Harmoni...

Jakarta, September 2010

Harmoni...

Jakarta, Desember 2010

Belahan jiwa

......

...Belahan jiwa...

......

ceria...

Jakarta, 8 Januari 2012

Nora Uzhma Naghata

Bogor, 24 Februari 2011

Nora Uzhma Naghata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Taman Safari Puncak

Bogor, 24 Februari 2011

Bandara Ahmad Yani

Semarang, 28 September 2011

Rileks

*********

Nur Rosihin Ana

Semarang, 19 Oktober 2010

Nur Rosihin Ana

mahkamah dusturiyyah, 18 Juli 2012

Nur Rosihin Ana

Hotel Yasmin, Puncak, Desember 2010

Nora Uzhma Naghata

Naghata

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Demak, 11 September 2011

Nur Rosihin Ana

Nagreg, Bandung 11 Juli 2011

Nora Uzhma Naghata, Sri Utami, Najuba Uzuma Akasyata, Nur Rosihin Ana

Sapa senja di Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Sapa Senja Jepara

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

...bebas, lepas...

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Senin, 30 April 2012

KIP Kab. Aceh Utara Nilai Permohonan Sulaiman-Syarifuddin “Obscuur Libel”

Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kabupaten Aceh Utara menyatakan berita acara rekapitulasi hasil perolehan suara masing-masing pasangan calon diberikan kepada saksi mandat yang hadir. Sedangkan saat pelaksanaan rekapitulasi, saksi pasangan Sulaiman Ibrahim-T. Syarifuddin (Pemohon) tidak hadir. “Pada saat kita melaksanakan rekapitulasi, saksi dari pasangan yang bersangkutan tidak hadir.” Demikian kata Ketua KIP Aceh Utara, Muhammad Manan, dalam sidang perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) Kab. Aceh Utara Tahun 2012, di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (30/04/2012) siang. Sidang kali kedua untuk perkara 21/PHPU.D-X/2012 yang diajukan oleh pasangan calon Sulaiman-Syarifuddin, beragendakan mendengar jawaban KIP Aceh Utara (termohon), mendengar jawaban pasangan Muhammad Thalib-Muhammad Jamil (pihak terkait) dan mendengar keterangan saksi.

Pernyataan Muhammad Manan tersebut merupakan jawaban atas permohonan pasangan Sulaiman-Syarifuddin. Sulaiman-Syarifuddin mendalilkan tidak menerima berita acara hasil rekap tingkat Kab. Aceh Utara. Bahkan Sulaiman-Syarifuddin mengaku dipersulit untuk mendapatkan berita acara rekap. “Jadi kami dipersulit untuk mendapatkan itu,” kata Muhammad Asrun, kuasa hukum pasangan  Sulaiman-Syarifuddin.

KIP Aceh Utara dalam eksepsi yang disampaikan kuasa hukumnya, Ainal Hotman, menyatakan MK tidak berwenang memeriksa perkara yang diajukan Sulaiman-Syarifuddin. Ainal juga menilai permohonan Sulaiman-Syarifuddin kabur dan tidak jelas (obscuur libel). Ainal dengan tegas membantah tuduhan KIP Aceh Utara melakukan pelanggaran terstruktur, sistimatis, dan masif. Sejak awal ini kami bantah bahwasanya hal tersebut tidak benar. Karena di dalam permohonan Pemohon tidak tergambar perbuatan Termohon sebagaimana terstruktur, sistematis, dan masif yang dimaksud,” kata Ainal Hotman membantah dalil permohonan.

Selanjutnya mengenai tuduhan KIP Aceh Utara melakukan pelanggaran karena meloloskan Muhammad Thalib yang menurut Pemohon tidak memenuhi syarat sebagai calon bupati karena tidak memiliki ijazah SD, SMP dan SMA/SMK. Dalil ini pun dibantah oleh Ainal Hotman yang menyatakan dalil tersebut tidak benar. Memperkuat dalilnya, KPU Aceh Utara melampirkan bukti-bukti, yaitu bukti termohon nomor 10, 11 dan 12 yang telah diserahkan kepada Mahkamah. “Sudah dilakukan verifikasi administrasi dan faktual?” Tanya ketua Panel Hakim M. Akil Mochtar. “Sudah dilakukan. Verifikasi faktual sudah dilakukan sebagaimana daftar bukti kami Nomor 10, Nomor 11, Nomor 12,” jawab Ainal Hotman sembari menambahkan, secara faktual KIP Aceh Utara telah mengirimkan surat kepada lembaga pendidikan dari tingkat SD, SMP, dan SMK.

KIP Aceh Utara meminta Mahkamah mengabulkan eksepsinya. Kemudian dalam pokok permohonan, KIP Aceh Utara meminta Mahkamah agar menolak permohonan yang diajukan oleh pasangan Sulaiman-Syarifuddin.Dalam pokok perkara, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” pinta KIP Aceh Utara melalui kuasanya, Ainal Hotman.

Pasangan Muhammad Thalib-Muhammad Jamil selaku pihak terkait, melalui kuasa hukumnya, Mukhlis, menyatakan secara garis jawaban yang disampaikannya sama dengan jawaban KIP Aceh Utara. “Pada prinsipnya, sesudah kami mendengar jawaban Termohon, secara garis besar banyak yang bersamaan,” kata Mukhlis.

Nurmalawati, saksi yang dihadirkan pasangan Sulaiman-Syarifuddin dalam keterangannya menyatakan ijazah SMP yang dimiliki Muhammad Thalib dikeluarkan tahun 1976 yang berarti satu angkatan dengan Nurmalawati. Nurmala mengaku tidak ada siswa SMPN 1 Lhoksukon yang bernama Muhammad Thalib. “Pernah lihat dia (Muhammad Thalib) sekolah Di SMP (Negeri 1 Lhoksukon)?” tanya M. Akil Mochtar. “Nggak ada,” jawab Nurmalawati. (Nur Rosihin Ana)
readmore »»  

Kamis, 26 April 2012

Ghazali Abbas Adan Minta Pemungutan Suara Ulang Pemilukada Kabupaten Pidie

Ghazali Abbas Adan, calon bupati Pidie, hadir di Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menjalani sidang perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah Kabupaten Pidie Tahun 2012, Kamis (26/04/2012) pagi. Sidang perkara 20/PHPU.D-X/2012 ini dijukan oleh pasangan calon Ghazali Abbas Adan-Zulkifli HM Juned (No. urut 8). Persidangan dengan agenda pemeriksaan pendahuluan ini juga dihadiri oleh Ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kabupaten Pidie, Junaidi didampingi empat anggota KIP Pidie.

Di hadapan panel hakim MK yang diketuai M. Akil Mochtar, Ghazali Abbas Adan memersoalkan proses pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) Pidie yang menurutnya sarat dengan teror dan intimidasi. Antara lain akibat teror dan intimidasi, masyarakat tidak menghadiri kampanye yangt digelar pasangan Ghazali Abbas Adan-Zulkifli HM Juned, sehingga visi dan misi pasangan ini tidak sampai ke masyarakat. Hal ini bertentangan dengan asas pemilukada yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Oleh karena itu, Ghazali Abbas menyatakan menolak hasil rekapiltulasi suara yang dilakukan oleh KIP Pidie. “Dengan alasan demikian itulah, maka kami menolak hasil rekapiltulasi suara yang sudah dilakukan oleh KIP Pidie,” tegas Ghazali.

Dalam pokok permohonan, Ghazali Abbas meminta Mahkamah agar menjatuhkan putusan (petitum) yaitu, menerima dan mengabulkan permohonan untuk seluruhnya. Kemudian, menyatakan batal dan tidak sah berita acara rekapitulasi hasil perhitungan suara pemilukada di tingkat Kabupaten oleh KIP Pidie Tanggal 15 bulan April 2012. Terakhir, meminta Mahkamah agar memerintahkan KIP Pidie melakukan pemungutan suara ulang di seluruh di seluruh TPS dalam wilayah Kabupaten Pidie.

Sementara itu, Ketua KIP Pidie, Junaidi, dalam bantahannya menyatakan, fakta-fakta mengenai terjadinya pelanggaran, pembangkangan, menurut Junaidi, hal ini merupakan ranah Panwaslukada. “Kami meminta kepada Majelis Hakim Yang Terhormat untuk menghadirkan Panwaslu di dalam proses pembuktian berkaitan pelanggaran,” pinta Junaidi.

Junaidi juga menjelaskan proses rekapitulasi suara di tingkat kabupaten. Menurutnya, KIP Pidie telah mengundang saksi pasangan Ghazali Abbas Adan-Zulkifli HM Juned (No. urut 8). “Tapi mereka tidak datang,” terang Junaidi.

Menurut Junaidi, keberatan yang diajukan pasangan Ghazali Abbas Adan-Zulkifli HM Juned bukan merupakan objek perselisihan hasil pemilukada. Sebab, pasangan Ghazali Abbas Adan-Zulkifli HM Juned dalam permohonannya sama sekali tidak menyinggung masalah perolehan suara masing-masing pasangan calon.

Sidang berikutnya akan digelar pada Senin pekan depan dengan agenda mendengar keterangan saksi. Pasangan Ghazali Abbas Adan-Zulkifli HM Juned selaku Pemohon, meminta Mahkamah memeriksa saksi melalui fasilitas video conference  dari Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh. (Nur Rosihin Ana)
readmore »»  

Rabu, 25 April 2012

Mahkamah Tolak Permohonan Dua Pasangan Calon Walikota Sorong

Perselisihan hasil pemilihan umum walikota/wakil walikota Sorong Provinsi Papua Barat tahun 2012 yang diajukan oleh pasangan Marthinus Salamala-Petrus Fatlolon, memasuki tahap pengucapan putusan. Mahkamah dalam amar putusan menyatakan menolak seluruh permohonan Marthinus-Petrus. “Amar Putusan, mengadili, menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata ketua pleno hakim konstitusi Moh. Mahfud MD saat membacakan putusan Nomor 15/PHPU.D-X/2012 dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (25/04/2012) petang.

Pasangan Marthinus-Petrus mendalilkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Sorong (Termohon) telah melakukan pelanggaran pada saat pelaksanaan tahapan Pemilukada Kota Sorong Tahun 2012 yaitu dengan cara menyusun tahapan, program dan jadwal penyelenggaraan Pemilukada Kota Sorong Tahun 2012 berdasarkan peraturan perundang-undangan yang sudah tidak berlaku.

Menurut Mahkamah dalil Pemohon tidak terbukti dan tidak beralasan hukum. Hal ini setelah Mahkamah memeriksa dan mencermati dalil Marthinus-Petrus dan dalil bantahan KPU Kota Sorong serta bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak di persidangan. Menurut Mahkamah, KPU Kota Sorong telah menyusun tahapan, program dan jadwal penyelenggaraan Pemilukada Kota Sorong Tahun 2012 berdasarkan ketentuan yang berlaku. “Keberatan-keberatan yang diajukan Pemohon sudah diselesaikan selama proses tahapan, namun diajukan kembali seakan-akan temuan baru setelah diketahui siapa yang kalah dan siapa yang menang. Oleh karena itu menurut Mahkamah dalil Pemohon tidak terbukti dan tidak beralasan hukum,” kata hakim konstitusi M. Akil Mochtar saat membacakan pendapat mahkamah.

Begitu pula dalil pasangan Marthinus-Petrus mengenai pelanggaran dalam penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT), politik uang yang dilakukan pasangan calon Lamberthus Jitmau-Pahimah Iskandar (Nomor Urut 3) selaku Pihak Terkait. Menurut Mahkamah, rangkaian fakta yang terungkap di persidangan, tidak terbukti bahwa DPT yang disusun KPU Kota Sorong menguntungkan pasangan Lamberthus-Pahimah. Terungkap pula bahwa praktik politik uang bukan hanya dilakukan oleh Lamberthus-Pahimah, tapi juga dilakukan oleh Marthinus-Petrus.

Selanjutnya, dalil Marthinus-Petrus mengenai pengambilan kotak suara dari masing-masing distrik yang disimpan di Mapolresta Kota Sorong tanpa disaksikan oleh Panwaslu Kota Sorong. Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap dalil Marthinus-Petrus, bantahan KPU Kota Sorong, keterangan tertulis Panwaslu Kota Sorong, dan keterangan tertulis Polres Kota Sorong serta bukti yang diajukan oleh KPU Kota Sorong, menurut Mahkamah tindakan KPU Kota Sorong untuk menyimpanan kotak suara di Kantor Polres Kota Sorong karena alasan untuk keamanan adalah sudah tepat dan tidak ada keberpihakan. Begitu pula dalil Marthinus-Petrus mengenai keberpihakan Kapolres Kota Sorong kepada Lamberthus-Pahimah, juga tidak terbukti.

Tolak Pasangan Hengky-Juni

Sidang pleno MK kembali dibuka setelah rehat untuk melaksanakan ibadah shalat Maghrib. Tujuh Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD (ketua pleno), Anwar Usman, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva, Harjono, M. Akil Mochtar, dan Muhammad Alim melaksanakan sidang pengucapan putusan perselisihan hasil Pemilukada Kota Sorong yang diajukan oleh Hengky Rumbiak-Juni Triatmoko (putusan Nomor 16/PHPU.D-X/2012). Senada dengan putusan Marthinus-Petrus, Mahkamah juga menyatakan menolak permohonan pasangan Hengky Rumbiak-Juni Triatmoko untuk seluruhnya.

Hengky-Juni mendalilkan perolehan hasil rekapitulasi penghitungan suara yang dilaksanakan oleh KPU Kota Sorong dihasilkan dari proses yang tidak benar yang dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif serta bertentangan dengan asas-asas penyelenggaraan Pemilu.

Mahkamah setelah mencermati permohonan, Jawaban KPU Kota Sorong, serta bukti-bukti dari para pihak, menurut Mahkamah Hengky-Juni tidak dapat membuktikan dalilnya. Begitu pula apa yang didalilkan Hengky-Juni mengenai pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pasangan calon Lamberthus Jitmau-Pahimah Iskandar (Nomor Urut 3) selaku Pihak Terkait, juga tidak terbukti.

Kemudian dalil Hengky-Juni mengenai terjadinya pelanggaran pada tahap pemutakhiran data yang dilakukan KPU Kota Sorong, menurut Mahkamah, tanpa bermaksud untuk menjustifikasi adanya kelemahan dan kesemrawutan dalam penyusunan DPT, permasalahan DPT merupakan bagian dari permasalahan kependudukan di Indonesia yang belum dapat diselesaikan oleh Pemerintah. Sehingga apabila tidak dapat dibuktikan secara hukum bahwa KPU Kota Sorong melakukan pelanggaran DPT secara terstruktur, sistematis, dan masif yang menguntungkan salah satu pasangan calon, maka KPU Kota Sorong tidak dapat dibebani kesalahan atas kesemrawutan DPT dalam penyelenggaraan Pemilukada di Kota Sorong. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, masalah DPT harus menjadi perhatian sungguh-sungguh bagi penyelenggara Pemilukada yang Luber dan Jurdil. (Nur Rosihin Ana)

download putusan permohonan Marthinus Salamala-Petrus Fatlolon
download putusan permohonan Hengky Rumbiak-Juni Triatmoko
readmore »»  

Pasangan Aliasnudin-Rahmad Minta Dilakukan Pemilukada Kab. Simeulue yang "Fair"

Pemungutan suara Pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) Kabupaten Simeulue, Povinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang digelar 9 April lalu, menyisakan sengketa. Dua pasangan calon, Aliasnudin-Rahmad (No. Urut 5) dan Mohd. Riswan R-Ali Hasmi (No. Urut 4) mengajukan keberatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Bertempat di ruang pleno lt. 2 gedung MK, pada Selasa (24/4/2012) sore, Mahkamah menyidangkan perkara perselisihan hasil pemilukada Simeulue yang diajukan Aliasnudin-Rahmad (perkara 18/PHPU.D-X/2012) dan Mohd. Riswan R-Ali Hasmi (perkara 19/PHPU.D-X/2012).

Pasangan Aliasnudin-Rahmad keberatan dengan keputusan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Simeulue tentang penetapan calon terpilih bupati-wakil bupati Simeulue periode 2012-2017. Di hadapan hakim konstitusi M. Akil Mochtar (ketua panel), Muhammad Alim Dan Hamdan Zoelva, calon wakil bupati Simeulue, Rahmad, menerangkan proses pemilukada Simeulue yang menurutnya melanggar ketentuan perundang-undangan. Rahmad mendalilkan KIP Simeulue tidak melaksanakan pemutakhiran data dengan baik. “Sehingga banyak pemilih yang tidak dapat menggunakan hak suaranya,” terang Rahmad yang hadir tanpa didampingi kuasa hukum.

Selain itu, lanjutnya, KIP Simelue menggunakan standar ganda saat pemungutan suara, dimana di berbagai tempat warga tidak bisa menggunakan hak pilih karena tidak mendapatkan surat undangan C-6. Namun di beberapa tempat lainnya, warga bisa menggunakan hak pilihnya cukup dengan memberikan tanda pengenal berupa KTP atau KK. Kemudian, saat perhitungan suara pada tanggal 9 April 2012, KIP Simeulue tidak memberikan salinan perhitungan suara di tingkat TPS, yaitu C-1 yang terjadi hampir 70% TPS yang ada di Kabupaten Simeulue. “Sehingga kami tidak mempunyai data pembanding,” lanjut Rahmad.

Rahmad juga menyoal keabsahan surat keputusan (SK) yang dikeluarkan KIP Simeulue. Sebab menurutnya, SK yang dikeluarkan menggunakan landasan peraturan yang sudah tidak berlaku, yaitu Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2007. “Sementara qanun itu sudah tidak berlaku lagi sejak diundangkannya Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2012,” Dalil Rahmad.

Menanggapi keterangan Rahmad, Akil menanyakan hal yang diminta dalam permohonan (petitum).  Apa permintaan Saudara kepada Mahkamah,” tanya ketua pleno hakim konstitusi M. Akil Mochtar, karena Akil melihat Pemohon tidak mencantumkan petitum. ”Saya meminta dilakukan pemilukada yang fair, Yang Mulia,” Jawab Rahmad.

Cabut Permohonan

Heriyanto Siregar, kuasa hukum pasangan Mohd. Riswan R-Ali Hasmi, di hadapan panel hakim konstitusi menyatakan kliennya bermaksud mencabut permohonan. “Jadi, intinya Saudara menyatakan bahwa permohonan Nomor 19/PHPU.D-X/2012 ini Saudara nyatakan dicabut ya?” tanya M. Akil Mochtar. “Ya, Majelis,” jawab Heri.

Selanjutnya Akil menjelaskan mengenai ketetapan pencabutan permohonan. “Untuk pencabutan permohonanya nanti akan dikeluarkan ketetapan ya, tidak seketika,” terang Akil. (Nur Rosihin Ana)
readmore »»  

Ahli Pemerintah: Pengantar Bahasa Inggris Tidak Berpotensi Hilangkan Jati Diri Bangsa

Penggunaan bahasa Inggris sebagai salah satu bahasa pengantar dalam rangka rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) secara filosofis ilmu pendidikan, tidak akan berpotensi menghilangkan jati diri bangsa. Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara tetap menjadi bahasa pengantar pendidikan. Bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya hanya digunakan sebagai komunikasi keilmuan yang bersifat universal dalam komunikasi sosial dan dalam kontek pergaulan antar bangsa. Bung Karno pernah berpesan, “Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasional.”

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Prof. Dr. Udin S. Winataputra saat bertindak sebagai ahli Pemerintah dalam persidangan yang digelar di Mahkamah Konstitusi, Selasa (24/4/2012) siang. Sidang kali keenam untuk perkara 5/PUU-X/2012 uji materi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), dimohonkan oleh Andi Akbar Fitriyadi, Nadya Masykuria, Milang Tauhida, Jumono, Lodewijk F. Paat, Bambang Wisudo dan Febri Hendri Antoni Arif. Para Pemohon yang terdiri dari orangtua murid, dosen, aktivis pendidikan serta aktivis ICW, merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya atas berlakunya ketentuan Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas. Menurut mereka, Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas yang menyatakan: “Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional,” bertentangan dengan Pembukaan, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 31 ayat (1), Pasal 31 ayat (2), Pasal 31 ayat (3) dan Pasal 36 UUD 1945.

Ahli Pemerintah selanjutnya, Prof. Johannes dalam paparannya menyatakan, Standar Nasional Pendidikan (SNP) dalam ketentuan Pasal 35 ayat (1) UU Sisdiknas adalah berlaku sama, baik bagi satuan pendidikan bertaraf nasional maupun internasional. Begitu pula peningkatan standar nasional secara berencana dan berkala adalah sama bagi sekolah nasional dan sekolah internasional. Kecerdasan bangsa dan peningkatannya pada peserta didik satuan pendidikan bertaraf nasional dan internasional adalah sama karena semuanya harus memenuhi SNP. “Jadi, tidak benar kalau dikatakan bahwa yang bertaraf nasional, maka tingkat kecerdasannya itu kemudian lebih rendah daripada yang bertaraf internasional. Karena standarnya minimalnya semuanya sama,” tegas Johannes.

Dampak Negatif

Abdul Chaer dalam kapasitasnya sebagai ahli Pemohon, menyatakan penggunaan bahasa Inggris pada RSBI berdampak kurang baik bagi pembinaan bahasa. Sedangkan mengenai bahasa Inggris sebagai mata pelajaran, menurutnya, bahasa Inggris harus dikuasai oleh anak didik dengan lebih baik. Alasannya bukan karena gengsi, tapi karena kebutuhan keilmuan yang menggunakan pengantar bahasa Inggris. “Yang harus dikejar bukanlah bahasa asingnya, tetapi ilmunya. Mengapa begitu? Jepang, Korea, Cina adalah negara-negara yang sekarang sudah menjadi raksasa. Mereka maju bukan karena bahasa asing, tapi karena mereka menguasai ilmunya,” terangnya.

Menurut Abdul Chaer, penggunaan bahasa Inggris sebagai salah satu bahasa pengantar di RSBI, melanggar UUD 1945. “Penggunaan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di RSBI juga memberi dampak negatif terhadap upaya pemerintah untuk membina Bahasa Indonesia,” tandasnya.

Ahli Pemohon lainnya, Darmaningtyas, dalam paparannya di persidangan menyatakan, tujuan RSBI atau SBI yang hanya diarahkan untuk meningkatkan daya saing, salah satunya dibuktikan dengan perolehan medali emas, perak, perunggu, dan bentuk penghargaan internasional lainnya. “Ini sungguh mereduksi makna konstitusi negara yang mengamanatkan pencerdasan bangsa karena tugas pencerdasan jauh lebih tinggi daripada sekedar mengumpulkan piala atau medali. Bila sekedar untuk mendapatkan medali tidak perlu membentuk RSBI atau SBI,” terang Darmaningtyas.

Menurutnya, legal policy yang mengatur pemberian hak bagi SBI untuk mempekerjakan tenaga asing sebagai pendidik sebanyak 30% dari keseluruhan jumlah pendidik, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Sebab guru RSBI atau SBI dari warga asing jelas akan dibayar 10 kali lipat dari guru warga negara Indonesia. “Dengan demikian, jelas bahwa RSBI dan/atau SBI bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.,” tandas Darmaningtyas. (Nur Rosihin Ana)
readmore »»  

Jumat, 20 April 2012

Mahkamah Tolak Permohonan Pasangan Cabup Kolaka Utara Anton-Abbas

Proses persidangan perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) Kabupaten Kolaka Utara (Kolut), Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2012 yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) memasuki tahap akhir yaitu pengucapan putusan. Mahkamah dalam amar Putusan Nomor 12/PHPU.D-X/2012 menyatakan menolak permohonan pasangan Anton-H. Abbas, calon bupati/wakil bupati Kolut. “Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD dalam sidang pengucapan putusan perkara perselisihan hasil Pemilukada Kolut 2012 yang digelar di Mahkamah Konstitusi, Kamis (19/04/2012) sore.

Pasangan Anton-Abbas mendalilkan terjadi politik uang (money politic) secara terstruktur, sistematis, dan masif, di Kecamatan Tolala, Pakue Tengah, Lambai, Tiwu, Batu Putih, Pakue Utara, Porehu, Ngapa, Rante Angin, Lasusua, Wawo, Kodeoha, dan Pakue. Dalil tersebut dibantah oleh pasangan Rusda Mahmud-Bobby Alimuddin (Pihak Terkait) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kolut (Termohon).

Mahkamah menilai bukti surat pernyataan yang diajukan oleh Anton-Abbas tidak cukup meyakinkan Mahkamah mengenai terjadinya praktik politik uang secara masif. Terlebih lagi keterangan saksi-saksi yang diajukan oleh Anton-Abbas telah dibantah oleh saksi-saksi yang diajukan Rusda Mahmud-Bobby Alimuddin.

Selain itu, Mahkamah menemukan fakta bahwa selisih perolehan suara antara Anton-Abbas dengan Rusda Mahmud-Bobby Alimuddin sebesar 25.883 suara. Anton-Abbas memperoleh 25.096 sedangkan Rusda Mahmud-Bobby Alimuddin memperoleh 50.979 suara. Mahkamah berpendapat seandainya pun sebagian atau seluruh pelanggaran yang didalilkan oleh Anton-Abbas terbukti mempengaruhi pilihan pemilih, perolehan suara Anton-Abbas tidak dapat mengungguli perolehan suara Rusda Mahmud-Bobby Alimuddin, atau tidak signifikan mempengaruhi peringkat perolehan suara masing-masing pasangan calon. Berdasar hal tersebut, Mahkamah menilai dalil Anton-Abbas mengenai terjadinya politik uang oleh tim pasangan Rusda Mahmud-Bobby Alimuddin di kecamatan-kecamatan tersebut, tidak terbukti.

Mengenai dalil Anton-Abbas yang menyatakan Rusda Mahmud tidak memenuhi syarat sebagai calon diduga menggunakan ijazah palsu, hal ini juga dibantah KPU Kolut dan Rusda Mahmud. Rusda membuktikan bahwa ijazah yang dipakainya adalah asli.

Mahkamah meyakini bahwa dalam skala terbatas, tindakan politik uang dan keberpihakan aparat pemerintahan kepada pasangan calon tertentu memang terjadi, namun terhadap dalil Anton-Abbas, Mahkamah tidak menemukan adanya pelanggaran, terutama politik uang, yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif dalam Pemilukada Kolut 2012.

Bustam-Tajuddin Tak diterima

Usai membacakan membacakan putusan perkara yang diajukan Anton-Abbas, selanjutnya membacakan Putusan Nomor 13/PHPU.D-X/2012 yang diajukan oleh H. Bustam AS-H. Tajuddin, bakal pasangan calon bupati/wakil bupati Kolut. Mahkamah dalam amar putusan menyatakan permohonan Bustam-Tajuddin tidak dapat diterima. “Permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” kata Moh. Mahfud MD.

Berdasarkan fakta dan bukti yang terungkap di persidangan, Mahkamah berpendapat KPU Kolut  telah melaksanakan Pemilukada sesuai jadwal dan tahapan yang telah ditetapkan. Fakta juga membuktikan bahwa Bustam-Tajuddin tidak memenuhi syarat sebagai calon bupati/wakil bupati dalam Pemilukada Kolut 2012.

Mahkamah tidak menemukan adanya rangkaian fakta dan bukti hukum yang
meyakinkan bahwa telah terjadi pelanggaran-pelanggaran serius terhadap hak-hak perseorangan untuk menjadi calon (right to be candidate) ataupun adanya rangkaian bukti-bukti KPU Kolut menghalang-halangi terpenuhinya syarat bakal pasangan calon Bustam-Tajuddin.

Mahkamah dalam konklusinya menyatakan berwenang mengadili permohonan Bustam-Tajuddin. Namun menurut Mahkamah, Bustam-Tajuddin tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan, sehingga Mahkamah tidak lagi mempertimbangkan mengenai tenggat waktu pengajuan permohonan dan pokok permohonan Bustam-Tajuddin. (Nur Rosihin Ana)


readmore »»  

Kamis, 19 April 2012

Ketua KPU Kota Sorong: Pengambilan Kotak Suara Inisiatif KPU, Bukan Polres

Persidangan perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) Kota Sorong Provinsi Papua Barat tahun 2012 kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (18/04/2012) petang. Sidang kali keempat untuk perkara 15/PHPU.D-X/2012 yang dimohonkan oleh pasangan Marthinus Salamala-Petrus Fatlolon dan perkara 16/PHPU.D-X/2012 yang dimohonkan oleh pasangan Hengky Rumbiak-Juni Triatmoko, beragendakan pembuktian.

Kapolres Sorong yang sudah diundang oleh MK untuk didengar keterangannya di persidangan, ternyata tidak bisa hadir. Kendati demikian, sebagai bentuk pertanggungjawaban pelaksanaan Pemilukada, Kapolres Kota Sorong memberikan tanggapan dan klarifikasi secara tertulis dalam bentuk berita acara dilengkapi dengan bukti-bukti.

Kuasa hukum pasangan Marthinus Salamala-Petrus Fatlolon, Utomo Karim sangat berharap mendapat keterangan dari Kapolres Sorong berkaitan dengan pengambilan kotak suara di enam distrik tanpa sepengetahuan Panwas yang menurutnya dilakukan oleh Polres Sorong. “Kami ingin menanyakan kotak suara itu diambil oleh Polres di distrik, ada enam distrik, tanpa diketahui oleh Panwas. Nah, ini bagaimana kok hanya KPU saja yang tahu, kok bisa diambil tanpa diketahui oleh Panwas?” tanya Utomo Karim.

Menanggapi hal tersebut, Ketua KPU Kota Sorong, Supran, menjelaskan proses pemungutan suara yang menurutnya berjalan dengan aman dan lancar hingga perhitungan suara di TPS. Namun, sebelum rapat pleno hasil rekapitulasi digelar, di luar dugaan ada serbuan massa merusak Kantor PPD Sorong Timur, Kantor KPU Kota Sorong, dan membakar rumah Supran. “Satu kantor sudah dirusak, sedangkan yang lain diancam secara keseluruhan,” terang Supran.

Melihat kondisi demikian, Supran berupaya menyelamatkan dokumen negara. Supran mengaku pengambilan kotak suara oleh Polres Kota Sorong adalah inisiatif KPU Kota Sorong. “Tidak betul kemudian kalau inisiatif dari kapolres, inisiatif dari KPU untuk menyelamatkan dokumen negara,” tandas Supran di hadapan panel hakim konstitusi Moh. Mahfud MD (ketua panel) didampingi dua anggota, Maria Farida Indrati dan Anwar Usman. (Nur Rosihin Ana)
readmore »»  

Selasa, 17 April 2012

PHPU Kab. Kolaka Utara: Kepala SMKN 1 Wundulako Nyatakan Ijazah Rusda Mahmud Absah

Pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) merupakan sarana rekrutmen pemimpin yang jujur, memiliki kompetensi, dan kapibilitas, serta kualitas moral yang menjadi panutan. Diharapkan dengan integritas yang tinggi, pasangan calon akan memimpin daerah dan menyejahterakan rakyatnya. “Calon pemimpin yang tidak jujur dan menyembunyikan latar belakangnya, tentu tidak bisa diharapkan jujur mengelola kepercayaan dan kewenangan yang diterima.”

Demikian paparan Maruarar Siahaan saat bertindak sebagai ahli yang dihadirkan oleh pasangan Anton-H. Abbas selaku Pemohon perkara perselisihan hasil Pemilukada Kabupaten Kolaka Utara (Kolut) Tahun 2012 dalam persidangkan di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (17/04/2012) pagi. Persidangan perselisihan hasil Pemilukada Kolut ini diajukan oleh pasangan calon Anton-H. Abbas (perkara 12/PHPU.D-X/2012) dan pasangan bakal calon H. Bustam AS-H. Tajuddin (perkara 13/PHPU.D-X/2012). Sidang kali ketiga ini mengagendakan pembuktian dengan mendengar keterangan ahli/saksi.

Lebih lanjut Maru, panggilan akrab Maruarar Siahaan, memaparkan, keraguan tentang keabsahan ijazah sangat menentukan, bukan saja kompetensi dan kapabilitas, tetapi yang lebih penting adalah integritas sebagai pemimpin. Kemudian mengenai penyembunyian identitas pernah dipidana. Menurutnya, keberadaan ijazah dan pelanggaran hukum yang pernah dilakukan, merupakan hal yang cukup mudah bagi KPU untuk melakukan penelitian. “Pasti dengan mudah diteliti oleh KPU karena aksesnya yang terbuka lebar. Tetapi kalau independensi hilang dan imparsialitas tidak ada, itu tentu merupakan hambatan untuk melaksanakan pemilukada yang jujur,” lanjut Maru.

Setelah mendengar paparan ahli, panel hakim konstitusi yang diketuai Achmad Sodiki dengan dua anggota, Harjono dan Ahmad Fadlil Sumadi, mendengar keterangan Kapolres Kolut, AKBP La Ode Aries El Fathar. Menurut Aries, secara umum seluruh tahapan Pemilukada Kolut berjalan sangat kondusif. “Tidak ada hal-hal yang meragukan dapat mengganggu terjadinya pelaksanaan pilkada,” terang Aries.

Kendati demikian, pihaknya mengaku menerima 70-an laporan pelanggaran dari Panwas. Namun laporan tersebut dikembalikan ke Panwas karena setelah diproses penyelidikan, laporan aduan Panwas belum memenuhi unsur Pasal 184 KUHAP. “Kita masih memerlukan tambahan-tambahan alat bukti yang dapat mendukung daripada perkara yang dilaporkan,” lanjut Aries.

Mengenai laporan pemalsuan ijazah, terang Aries, Polres Kolut dalam hal ini Reserse Kriminal Umum Kolut telah melakukan penyidikan. “Dari hasil pemeriksaan, kami menyimpulkan bahwa dari keterangan-keterangan yang kami peroleh bahwa betul Rusda Mahmud pernah bersekolah di STM Swasta Kolaka,” terang Aries.

Aries juga membenarkan Rusda Mahmud pernah divonis bersalah dalam Undang-Undang Darurat dan Undang-Undang Psikotropika. Oleh karena itu, dalam surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) Rusda Mahmud terdapat keterangan yang menyatakan bahwa Rusda Mahmud adalah pernah divonis bersalah berdasarkan putusan pengadilan. “Di surat keterangan catatan kepolisian yang kami berikan kepada Bapak Rusda Mahmud menyatakan bahwa Rusda Mahmud adalah pernah divonis bersalah berdasarkan putusan negeri pengadilan nomor sekian-sekian...” tandas Aries.

Sementara itu, Kepala SMK Negeri 1  Wundulako Kolaka, Basotang, saat bersaksi untuk pasangan Rusda Mahmud-Bobby Alimuddin (pihak terkait) dalam keterangannya menerangkan latar belakang mengapa Kepala SMK Negeri 1 Wundulako Kolaka yang memberikan surat keterangan ijazah kepada Rusda. Menurutnya, SMK Negeri 1 Wundulako dahulunya bernama STM Swasta Kolaka. Dalam perjalanan sejarahnya, sebelum bernama SMK Negeri 1  Wundulako sekarang ini, pernah terjadi 4 kali perubahan nama, yaitu STM Swasta Kolaka, STM PGRI Swasta Kolaka, SMK PGRI Swasta Kolaka di Wundulako dan terakhir SMK Negeri 1 Wundulako. “Terakhir, tahun 2008 tanggal 1 Januari dinegerikan menjadi SMK Negeri 1 Wundulako,” terang Basotang.

Selanjutnya, mengenai surat keterangan ijazah yang bernomor induk 500 atas nama Rusda, Basotang menyatakan dasar yang digunakannya adalah buku induk STM Swasta Kolaka tahun 1978 sampai 1981 yang sekarang masih ada. ”Berdasarkan fakta yang saya miliki itulah sebabnya sehingga saya membuat suatu keterangan bahwa ijazah nomor induk 500 atas nama Rusda alias Rusda Mahmud, saya nyatakan dalam pernyataan itu adalah benar-benar milik Rusda Mahmud,” tandas Basotang.

STM Swasta Kolaka pada pada saat itu, tambah Basotang, statusnya baru terdaftar, sehingga tidak diizinkan melaksanakan ujian negara (sekarang ujian nasional) sendiri. Kemudian ujian negara STM Swasta Kolaka bergabung dengan SMK Negeri 1 Raha. “Oleh karena itu di ijazah menjelaskan bahwa yang bertanda tangan di ijazah itu adalah Kepala STM Negeri Raha tetapi kepemilikan ijazah itu adalah siswa STM Swasta Kolaka,” tandas Basotang. (Nur Rosihin Ana)
readmore »»  

Mengembalikan Kedaulatan Negara Atas Migas

Catatan Perkara MK

Pimpinan Pusat Muhammadiyah bersama sejumlah organisasi massa (ormas) dan tokoh nasional, mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas (UU Migas) ke Mahkamah Konstitusi (MK), kamis (29/3/2012) siang. Ormas-ormas dimaksud yaitu: Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia, Pimpinan Pusat Persatuan Ummat Islam, Pimpinan Pusat Syarikat Islam Indonesia, Pimpinan Pusat/Lajnah Tanfidziyah Syarikat Islam, Pimpinan Pusat Persaudaraan Muslimin Indonesia, Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-Islamiyah, Pimpinan Besar Pemuda Muslimin Indonesia, Al Jami’yatul Washliyah, dan Solidaritas Juru Parkir, Pedagang Kaki Lima, Pengusaha, dan Karyawan (SOJUPEK). Sedangkan Pemohon perorangan yaitu: K.H. Achmad Hasyim Muzadi, H. Amidhan, Komaruddin Hidayat, Eggi Sudjana, Marwan Batubara, Fahmi Idris, Moch. Iqbal Sullam, H. Ichwan Sam, H. Salahuddin Wahid, Nirmala Chandra Dewi M, HM. Ali Karim OEI, Adhi Massardi, Ali Mochtar Ngabalin, Hendri Yosodiningrat, Laode Ida, Sruni Handayani, Juniwati T. Masgehun S, Nuraiman, Sultana Saleh, Marlis, Fauziah Silvia Thalib, King Faisal Sulaiman, Soerasa, BA, Mohammad Hatta, M. Sabil Raun, Edy Kuscahyanto, Yudha Ilham, Joko Wahono, Dwi Saputro Nugroho, A.M Fatwa, Hj. Elly Zanibar Madjid, dan Jamilah.

Para Pemohon mengujikan Pasal 1 angka 19 dan 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (2), Pasal 13 dan Pasal 44 UU Migas. Menurut para Pemohon, Pasal 1 angka 19 dan 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 dan Pasal 44 UU Migas bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945. Kemudian Pasal 11 ayat (2) UU Migas bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 20A, dan Pasal 33 ayat (3)  UUD 1945.

Para Pemohon mendalilkan, pembentukan UU Migas adalah desakan internasional untuk mereformasi sektor energi khususnya Migas. Reformasi sektor energi antara lain menyangkut (1) reformasi harga energi dan (2) reformasi kelembagaan pengelola energi. Reformasi energi bukan hanya berfokus pada upaya pencabutan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), tetapi dimaksudkan untuk memberikan peluang besar kepada korporasi internasional untuk merambah bisnis migas di Indonesia. Sehingga monopoli pengelolaan Migas melalui Badan Usaha Milik Negara (Pertamina) yang pada saat berlakunya UU No. 8 Tahun 1971 menjadi simbol badan negara dalam pengelolaan migas menjadi berpindah ke konsep oligopoli korporasi dikarenakan terbentuknya UU Migas.

Pengelolaan Migas sejak berlakunya UU Migas menggunakan sistem Kontrak Kerja Sama (KKS) atau disebut juga sebagai Kontrak Karya. Ini merupakan suatu bentuk terbuka (open system) yang dianut sejak Kuasa Pertambangan diserahkan kepada Pemerintah cq. Menteri ESDM sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 6 UU Migas.

Pasal 1 angka 19 UU Migas mengatur bahwa ”Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerjasama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Frasa ”bentuk kontrak kerja sama lain” dalam Pasal 1 angka 19 UU Migas telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pemaknaan kontrak lainnya tersebut. Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selain itu frasa “dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama” menunjukan adanya penggunaan sistem kontrak dalam pengendalian pengelolaan migas yang multitafsir tersebut. Keadaan yang demikian ini maka akan melekat asas-asas hukum kontrak yang bersifat umum yang berlaku dalam hukum kontrak yakni asas keseimbangan dan asas proporsionalitas kepada negara.

BP Migas Bukan Operator

Lahirnya Badan Pelaksana Migas (BP Migas)  adalah atas perintah Pasal 4 ayat (3) UU Migas yang menyatakan ”Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 23” menjadikan konsep Kuasa Pertambangan menjadi kabur (obscuur). Hal ini dikarenakan BP Migas yang bertugas mewakili negara untuk mengontrol cadangan dan produksi migas sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 44 UU Migas.

BP Migas bukan operator (badan usaha) namun hanya berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN), sehingga kedudukannya tidak dapat melibatkan secara langsung dalam kegiatan eksplorasi dan produksi migas. BP Migas tak punya sumur, kilang, tanker, truk pengangkut, dan SPBU, serta tidak bisa menjual minyak bagian negara sehingga tak bisa menjamin keamanan pasokan BBM/BBG dalam negeri. Ini membuktikan bahwa kehadiran BP Migas menbonsai Pasal 33  ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dan menjadikan makna ”dikuasai negara” yang telah ditafsirkan dan diputuskan oleh Mahkamah menjadi kabur dikarenakan tidak dipenuhinya unsur penguasaan negara yakni mencakup fungsi mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi secara keseluruhan, hanya menjadi sebuah ilusi konstitusional.

Kedudukan BP Migas yang mewakili pemerintah dalam kuasa pertambangan tidak memiliki Komisaris/pengawas. Padahal BP Migas adalah BHMN, jelas ini berdampak kepada jalannya kekuasaan yang tidak terbatas dikarenakan secara struktur kelembagaan ini menjadi cacat. Hal ini berdampak kepada cost recovery tidak memiliki ambang batas yang jelas. Kekuasaan yang sangat besar tersebut akan cenderung korup terbukti ketika data dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan menunjukkan bahwa selama 2000-2008 potensi kerugian negara akibat pembebanan cost recovery sektor migas yang tidak tepat mencapai Rp 345,996 Triliun rupiah per tahun atau 1,7 milliar tiap hari. Pada pemeriksaan semester II-2010, BPK kembali menemukan17 kasus ketidaktepatan pembebanan cost recovery yang pasti akan merugikan negara yang tidak sedikit.

Pasal 3 huruf b UU Migas menyatakan  ”Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Migas dan Gas Bumi bertujuan:.....(b) menjamin efektifitas pelaksanaan dan pengendalian usaha dan mengolahan, pengangkutan, penyimpangan dan niaga secara akuntabel yang diselenggaraka­n melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat dan transparan”. Pasal ini menunjukan bahwa walaupun Mahkamah telah memutus Pasal 28 ayat (2) tentang penetapan ”Harga Bahan Bakar Minyak dan Harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.” Tetapi Pasal 3 huruf b yang merupakan jantung dari UU tersebut belum dibatalkan secara bersamaan dengan putusan Mahkamah Nomor 002/PUU-I/2003. Oleh sebab itu para Pemohon merasa Mahkamah harus membatalkan Pasal tersebut.

Pasal 9 UU Migas menyatakan bahwa ”(1) Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Angka 2 dapat dilaksanakan oleh: a. Badan Usaha Milik Negara; b. Badan Usaha Milik Daerah; c. Koperasi; usaha kecil; dan badan usaha swasta; (2) Bentuk Usaha Tetap hanya dapat melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu;”. Frasa ”dapat” didalam Pasal 9 jelas telah bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3), dikarenakan Pasal ini menunjukan bahwa Badan Usaha Milik Negara (Pertamina) hanya menjadi salah satu pemain saja dalam pengelolaan migas. Jadi, BUMN harus bersaing di negaranya sendiri untuk dapat mengelola migas. Konstruksi demikian dapat melemahkan bentuk penguasaan negara terhadap sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak.

Pasal 10 UU Migas menyatakan bahwa ”(1) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melakukan usaha hulu dilarang melakukan Kegiatan Usaha Hilir; (2) Badan Usaha yang melakukan Kegiatan Usaha Hilir tidak dapat melakukan usaha Hulu”. Pasal 13 UU Migas menyatakan bahwa ”(1) Kepada setiap Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap hanya diberikan 1 (satu) wilayah kerja; (2) dalam hal badan usaha atau Bentuk Usaha Tetap mengusahakan beberapa wilayah kerja, harus dibentuk badan hukum yang terpisah untuk setiap wilayah kerja.” Norma-norma ini jelas mengurangi kedaulatan negara atas penguasaan sumber daya alam (dalam hal ini Migas) dikarenakan Pertamina harus melakukan pemecahan organisasi secara vertikal dan horizontal (unbundling) sehingga menciptakan manajemen baru yang mutatis mutandis akan menentukan cost dan profitnya masing-masing. Korban dari konsepsi ini adalah adanya persaingan terbuka dan bagi korporasi asing adalah suatu lahan investasi yang menguntungkan, namun merugikan bagi rakyat.

Pengaturan yang terdapat di dalam Pasal 11 ayat (2) UU Migas telah mengingkari Pasal 1 ayat (2), Pasal 20A dan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945. Sebab memosisikan DPR yang hanya dijadikan sebagai tembusan dalam setiap KKS maka jelas telah mengingkari kedaulatan rakyat Indonesia. Selain itu, dengan sekadar pemberitahuan tertulis kepada DPR tentang adanya KKS dalam Minyak dan Gas Bumi yang sudah ditandatangani, tampaknya hal itu telah mengingkari keikutsertaan rakyat sebagai pemilik kolektif sumber daya alam, dalam fungsi toezichthoudensdaad yang ditujukan dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh Negara atas sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat.

Kedaulatan Migas

Kesimpulannya, UU Migas telah mendegradasikan kedaulatan negara, kedaulatan ekonomi, dan telah ”mempermainkan’ kedaulatan hukum sehingga menjadikan suatu UU yang dzalim terhadap bangsa Indonesia sendiri. Migas yang merupakan salah satu sumber energi yang sejak dahulu diharapkan untuk dapat memberikan kesejahteraan umum, dan dipergunakan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi dikerdilkan dengan dogma ’pacta sunct survanda’. Negara seharusnya berdaulat atas kekayaan mineral dalam perut bumi Indonesia ternyata harus tersandera dan terdikte oleh tamu yang seharusnya patuh dengan aturan tuan rumah. Kontrak yang dilakukan oleh Pemerintah dengan korporasi-korporasi internasional tak ubahnya seperti membentuk konstitusi di atas UUD 1945 yang merupakan konstitusi bagi seluruh bangsa Indonesia.

Para Pemohon menuntut kepada Mahkamah agar mengabulkan seluruh permohonan, yaitu menyatakan Pasal 1 angka 19 dikarenakan frasa ”Bentuk Kerja Sama lain”, Pasal 3 huruf b dikarenakan frasa ”yang diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan”, Pasal 6 dikarenakan frasa ”dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama” UU Migas bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1, Pasa 28H ayat (1), Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Kemudian Menyatakan Pasal 1 angka 23,Pasal 4 ayat (3), Pasal 9 dikarenakan frasa ”dapat”, Pasal 10, Pasal 13 dan Pasal 44 UU Migas bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 dan tidak  mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selain itu, menyatakan Pasal 11 ayat (2) UU Migas bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 20A, dan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Terakhir, menyatakan UU Migas tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan.

Nur Rosihin Ana
readmore »»  

Senin, 16 April 2012

PHPU Kab. Sorong: Administrasi Distrik Moraid Masih Dijalankan Pemkab Sorong

Perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) Kabupaten Sorong kembali digelar di Mahkamah Konstitusi Senin (16/4/2012) sore. Persidangan untuk perkara nomor 14/PHPU.D-X/2012 mengagendakan pembuktian berupa mendengar keterangan ahli dan saksi. Pasangan Stefanus Malak-Suka Harjono selaku Pihak Terkait menghadirkan dua orang ahli yaitu HM. Laica Marzuki dan Maruarar Siahaan, serta menghadirkan beberapa saksi, antara lain mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Endang Sulastri.

M. Laica Marzuki di hadapan panel hakim konstitusi yang diketuai M. Akil Mochtar didampingi dua anggota panel Muhammad Alim dan Hamdan Zoelva, memaparkan tiga postulat. Pertama mengenai kontradiktif permohonan yang sudah dicabut oleh pasangan Zeth Kadakolo-Ibrahim Pokko selaku Pemohon perselisihan Pemilukada Kab. Sorong. Kedua, pasangan Zeth Kadakolo-Ibrahim Pokko tidak mengajukan perolehan hasil suaranya yang dianggap benar. “Pemohon saudara Zeth Kadakolo dan Ibrahim Pokko tidak mengemukakan hasil penghitungan suaranya yang dipandang benar,” kata Laica.

Ketiga, mengenai Distrik Moraid yang diperselisihkan Pemohon. Menurut Laica, Putusan MK Nomor 172/PUU/VII/2009 tanggal 25 Januari 2010 menyatakan bahwa Distrik Moraid merupakan cakupan wilayah Kab. Tambrauw. Namun demikian, administrasi pemerintahan sehari-hari di Distrik Moraid hingga saat ini masih dijalankan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sorong. Bahkan Pemkab Tambrauw dalam APBD Tahun 2011/2012 belum memasukkan Distrik Moraid dalam anggaran rutin kegiatan pembangunan Kab. Tambrauw. Selain itu, masyarakat Distrik Moraid menolak berpartisipasi dalam Pemilukada Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua Barat Tahun 2011 yang diselenggarakan oleh KPU Kab. Tambrauw. Kemudian, perolehan suara Pemohon di Distrik Moraid tidak signifikan, yaitu 4 suara, sedangkan perolehan Pihak Terkait sebanyak 2.063 suara. “Tidak harus kiranya diadakan penghitungan suara ulang dalam seluruh distrik Kabupaten Sorong,” tandas Laica.

Asisten I Setda Kab. Sorong, Izaak Kambuaya, dalam kesaksianya menerangkan Distrik Moraid yang secara administrasi masuk dalam Kab. Tambarauw, tetapi faktanya masih dijalankan oleh Kab. Sorong. Menurutnya, pihaknya telah melakukan beberapa kali sosialisasi mengenai Distrik Moraid sejak terbitnya putusan MK Nomor 172/PUU/VII/2009 tanggal 25 Januari 2010. “Masyarakat Distrik Moraid cenderung tidak menerima sosialisasi yang kami lakukan, aspirasi penolakan dilakukan dengan tertulis yang kami sudah sampaikan ke gubernur, tembusan ke Mahkamah Konstitusi, Departemen Dalam Negeri kemudian Komisi II DPR RI, Komisi Pemilihan Umum dan Bawaslu” terang Izaak. (Nur Rosihin Ana)
readmore »»  

Kamis, 12 April 2012

UU Intelijen Harus Berikan Kepastian Tidak Disalahgunakan

UU Intelijen Negara harus memberikan kepastian bahwa organisasi dan kegiatan intelijen tidak dapat disalahgunakan justru untuk mengancam keselamatan warga negara. Sebab, tujuan dari adanya organisasi intelijen negara tidak semata-mata untuk keamanan negara, tetapi juga adalah untuk keamanan warga negara itu sendiri. “Oleh karena itu, sesungguhnya yang harus diatur dalam UU Intelijen Negara adalah membatasi dari sisi organisasinya, karena ini sangat penting mengingat sifat dan karakter intelijen yang bersifat tertutup, rahasia dan mengutamakan kecepatan sehingga perlu adanya aturan dan batasan yang jelas,” kata Dr. Muhammad Ali Syafa’at, SH, MH saat didaulat sebagai ahli Pemohon dalam sidang nomor 7/PUU-X/2012 mengenai uji materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara (UU Intelijen Negara) yang digelar di Mahkamah Konstitusi, Kamis (12/4/2012) siang. Persidangan dengan agenda mendengarkan keterangan Ahli dari Pemohon dan Pemerintah ini dilaksanakan oleh Panel Hakim Moh. Mahfud MD (ketua panel) didampingi tujuh anggota, Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva dan Anwar Usman.
Pada persidangan kali kelima ini, selain Syafa’at, Pemohon juga menghadirkan Jaleswari Pramodhawardani, M.Hum. Sedangkan pihak Pemerintah menghadirkan Prof. Dr. Arief Hidayat, SH, MS dan Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, SH, M.Hum.
Lebih lanjut Syafa’at menyatakan, secara umum fungsi intelijen adalah pengumpulan informasi, analisis informasi, operasi rahasia dan kontra-intelijen. Semuanya terkait dengan informasi, yaitu bagaimana memberikan informasi sebagai bahan pengambilan keputusan. Dalam hal tertentu intelijen bisa melakukan operasi rahasia dan tindakan kontra-intelijen. Hal ini pun sifatnya terbatas, karena operasi rahasia hanya bisa dilakukan di luar negeri. Kemudian, kontra-intelijen hanya bisa dilakukan terhadap aktivitas intelijen asing yang ada di dalam negeri maupun di luar negeri. “Sehingga tidak bisa dilakukan terhadap warga negara,” terangnya.  
Dalam UU Intelijen Negara, ada tiga fungsi intelijen, yaitu penyelidikan, pengamanan dan penggalangan. Dari ketiga fungsi ini, hanya satu yang terkait dengan informasi, yaitu fungsi penyelidikan. Sedangkan pengamanan dan penggalangan, tidak ada kriteria yang jelas mengenai kedua hal ini, sehingga di dalamnya bisa termasuk operasi rahasia dan tindakan kontra-intelijen. Fungsi pengamanan dan penggalangan pada ketentuan Pasal 6 UU Intelijen Negara, tidak memberikan batasan apakah hanya boleh dilakukan di luar negeri, atau hanya boleh dilakukan terhadap warga negara. “Kalau kita melihat pada definisi ancaman pada Pasal 1 angka 4 UU Intelijen Negara, maka itu boleh dilakukan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, baik terhadap warga negara maupun terhadap intelijen asing yang melakukan aktivitas intelijen di dalam negeri,” papar Syafa’at.
Sementara itu, ahli yang dihadirkan Pemerintah, Edward OS Hiariej, dalam keterangannya menyatakan, substansi UU Intelijen Negara dalam konteks hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan negara. Dalam hukum pidana, asas legalitas adalah salah satu asas yang sangat fundamental. Asas legalitas mempunyai dua fungsi yaitu fungsi melindungi, melindungi individu dari tindakan sewenang-wenang negara terhadap warga negaranya. Di sisi lain asas legalitas mempunyai fungsi pencegahan, dalam arti bahwa dalam batas-batas yang ditentukan oleh UU, negara mempunyai otoritas dan kewenangan untuk melakukan suatu tindakan. Sebagai ilustrasi yaitu UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Untuk melindungi kepentingan negara, laporan intelijen dapat dijadikan sebagai bukti permulaan yang cukup, tetapi juga untuk menghindari kesewenang-wenangan. “Jadi, ada keseimbangan peletakan antara kepentingan individu dan kepentingan negara,” terang Eddy Hiariej.  
Lebih lanjut pakar hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) ini menegaskan bahwa ketentuan Pasal 26, Pasal 44 dan Pasal 45 UU Intelijen Negara dirumuskan secara jelas dan tidak bersifat multitafsir. Ketentuan Pasal 26 UU UU Intelijen Negara mengatur tentang adresat (subjek hukum) yang dilarang untuk melakukan suatu perbuatan. Sementara Pasal 44 dan Pasal 45 mengatur tentang kualifikasi perbuatan yang dapat dipidana, dengan perbedaan bentuk kesalahan. Ketentuan Pasal 26, juncto Pasal 44 dan Pasal 45 tidaklah dipisahkan dari ketentuan Pasal 25 yang mengkategorikan rahasia intelijen sebagai rahasia negara. Dengan demikian, ketentuan Pasal 44 dan Pasal 45 justru lebih memperjelas ketentuan larangan yang memuat mengenai adresat yang bisa dipidana dalam Pasal 26, yang substansi dari Pasal 26 itu terdapat dalam Pasal 25. “Tegasnya, ketentuan Pasal 25 dan Pasal 26 juncto Pasal 44 dan Pasal 45 UU a quo harus dibaca dalam satu nafas sehingga memenuhi prinsip lex certa dan tidak bersifat multitafsir sehingga prinsip lex scripta terpenuhi dalam perumusan norma tersebut,” tandas Eddy.
Untuk diketahui, Uji konstitusionalitas materi UU Intelijen Negara ini diajukan oleh Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL); Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM); Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI); Perkumpulan Masyarakat Setara; Aliansi Jurnaslis Independen; Mugiyanto., dkk. Materi UU Intelijen Negara yang diujikan yaitu Pasal 1 ayat (4), ayat (8), Pasal 4, Pasal 6 ayat (3), Pasal 9 huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, Pasal 22 ayat (1), Pasal 25 ayat (2), ayat (4), Pasal 26, Pasal 29 huruf d, Penjelasan Pasal 29 huruf d, Pasal 31, Penjelasan Pasal 32 ayat (1), Pasal 34, Penjelasan Pasal 34 ayat (1), Pasal 36, Pasal 44 dan Pasal 45. Menurut para Pemohon, Pasal 6 ayat (3) sepanjang frasa “dan/atau Pihak Lawan yang merugikan kepentingan dan keamanan nasional” bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Frasa tersebut melahirkan sejumlah definisi mengenai ancaman, keamanan, kepentingan nasional, dan pihak lawan, sehingga mudah dan potensial disalahgunakan oleh intelijen negara maupun kepentingan kekuasaan untuk melakukan tindakan represif terhadap warga negara. (Nur Rosihin Ana).
readmore »»  

Rabu, 11 April 2012

Sengketa Pemilukada Kab. Bekasi: Mahkamah Tolak Permohonan Sa’duddin-Jamal dan Darip-Jejen

Persidangan perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) Kabupaten Bekasi tahun 2012 di Mahkamah Konstitusi (MK), memasuki tahap pengucapan putusan. Mahkamah dalam amar putusannya menyatakan menolak permohonan yang diajukan oleh pasangan Sa’duddin-Jamal Lulail Yunus (nomor urut 2) dan pasangan M. Darip Mulyana-Jejen Sayuti (nomor urut 3).

“Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD saat membacakan putusan Nomor 9/PHPU.D-X/2012 dan putusan 10/PHPU.D-X/2012 dalam sidang yang digelar pada Rabu (11/4/2012) di ruang sidang pleno gedung MK.

Pendapat Mahkamah dalam putusan nomor 9/PHPU.D-X/2012 menyatakan, pasangan Sa’duddin-Jamal Lulail Yunus tidak mempermasalahkan kesalahan hasil penghitungan suara. Masalah yang mengundang keberatan pasangan Sa’duddin-Jamal Lulail Yunus yaitu mengenai proses Pemilukada Kab. Bekasi Tahun 2012 yang menurut pasangan ini berlangsung tidak demokratis. Hal ini ditandai dengan adanya berbagai bentuk kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif yang dilakukan oleh Termohon Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kab. Bekasi dan Pihak Terkait pasangan Neneng Hasanah Yasin-Rohim Mintareja.

Namun, berdasarkan alat bukti tertulis, keterangan saksi yang diajukan oleh Sa’duddin-Jamal Lulail Yunus, maupun oleh KPU Kab. Bekasi (Termohon) dan pasangan Neneng Hasanah Yasin-Rohim Mintareja (Pihak Terkait), Mahkamah berpendapat, KPU Kab. Bekasi dan pasangan Neneng Hasanah Yasin-Rohim Mintareja tidak terbukti telah melakukan pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif yang secara signifikan mempengaruhi peringkat perolehan suara masing-masing pasangan calon. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, semua dalil yang diusung pasangan Sa’duddin-Jamal Lulail Yunus tidak terbukti menurut hukum.

Sedangkan pendapat Mahkamah dalam putusan 10/PHPU.D-X/2012 menyatakan, pasangan M. Darip Mulyana-Jejen Sayuti mendalilkan adanya politik uang (money politic) berupa pembagian uang yang dilakukan oleh Neneng Hasanah Yasin-Rohim Mintareja di 21 kecamatan yang ada di Kab. Bekasi. Menurut penilaian Mahkamah, bukti-bukti yang diajukan mengenai pembagian uang yang dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif yang secara signifikan mempengaruhi peringkat perolehan suara masing-masing pasangan calon, tidak cukup meyakinkan bahwa telah terjadi pelanggaran. Sebagian besar bukti-bukti yang diajukan oleh M. Darip Mulyana-Jejen Sayuti berupa surat pernyataan bukanlah akta otentik yang memenuhi nilai pembuktian yang sempurna, melainkan hanya berupa akta di bawah tangan yang dibuat dan ditandatangani sendiri oleh yang bersangkutan, yang tidak diterangkan di bawah sumpah di persidangan dan tidak dibuat di hadapan pejabat yang berwenang, sehingga merupakan surat biasa yang tidak mememiliki kekuatan pembuktian kecuali disertai dengan alat bukti lain. Demikian juga dengan bukti-bukti lain seperti laporan kepada Panwaslukada, rekaman video dan foto, serta saksi-saksi, tidaklah cukup meyakinkan bahwa telah terjadi pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif.

Di sisi lain, bukti-bukti yang diajukan Neneng Hasanah Yasin-Rohim Mintareja ternyata menunjukkan tidak adanya signifikansi dengan perolehan suara masing-masing pasangan calon. Jikapun ada pelanggaran, hal itu tidak terbukti secara signifikan terhadap peringkat perolehan suara masing-masing pasangan calon. Sebab selisih perolehan suara M. Darip Mulyana-Jejen Sayuti dan perolehan suara Neneng Hasanah Yasin-Rohim Mintareja sejumlah 138.749 suara. Selain itu, pelanggaran yang didalilkan, jika pun ada dan terjadi, hanyalah bersifat sporadis semata yang tidak bisa dibuktikan pengaruhnya terhadap pilihan pemilih. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil M. Darip Mulyana-Jejen Sayuti tidak terbukti. (Nur Rosihin Ana)
readmore »»  

Selasa, 10 April 2012

Pasangan Anton-Abbas dan Bustam-Tajuddin Minta Pemungutan Suara Pemilukada Kolaka Utara Diulang

Pemungutan suara pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) Kabupaten Kolaka Utara (Kolut), Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2012 yang digelar pada 18 Maret 2012, menyisakan sengketa. Pasangan calon Anton-H. Abbas (nomor urut 2) dan pasangan bakal calon H. Bustam AS-H. Tajuddin mengajukan perselisihan hasil Pemilukada Kolut ke Mahkamah Konstitusi. Kedua pasangan tersebut dalam permohonannya keberatan dengan berita acara rekapitulasi hasil penghitungan suara Pemilukada yang diterbitkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Kolaka Utara, dan Keputusan KPU Kolut mengenai penetapan pasangan calon bupati/wakil bupati terpilih.

Pasangan Anton-Abbas mendalilkan, Pemilukada Kolut diwarnai pelanggaran-pelanggaran yang meliputi 5 (lima) hal yaitu: adanya money politic, pelibatan birokrasi/PNS, keabsahan ijazah pasangan Rusda Mahmud-Bobby Alimuddin (pihak terkait), pihak terkait sebagai terpidana serta kelalaian Termohon dalam verifikasi faktual.

“Pemohon sangat keberatan terhadap hasil penghitungan suara Termohon (KPU Kolut) dengan dasar pemilihan umum kepala daerah Kabupaten Kolaka Utara Tahun 2012 yang dilaksanakan oleh Termohon terdapat kecurangan dan pelanggaran-pelanggaran yang sangat mendasar dan menciderai prinsip-prinsip demokrasi yaitu dalam bentuk pelanggaran money politic secara massif, terstruktur dan sistematis yang dilakukan oleh pasangan calon nomor urut 3 atas nama pasangan Rusda Mahmud-Bobby Alimuddin.”

Demikian disampaikan oleh Herman Kadir saat bertindak sebagai kuasa hukum pasangan Anton-Abbas dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi Senin (9/4/2012). Persidangan dengan agenda pemeriksaan pendahuluan untuk perkara 12/PHPU.D-X/2012 yang diajukan oleh Anton-Abbas, dan perkara 13/PHPU.D-X/2012 yang diajukan oleh Bustam-Tajuddin, ini dilaksanakan oleh panel hakim konstitusi yang terdiri Achmad Sodiki sebagai ketua panel, didampingi dua anggota, Harjono dan Ahmad Fadlil Sumadi.

Lebih lanjut Herman Kadir mendalilkan, pelanggaran money politic yang sifatnya massif dilakukan oleh pasangan Rusda Mahmud-Bobby Alimuddin (Syuhada) di seluruh kecamatan di Kolut, yaitu 15 kecamatan. Melalui Herman, Anton-Abbas juga mendalilkan pasangan Syuhada tidak memenuhi syarat sebagai calon berkaitan dengan pendidikan minimal pasangan calon, yaitu SLTA/sederajat sebagaimana ketentuan dalam Pasal 58 huruf f UU Nomor 12 TAHUN 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Anton-Abbas meragukan keabsahan ijazah SLTA yang digunakan Rusda Mahmud untuk mencalonkan diri. Memperkuat dalilnya, Anton-Abbas membuktikan dengan adanya Surat Keterangan Nomor 421.5/079/2010 yang dikeluarkan oleh SMK Negeri 2 Raha, tanggal 16 Juni 2010 yang yang menjelaskan bahwa Nomor Induk 500 adalah Nomor Induk atas Salim bukan atas nama Rusda Mahmud.

Selain itu, Anton-Abbas mendalilkan KPU Kolut (Termohon) lalai melakukan verifikasi faktual dalam penetapan pasangan Syuhada sebagai pasangan calon. Menurut Anton-Abbas, pasangan Syuhada tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 58 UU Pemda. Rusda Mahmud menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keabsahan persyaratan pencalonan yaitu: adanya Surat Keterangan yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Negeri Kolaka pada 4 April 2005 yang menyatakan bahwa seolah-olah Rusda Mahmud tidak sedang dicabut hak pilihnya, tidak pernah dihukum penjara karena tindak pidana makar dan tidak pernah dijatuhi pidana penjara. Namun berdasarkan Putusan Nomor 42/PID.B/2001/PN/KLK, yang bersangkutan dijatuhi hukuman penjara terkait perkara psikotropika dan senjata tajam (UU No. 5 tahun 1997 dan UU Drt. No. 12 tahun 1951 tentang Senjata Tajam. “Yang bersangkutan pernah melakukan tindak pidana dan pernah dihukum lima tahun,” terang Herman.

Anton-Abbas melalui Herman Kadir meminta Mahkamah menyatakan batal demi hukum (viod ab initio) berita acara rapat pleno KPU Kolut tanggal 24 Maret 2012, dan keputusan KPU Kolut Nomor 19 Tahun 2012 mengenai penetapan hasil rekapitulasi suara Pemilukada Kolut tahun 2012. Kemudian, menyatakan tidak sah dan batal demi hukum keputusan KPU Kolut Nomor 20 Tahun 2012 tentang penetapan pasangan calon terpilih. Memerintahkan KPU Kabupaten Kolaka Utara untuk menyelenggarakan pemungutan suara ulang (PSU). Terakhir, mendiskualifikasi pasangan Rusda Mahmud-Bobby Alimuddin dalam PSU. “Memerintahkan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Kolaka Utara untuk menyelenggarakan pemungutan suara ulang yang diikuti oleh seluruh pasangan calon bupati dan wakil bupati dalam Pemilihan Umum Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kolaka Utara kecuali calon nomor urut tiga atas nama Rusda Mahmud-Bobby Alimuddin,” tandas Herman.

Sementara itu, pasangan bakal calon Bustam-Tajuddin melalui kuasa hukumnya, Muh. Burhanuddin, menyatakan Bustam-Tajuddin memenuhi persyaratan sebagai calon peserta Pemilukada Kolut. Namun, dengan alasan dukungan ganda dari partai politik (parpol) pengusung pasangan calon, akhirnya KPU Kolut tidak meloloskan pasangan ini. Bustam-Tajuddin mendalilkan KPU Kolut telah memelanggara jadwal tahapan Pemilukada, terutama jadwal perbaikan kelengkapan syarat pengajuan calon bagi parpol atau gabungan parpol. “Termohon melanggar jadwal tahapan yang telah dibuatnya dan tidak memberikan ruang atau kesempatan bagi bakal pasangan calon Pemilukada Kabupaten Kolaka Utara 2012 untuk melakukan perbaikan dan hal itu menghalangi hak asasi Pemohon untuk menjadi peserta” terang Burhanuddin.

Senada dengan Anton-Abbas, Bustam-Tajuddin juga meminta mahkamah membatalkan keputusan KPU Kolut Nomor 19 Tahun 2012 dan Nomor 20 Tahun 2012. Meminta Mahkamah agar KPU Kolut melakukan verifikasi administrasi dan verifikasi faktual terhadap bakal pasangan calon yang diusulkan parpol atau gabungan parpol. Kemudian meminta pelaksanaan PSU. Bustam-Tajuddin juga meminta Mahkamah mendiskualifikasi pasangan Syuhada. (Nur Rosihin Ana)
readmore »»  

Rabu, 04 April 2012

Pembelian Saham Divestasi PT Newmont Nusa Tenggara Harus Dapat Persetujuan DPR

Sumber keuangan Pusat Investasi Pemerintah (PIP) sebagai Badan Layanan Umum (BLU) adalah dari APBN, dan keuntungan PIP masuk kategori pendapatan negara bukan pajak dan merupakan bagian dari penerimaan APBN. Kekayaan Badan Layanan Umum merupakan kekayaan negara yang tidak dipisahkan dan bagian yang tidak dipisahkan dari APBN.

Menurut pandangan DPR, proses pembelian saham divestasi PT NNT oleh PIP merupakan bentuk penyertaan modal. Hal ini sebagaimana pengertian Pasal 24 ayat (2) dan (7) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. “Proses pembelian saham divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara oleh Pusat Investasi Pemerintah sebesar 7%, DPR RI berpandangan, ini termasuk penyertaan modal, sehingga berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2003, mutlak mendapatkan persetujuan DPR RI.” Demikian Pandangan DPR yang disampaikan oleh anggota Komisi XI Arif Budimanta di persidangan Mahkamah Konstitusi Rabu (4/4/2012).

Sidang pleno untuk perkara nomor 2/SKLN-X/2012 mengenai Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) antara Presiden Republik Indonesia dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ini mengagendakan mendengarkan keterangan Ahli/Saksi dari Pemohon, Termohon I dan Termohon II (IV). Permohononan SKLN ini diajukan oleh Presiden melalui Menteri Keuangan dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sedangkan sebagai Termohon 1 yaitu DPR dan BPK sebagai Termohon II. Sebagaimana dalam persidangan sebelumnya, Pemerintah (Pemohon) dalam permohonannya menyatakan memiliki hak konstitusional untuk melakukan investasi dengan membeli 7% (tujuh persen) saham divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara (PT. NNT) tanpa melalui persetujuan DPR (Termohon I). Di sisi lain, DPR berpendapat, Pemerintah harus mendapat persetujuan DPR terlebih dahulu sebelum melakukan penyertaan modal.

Pengawasan Mutlak

Siswo Sujanto ahli yang dihadirkan BPK dalam keterangannya antara lain menyatakan keberadaan PIP di Kemenkeu saat ini sangat janggal. Alasanya, PIP sebagai BLU seharusnya bercirikan sebagai institusi pemerintah penyedia layanan publik yang tidak berorientasi pada profit. “Kenyataannya, sebaga lembaga investasi, PIP merupakan institusi yang berorientasi pada pemupukan keuntungan,” kata Siswo.
Menurutnya, pembelian saham divestasi PT NNT sebesar 7% oleh Pemerintah yang dilakukan oleh PIP, harus dituangkan dalam rencana bisnis dan anggaran PIP selaku BLU. Selanjutnya, rencana bisnis dan anggaran PIP selaku BLU sebagai bagian dari RKA-KL Kemenkeu harus dibahas dan disetujui oleh DPR. “Dengan demikian, pembelian saham PT NNT sebesar 7% oleh pihak Pemohon dalam hal ini dilakukan oleh PIP harus dibahas dan disetujui terlebih dahulu oleh DPR sebelum dilaksanakan,” tandasnya.  

Ahli BPK lainnya, Muchsan, dalam keterangannya menyatakan, pemeriksaan BPK yang dituangkan dalam Laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK yang menyatakan bahwa proses pembelian saham PT NNT tahun 2010 harus disetujui oleh DPR sesuai dengan kewenangan BPK sebagaimana diatur dalam Pasal 23E ayat (3) UUD 1945. Pembelian saham PT NNT sebesar 7% yang tidak atau belum ada persetujuan DPR, bertentangan dengan Pasal 20A ayat (1) UUD 1945.

Sementara itu, Frans Limahelu, ahli BPK, melihat perkara ini bukan perkara sengketa kewenangan lembaga negara. “Tapi hanya soal day to day atau housekeeping regulations,” kata Frans.

Anggito Abimanyu, ahli yang dihadirkan Mahkamah, dalam keterangannya, sebagai saksi sejarah sekaligus pelaku yang terlibat langsung dari proses awal divestasi PT NNT, Anggito sangat menyayangkan terjadinya SKLN divestasi PT NNT yang mengakibatkan terganggunya kepercayaan para pelaku usaha dan ketidakpastian iklim investasi khususnya di sektor pertambangan umum. “Saya juga sangat menyayangkan berlarutnya penyelesaian divestasi NNT hingga lebih dari satu tahun, hingga Indonesia telah kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendapatan negara, mensejahterahkan provinsi NTB dan kabupaten sekitar,” terang Anggito.

Menurutnya, alokasi dana investasi divestasi 7% saham NNT belum terinci dalam rencana kegiatan investasi, rencana bisnis dan anggaran PIP 2011. Kemudian, rincian belanja satuan kerja sub program PIP pada 2011 telah tercantum angka 1 trilyun rupiah. Sehingga dana tersebut belum mencukupi untuk pembelian 7% saham PT NNT. Lebih lanjut anggito menyatakan, proses pembelian saham PT NNT memerlukan persetujuan DPR. “Saya berpendapat bahwa proses pembelian 7% saham PT NNT oleh PIP masih memerlukan persetujuan dari komisi terkait, yaitu Komisi XI DPR RI sebagai bagian dari kelengkapan proses persetujuan APBN 2011,” tandas Anggito. (Nur Rosihin Ana)
readmore »»  

HM Laica Marzuki: Pembuat UU Minerba Bagai Menyila Dua Jenis Tanaman Dari Populasi Berbeda

Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik berdasarkan sistem desentralisasi yang diselenggarakan dengan otonomi yang seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yg oleh UU ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Konsep negara kesatuan meliputi pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah, namun secara dikhotomis membagi kewenangan pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 2008 menetapkan bahwa, urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama. Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak menggolongkan urusan pemerintahan berkenaan dengan pertambangan, mineral dan batubara sebagai urusan pemerintahan pusat.

Pasal 1 angka 29, UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) sepanjang frasa “tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan” dalam hal penentuan wilayah pertambangan (WP), pada nyatanya melintasi dua kewenangan pemerintahan yang berbeda, yaitu pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal ini bertentangan dengan prinsip pemerintahan desentralisasi.

“Pembuat UU Minerba bagai menyila dua jenis tanaman dari dua populasi yang berbeda,” kata HM Laica Marzuki saat bertindak sebagai ahli Pemohon dalam persidangan uji materi UU Minerba yang digelar di Mahkamah Konstitusi, Selasa (3/4/2012), di ruang pleno gedung MK. Sidang perkara yang teregistrasi dengan Nomor 10/PUU-X/2012 ini dimohonkan oleh Bupati Kutai Timur Ishan Noor. Materi UU Minerba yang diujikan Ishan Noor yaitu Pasal 1 angka 29, angka 30, angka 31, Pasal 6 ayat (1) huruf e, ayat (2), Pasal 9, Pasal 10 huruf b dan huruf c, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Penjelasan Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19.

Selain menghadirkan Prof. HM Laica Marzuki, Ishan Noor juga menghadirkan Ahli yaitu Prof. Dr. Muchsan, Dr. Indra Prawira, dan Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid. Muchsan dalam keterangannya menyatakan, frasa “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, berarti bahwa pengelolaan kekayaan alam tidak hanya wewenang pemerintah pusat saja, tetapi pemerintah daerah juga berhak mengelolanya. Oleh karena itu, penetapan yang menyatakan bahwa wilayah pertambangan tidak terikat dengan batasan wilayah administrasi pemerintahan, itu tidak sesuai dengan sistem pembagian wilayah NKRI sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 18 UUD 1945. Dalam UU Minerba, lanjutnya, pengelolaan minerba tetap di tangan pemerintah pusat. “Hal ini tidak sesuai dengan sistem desentralisasi yang menghendaki pemberian kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah,” lanjutnya.

Indra Prawira dalam keterangannya menyatakan, istilah hukum dalam UUD 1945 tidak bersifat statis, melainkan berkembang sesuai dengan zaman. Perubahan makna, istilah konstitusi dapat terjadi karena penafsiran legislator pembentuk UU, lembaga peradilan seperti MK, atau karena praktik ketatanegaraan. Indra menyontohkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menjadi dasar UU Minerba yang menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Istilah “bumi” dalam pemakaian bahasa sehari-hari, menunjuk pada nama sebuah planet yang berbentuk bulat seperti bola. “Pertanyaannya, apakah founding fathers kita menggunakan istilah bumi dengan makna seperti sekarang ini?” tanya Indra.

Menurutnya para founding fathers tidak memaknai “bumi” seperti di atas. Sebab tidak mungkin para founding fathers bermaksud menguasai seluruh bumi. “Meskipun menunjuk pada “bumi” secara keseluruhan, tapi yang dimaksud tentulah menunjuk pada sebagain wilayah di muka bumi ini yang dihuni oleh bangsa Indonesia,” terangnya.

Pengertian “bumi”, lanjutnya, sekarang sudah berubah. Indra menyayangkan saat perubahan UUD 1945 RI, istilah “bumi” tidak dikoreksi dan disesuaikan dengan makna bumi yang dipahami saat ini. Menurutnya, makna “bumi” dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yaitu “tanah dan kekayaan alam yang ada di dalamnya”. “Jadi, definisi ‘bumi dan air’ dalam UUD 1945 mengandung makna, baik sebagai wadah maupun sumber daya alam,” paparnya.

Menurut Indra, dari perspektif hukum tata ruang dan sumber daya alam, Frasa “dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan” dalam UU Minerba bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Bahkan, menurutnya, bukan hanya frasa tersbut yang bertentangan dengan UUD 1945. “Tetapi seluruh pengertian Pasal 1 angka 29 bertentangan dengan UUD 1945,” pungkasnya.    
          
Sementara itu, Ryaas Rasyid dalam keterangannya menyatakan, kata “seluas-luasnya” dalam ketentuan mengenai pemerintahan daerah dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945, dapat dimaknai sebagai jaminan bahwa wewenang pemerintahan yang melekat pada daerah otonom tidak syogianya dilucuti dengan dalih apapun melalui penarikan kembali kewenangan dari daerah otonom ke pemerintahan pusat. “Kalau ada argumen yang merujuk Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tentang otoritas negara dalam menguasai ‘Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat’, sebagai alasan untuk membenarkan kebijakan resentralisasi atas sektor tambang, mineral dan batubara, karena pemerintah pusat dipandang sebagai satu-satunya institusi yang dapat bertindak atas nama negara, maka jelaslah bahwa argumen itu salah kaprah,” tandas Ryaas. (Nur Rosihin Ana).
readmore »»  
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More