. Di antaranya Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, Pasal 5 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta Pasal 58 huruf f ayat UU Pemda, yang kesemuanya tercermin dalam frasa “....melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”.
Pemaknaan keliru yang berkembang menurut para pemohon yaitu: “hanya kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diancam dengan ancaman pidana paling singkat 5 (lima) tahun saja yang dapat diberhentikan. Sedangkan bila kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah tersebut diancam dengan hukuman paling singkat selain 5 (lima) tahun, yang bersangkutan tidak dapat diberhentikan, meskipun hukuman maksimal bagi tindak pidana yang dilakukannya lebih dari 5 (lima) tahun.” Para Pemohon menyontohkan kasus Agusrin M. Najamuddin, Gubernur Bengkulu yang telah divonis bersalah oleh Mahkamah Agung karena melakukan tindak pidana korupsi.
Oleh karena itu menurut para Pemohon, ketentuan dalam UU Pemda tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) yang menyatakan: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Para Pemohon melalui kuasanya, Donal Fariz dkk, kembali hadir di Mahkamah Konstitusi, Jum’at (31/8/2012) pagi untuk menjalani sidang dengan agenda perbaikan permohonan. Pada kesempatan ini, Donal menyampaikan perbaikan pada petitum permohonan sebagaimana nasihat hakim pada persidangan sebelumnya.
Adapun perbaikan petitum yaitu meminta Mahkamah agar menerima dan mengabulkan permohonan untuk seluruhnya. Kemudian menyatakan Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda adalah konstitusional sepanjang dimaknai ”berlaku untuk kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, berdasarkan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap”. Sebelum perbaikan, redaksi kalimat terakhir berbunyi “baik berdasarkan putusan pengadilan yang belum berkekuatan hukum tetap maupun putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap”. Terakhir, apabila Majelis Hakim pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mempunyai putusan lain, mohon putusan yang seadil-seadilnya (ex aequo et bono).
Sebelum mengakhiri persidangan, ketua panel hakim konstitusi Achmad Sodiki mengesahkan alat bukti pemohon. Para Pemohon mengajukan alat bukti P-1 sampai P-5 yang salah satunya berupa gugatan Agusrin M. Najamuddin kepada Presiden RI. (Nur Rosihin Ana).

readmore »»  

Rabu, 29 Agustus 2012

Ditha Wiradiputra: Pemisahan Hulu dan Hilir Bisnis Migas Sangat Merugikan

Monopoli merupakan suatu kondisi dimana pelaku usaha berada di dalam pasar yang tidak memiliki pesaing berarti. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, sama sekali tidak mengharamkan dilakukannya monopoli. Bahkan di dalam Pasal 51 UU Nomor 5 Tahun 1999 ditegaskan bahwa untuk cabang-cabang produksi yang penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak itu boleh dilakukan monopoli oleh BUMN, badan atau lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah.
“Ini menggambarkan bahwa sesungguhnya monopoli khususnya untuk cabang-cabang produksi yang penting bagi negara masih diperbolehkan oleh Undang-Undang Persaingan Usaha.”
Pernyataan tersebut disampaikan Ditha Wiradiputra, dalam kapasitasnya sebagai ahli pemohon dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (29/8/2012) siang. Sidang kali keempat untuk perkara 65/PUU-X/2012 ihwal pengujian Pasal 1 angka 19, angka 23, angka 24, Pasal 6, Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, Pasal 44, Pasal 46, dan Pasal 63 huruf c UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas), beragendakan mendengarkan Keterangan Pemerintah, DPR dan Saksi/Ahli dari pemohon serta pemerintah.
Ditha melanjutkan, UU Persaingan Usaha adalah satu produk hukum yang sangat mengedepankan persaingan. Sebisa mungkin di dalam pasar harus dilakukan persaingan. Tetapi, untuk cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, harus diberikan penegasan bahwa boleh dilakukan monopoli. “Sehingga menjadi janggal, menjadi aneh apabila ada suatu ketentuan yang lain khususnya yang mengatur mengenai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara kemudian hal tersebut boleh tidak dilakukan monopoli,” tambah Ditha Wiradiputra yang juga merupakan staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Mengenai pemisahan hulu dan hilir dalam penyelenggaran migas menurut Ditha, bagi posisi perusahaan pemisahan tersebut sangat tidak menguntungkan. Karena pemisahan hulu dan hilir menyebabkan terjadinya peningkatan biaya, dimana masing-masing akan terjadi mark up biaya dan meminta keuntungan.
Di negara maju khususnya di Amerika, perusahaan-perusahaan yang dianggap bermasalah harus dipecah karena dianggap merugikan. Pemecahan hulu dan hilir, pemecahan badan usaha merupakan suatu hukuman.
Pemisahan hulu dan hilir penyelenggaraan bisnis migas di Indonesia jelas sangat merugikan. “Terjadinya pemisahan itu jelas sangat tidak menguntungkan dan jelas juga akan menyebabkan tambahan biaya karena pihak yang menyelenggarakan sudah otomatis akan mengenakan biaya yang berbeda.”
Lain halnya misalnya suatu perusahaan dalam suatu rantai produksi dari perusahaan manufaktur, perusahan pengolahan, dan perusahaan distribusi. Jika perusahaan itu merupakan suatu bagian usaha, otomatis masing-masing bagian ini tidak akan mengambil keuntungan. Karena masing-masing tidak mengambil keuntungan output yang diperoleh konsumen, otomatis biayanya jauh lebih rendah dibandingkan misalnya penyelenggaraan tersebut dilakukan secara terpisah.
“Sangat disayangkan sekali kalau misalkan untuk sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak yang kita sangat berkepentingan untuk itu dan dilakukan pemisahan antara hulu dan hilir,” tandas Ditha.
Seperti diberitakan dalam persidangan sebelumnya, pengujian Pasal 1 angka 19, angka 23, angka 24, Pasal 6, Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, Pasal 44, Pasal 46, dan Pasal 63 huruf c UU Migas UU Migas, ini diajukan oleh Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) dan Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia (KSPMI). Menurut FSPPB dan KSPMI, ketentuan dalam pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945.
Pasal 10 UU Migas menyatakan: “(1) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melakukan Kegiatan Usaha Hulu dilarang melakukan Kegiatan Usaha Hilir. (2) Badan Usaha yang melakukan Kegiatan Usaha Hilir tidak dapat melakukan Kegiatan Usaha Hulu.”
Menurut pemohon, berlakunya Pasal 10 UU Migas telah memecah bentuk usaha sektor hulu dan hilir migas. Akibat berlakunya Pasal 10 UU Migas, PT. Pertamina Persero selaku BUMN dalam kegiatan usahanya harus membentuk anak perusahaan dengan spesifikasi kerja berbeda untuk mengelola industri hulu dan hilir. Ada sekitar 21 (dua puluh satu) anak perusahaan PT Pertamina Persero yang bergerak di bidang hulu dan hilir. Pemisahan sektor hulu dan hilir serta pembentukan anak-anak perusahaan Pertamina dalam praktek global justru sangat bertentangan dengan fenomena big is beautiful dalam menjalankan industri perminyakan yang notabene high capital, high technology dan high risk. (Nur Rosihin Ana)
readmore »»  

Selasa, 28 Agustus 2012

Arimbi Heroepoetri: Tak Semua Korban Luapan Lumpur Masuk Kategori BPLS

Peristiwa luapan lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur pada 2006 meninggalkan derita berkepanjangan hingga kini. Data Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) BPLS tahun 2010 menyatakan, luapan lumpur menelan korban sekitar 40.000 jiwa yang mendiami 12 desa. BPLS mengategorikan korban dalam delapan jenis. Pertama, warga yang kehilangan harta benda. Kedua, buruh yang kehilangan pekerjaan karena daerah situ juga tempat pabrik. Ketiga, warga yang sawahnya tidak dapat berproduksi, baik sementara maupun tetap. Keempat, warga yang tidak dapat melanjutkan usaha, yaitu pengusaha mikro dan kecil. Kelima, penduduk musiman yang kehilangan tempat kontrak atau sewa. Keenam, pabrik yang tidak dapat melanjutkan operasi. Ketujuh, fasilitas umum yang hilang atau tidak dapat berfungsi secara normal. Kedelapan, tenggelamnya sarana dan prasarana pendidikan.
Namun demikian, tidak semua masuk dalam kategori korban yang dibangun oleh BPLS, misalnya warga yang bekerja di sektor informal: pedagang keliling, tukang becak. “Kemudian yang juga tidak masuk kategori yang dibangun oleh BPLS adalah warga yang mengalami trauma, stres, atau meninggal dalam stres karena penantian cukup lama. Atau yang mengalami kekerasan psikis itu juga tidak masuk dan cukup banyak datanya walaupun tidak komprehensif karena tidak dianggap sebagai korban.”
Demikian dikatakan Arimbi Heroepoetri, S.H., L.Lm dalam kapasitasnya sebagai ahli yang dihadirkan oleh pemohon dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (28/8/2012) siang. Sidang kali kelima untuk perkara nomor 53/PUU-X/2012 ihwal pengujian Pasal 19 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 (UU APBN 2012) dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 (UU APBN-P 2012), ini beragendakan mendengar keterangan ahli pemohon.
Arimbi Heroepoetri yang akrab dipanggil Bimbi menyitir data Kompas tahun 2007 yang menyebutkan perekonomian Jawa Timur merugi. Sebab area yang terkena luapan lumpur adalah area industri, transportasi antarkota. Industri pariwisata, distribusi produk ekspor di Jawa Timur juga bermasalah. “Itu juga tidak masuk dalam kategori korban,” lanjut Bimbi.
Lebih lanjut di hadapan pleno hakim konstitusi Moh. Mahfud MD (ketua pleno), Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva dan Anwar Usman, Bimbi memaparkan lima permasalahan yang harus diselesaikan dalam penganggaran APBN untuk semburan lumpur. Pertama, dalam konteks kewajiban untuk melindungi, pemerintah selaku representasi negara melakukan pendekatan diskriminatif karena menerbitkan Kepres yang membedakan peta terdampak dan peta di luar dampak. “Padahal korban sama, masalahnya sama, tapi melakukan pembedaan tanpa alasan yang jelas. Ini dalam peta terdampak itu adalah tanggung jawab Lapindo, di luarnya tanggung jawab pemerintah, tapi tanggung jawab pemerintah di luar itu pun tidak jelas kapan, apa saja,” paparnya.
Kedua, lanjut Bimbi, fokus alokasi APBN di luar terdampak, misalnya lebih fokus pada pembelian lahan ganti rugi para korban, yang menurut bahasa Bimbi yaitu kerugian-kerugian korban yang intangible. Misalnya korban yang trauma, meninggal karena putus asa, hidupnya rusak, sumber-sumber kehidupannya hancur, dan juga sumber-sumber keluarga sebagai ketahanan keluarga. Ketiga, kerugian tidak langsung yang dialami oleh pelaku usaha di sekitar wilayah luapan lumpur Lapindo, seperti bisnis transportasi, wisata, dan kehidupan perekonomian lainnya juga tidak masuk dalam alokasi APBN. Keempat, pemerintah tidak pernah memberikan peringatan atas bencana yang terjadi, terlepas ini perdebatan bencana alam atau tidak. Kelima, dalam konteks perlindungan HAM yang penting adalah adanya jaminan bahwa kejadian seperti ini tidak terulang lagi di masa mendatang. “Kami tidak melihat misalnya dalam alokasi APBN ada langkah-langkah untuk mencegah kejadian luapan lumpur Lapindo ini tidak terulang di masa mendatang, karena alokasinya sekedar ganti rugi, biaya relokasi, dan segala macam,” tandas Arimbi Heroepoetri, S.H., L.Lm, ahli hukum lingkungan dari Environmental Law Alliance WorldWide (E-LAW).
Untuk diketahui, pengujian Pasal 19 UU APBN 2012 dan Pasal 18 UU APBN-P 2012, diajukan oleh Letnan Jendral Mar. (Purn) Suharto, DR. H. Tjuk Kasturi Sukiadi, dan Ali Azhar Akbar. Para pemohon keberatan dengan penanggulangan lumpur Sidoarjo yang dibebankan kepada APBN. Pasal 18 menyatakan: “Untuk kelancaran upaya penanggulangan lumpur Sidoarjo, alokasi dana pada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Tahun Anggaran 2012, dapat digunakan untuk; (a) Pelunasan pembayaran pembelian tanah dan bangunan diluar peta area terdampak pada tiga desa (Desa Besuki, Desa Kedungcangkring, dan Desa Pajarakan); (b) Bantuan kontrak rumah, bantuan tunjangan biaya hidup, biaya evakuasi serta pelunasan kekurangan pembayaran pembelian tanah dan bangunan di luar peta area terdampak pada sembilan rukun tetangga di tiga kelurahan (Kelurahan Siring, Kelurahan Jatirejo, dan Kelurahan Mindi); (c) Bantuan kontrak rumah, bantuan tunjangan hidup, biaya evakuasi dan pembayaran pembelian tanah dan bangunan pada wilayah di luar peta area terdampak lainnya yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden.” (Nur Rosihin Ana)
readmore »»  

Senin, 20 Agustus 2012

POLRI dan KPK, Siapa Paling Berwenang Sidik Kasus Simulator SIM?


Catatan Perkara MK

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) kembali berseteru dalam kewenangan penegakkan hukum, setelah sebelumnya kedua lembaga penegak hukum ini terlibat dalam kasus “cicak vs buaya”. Picu perseteruan kali ini bermula dari penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan simulator surat izin mengemudi (SIM) yang sedang ditangani oleh kedua lembaga ini.
Proses penyidikan terhadap perkara yang sama dalam kasus dugaan korupsi pengadaan SIM yang ditangani oleh KPK dan POLRI tentu akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Jika KPK dan POLRI masing-masing terus menangani kasus tersebut, maka akan bermuara pada dua pengadilan yang berbeda. Semua kasus yang ditangani KPK berujung ke pengadilan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Sedangkan kasus yang ditangani Kepoliisian biasanya diadili melalui peradilan umum. Dengan demikian, kasus yang sama dan diadili dua pengadilan dengan dua majelis hakim yang berbeda, maka akan melahirkan vonis yang berbeda pula.
M. Farhat Abbas, S.H., M.H. menilai adanya celah ketidakpastian hukum dalam penanganan kasus tersebut. Hal ini mendorong Farhat untuk mengujikan Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 50 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kepaniteraan MK meregistrasi permohonan Farhat dengan nomor 81/PUU-X/2012 pada Jum’at, 10 Agustus 2012. Farhat yang berprofesi sebagai advokat merasa hak konstitusionalnya dirugikan karena adanya ketidakpastian hukum dalam penanganan kasus tersebut. Memperkuat kedudukan hukum (legal standing), Farhat mengusung  ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyatakan: “Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.”
Pasal 8 UU KPK menyatakan: “(1) Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik. (2) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. (3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi. (4) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.”
Pasal 50 UU KPK menyatakan: “(1) Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan Korupsi belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan, instansi tersebut wajib memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan. (2) Penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan koordinasi secara terus menerus dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. (3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan. (4) Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan.
Menurut Farhat, norma yang terkandung dalam Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 50 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) UU KPK merupakan norma yang diskriminatif karena bertentangan dengan hak-hak Farhat untuk mendapatkan kepastian hukum dan tegaknya prinsip negara hukum. Sehingga menurutnya norma tersebut harus dinyatakan inkonstitusional.
Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 secara tegas memberikan kewenangan penegakan hukum kepada POLRI. Di sisi lain, UUD 1945 secara tegas tidak memberikan wewenang campur tangan KPK dalam penegakan hukum terhadap instansi lain, sehingga Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 50 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) UU KPK tidak memiliki dasar konstitusional.

Tumpang Tindih
Kewenangan KPK untuk mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh Kepolisian atau Kejaksaan yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 50 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) UU KPK, menyebabkan adanya tumpang tindih kewenangan dan konflik antar lembaga penegak hukum. Perseteruan antara POLRI dengan KPK yang dikenal oleh publik sebagai perseteruan “cicak vs buaya” merupakan bukti bahwa KPK telah gagal dalam menjalankan tugasnya untuk melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Perseteruan ihwal siapa yang berhak melakukan penyidikan dan penyelidikan kasus tindak pidana korupsi pengadaan simulator SIM, menimbulkan hubungan yang tidak harmonis antara POLRI dan KPK. Hal ini antara lain disebabkan oleh tafsiran muatan Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 50 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) UU KPK.  Oleh karena itu, Farhat meminta MK menghadirkan POLRI dan KPK untuk didengar keterangannya sebagai pihak terkait. Selain itu, meminta MK untuk memberikan interpretasi terhadap muatan pasal-pasal yang diujikan, sehingga tidak menjadi masalah yang berkepanjangan yang mengakibatkan terhambatnya upaya pemberantasan korupsi.
Farhat dalam petitum permohonan meminta Mahkamah mengabulkan seluruh permohonan. Yaitu menyatakan Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 50 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) UU KPK bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Nur Rosihin Ana
readmore »»  

Senin, 13 Agustus 2012

Mahkamah Kabulkan Sebagian Permohonan Sengketa Pemilukada Aceh Tenggara


Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten Aceh Tenggara (Agara) Tahun 2012 yang diajukan pasangan Raidin Pinim-Muslim Ayub, memasuki tahap pengucapan putusan di persidangan Mahkamah Konstitusi (MK). Amar putusan Mahkamah, dalam eksepsi Mahkamah menyatakan menolak eksepsi Komisi Independen Pemilihan (KIP) selaku Termohon. Sedangkan dalam pokok permohonan, Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan Raidin Pinim-Muslim Ayub.
“Amar putusan, mengadili, menyatakan: dalam eksepsi, menolak eksepsi Termohon. Dalam pokok permohonan, mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian,” kata ketua panel hakim konstitusi Moh. Mahfud MD saat membacakan putusan nomor 56/PHPU.D-X/2012, Senin (13/8/2012) siang.
Lebih lanjut Mahfud MD didampingi hakim konstitusi Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, Muhammad Alim, Hamdan Zoelva, Anwar Usman, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Maria Farida Indrati, menyatakan batal surat keputusan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Agara Nomor 25 Tahun 2012 tentang penetapan rekap hasil penghitungan suara Pemilukada Agara Tahun 2012, tanggal 15 Juli 2012. Kemudian membatalkan perolehan suara pasangan calon H. Armen Desky-Tgk. Appan Husni JS (nomor urut 4).
Selain itu, Mahkamah menetapkan perolehan suara yang benar untuk masing-masing pasangan calon:
Drs. Raidin Pinim, MAP dan H. Muslim Ayub, S.H., M.M dengan perolehan suara sah 37.406; Ir. H. Hasanuddin. B, M.M dan H. Ali Basrah, S.Pd, M.M dengan perolehan suara sah 51.059; Drs. H. Rajidin, MAP dan Dr. Sarim, SPt, MP., M.M dengan perolehan suara sah 595; Drs. H. Marthin Desky dan Hj. Kamasiah, S.Ag dengan perolehan suara sah 2.039; H. Amri Selian dan Drs. Muhammad Riduan SKD dengan perolehan suara sah 1.739; M. Ridwan Sekedang, S.E., M.Si dan Ir. Erwin Sofyan Sihombing dengan perolehan suara sah 4.433.
Terakhir, Mahkamah memerintahkan KIP Agara melaksanakan putusan Mahkamah.Memerintahkan Komisi Independen Pemilihan Kabupaten Aceh Tenggara untuk melaksanakan putusan ini,” tandas Mahfud. (Nur Rosihin Ana).

readmore »»  

Kamis, 09 Agustus 2012

Pemerintah: Pemisahan Hulu dan Hilir Optimalkan Usaha Sektor Migas

Pemisahan pengusahaan kegiatan usaha hulu dan hilir pada kegiatan usaha minyak dan gas bumi (Migas) adalah bertujuan untuk mengoptimalkan pengusahaan, baik pada kegiatan usaha hulu maupun hilir. Dengan konsep ini, diharapkan pelaku usaha di bidang hulu dapat fokus pada tujuannya untuk mencari migas serta mengoptimalkan kegiatan eksplorasi untuk mencari cadangan minyak dan gas bumi. Sedangkan karakteristik kegiatan usaha hilir, lebih kepada sifat bisnis dan tidak mengenal adanya mekanisme pengembalian biaya operasi. Maka dalam kegiatan usaha hilir dimungkinkan untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada badan usaha baik besar, menengah, maupun kecil, yaitu BUMN, BUMD, koperasi, dan usaha kecil lainnya untuk dapat melakukan kegiatan usaha hilir.
BP Migas sebagai pelaksana dan pengendali kegiatan usaha hulu migas memiliki hak manajemen dalam hal kontrak kerja sama (KKS) untuk dapat melaksanakan tugas yang diamanatkan berdasarkan KKS. “Sedangkan pemerintah adalah pemegang kuasa pertambangan yang akan menetapkan kebijakan dan penentu atas pemanfaatan minyak dan gas bumi yang diproduksi dari kegiatan usaha hulu tersebut.”
Pernyataan tersebut disampaikan Dirjen Migas Kementerian ESDM Evita H. Legowo saat menyampaikan keterangan Pemerintah dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (9/8/2012) siang. Sidang kali ketiga untuk perkara 65/PUU-X/2012 ihwal pengujian Pasal 1 angka 19, angka 23, angka 24, Pasal 6, Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, Pasal 44, Pasal 46, dan Pasal 63 huruf c UU Migas, beragendakan mendengarkan Keterangan Pemerintah, DPR dan Saksi/Ahli dari Pemohon serta Pemerintah.
Di hadapan pleno hakim konstitusi Achmad Sodiki (ketua pleno), Ahmad Fadlil Sumadi, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, dan Anwar Usman, lebih lanjut Dirjen Migas menyatakan pihak yang ditunjuk sebagai pelaksana dan pengendali kegiatan usaha hulu migas tidak berbentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) namun berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN). “Dengan status tersebut, BP Migas dapat fokus melaksanakan tujuan pengendalian kegiata usaha hulu minyak dan gas bumi tanpa dibebani kewajiban mencari keuntungan untuk diri sendiri, tetapi lebih fokus untuk kepentingan negara serta menghindari terjadinya pembebanan terhadap keuangan negara melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,” lanjut Evita.
Menurut Pemerintah, pembentukkan BP Migas tidak dimaksudkan untuk menerima pengalihan kuasa pertambangan, melainkan untuk melaksanakan tugas yang diberikan oleh Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan dalam pengendalian kegiatan usaha hulu migas melalui KKS. Dengan demikian, tujuan pembentukkan BP Migas dimaksudkan agar pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan tidak langsung berkontrak dengan badan usaha dan/atau bentuk usaha tetap, sehingga tidak ada posisi yang setara antara kontraktor dengan pemerintah. Selain itu dengan dibentuknya BP Migas dimaksudkan agar pemerintah tidak terekspos dan tidak menjadi pihak secara langsung dalam hal adanya sengketa yang timbul dari pelaksanaan KKS dengan kontraktor. Sedangkan karakteristik kegiatan usaha hilir dalam rangka memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada badan usaha baik besar, menengah, maupun kecil, BUMN, BUMD, koperasi, dan usaha kecil lainnya untuk melakukan kegiatan usaha hilir, maka perlu adanya peran pemerintah untuk melakukan pembinaan dan pengawasan melalui mekanisme pemberian izin usaha oleh pemerintah.
Selain itu, pemerintah memiliki kewajiban menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian bahan bakar minyak (BBM) di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dapat dilakukan oleh badan usaha baik besar, menengah, maupun kecil. Pemerintah berkewajiban untuk melakukan pengaturan dan pengawasan kegiatan  usaha hilir yang pelaksanaannya dalam hal-hal tertentu dilakukan oleh badan pengatur hilir, di antaranya pendistribusian BBM, kegiatan usaha pengangkutan gas bumi melalui pipa. Hal ini dimaksudkan agar pelaksanaan pembinaan dan pengawasan kegiatan usaha hilir dapat berjalan lebih efektif dan efisien.
“Sehingga anggapan para Pemohon yang menyatakan bahwa telah terjadi sektoralisasi penguasaan negara atas minyak dan gas bumi sehingga mengakibatkan hak menguasai negara tidak berlangusng secara efektif adalah tidak benar dan bertentangan dengan fakta yang ada,” tandas Evita menanggapi dalil Pemohon.
Pemerintah dalam petitum antara lain meminta Mahkamah menyatakan bahwa para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing). Menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan. Menyatakan Pasal 1 angka 19 dan angka 23 Pasal 9, Pasal 10, Pasal 44, Pasal 46, dan Pasal 63 huruf c Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tidak bertentangan dengan Pasal 28D dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” pinta Evita.
Sementara itu Revrisond Baswir dalam kapasitasnya sebagai ahli pemohon menyatakan, penyelenggaraan sektor migas harus memberikan prioritas kepada Pertamina sebagai badan usaha milik negara. “Tidak dapat keberadaan Pertamina sebagai badan usaha milik negara itu disetarakan dengan badan usaha milik swasta,” kata Revrisond.
Menyinggung perbedaan antara sektor hulu dan hilir, sektor hulu dianggap mempunyai karakteristik yang berbeda dengan hilir karena hilir dianggap lebih menekankan sesuatu yang sifatnya bisnis. “Kalau hilir dianggap bisnis, apakah hulu tidak bisnis? Di mana letak tidak bisnisnya hulu?” tanya Revrisond.
Menurutnya, baik hulu maupun hilir keduanya sifatnya bisnis. Putusan Mahkamah Konstitusi pada 2004 lalu, justru membatalkan sifat bisnis dari hilir itu, yaitu dengan ditolaknya keinginan UU Migas untuk menyerahkan harga eceran BBM kepada mekanisme pasar. “Mahkamah Konstitusi sudah menetapkan bahwa harga BBM harus tetap dikendalikan oleh negara,” tandas Revrisond.
Untuk diketahui, pengujian Pasal 1 angka 19, angka 23, angka 24, Pasal 6, Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, Pasal 44, Pasal 46, dan Pasal 63 huruf c UU Migas UU Migas, ini diajukan oleh Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) dan Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia (KSPMI). Menurut FSPPB dan KSPMI, ketentuan dalam pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945.
Pasal 10 UU Migas menyatakan: “(1) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melakukan Kegiatan Usaha Hulu dilarang melakukan Kegiatan Usaha Hilir. (2) Badan Usaha yang melakukan Kegiatan Usaha Hilir tidak dapat melakukan Kegiatan Usaha Hulu.”
Menurut pemohon, berlakunya Pasal 10 UU Migas telah memecah bentuk usaha sektor hulu dan hilir migas. Akibat berlakunya Pasal 10 UU Migas, PT. Pertamina Persero selaku BUMN dalam kegiatan usahanya harus membentuk anak perusahaan dengan spesifikasi kerja berbeda untuk mengelola industri hulu dan hilir. Ada sekitar 21 (dua puluh satu) anak perusahaan PT Pertamina Persero yang bergerak di bidang hulu dan hilir. Pemisahan sektor hulu dan hilir serta pembentukan anak-anak perusahaan Pertamina dalam praktek global justru sangat bertentangan dengan fenomena big is beautiful dalam menjalankan industri perminyakan yang notabene high capital, high technology dan high risk. (Nur Rosihin Ana)
readmore »»  

Eksistensi Fraksi Diuji di Mahkamah Konstitusi

Catatan Perkara MK


Keberadaan fraksi di lembaga legislatif (MPR RI, DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota) telah meniadakan atau mengabaikan kedaulatan Rakyat Indonesia. Kedaulatan rakyat yang memberi mandat selama 5 tahun kepada wakil rakyat yang terpilih, ternyata dieliminasi oleh keberadaan fraksi-fraksi pada lembaga legislatif. Demikian antara lain didalilkan oleh organisasi kemasyarakatan (ormas) Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GN-PK) saat mengujikan Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik jo. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol) dan Pasal 11, Pasal 80, Pasal 301 dan Pasal 352 UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), ke Mahkamah Konstitusi.  Kepaniteraan MK meregistrasinya dengan nomor 72/PUU-X/2012.
Sebab jika memperhatikan konsideran Menimbang, Mengingat dari UU Parpol dan UU MD3, tak satu pun yang membahas tentang perlu dibentuknya fraksi-fraksi dari parpol atau gabungan parpol pada MPR RI, DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Berdasarkan Pasal 13, Pasal 81, Pasal 302, Pasal 353 UU MD3, fraksi-fraksi pada MPR, DPR, DPD dan DPRD bukan merupakan alat kelengkapan MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Pasal 12 huruf e UU Partai Politik menyatakan: Partai Politik berhak: (e) membentuk fraksi di tingkat Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 11 UU MD3 menyatakan: “(1) Fraksi adalah pengelompokan anggota MPR yang mencerminkan konfigurasi partai politik. (2) Fraksi dapat dibentuk oleh partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara dalam penentuan perolehan kursi DPR. (3) Setiap anggota MPR yang berasal dari anggota DPR harus menjadi anggota salah satu fraksi. (4) Fraksi dibentuk untuk mengoptimalkan kinerja MPR dan anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil rakyat. (5) Pengaturan internal fraksi sepenuhnya menjadi urusan fraksi masing-masing. (6) MPR menyediakan sarana bagi kelancaran tugas fraksi.”
Pembentukan fraksi menurut ketentuan Pasal 11 ayat (4), Pasal 80 ayat (1) dan (2), Pasal 301 ayat (1), dan Pasal 352 ayat (1) UU MD3 adalah untuk mengoptimalkan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang MPR RI, DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Namun faktanya justru fungsi hal tersebut di atas tidak pernah dilaksanakan oleh fraksi-fraksi baik di MPR, DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Menurut GN-PK, pembentukan fraksi merupakan pelanggaran terhadap Pasal 1 ayat (2), Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 22c ayat (1) UUD 1945.
Kebiri Kedaulatan Rakyat
Fakta menunjukkan, kedaulatan rakyat telah dikebiri oleh parpol melalui kepanjangan tangannya di lembaga legislatif tersebut yaitu fraksi-fraksi, baik di MPR, DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Apalagi bila dalam menyampaikan aspirasi konstituennya tersebut berbeda dengan aspirasi fraksi dari partai politiknya maka anggota legislatif tersebut akan diberikan sanksi baik yang teringan sampai yang terberat, yaitu melalui pergantian antar waktu (PAW) atau recall. Padahal anggota legislatif mempunyai hak imunitas dalam menyampaikan pernyataan dan pendapat sebagaimana diatur dalam Pasal 20A ayat (3) UUD 1945.
Pengebirian hak dan PAW terhadap anggota legislatif karena berbeda pendapat dengan fraksi dari parpolnya, telah menciderai hak kedaulatan rakyat Indonesia yang merupakan hak konstitusional rakyat Indonesia, termasuk di dalamnya kader-kader/anggota GN-PK yang tersebar di 26 Provinsi di Indonesia. Apabila hal ini terus dibiarkan, maka akan berakibat tersumbatnya aspirasi rakyat Indonesia termasuk di dalamnya aspirasi kader-kader/anggota-anggota GN-PK karena ketakutan akan di-PAW jika menyampaikan aspirasi rakyat pemilihnya (konstituennya) apabila berbeda pendapat dengan fraksinya/partai politiknya.
Pemborosan Keuangan
Tugas dan fungsi fraksi di MPR, DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota telah terangkum oleh tugas dan fungsi alat kelengkapan MPR, DPR, DPRD Propisi dan DPRD Kabupaten/Kota. Selain itu, pada kenyataannya fraksi-fraksi di lembaga legislatif adalah kepanjangan tangan dan bagian dari struktur partai politik. Dengan kata lain, fraksi-fraksi tersebut bukan bagian dari lembaga/badan/instansi negara, provinsi, dan kabupaten/kota. Alat kelengkapan MPR RI berdasarkan Pasal 13 UU MD3 atas pimpinan dan panitia ad hoc MPR. Sedangkan alat kelengkapan DPR, Pasal 81 UU MD3 menyatakan alat kelengkapan DPR terdiri atas: pimpinan, Badan Musyawarah, komisi, Badan Legislasi, Badan Anggaran, Badan Akuntabilitas Keuangan Negara, Badan Kehormatan, Badan Kerja Sama Antar-Parlemen, Badan Urusan Rumah Tangga, panitia khusus, dan alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna.
Kendati demikian, keberadaan fraksi dibiayai oleh APBN, APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota, sehingga hal ini telah merugikan dan pemborosan keuangan Negara, Provinsi, Kabupaten/Kota. Sebab keberadaan fraksi membutuhkan dana untuk kegiatan yang bersumber dari APBN, APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota. Padahal posisi fraksi berada dalam struktur partai dan merupakan kepanjangan tangan partai. Misalnya pendanaan kegiatan fraksi-fraksi DPR RI pada tahun 2012 sebesar Rp 12,5 milyar per fraksi. Sedangkan fraksi di DPR RI adalah sebanyak 9 fraksi, yaitu: Fraksi Demokrat, Fraksi Golongan Karya, Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi PKS, Fraksi PPP, Fraksi PAN, Fraksi PKB, Fraksi Gerindra, dan Fraksi Hanura.
GN-PK dalam petitum-nya meminta Mahkamah menyatakan Pasal 12 huruf e UU Partai Politik dan Pasal 11, Pasal 80, Pasal 301, dan Pasal 352 UU MD3 adalah bertentangan dengan UUD 1945. Kemudian meminta Mahkamah menyatakan materi UU Partai Politik dan UU MD3 diujikan, tidak mempunyai kekuatan hukum tetap.
(Nur Rosihin Ana).
readmore »»  

Rabu, 08 Agustus 2012

DPR: Kerahasiaan Bank Jamin Kepastian Hukum

Lembaga perbankan memiliki posisi yang sangat strategis antara lain sebagai lembaga intermediasi atau lembaga yang menerima simpanan dari masyarakat dan menyalurkan kembali kepada masyarakat. Untuk itu, dana yang diterima dari masyarakat harus dikelola secara hati-hati sehingga pemilik dana atau nasabah tidak khawatir tentang keamanan dan ketersediaan dananya bila dibutuhkan. Kemudian agar fungsi bank sebagai lembaga intermediasi dapat berjalan dengan baik maka dibutuhkan adanya kepercayaan masyarakat.
Dalam rangka mewujudkan kepercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan, perlu diciptakan suatu perangkat ketentuan perundang-undangan yang dapat menjamin kepastian hukum bagi setiap pihak yang terkait dengan kegiatan perbankan, baik itu pemilik, pengurus bank, maupun masyarakat (nasabah) yang diatur dalam UU Perbankan. Dalam Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) UU Perbankan telah diatur mengenai kewajiban bagi bank dan pihak terafiliasi untuk merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Ketentuan pasal tersebut memberikan perlindungan keamanan dana nasabah yang dimilikinya sebagai harta benda hak milik pribadi yang disimpan di bank dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
“Dengan demikian, telah sejalan dengan ketentuan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 yang memberikan jaminan, perlindungan terhadap harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.”
Pernyataan dia atas disampaikan oleh anggota Komisi III DPR RI Nudirman Munir saat menyampaikan keterangan DPR RI terhadap pengujian Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan) di hadapan persidangan pleno Mahkamah Konstitusi, Rabu (8/8/2012) siang. Sidang kali ketiga untuk perkara 64/PUU-X/2012 ini beragendakan mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR dan Saksi/Ahli dari Pemohon serta Pemerintah.
Nudirman lebih lanjut memaparkan, asas kerahasiaan bank merupakan rezim UU Perbankan. Sedangkan soal harta bersama (gono-gini) adalah termasuk rezim UU Perkawinan. Oleh karena itu, keduanya tidak dapat dipertentangkan. Apabila pihak bank melanggar ketentuan Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) UU Perbankan mengenai wajib menjaga kerahasiaan bank, maka dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan ketentuan Pasal 47 UU Perbankan. Sedangkan mengenai harta bersama (gono-gini) yang disimpan di bank dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, dan/atau tabungan, baik atas nama suami maupun atas nama istri, maka masing-masing pihak sudah sepatutnya mengetahui akibat hukumnya yaitu masing-masing individu tidak dapat mengakses keterangan mengenai simpanannya.     
DPR beranggapan bahwa hal tersebut bukanlah persoalan konstitusional norma, melainkan persoalan penerapan norma, dimana suami-istri dapat saja sepakat bahwa untuk harta bersama yang disimpan di bank, dibuat dalam bentuk joint account, dimana masing-masing pihak dapat mengakses simpanannya. Atau sebaliknya, dapat sepakat untuk menyimpan dana dengan atas nama masing-masing yang tentu saja akibat hukumnya masing-masing tidak dapat mengakses keterangan mengenai simpanannya. “Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 36 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan mengenai harta bersama, suami-istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak,” jelas Nudirman.
Untuk diketahui, uji materi UU Perbankan ini dimohonkan oleh Magda Safrina. Safrina yang mengajukan gugatan perceraian terhadap suaminya, dalam gugatannya mencantumkan sejumlah harta bersama (gono-gini). Harta yang diamaksudkan Safrina berupa tabungan dan deposito yang disimpan oleh dan atas nama suaminya di sejumlah bank di Kotamadya Banda Aceh dan Bank di Kabupaten. Namun, suami Safrina tidak mengakui adanya tabungan dan deposito yang diajukan Safrina. Bahkan Safrina tidak bisa mengintip saldo tabungan dan deposito suaminya karena bank-Bank tersebut tidak dapat mengeluarkan data nasabah dan simpanannya terkait rahasia bank.
Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) UU Perbankan menyatakan: “(1) Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi Pihak terafiliasi.”
Menurut Safrina, Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) UU Perbankan memberikan ruang bagi kepada salah satu pihak baik itu suami atau istri yang namanya terdaftar sebagai nasabah bank untuk menguasai dan mengalihkan sebagian dan atau sepenuhnya harta bersama yang diperoleh selama masa pernikahan tanpa diketahui oleh pihak lainnya. Hal ini menyebabkan pihak lain dapat kehilangan sebagian atau seluruh haknya atas harta bersama tersebut. Ketentuan dalam UU Perbankan tersebut, menurut Safrina, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (2) Pasal 28H ayat (4), dan Pasal 28I UUD 1945. (Nur Rosihin Ana)
readmore »»  

Selasa, 07 Agustus 2012

Prof. Dr. RP Koesoemadinata: Gunung Lumpur Sidoarjo Bukan Gejala Alam

Kontroversi yang berkembang di masyarakat mengenai penyebab bencana lumpur Sidoarjo, yaitu akibat kesalahan operasi pemboran dan bencana alam. Menurut Prof. R.P. Koesoemadinata, terjadinya gunung lumpur Sidoarjo adalah bukan gejala alam. “Jawabannya jelas bahwa ini adalah bukan gejala alam,” kata Koesoemadinata dalam kapasitasnya sebagai ahli yang dihadirkan oleh pemohon dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (7/8/2012) siang. Sidang kali keempat untuk perkara nomor 53/PUU-X/2012 ihwal pengujian Pasal 19 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 (UU APBN 2012) dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 (UU APBN-P 2012), ini beragendakan mendengar keterangan ahli pemohon.
Terjadinya gunung api lumpur Sidoarjo, terang Koesoemadinata, memang mirip dengan gejala alamiah, tetapi sulit menjelaskan sebab alamiahnya. Semburan lumpur pada Sidoarjo erat hubungannya dengan kesulitan yang dialami pembuangan sumur Banjar Panji. “Dengan demikian, sumur semburan lumpur panas Sidoarjo secara jelas dan gamblang disebabkan karena kesalahan penanganan pembuangan sumur Banjar Panji,” tandas Prof. R.P. Koesoemadinata.
Selain Prof. R.P. Koesoemadinata, para pemohon juga menghadirkan ahli Ir. Kersam Sumanta dan Aidul Fitriciada. Menurut Kersam,  bencana lumpur Sidoarjo diakibatkan oleh kesalahan operasi pemboran eksplorasi migas di Sumur Banjar Banji 1.
Kersam menyebutkan kesalahan utama yang dilakukan oleh operator (perusahaan Lapindo Berantas Inc) yaitu tidak melaksanakan pemasangan selubung (casing) 95/8” yang tertera dalam program pemboran yang telah disepakati oleh para stakeholder dan disetujui BP Migas.
“Di dalam hubungan antara KKS (Kontrak Kerja Sama) dengan pemerintah, BP Migas menjadi pengawas operasi, pelaksana operasi dari para KKS. Semua program baru bisa dilaksanakan jika program itu disepakati oleh partner-partner perusahaan tersebut dan yang terakhir harus ada persetujuan BP Migas. Yang tidak jelas di dalam hal ini, apakah perubahan yang mereka lakukan artinya tidak mematuhi program, sudah mendapat persetujuan BP Migas atau tidak? Jika tidak maka segala risikonya akan menjadi tanggung jawabnya sendiri,” paparnya.
Untuk diketahui, pengujian Pasal 19 UU APBN 2012 dan Pasal 18 UU APBN-P 2012, diajukan oleh Letnan Jendral Mar. (Purn) Suharto, DR. H. Tjuk Kasturi Sukiadi, dan Ali Azhar Akbar. Para pemohon keberatan dengan penanggulangan lumpur Sidoarjo yang dibebankan kepada APBN. Pasal 18 menyatakan: “Untuk kelancaran upaya penanggulangan lumpur Sidoarjo, alokasi dana pada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Tahun Anggaran 2012, dapat digunakan untuk; (a) Pelunasan pembayaran pembelian tanah dan bangunan diluar peta area terdampak pada tiga desa (Desa Besuki, Desa Kedungcangkring, dan Desa Pajarakan); (b) Bantuan kontrak rumah, bantuan tunjangan biaya hidup, biaya evakuasi serta pelunasan kekurangan pembayaran pembelian tanah dan bangunan di luar peta area terdampak pada sembilan rukun tetangga di tiga kelurahan (Kelurahan Siring, Kelurahan Jatirejo, dan Kelurahan Mindi); (c) Bantuan kontrak rumah, bantuan tunjangan hidup, biaya evakuasi dan pembayaran pembelian tanah dan bangunan pada wilayah di luar peta area terdampak lainnya yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden.” (Nur Rosihin Ana)
readmore »»  

IHCS Perbaiki Permohonan Ihwal Undur Diri Anggota TNI dan Polri yang Maju Pemilukada

Ketentuan mengenai pernyataan pengunduran Anggota TNI dan Polri dalam pencalonan Pemilukada yang tertuang dalam Pasal 59 Ayat (5) huruf g Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) kembali disidangkan di Mahkamah Konstitusi. Sidang kali kedua untuk perkara 67/PUU-X/2012 beragendakan perbaikan permohonan.
Di hadapan panel hakim konstitusi Achmad Sodiki (ketua panel), Moh. Mahfud MD, dan Muhammad Alim, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) melalui kuasa hukumnya, M. Zainal Umam menyampaikan perbaikan permohonan menyangkut kedudukan hukum pemohon (legal standing).
“Yang Mulia Majelis Hakim, kami telah melakukan perbaikan-perbaikan permohonan sebagaimana nasihat Majelis Hakim pada persidangan terdahulu, yaitu antara lain mengenai legal standing pemohon dalam hal ini IHCS, dan di legal standing ini kita memasukkan kerugian-kerugian konstitusional secara lebih konkret berdasarkan permohonan yang kemarin,” kata M. Zainal Umam.
Zainal juga mempertajam alasan pemohonan uji materi UU Pemda yang diajukan kliennya. Selain itu, pada petitum pun terjadi perubahan. “Petitum sedikit ada perubahan berdasarkan nasihat Majelis Hakim pada persidangan terdahulu,” lanjut Zainal.
Sebelum mengakhiri persidangan, panel hakim mengesahkan alat bukti pemohon. Pemohon mengajukan alat buki P-1 sampai P-14.
Untuk diketahui, Pasal 59 Ayat (5) huruf g UU Pemda menyatakan: “Partai politik atau gabungan partai politik pada saat mendaftarkan pasangan calon, wajib menyerahkan: (g) surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon yang berasal dari pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.”
Menurut IHCS, Pasal 59 Ayat (5) huruf g UU Pemda bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28J ayat (2) dan Pasal 30 UUD1945. Sebab, ketentuan tersebut  melegitimasi dan memperbolehkan anggota TNI/POLRI untuk mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan terlebih dahulu menyertakan surat pengunduran diri dari jabatannya. Hal ini bertentangan dengan larangan yang secara tegas dinyatakan dalam UU TNI dan UU Kepolisian RI.
Pasal 59 ayat (5) huruf g UU Pemda berpotensi multafsir dan menimbulkan ketidakpastian hukum sepanjang frasa “surat pernyataan mengundurkan diri” tidak dimaknai dengan harus adanya surat keputusan “telah mengundurkan diri dari instansi dan telah disetujui oleh instansi yang berwenang” sebagai salah satu persyaratan untuk maju sebagai bakal calon kepala daerah yang berasal dari anggota TNI dan Polri dengan kata lain telah berhenti dari keanggotaan TNI atau Polri.
Dengan demikian, frasa “surat pernyataan mengundurkan diri” tersebut bertentangan  dengan Pasal 30 UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai dengan adanya surat keputusan non aktif dari jabatan stuktural dan jabatan fungsional Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. (Nur Rosihin Ana)
readmore »»  
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More