Harmoni...

Jakarta, September 2010

Harmoni...

Jakarta, Desember 2010

Belahan jiwa

......

...Belahan jiwa...

......

ceria...

Jakarta, 8 Januari 2012

Nora Uzhma Naghata

Bogor, 24 Februari 2011

Nora Uzhma Naghata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Taman Safari Puncak

Bogor, 24 Februari 2011

Bandara Ahmad Yani

Semarang, 28 September 2011

Rileks

*********

Nur Rosihin Ana

Semarang, 19 Oktober 2010

Nur Rosihin Ana

mahkamah dusturiyyah, 18 Juli 2012

Nur Rosihin Ana

Hotel Yasmin, Puncak, Desember 2010

Nora Uzhma Naghata

Naghata

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Demak, 11 September 2011

Nur Rosihin Ana

Nagreg, Bandung 11 Juli 2011

Nora Uzhma Naghata, Sri Utami, Najuba Uzuma Akasyata, Nur Rosihin Ana

Sapa senja di Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Sapa Senja Jepara

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

...bebas, lepas...

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Rabu, 27 Oktober 2010

Alternatif Pemidanaan Anak: "Community Service Order"

Tampak di layar Ahli dari Pemohon, Adi Fahrudin saat presentasi di hadapan sidang uji materi UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Selasa (26/10).
Jakarta, MKOnline - Community service order (CSO) atau program pelayanan masyarakat, merupakan bentuk pemberian hukuman kepada anak dengan memberikan kewajiban kepadanya untuk memberikan pelayanan sukarela kepada masyarakat yang ditentukan oleh pengadilan. 
"Program community service order ini sesuai diterapkan untuk anak, menggantikan sistem pemenjaraan yang ada selama ini."
Demikian disampaikan ahli Pemohon, Adi Fahrudin, saat presentasi di hadapan sidang uji materi UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Selasa (26/10) di ruang pleno lt. 2 gedung Mahkamah Konstitusi RI.  
Uji materi UU 3/1997 ini dimohonkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan (YPKPAM).  Materi yang diujikan yaitu Pasal 1 angka 2 huruf b,  Pasal 4 Ayat (1), Pasal 5 Ayat (1), Pasal 22, Pasal 23 Ayat (2) huruf a, dan Pasal 31 Ayat (1) UU 3/1997 tentang Pengadilan Anak. Sebagai batu ujinya adalah Pasal 28B Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945.
Sidang dengan agenda mendengar keterangan ahli yang diajukan pemohon perkara nomor 1/PUU-VIII/2010 ini dihadiri Ketua KPAI Hadi Supeno, ahli Pemohon, dan kuasa Pemohon, Muhammad Joni dkk. Dari pihak Pemerintah yang hadir, Heni Susilo Wardoyo, Alfiani, dan Radita Aji, ketiganya dari Direktorat Litigasi Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
Adi Fahrudin, dalam presentasi dengan tema " Community Service Order: Model Alternatif Rehabilitasi Sosial Anak Pasca Putusan Pengadilan" ini menyajikan kecenderungan yang terjadi di dunia terkait pemidanaan anak. Tawaran alternatif pidana, misalnya dari Union International de Droit Penal dalam kongres pertamanya di brussel 7-8 agustus 1889 mengeluarkan resolusi agar mengembangkan berbagai alternatif pidana jangka pendek (alternatives to short custodial sentence).
"Kemudian dari PBB, merekomendasikan dibatasinya pidana penjara jangka pendek," sambung ahli Pemohon, Adi Fahrudin.
Lebih lanjut konsultan profesional di Malaysia ini memaparkan kecenderungan berdasarkan perkembangan terkini di dunia internasional untuk mencari alternatif pidana dari pidana perampasan kemerdekaan (alternative to imprisionment) ke dalam bentuk sanksi alternatif (alternative sanction). Selain itu juga mengenai alternatif pemidanaan berupa “community service order”.
Adi lalu mencontohkan penerapan CSO di bebeberapa negara. Di Italia, Jerman dan Swiss, pidana CSO dapat menggantikan pidana penjara pengganti apabila terpidana denda gagal membayar dendanya. "Di beberapa negara Eropah, CSO dapat menjadi syarat diterapkannya grasi," ujar Adi mencontohkan.
Di belanda, papar Adi, grasi dapat dijatuhkan atau diterapkan kepada seorang terpidana dengan syarat, bahwa terpidana harus melaksanakan CSO. Kemudian di jerman, pidana CSO dapat menjadi alternatif pidana perampasan kemerdekaan sebagai akibat denda tidak terbayar dengan melalui grasi.
Namun, penerapan program CSO menurut Adi, setidaknya memenuhi beberapa persyaratan, antara lain, berkaitan dengan tindak pidana tertentu/tidak berat. Kemudian, crime againt property, masa hukuman tidak melebih waktu tertentu, misalnya Denmark 6-8 bulan, Norwegia dan Luxemburg 9-12 bulan, Belanda dan Portugal 4 bulan.
Syarat lainnya yang juga perlu mendapat perhatian yaitu, pelaku masih anak. Penerapan pidana CSO harus memperhatikan UU tenaga kerja karena usia anak dilarang untuk melakukan kerja.
Sedangkan mengenai kelebihan program CSO, menurut Adi yaitu, pidana CSO menisbikan proses  stigmatisasi. Pidana CSO akan meniadakan efek negatif berupa “pendidikan kejahatan oleh penjahat”. Dari segi ekonomi, kata Adi, CSO jauh lebih murah. Kemudian, dapat menghindarkan stigmatisasi.
Anak yang menjalani pidana CSO masih dapat menjalankan kehidupan secara normal, seperti termasuk sekolah, pergaulan sosial. Sehingga proses dehumanisasi bisa dihindari. "Dapat menghindari “de-humanisasi” yang selalu menjadi efek negatif dari pidana perampasan kemerdekaan," tegas Adi Fahrudin. 
Sidang Pleno terbuka untuk umum ini dilaksanakan oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Achmad Sodiki sebagai Ketua merangkap Anggota, M. Akil Mochtar, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, M. Arsyad Sanusi, Hamdan Zoelva, Harjono, dan Ahmad Fadlil Sumadi, masing-masing sebagai Anggota. (Nur Rosihin Ana)
Sumber:
readmore »»  

Senin, 18 Oktober 2010

Berkas Rekap Hasil Suara Pemilukada Kab. Fakfak Disita Polisi


Kapolres Fakfak AKBP F.S. Napitupulu, memberikan kesaksian dalam sengketa Pemilukada Kab. Fakfak Prov. Papua Barat di depan majelis Hakim Konstitusi, Senin (18/10)
Jakarta, MKOnline – Penyitaan berkas rekapitulasi hasil suara Pemilukada yang dilakukan oleh pihak Kepolisian dilakukan atas dasar rekomendasi dari Panwaslukada Kab. Fakfak yang mengindikasi terjadinya tindak pidana Pemilukada. "Kami mendapat rekomendasi dari Panwas bahwa telah terjadi tindak pidana pilkada."


Demikian keterangan saksi F.S. Napitupulu, Kapolres Fakfak, menjawab pertanyaan Ketua Panel Hakim M. Mahfud MD tentang penyitaan dokumen rekapitulasi hasil suara Pemilukada Kab. Fakfak.


Sidang perkara nomor 187/PHPU.D-VIII/2010 mengenai sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Kab. Fakfak Prov. Papua Barat ini digelar pada Senin (18/10) sore bertempat di ruang pleno lt. 2 gedung MK. Sidang dihadiri Pemohon pasangan Said Hindom-Ali Baham Temongmere didampingi Kuasanya, Sirra Prayuna dkk. Kemudian Termohon Prinsipal Ketua dan Anggota KPU Fakfak serta kuasanya, Bambang Widjojanto dkk. Hadir pula kuasa Pihak Terkait, Samsul Huda dkk.


Lebih lanjut, dalam sidang dengan agenda pembuktian ini, F.S. Napitupulu yang baru empat bulan menjabat Kapolres Fakfak, dalam kesaksiannya membantah adanya penahanan terhadap Ketua dan tiga anggota KPU Kab. Fakfak. "Kami dari Polres Fakfak tidak pernah menahan Ketua KPUD mapun anggotanya," kata Napitupulu.


Lebih lanjut Mahfud MD menanyakan landasan hukum yang memberikan kewenangan Polisi untuk melakukan penyitaan dokumen milik KPU. "Tindak pidananya apa, kok sampe menyita barang?" tanya Mahfud. "Penggelembungan suara, Pak," jawab Napitupulu. Penyitaan itu, lanjut Napitupulu, dilakukan dalam rangka proses penyelidikan dan penyidikan. 


Mendapat kesempatan untuk mendalami keterangan saksi, kuasa Termohon KPU Fakfak, Bambang Widjojanto membacakan surat rekomendasi yang tertuang dalam bukti P-13 yang berbunyi, "Kepada Ketua KPUD Fakfak. Sehubungan telah terjadinya penggelembungan dan pengurangan perolehan suara pada Pleno Rekapitulasi perolehan suara KPUD Kab. Fakfak, maka direkomendasikan kepada KPUd untuk segera melakukan perhitungan ulang khusus."


"Mana rekomendasi yang menyatakan bahwa Kepolisian harus melakukan tindakan?" tanya Bambang.


Menjawab pertanyaan Bambang, Kapolres Fakfak membacakan rekomendasi Panwaslukada yang isinya berbeda dengan rekomendasi yang dibacakan Bambang. Hal ini mengundang pertanyaan Bambang. "Apakah itu diberikannya sebelum Anda berangkat (ke MK) atau tanggal 1 (Oktober 2010)?" selidik Bambang.


Serta-merta, kuasa Pemohon, Sirra Prayuna, mengajukan keberatan atas pertanyaan Bambang. Namun keberatan ditolak Mahfud MD, karena akan diberikan kesempatan untuk menyampaikan keberatan dalam kesimpulan di akhir persidangan.


Hakim Konstitusi M. Arsyad Sanusi menilai berita acara penyitaan dokumen hasil rekapitulasi yang hanya terpaut sekitar dua sampai tiga jam setelah rapat pleno KPU berakhir, merupakan tindakan sangat cepat. Sementara di sisi lain, kata Arsyad, dibutuhkan waktu untuk pendalaman misalnya melakukan penyelidikan dengan meminta keterangan KPU dan Panwas. 


Sementara itu, Saksi Welem Lumy, Kapolsek Distrik Fakfak, mengaku mencatat hasil rekapitulasi penghitungan suara di tingkat Panitia Pemilihan Distrik (PPD) Fakfak. Pasangan Mohammad Uswanas-Donatus Nimbitikendik  5.006 suara. Yoel Rohrohmana-Amin Ngabalin 1.222 suara. Hamid Kuman-James Nahuway 4.120 suara. Abdul Latif Suaery-La Japa La Unga 763 suara. Said Hindom-Ali Baham Temongmere 6.613 suara. Total perolehan suara sah di distrik Fakfak 17.632 suara.


Selanjutnya, Saksi Deny Arikalang, Kanit Gakkumdu Sat. Reskrim Polres Fakfak, dalam keterangannya menyatakan, saat pembacaan hasil rekapitulasi untuk distrik Fakfak pada rapat Pleno, Jum'at, 1 Oktober 2010, saksi pasangan no. urut 5, Zainuddin R. Fenetiruma protes karena adanya selisih perolehan sebanyak suara. "Namun pihak KPUD tidak mengindahkan, dan tetap melakukan penetapan," terang Deny.


"Berapa banyak, Pak, selisihnya?" tanya Ketua Panel Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD. "Selisih kurang lebih seribu (suara)," jawab Deny.


Setelah itu, lanjut Deny, pihaknya melakukan upaya hukum dengan melakukan penyelidikan kepada Ketua Panwaslu, La Hardi, Ketua dan anggota KPU Fakfak, Markus Krispul, Saskia Madu, Zainudin S. Hakim, Laode Ruslan, Paskalis Letsoin. Hasil penyelidikan, salah satu anggota KPU tidak mengakui penetapan KPU Fakfak. "Laode Ruslan sama sekali tidak mengakui penetapan tersebut itu sah," papar Deny.


"Penyelidikan terhadap kasus Pemilu itu kewenangan Polres atau kewenangan Panwas?" tanya Bambang Widjojanto. "Memang kewenangan Panwaslu," jawab Deny.


Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi, menanyakan kepada Deny mengenai tanggal penyitaan dokumen. "Penyitaan itu berlangsung kapan?" tanya Arsyad. "Tanggal 1 (Oktober 2010)," jawab Deny singkat. Penyitaan, lanjut Deny, dilakukan sekitar jam 18.00. 


"Kapan keluar ijin penyitaan dari pengadilan?" tanya Arsyad lagi. "Kami membuat permintaan ijin tanggal 2 (Oktober)," jawab Deny.


"Berarti, penyitaan dulu, baru ijin," tanya Arsyad. Hal ini, kata Arsyad, sangat bertentangan dengan KUHAP. 


Terkait pemeriksaan terhadap Ketua dan anggota KPU Fakfak, Bambang kembali mengorek keterangan  saksi. "Apakah ketika diperiksa, orang-orang ini (Ketua dan Anggota KPU Kab. Fakfak) diberikan surat pemberitahuan, dia dipanggil dalam kapasitas apa?" tanya Bambang. "Yang jelas tidak ada surat panggilan," jawab Deny tegas.


Selanjutnya Bambang menanyakan ihwal "pengamanan" terhadap Ketua KPU Kab. Fakfak dan tiga anggotanya tanpa adanya surat penangkapan dan penahanan. "Berapa lama empat orang ini ada di Polres, yang menurut istilah, diamankan?," tanya Bambang lagi. "Empat hari," jawab Deny. 


Mendapat kesempatan memberikan keterangan, saksi La Hardi, Ketua Panwaslukada Kab. Fakfak, mengatakan, saat Ketua KPU Fakfak membacakan hasil rekapitulasi perolehan suara untuk Distrik Fakfak, perolehan masing-masing calon tidak sesuai dengan hasil rekapitulasi yang diterimanya dari PPD Fakfak.


Menjawab pertanyaan Ketua Panel Hakim Moh. Mahfud MD tentang terjadinya ketidaksesuaian perolehan suara, La Hardi menyatakan perubahan itu terjadi saat rekapitulasi di tingkat Kab. Fakfak. "Terjadi pada saat rekapitulasi perolehan suara di tingkat kabupaten," jawab La Hardi.  


Sesuai dengan temuan Panwaslu, kata La Hardi, hasil rekapitulasi perolehan suara di Distrik Fakfak, pasangan calon no. urut 1 memperoleh 5.006 suara. Saat pembacaan hasil rekap untuk Distrik Fakfak, terdapat keberatan dari saksi pasangan no. urut 5 karena adanya perbedaan data yang dimiliki KPU Fakfak dengan data saksi dan Panwaslukada. 


"Indikasi itu muncul karena ada perbedaan data, tapi Saudara tidak melihat bagaimana terjadinya penggelembungan itu," telisik Mahfud. "Ya," jawab La Hardi singkat. (Nur Rosihin Ana)

Sumber:
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=4671
readmore »»  

Sabtu, 16 Oktober 2010

Permohonan Achmad Dimyati Natakusumah Ditolak Karena Tak Beralasan Hukum


Plt. Panitera MK, Kasianur Sidauruk menyerahkan salinan putusan nomor 152/PUU-VII/2009 mengenai pengujian UU 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, usai persidangan Jum'at (15/10).
Setiap jabatan publik atau jabatan dalam pemerintahan dalam arti luas, baik yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan, maupun melalui cara lain, menuntut syarat kepercayaan masyarakat karena jabatan publik adalah jabatan kepercayaan. Oleh karena itu, dalam rekruitmen jabatan publik maupun dalam mekanisme pemberhentiannya dibuat persyaratan-persyaratan tertentu agar pejabat yang terpilih adalah pejabat yang benar-benar bersih, berwibawa, jujur, dan mempunyai integritas moral yang tinggi.
Demikian pendapat Mahkamah terhadap dalil Pemohon yang menyatakan pemberhentian sementara bertentangan UUD 1945 yang tidak mengenal istilah pemberhentian sementara.

Sidang dengan agenda pengucapan putusan perkara nomor 152/PUU-VII/2009 mengenai pengujian UU 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD ini digelar pada Jum'at (15/10) bertempat di ruang Pleno gedung MK. Dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
Permohonan ini diajukan oleh Achmad Dimyati Natakusumah, Anggota DPR RI periode 2009-2014. Pada 14 Desember 2009, Dimyati memohonkan pengujian Pasal 219 UU 27/2009 ke MK. Saat itu Dimyati sedang dihadapkan sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri Pandeglang.
Mantan Bupati Pandeglang ini mendalilkan bahwa ketentuan yang mengatur tentang pemberhentian sementara terhadap Anggota DPR karena menyandang status terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 219 UU 27/2009, bertentangan dengan prinsip persamaan di hadapan hukum dan pemerintahan (equality before the law) sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
Mahkamah tidak menemukan alasan hukum yang cukup kuat terhadap potensi terjadinya pelanggaran atas hak-hak konstitusional Pemohon yang dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945, sehingga Mahkamah berpendapat permohonan provisi harus dikesampingkan.
Meskipun Pasal 22B UUD 1945 tidak secara expressis verbis mengatur mengenai pemberhentian sementara, tetapi tidak mengurangi hak pembentuk UU untuk mengatur lebih lanjut mekanisme pemberhentian suatu jabatan publik sesuai dengan kebutuhan yang menjadi tuntutan bagi jabatan publik yang bersangkutan serta dengan memperhatikan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Apabila hanya norma dalam Pasal 213 UU 27/2009 ayat (2) huruf c UU 27/2009 yang menjadi dasar argumentasi Pemohon, yakni diberhentikan setelah memperoleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, maka justru mengandung ketidakadilan dan ketidakpastian hukum.
Mahkamah sependapat dengan keterangan pemerintah dalam persidangan yang menyatakan bahwa pasal yang dimohonkan pengujian justru memberikan kemudahan bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD ketika menghadapi proses hukum tidak mengganggu tugas-tugas konstitusional sebagai anggota dewan.
Apabila ada seorang anggota DPR harus menjalani proses peradilan, sementara yang bersangkutan juga harus melaksanakan tugas-tugas konstitusionalnya dan menerima hak-hak sesuai dengan jabatannya, justru akan merendahkan kedudukan lembaga dewan di mata rakyat karena tidak dapat menjaga kredibilitas dan moralitas anggotanya. Sementara apabila ternyata putusan pengadilan menyatakan yang bersangkutan tidak bersalah, sudah ada mekanisme hukum untuk mengembalikan harkat dan martabatnya di hadapan hukum.
Memang benar Presiden/Wakil Presiden dan Anggota DPR dipilih secara langung oleh rakyat melalui Pemilu, tetapi kedudukan hukumnya berbeda. Perbedaan kedudukan hukum dan tugas konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD 1945 menyebabkan karakter kedua jabatan tersebut berbeda sehingga wajar dan proporsional pula apabila ada pembedaan dalam mekanisme pemberhentian dari jabatannya.
Begitu pula terhadap Hakim Agung dan Hakim Konstitusi sebelum dilakukan pemberhentian, juga dapat diberhentikan sementara dari jabatannya sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU 3/2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU 14/1985 tentang MA dan Pasal 24 ayat (1) UU 24/2003 tentang MK.
Mahkamah berkesimpulan bahwa Kerugian yang didalilkan Pemohon disebabkan oleh pelaksanaan Undang-Undang bukan karena konstitusionalitas dari norma yang dimohonkan pengujian sehingga dalil-dalil Pemohon tidak berdasar dan tidak beralasan hukum.
Sidang Pleno terbuka untuk umum ini dilaksanakan oleh tujuh Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., sebagai Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, Harjono, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, dan Hamdan Zoelva, masing-masing sebagai Anggota. (Nur Rosihin Ana)

Sumber:
readmore »»  

Kamis, 14 Oktober 2010

Pasangan Sahabat Tuding KPU Kab. Fakfak Lakukan Penggelembungan Suara di Distrik Fakfak


Ketua KPU Fakfak, Markus Krispul (kiri) dan Bambang Widjojanto (kanan) kuasa dari Termohon membantah dalil Pemohon pada persidangan sengketa Pemilukada Kab. Fakfak Prov. Papua Barat dalam persidangan, Kamis (14/10).
Jakarta, MKOnline – Pasangan Said Hindom-Ali Baham Temongmere (Sahabat) menuding Termohon Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kab. Fakfak melakukan penggelembungan suara di distrik Fakfak untuk pasangan no. urut 1 Mohammad Uswanas-Donatus Nimbitikendik (Odo).
Demikian klaim Pemohon yang disampaikan kuasanya, Sirra Prayuna, dalam sidang sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Kab. Fakfak Prov. Papua Barat, Kamis (14/10) siang.
Sidang panel pemeriksaan pendahuluan untuk perkara nomor 187/PHPU.D-VIII/2010 ini dilakukan oleh Panel Hakim yang terdiri Moh. Mahfud MD sebagai Ketua Panel, Achmad Sodiki, dan Maria Farida Indrati, masing-masing sebagai anggota panel. Sidang dihadiri Termohon Prinsipal Ketua KPU Fakfak, Markus Krispul beserta anggota dan kuasanya, Bambang Widjojanto dkk. Hadir pula kuasa Pihak Terkait, Samsul Huda dkk.
Melalui kuasanya, Sahabat mengklaim perolehan suara terbanyak di distrik Fakfak yaitu 6.613 suara. Selanjutnya, pasangan nomor urut 1 Mohammad Uswanas-Donatus Nimbitikendik (Odo) 5.006 suara. Pasangan nomor urut 3 Hamid Kuman-James Nahuway (Haji) 4.128 suara. Pasangan nomor urut 2 Yoel Rohrohmana-Amin Ngabalin (Yonma) 1.222 suara. Sedangkan pasangan nomor urut 4 Abdul Latif Suaery dan La Japa La Unga (Alala) 763 suara.
Pemohon menuding hasil rekapitulasi yang dibacakan Termohon bukan berdasarkan hasil rekapitulasi di tingkat Panitia Pemilihan Distrik (PPD). "Dalam proses rekapitulasi penghitungan suara tanggal 1 Oktober 2010 bertempat di Aula Polres Fakfak, telah terjadi satu upaya yang sistematis yang dilakukan pihak Termohon, yaitu membacakan rekapitulasi yang bukan berdasarkan hasil rekapitulasi di PPD Fakfak," papar kuasa Pemohon, Sirra Prayuna.
Saat pembacaan rekapitulasi tersebut, lanjut Sirra, terjadi penggelembungan suara di distrik Fakfak untuk untuk pasangan no. urut 1 menjadi 10.654 suara. "Tadinya suara pasangan nomor urut 1 di distrik Fakfak 5.006, menjadi 10.654," tegas Sirra.
Dalam petitumnya, Pemohon antara lain meminta Mahkamah menerima dan mengabulkan permohonan untuk seluruhnya. Meminta penetapan perolehan suara Pemohon khususnya di distrik Fakfak sebanyak 6.613 suara.
Kemudian meminta Mahkamah menetapkan perolehan suara yang benar dalam Pemilukada Kab. Fakfak 2010, yaitu, Pasangan Odo 9.096 suara, Yonma 3.490 suara, Haji 8.500 suara, Alala 1.776 suara, dan pasangan Sahabat 13.142 suara. 
Selanjutnya, meminta Mahkamah menyatakan dan menetapkan pasangan Said Hindom-Ali Baham Temongmere sebagai pasangan calon terpilih dalam Pemilukada Fakfak 2010.
Dalam jawabannya, Termohon melalui kuasanya mensinyalir adanya indikasi konspirasi pasca rapat pleno rekapitulasi hasil pemungutan suara. Konspirasi dilakukan oleh oknum Polres Fakfak berupa ancaman hingga merampas kemerdekaan Ketua KPU Fakfak dan tiga anggota KPU Fakfak lainnya selama empat hari. "Empat hari diamankan tanpa ada surat perintah penahanan," kata kuasa Termohon, Bambang Widjojanto.
Berkaitan dengan itu, lanjut Bambang, dilakukan penyitaan terhadap seluruh dokumen asli yang berkaitan dengan hasil pemungutan suara di distrik Fakfak.
Termohon justru balik menuding bahwa dalil-dalil yang diusung Pemohon  telah dipalsukan. "Ada bukti-bukti palsu dan dipalsukan yang dijadikan dasar untuk mengajukan permohonan ini," bantah kuasa Termohon, Bambang Widjojanto. (Nur Rosihin Ana)

Sumber:
readmore »»  
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More